Pesan Rahbar

Home » » Soekarno Menolak Tudingan “Kafir”

Soekarno Menolak Tudingan “Kafir”

Written By Unknown on Saturday, 22 August 2015 | 01:46:00


Akhir-akhir ini eskalasi tudingan pengkafiran baik kepada sesama umat Islam sendiri atau non muslim mengalami peningkatan yang menghawatirkan. Keutuhan bangsa ini mengalami ancaman serius, bukan saja mereka sebatas menuding akan tetapi juga meningkat menjadi penyegelan atas tempat ibadah, hingga penyerangan kepada kelompok lain dengan tudingan “kafir” hanya karena berbeda cara  memandang Islam.

Kehidupan sekarang ini tidak terpisah dengan kehidupan masa lalu, cara memahami Islam yang saat ini jelas tidak berdiri sendiri alias bersambung dengan cara pemahaman umat Islam sebelumnya. Tentu pada masa Soekarno orang-orang Islam yang memahami keislamannya secara ekstrim eksis ditengah tengah heterogenitas bangsa Indonesia yang baru saja tumbuh. 

Menghadapi  kalangan Islam yang gemar sekali melontarkan kata-kata atau tudingan  ‘kafir’ sebagai refleksi penolakan atas eksistensi kalangan Islam yang pemahaman keislamannya berbeda maupun kalangan non Islam, Soekarno ternyata mengkritik dan mencemooh para ulama-ulama konservatif  dan kalangan islamis yang disebutnya sebagai Islam Sontoloyo sebagai akibat pemahaman tentang Islam yang tidak dimulai secara dialektika namun melalui pendekatan dogmatis. Akibatnya  hal itu menggambarkan sikap mereka yang terbelakang dan  anti-kemajuan juga ekstrem dalam menyikapi perbedaan. Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan :
“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”

Pikiran Progresifitas Soekarno seakan hidup sampai saat ini dan mendatang. Betapa seringnya kita saksikan sampai detik ini begitu banyak kalangan Islam yang memahami keberagamaannya dari aspek-aspkek simbolisnya sementara enggan untuk mencerap substansi Islam sebagai ajaran yang luhur untuk direfleksikan dalam kehidupan. Terhadap  kaum Islam yang semacam ini, Soekarno menjuluki mereka sebagai Islam Sontoloyo. Ia pun menuliskan pandangannya mengenai  Islam  Sontoloyo itu dalam sebuah artikel berjudul sama yang dimuat media Pandji Islam (1940) :
“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”

Jadi, menurut Soekarno, seorang Muslim yang sejati haruslah paham substansi dari ajaran Islam. Karena bila tidak ada pemahaman semacam itu, maka yang terjadi adalah penyempitan makna islam hanya sebatas ‘pengharaman babi’ atau ‘penutupan aurat’ belaka.

Pemikiran Soekarno tentang Islam bisa dinilai sebagai seorang Muslim yang rasionalis dan modernis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk memahami Islam dengan rasio, Sehingga Islam hadir mampu untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh karena itu pula Soearno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam. Taklid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.

“Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat  sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.

….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.”  –Soekarno dalam  Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).

Cakrawala berpikir Soekarno tidak terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga menyerap ajaran-ajaran teologis  lainnya  yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik. Soekarno memiliki penilaian bahwa Islam memberi peluang untuk difahami secara berbeda dan tidak satu sudut pandang saja. Dengan kecemerlangan berfikirnya Soekarno menilai pluralitas pemahaman keislaman dan pluralitas keberagamaan sebagai keniscayaan.

Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” (1966), Soekarno berujar :
“ Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama,”

Demikianlah sebagian pemikiran Soekarno yang menurutnya  merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan  terhadap Islam.  Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis, humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang harus dihadirkan  umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada api Islam, bukan abu nya.

(Satu-Islam/myartikel/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: