Ya Allah sesungguhnya aku bermohon kepada-Mu demi rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu.
Penafsiran Etimologis
Allâhummâ sama dengan kalimat : Ya Allah dan nampaknya kalimat Allâhummâ ini merupakan kalimat tunggal (bashith) yang berasal dari kalimat yang Allah tersebut setelah terjadi penghapusan dan penggabungan ia menjadi Allâhummâ. Sedangkan kata Allah berdasarkan pendapat yang paling benar adalah sebuah identitas (‘alam) bagi Zat yang Mahasuci yang terkumpul (pada-Nya) berbagai sifat kesempurunaan. Tidak satu nama pun di antara nama-nama agung yang lebih jelas dan terang ketimbang nama Allah. Dalam kitab suci al-Quran kata Allah disebutkan sebanyak 2.880 kali.
Kata penegas innâ (sesungguhnya) dimaksudakan untuk memberikan tekanan pada isi kalimat di atas sementara suâl (permohonan) adalah permintaan dari yang rendah (hina) kepada yang tinggi (mulia). Manakala permintaan tersebut disertai dengan perasaan serbahina, itu disebut dengan du’a (doa). Doa sendiri merupakan hal yang amat terpuji dan perbuatan yang sangat mulia. Bagi seorang hamba, tidak satu pekerjaan pun yang lebih mulia, indah, dan terpuji ketimbang berdoa. Kemungkinan besar, sabda Rasul Mulia saww, “Kefakiran adalah kebanggaanku,” merupakan sebuah isyarat akan pentingnya doa.
Adalah sebuah kehinaan dan kerendahan, memohon (sesuatu) kepada selain Allah. Oleh karena itu, kita banyak sekali menemukan riwayat yang mencela perbuatan semacam itu. Sampai-sampai, Rasul Mulia saww bersabda, “Semua dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, ada kemungkinan Allah (akan) mengampuninya, kecuali memohon kepada makhluk; dimana Allah sama sekali tidak akan mengampuninya.”
Rahasianya, doa dan permohonan kepada selain Allah Swt akan mengarah pada perbuatan syirik, dan itu bertentangan dengan tauhîd âf’alî (tauhid dalam perbuatan). Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (al-Nisâ’:116)
Ringkasnya, seorang mukmin sangat mulia. Begitu mulianya hingga kemuliannya itu menyerupai kemuliaan Allah dan Rasul- Nya. Allah berfirman:
Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik tiada mengetahuinya. (al-Munâfiqûn:8)
Karenanya, seorang hamba yang memiliki kemuliaan semacam itu tidak dibenarkan melenyapkan dan mencemar- kannya dengan memohon dan meminta kepada sesuatu selain Allah. Allah berfirman:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut merekadi daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isrâ’: 70)
Dengan demikan, sungguh tidak pantas seorang manusia yang menghapus kemuliaan dan harga dirinya dengan meminta dan memohon kepada selain Allah. Celakalah manusia yang menjadi sasaran pernyataan Allah Swt: Binasalah manusia, alangkah amat sangat keKafirannya. (Abasa: 17)
Sementara itu, kata rahmah (rahmat) memiliki arti belas kasih dan lembut hati, yang menumbuhkan kecenderungan untuk berbuat baik. Sering dikatakan bahwa rahmat yang ada pada Zat Allah adalah memberikan hak kepada si pemilik hak tersebut. Dalam hal ini, rahmah (rahmat) adalah rahmaniyyah (kepenyayangan). Penjelasannya berikut ini:
Allah Swt memiliki dua jenis rahmat: Pertama, rahmat yang bersifat umum, yang lantaran itu pula terciptalah berbagai makhluk : manusia, tumbuhan, binatang, bebatuan, dan berbagai makhluk lain, besar maupun kecil. Dia juga berfirman dalam kitab suci-Nya: dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (al-A’râf: 156) Dalam ayat mulia ini, yang dimaksud dengan rahmat adalah rahmaniyyah, kalimat kun fayakun (jadilah, maka jadilah), dan kehendak mutlak Ilahi. Sedangkan Rahman adalah sebuah nama khusus dengan sifat umum, yang tidak boleh digunakan oleh selain Tuhan.
Kedua, rahmat yang diberikan Allah kepada seorang hamba yang memiliki kedekatan dengan-Nya yang Mahatinggi. Yakni, seseorang yang telah memiliki posisi (istimewa) di sisi Allah. Rahmat ini merupakan rahmat khusus yang juga disebut dengan rahîm, rahmat rahimiyyah, atau rahmat tasyri’î (bukan takwînî, bukan penciptaan). Ini merupakan nama umum dengan sifat yang khusus. Secara syar’î (dari sisi syariat) dibenarkan untuk meletakkannya pada selain Allah. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman dalam kitab suci-Nya:
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (al-A’râf: 56)
Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar. (al-Baqarah: 105)
Syarah dan Penjelasan
Doa terdiri dari empat pilar: pendoa, pendengar doa, sesuatu yang digunakan sebagai sumpah dalam berdoa, dan sesuatu yang diminta dalam berdoa.
Dalam hal ini, yang mendengarkan doa adalah Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di awal doa tersebut: Allâhummâ (ya Allah). Pertama-tama, marilah klta mengenal secara lebih jauh siapakah Zat Allah yang Mahasuci itu? Setelah itu barulah kita berdoa dan memohon sesuatu dari-Nya.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa: Dia adalah Maha Pengasih, Maha Pemurah, segala sesuatu adil di “tangan”-Nya, Mahadekat dan menjawab panggilan orang yang memanggil- Nya, Maha Mendengar, Mahalembut kepada hamba-Nya, berulang kali memerintahkan dalam Kitab-Nya agar manusia berdoa kepada-Nya, menganggap rendah dan hina orang yang enggan berdoa dan memohon kepada-Nya, serta tidak akan peduli terhadap orang yang enggan berdoa kepada-Nya.
Pendoa
Orang yang berdoa adalah seorang yang hina, rendah, dan sengsara; tidak memiliki apapun, tidak mampu mendatangkan manfaat dan tidak pula mampu menolak mudarat, bukan pemilik kehidupan dan bukan pula pemilik kematian, serta tidak juga berkuasa atas hari kebangkitan. Oleh karena itu, pertama-tama, pendoa harus mengenal dirinya sendiri sebelum memohon kepada Allah. Sepatunya, sebelum berdoa, ia bertobat dan memohon ampun kepada Allah yang Mahatinggi. Dan bentuk kalimat tobat tersebut adalah semacam ini:
“Aku memohon ampunan kepada Allah, yang tiada tuhan selain Di yang Mahahidup, Mahamandiri, dan Pemilik keagungan serta kemuliaan, Dan aku bertobat kepada-Nya, tobat seorang hamba yang hina, rendah, miskin, papa, dan butuh perlindungan, yang tidak memiliki kekuasaan atas dirinya dalam manfaat, kerugian, kematian, dan kebangkitan.”
Di sini, yang perlu diingat adalah bahwa―pendoa hamba―memiliki dua sisi, dua peringkat, atau―dengan kata lain―dua sudut pandang. Oleh karena itu, dari sisi di mana ia tidak memiliki kekuatan untuk mengungkit-ungkit (menghujat) sesuatu, digunakanlah kata saya yang dalam bahasa Arab menggunakan ya’ (innî). Dari sudut pandang ini, ia tidak melihat yang lain kecuali Allah; dan maqâm (tingkatan) ini adalah maqâm fanâ’ (peleburan), maqâm liqâ’ (pertemuan). Besar kemungkinan, sabda Nabi Ibrahim as―tatkala Jibril berkata kepadanya sewaktu ia akan dilempar ke dalam api, “Katakanlah kepada Allah dan mohonlah pertolongan dari-Nya,” dan Nabi Ibrahim as menjawab, “Dia mengetahui keadaan saya dan cukup mengetahui permohonan saya,”―adalah mengisyaratkan maqâm tersebut.. Betapa indahnya ucapan penyair berikut ini:
Tak ada dalam batin kita selain rasa cinta
Berikanlah kedua alam kepada musuh
dan cukup bagi kita rasa cinta
Ayat di bawah ini juga mengisyaratkan pada bentuk sisi pandang tersebut. Allah berfirman:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah yang Mahakaya lagi Mahaterpuji. (Fâthir: 15)
Tatkala mengetuk pintu Laila dan mendengar suara Laila yang tengah bertanya, “Siapa itu?” Majnun malah menjawab, “Engkau!”
Akan tetapi, manusia memiliki sudut pandang lain, sisi pandang berbeda, yang biasa disebut dengan sisi kemakhlukan; bukan sudut padang ketuhanan seperti disebut sebelum ini. Dalam sisi pandang ini (sisi kemakhlukan) manusia menyaksikan dirinya yang berada dalam keadaan lemah, tidak mampu, dan miskin; juga menyaksikan dengan jelas bahwa ia adalah makhluk yang sama sekali tidak berarti dan selalu membutuhkan pertolongan.
Dengan sudut pandang ganda ini, ia mampu melihat kefakiran dan kekayaan, penyayang dan yang disayang, lemah dan kuat, kemuliaan dan kehinaan. Dan dengan memperhatikan kefakiran dan kehinaan dirinya, ia memohon dan meminta kepada Yang tidak membutuhkan kepada yang lain, Yang Mahakuasa, dan Yang Mahamulia.
Sesuatu yang Digunakan sebagai Sumpah
Sesuatu yang digunakan sebagai sumpah oleh pendoa di sini, adalah rahmat luas Sang Penerima doa. Oleh karena itu, pendoa harus mengetahui bahwa seseorang tidak akan mampu mengetahui secara benar seberapa luas rahmat Allah. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Allah memiliki seratus (bagian) rahmat; satu di antara rahmat-Nya Dia bagikan ke bumi dan seluruh makhluk-Nya. Dengan (bagian) rahmat itu pula seluruh makhluk saling berbelas kasih dan berkasih sayang. Sedangkan 99 bagian lainnya Dia simpan dalam Zat-Nya yang suci dan akan Dia berikan pada hamba-hamba-Nya kelak di bari kiamat. Jelas, ini hanyalah sebuah perumpamaan saja. Pada dasarnya, Zat Allah adalah rahmat dan belas kasih itu senditi; dan belas kasih serta rahmat adalah Zat Allah yang Mahasuci.
‘Urafâ’ (orang-orang ‘ârif, yang mengenal Allah Swt) berkata, “Hakikat rahmat itu adalah Muhammad saww; dan tidak ada kesulitan untuk mengartikan bahwa rahmat itu adalah Muhammad saww.” Sebab. dalam hal ini, Allah Swt berfirman:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melakukan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.[1] Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Rasul Mulia saww adalah rahmat. Allah juga berfirman; Hanya milik Allah al-asmâ’ al-husnâ (nama- nama yang terbaik) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asmâ’ al-husnâ itu. (al-A’râf: 180) Dalam riwayat disebutkan, “Demi Allah, kami (Ahlul Bait) adalah nama-nama Allah yang baik itu.”
Masalahan ini telah kami paparkan pada pembahasan tentang tawassul. Jika diperlukan, Anda dapat merujuk kembali ke pembahasan tersebut pada mukadimah pembahasan ini (telah diterbitkan dengan judul Rahasia Doa oleh Penerbit Cahaya,―peny.).
Sesuatu yang Diminta
Adapun, sesuatu yang diminta oleh pemohon dari Sang Penerima permohonan tidak disebutkan dalam kalimat permohonan ini. Dalam hal ini, tidak disebutkannya permintaan dan permohonan dalam doa memiliki bermacam-macam arti, sebagaimana doa Sahar yang biasa dibaca di bulan Ramadhan adalah seperti itu pula (permohonannya tidak tercantum dalam doa). Tidak dicantumkannya permohonan atau sesuatu yang diminta dari Sang Penerima doa memiliki berbagai macam kemungkinan:
1. Penghapusan tersebut dapat menjadikan doa bersifat umum; Dengan demikian, si pendoa dapat memohon dan meminta semua kebaikan, baik yang ada di dunia maupuh di akhirat, bagi dirinya. Pada hakikanya, ia dapat mengharapkan semua kebaikan dunia dan akhirat, serta terhindar dari semua keburukan dan kejahatan yang ada pada keduanya.
2. Ada kemungkinan, tidak disebutkannya permintaan dan permohonan dalam doa adalah untuk menyerahkan permohonan tersebut kepada Sang Penerima Doa (Allah Swt). Sebab, Allah yang Mahatinggi adalah Zat yang Mahamulia, dan Dia pasti akan memberikan kepada hamba (sesuatu yang) melebihi apa yang ia panjatkan dan ia minta. Seorang penyair berkata:
Janganlah penghambaanmu semacam para pengemis yang mengharap pemberian
Khajah mengetahui bagaimanakah cara seorang hamba dalam bersikap
3. Ada kemungkinan, sang pendoa menyerahkan apa yang terbaik bagi dirinya kepada sang Pendengar doa, sebab, Dia Maha Mengetahui kebahagiaan dan kesengsaraan bagi dirinya. Betapa banyak perkara yang disukai; seorang hamba padahal sebetulnya itu merupakan keburukan baginya dari betapa banyak perkara yang tidak disenangi oleh seorang hamba padahal sebenarnya itu merupakan kebaikan baginya. Allah berfirman:
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik baik bagimu, dan boleh jadi, kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (al- Baqarah: 216)
4. Tidak disebutkannya permintaan adalah dikarenakan jelas dan terangnya permintaan atau permohonan tersebut. Sebab, seorang yang merindu tidak akan menginginkan yang lain kecuali kedekatan dengan Sang Kekasih, seorang yang berdosa tidak akan mengharapkan sesuatu yang lain kecuali ampunan- Nya, sementara seorang yang tertindas dan teraniaya tidak akan menginginkan yang lain selain pertolongan dan pembebasan, dan seterusnya. Ya, ungkapan ini sungguh tepat sekali: Apakah perkara yang sudah jelas masih memerlukan penjelasan?
5. Ketika permohonan tidak diucapkan dan seseorang tidak memohon kepada yang lain selain kepada Sang Penerima doa, maka kondisi semacam ini tak ubahnya seperti kanak-kanak yang lapar dan menangis, yang tidak melakukan apapun selain menangis. Dalam hal ini, manusia merasa kehilangan sesuatu, yaitu Allah Swt, dan akan senantiasa mencari-Nya sampai ia menemukan-Nya (kembali). Benar bahwa semua kemungkinan ini dan berbagai kemungkinan lain tidak akan berlaku pada diri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, sebab, beliau telah menemukan apa yang beliau cari:
Selamat bagi mereka yang telah merasakan kenikmatan
Dan kepada perindu yang papa, atas apa-apa yang mereka rasakan
6. Mungkin, penghapusan bentuk permohonan adalah lantaran sang Penerima doa telah mengetahui permintaan sang pendoa. Sebab, Dia adalah Zat yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, dan Maha Mengengar. Ini ibarat perumpamaan awam yang berkata, “Lihatlah, warna kuning tubuhku, dan tak usah bertanya tentang kondisiku.” Dalam doa ini, Amirul Mukminin Ali bin Abi.Thalib mengisyaratkan jawaban atas disembunyikannya sesuatu yang dimohon dari sang Pemberi dan Pendengar doa.:
Wahai Yang mengetahui kesengsaraanku dan kemalanganku.
Wahai Yang mengetahui kefakiran dan kepapaanku. Wahai Tuhanku, wahai Yang menciptakanku, wahai Yang memeliharaku.
7. Mungkin pula, tidak disebutkannya sesuatu yang diminta dan dimohon adalah seperti seorang yang tengah dalam keadaan rindu dan miskin dan kemudian bertemu dengan kekasihnya atau seorang dermawan; yang menjadi lupa akan apa yang dibutuhkannya dan betapa banyak kebutuhan yang hendak diungkapkannya. Akan tetapi, rasa cinta yang bergelora dalam hatinya membuat ia lupa akan semua itu. Ia tidak melihat sesuatu yang lain selain sang kekasih; ia tidak akan memanggil yang lain selain sang kekasih. Seorang yang papa tidak menginginkan yang lain kecuali pemberian dari sang dermawan dan seorang yang berdosa tidak menginginkan yang lain kecuali pengampunan atas dosa-dosanya.
8. Ada kemungkinan, sesuatu yang diminta dan dimohon itu adalah rahmat Allah Swt. Dalam kalimat-kalimat (doa) berikutnya akan dapat kita ketahui bahwa beliau (Imam Ali) menggunakan rahmat yang luas sebagai sumpah. Dengan demikian, beliau memohon rahmat yang luas dari Allah Swt. Dalam berbagai kalimat lainnya, bentuk semacam ini―kalimat yang dijadikan sebagai sumpah―dijadikan pula sebagai sesuatu yang diminta dan dimohon dari Allah Swt.
9. Ada kemungkinan juga bahwa sesuatu yang dimohon dan diminta itu tercantum dalam berbagai kalimat berikutnya, yaitu kalimat yang menyebutkan: “Ya Allah, ampunilah dosa- dosaku yang meruntuhkan penjagaan,” (sampai akhir doa). Atau, ungkapan Imam Ali yang diucapkan pada akhir doa ini, “Wahai Yang Mahatahu tanpa diberitahu, salawat dan salam atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan lakukanlah padaku apa yang layak menurut-Mu,”(sampai akhir doa).
Referensi:
1. Al-Anbiya : 107
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email