Akhir-akhir ini eskalasi tudingan
pengkafiran baik kepada sesama umat Islam sendiri atau non muslim
mengalami peningkatan yang menghawatirkan. Keutuhan bangsa ini mengalami
ancaman serius, bukan saja mereka sebatas menuding akan tetapi juga
meningkat menjadi penyegelan atas tempat ibadah, hingga penyerangan
kepada kelompok lain dengan tudingan “kafir” hanya karena berbeda cara
memandang Islam.
Kehidupan sekarang ini tidak terpisah
dengan kehidupan masa lalu, cara memahami Islam yang saat ini jelas
tidak berdiri sendiri alias bersambung dengan cara pemahaman umat Islam
sebelumnya. Tentu pada masa Soekarno orang-orang Islam yang memahami
keislamannya secara ekstrim eksis ditengah tengah heterogenitas bangsa
Indonesia yang baru saja tumbuh.
Menghadapi kalangan Islam yang gemar
sekali melontarkan kata-kata atau tudingan ‘kafir’ sebagai refleksi
penolakan atas eksistensi kalangan Islam yang pemahaman keislamannya
berbeda maupun kalangan non Islam, Soekarno ternyata mengkritik dan
mencemooh para ulama-ulama konservatif dan kalangan islamis yang
disebutnya sebagai Islam Sontoloyo sebagai akibat pemahaman tentang
Islam yang tidak dimulai secara dialektika namun melalui pendekatan
dogmatis. Akibatnya hal itu menggambarkan sikap mereka yang terbelakang
dan anti-kemajuan juga ekstrem dalam menyikapi perbedaan. Dalam Surat
Ende 1936, Soekarno menegaskan :
“Kita royal sekali dengan perkataan
‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan
dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan
Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir!
Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang
berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam
yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa
yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya
dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu
berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah
Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan
kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan
ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang
terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja
‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka
kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran
atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
Pikiran Progresifitas Soekarno seakan
hidup sampai saat ini dan mendatang. Betapa seringnya kita saksikan
sampai detik ini begitu banyak kalangan Islam yang memahami
keberagamaannya dari aspek-aspkek simbolisnya sementara enggan untuk
mencerap substansi Islam sebagai ajaran yang luhur untuk direfleksikan
dalam kehidupan. Terhadap kaum Islam yang semacam ini, Soekarno
menjuluki mereka sebagai Islam Sontoloyo. Ia pun menuliskan pandangannya
mengenai Islam Sontoloyo itu dalam sebuah artikel berjudul sama yang
dimuat media Pandji Islam (1940) :
“Islam melarang kita memakan babi.
Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak
yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan
yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa.
Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya
anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan
perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan
jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging
babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan
mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini:
terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”
Jadi, menurut Soekarno, seorang Muslim
yang sejati haruslah paham substansi dari ajaran Islam. Karena bila
tidak ada pemahaman semacam itu, maka yang terjadi adalah penyempitan
makna islam hanya sebatas ‘pengharaman babi’ atau ‘penutupan aurat’
belaka.
Pemikiran Soekarno tentang Islam bisa
dinilai sebagai seorang Muslim yang rasionalis dan modernis. Ia secara
tegas menganjurkan umat Islam untuk memahami Islam dengan rasio,
Sehingga Islam hadir mampu untuk menyerap perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh
karena itu pula Soearno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam.
Taklid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis
dan mudah dipahami.
“Taqlid adalah salah satu sebab yang
terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid,
disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius
dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.
….Saya sendiri, sebagai seorang
terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam,
sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa
sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian
besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya
orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox,
mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul,
jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum
mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti
: bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada
Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.”
–Soekarno dalam Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).
Cakrawala berpikir Soekarno tidak
terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga
menyerap ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran
masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang
Khalik. Soekarno memiliki penilaian bahwa Islam memberi peluang untuk
difahami secara berbeda dan tidak satu sudut pandang saja. Dengan
kecemerlangan berfikirnya Soekarno menilai pluralitas pemahaman
keislaman dan pluralitas keberagamaan sebagai keniscayaan.
Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” (1966), Soekarno berujar :
“ Tahun 1926 adalah tahun dimana aku
memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan
berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar
rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata
kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai
permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang
Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan
pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan
beragama,”
Demikianlah sebagian pemikiran Soekarno
yang menurutnya merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan
terhadap Islam. Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis,
humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang harus
dihadirkan umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada
api Islam, bukan abu nya.
(Satu-Islam/myartikel/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email