Pesan Rahbar

Home » » Ketatnya Sejarah Legging

Ketatnya Sejarah Legging

Written By Unknown on Thursday 6 July 2017 | 23:14:00

Berawal dari pelindung sejak berabad-abad silam, legging kini jadi pemberi nilai tambah penampilan.

Battle of Culloden, lukisan karya David Morier (1746) mengabadikan penggunaan legging oleh para prajurit kedua belah pihak yang bertempur.

Susi begitu ceria siang itu. Mengenakan pakaian ketat polos, dengan aksesoris di leher dan pergelangan tangan, dia terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bak lady rocker, dia kemudian bernyanyi sembari bergoyang mengikuti irama. Sesekali goyangannya berubah erotis. Tingkah polahnya genit. Tak peduli banyak pasang mata memandanginya.

Siapa tak tergoda. Susi hanya membalut tubuhnya dengan pakaian ketat: atasan you can see rada transparan dan bawahan panjang mengkilat bernama legging. Lekuk tubuh bagian bawah Susi terlihat jelas di balik kain tipis itu. Tiga sahabatnya, Dono, Kasino, dan Indro mendekat. Mereka bersaing memikat hati Susi yang cantik dan seksi.

Adegan tari perpisahan Susi (diperankan Eva Arnaz) dan tiga sahabatnya menjadi penutup film Warkop DKI Atas Boleh Bawah Boleh, produksi 1986. Film ini mengisahkan persahabatan Dono, Kasino, Indro melewati pahit-manis kehidupan masa muda. Gaya hidup perkotaan menyuguhkan hal-hal “tabu” kala itu seperti pemakaian legging nan seksi.

Sebelumnya, film Warkop DKI keluaran 1980, Gengsi Dong, juga menunjukkan keberadaan legging. Meski sebentar, film itu menampilkan Rita (diperankan Camelia Malik) mengenakan legging lateks berwarna merah. Meski tak ada catatan pasti kapan legging masuk ke Indonesia, sekitar tahun itulah banyak orang di beberapa kota besar sudah memakainya.

Siti Mulia, wiraswastawati berusia 43 tahun, ingat sewaktu kecil ibunya membelikanlegging. “Beliau belikan macam-macam warna. Panjangnya ada yang sedengkul, sebetis, dan semata kaki,” ujarnya kepada Historia. “Paling sesekali aja dipakai main di depan rumah atau ke rumah teman, dekat rumah, atau tetangga. Tapi atasannya pakai kaos longgar sedikit di atas dengkul. Malu kalau pakai kaos ketat pendek, karena legging celana ketat.”

Penggunaan legging masih terbatas untuk aktivitas berolahraga atau dansa (balet dan disko). Belakangan ini saja jamak menemukan perempuan berbusana legging di pusat-pusat keramaian hingga kantor.


Perlengkapan Militer

Jauh sebelum legging menjadi bagian dari dunia mode, lelaki maupun perempuan di Timur maupun Barat sudah mengenakan kain pembungkus kaki itu. Mereka umumnya membuat legging sendiri dari kulit hewan atau serat tanaman.

Melalui koleksi artefak maupun manuskrip, beberapa museum di Eropa seperti Louvre (Paris) atau British Museum (London) menunjukkan legging sudah dipakai orang sejak sebelum Masehi. Dinginnya cuaca, gigitan serangga, atau gangguan lainnya mendorong orang membuat legging untuk melindungi kaki.

Bangsa Assyria dan Babilonia sudah memperlengkapi para prajuritnya dengan legging dan pelindung tubuh lain sejak abad ke-6 SM. Relief pada Nineveh of Sardanapalus V (700 SM) menunjukkan beberapa pose tentara Assyiria dengan kostum tempurnya. Legging dipakai untuk melengkapi pelindung kaki lainnya yang terbuat dari baja.

Semasa berkuasa mulai 1066 M, William “Sang Penakluk” juga menjadikan leggingsebagai komponen pakaian militernya. Bentuknya seperti kaus kaki, sebatas lutut, tapi dilengkapi besi. “Berasal dari abad kesebelas, cuishes dan legging dengan sol kaki di tiap potongannya hampir selalu terbuat dari rantai besi-baju zirah,” tulis Auguste Demmin dalam An Illustrated History of Arms and Armour.

Bangsa Celtic di dataran tinggi (highland) Skotlandia mempopulerkan legging semasa Abad Pertengahan. Bermotif kotak-kotak (tartan), ia dikenal dengan istilah trews. Wujudnya masih seperti stocking (terpisah), tak seperti legging sekarang yang mirip celana. Lukisan David Morier, seniman yang mengabdi pada Duke of Cumberland, berjudul Battle of Culloden mengabadikan trews semasa kolonialisme Barat mulai merambah ke berbagai tempat.

Menyusul pemberontakan George I dari Hanover, yang didukung klan-klan dari dataran tinggi Skotlandia, pemerintah Kerajaan Inggris melarang penggunaan trews pada abad ke-18 melalui Dress Act of 1746. Inggris mencap legging sebagai atribut pemberontak; sebagaimana cap pemberontak kepada orang-orang dataran tinggi Skotlandia, dikenal dengan sebutan highlander.

Orang-orang dataran tinggi Skotlandia tetap bisa menyelamatkan pakaian warisan leluhurnya itu setelah berkompromi dengan penguasa, dengan terpaksa menjadi buruh tani di perkebunan-perkebunan milik orang Inggris atau orang-orang dataran rendah (low land) Skotlandia dan menjadi serdadu di berbagai kesatuan Tentara Kerajaan Inggris. Banyak prajurit Skotlandia di tentara kerajaan ikut dalam operasi-operasi militer di Amerika, yang kala itu masih koloni Inggris.

Orang Indian di Amerika juga sudah mengenakan legging sejak lama. Ketika highlanders, dengan kesatuan-kesatuan militer masing-masing, tiba di Amerika untuk memerangi Prancis atas nama Inggris –yang sejak berabad-abad sebelumnya saling bersaing dan berperang– banyak dari mereka menggunakan legging penduduk asli.

Penggunaan legging dalam militer terus berlanjut dan pembuatannya pun terus mengalami perbaikan. Hingga Perang Dunia II, para serdadu AS masih menggunakan legging. Namun karena tak praktis, selain beberapa masalah pada sepatu boot mereka, para prajurit pun protes. “Pasukan mengeluhkan ketidaknyamanan memakai dan melepas legging, minimnya daya tahan, tali mudah rusak, dan konfigurasi ikatan tali yang rumit,” tulis Shelby Stanton dalam US Army Uniforms f World War II.

Menjelang berakhirnya perang, dengan hadirnya sepatu boot militer yang jauh lebih baik, penggunaan legging dalam militer menyusut.


Memasuki Dunia Mode

Seiirng penggunaannya dalam militer pada abad ke-18, legging juga menjadi piranti utama kegiatan luar ruang (outdoor) kaum pria. Koboi, penunggang kuda, dan pemburu hampir selalu mengenakannya.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, legging menjadi pakaian perempuan. Di Amerika, penggunaan legging terinspirasi oleh perempuan-perempuan Indian, yang telah mengenakannya selama berabad-abad. Pada 1960-an legging memasuki dunia mode, dengan bertransformasi menjadi celana ketat yang dijual bebas. Spandex, katun, atau nilon menjadi bahan paling umum. Ia tak lagi kain pelindung semata, tapi menjadi bagian dari fesyen.

Pada akhir 1970-an, desainer kondang Patricia Field menciptakan legging perempuan. Sejak itu penggunaan legging meningkat. Ppopularitasnya terangkat. Pesatnya pertumbuhan gym atau tempat fitnes pada 1980-an melambungkan legging sebagai pakaian olahraga favorit. Aktris Jane Fonda yang pertama melakukan “gebrakan” itu, dengan mendirikan tempat kebugarannya pada 1980 dan kemudian memasarkan video aerobiknya pada 1982.

Penggunaan legging oleh beberapa superstar lain seperti Madonna, Cindy Lauper, ataupun Olivia Newton John membuat legging ditasbihkan sebagai pakaian sport favorit perempuan –pemakai pria tetap ada, tapi kalah banyak. Legging kemudian menjadi bawahan sport bukan hanya untuk gym dan fitnes, tapi juga cabang olahraga lain seperti yoga maupun atletik.

Namun, legging juga menyebar melalui sarana lain. Musik atau gaya hidup yang terkait dengannya ikut mempopulerkannya. Di Inggris, pada akhir 1970-an gadis-gadis punker (musik punk) membeli legging di London. Sebelumnya, mengutip penjelasan feminis sekaligus teoritikus Inggris Angela McRobbie, “legging hanya tampak sebagai pakaian dalam musim dingin pria di tempat-tempat seperti Pasar Camden di London,” tulis Mike Press dan Rachel Cooper dalam The Design Experience: The Role of Design and Designers in The Twenty First. Legging kemudian menjadi bagian fesyen yang digunakan sebagai simbol perlawanan oleh punker yang berjargon anti-kemapanan. Para pemilik garmen, dengan melakukan sedikit perbaikan, lalu memproduksi dan menjual leggingsebagai pakaian perempuan.

“Pada musim panas tahun 1985 dan 1986 pakaian ini dipakai oleh perempuan berusia di bawah 30 tahun.”


Demam Disko

Kegandrungan penggunaan legging untuk olahraga menjalar ke Indonesia. Terutama melalui maraknya pertumbuhan tempat-tempat kebugaran. Selain itu merambah seiring demam disko, balet, glam rock, atau punk.

Sempat meredup pada akhir 1990-an, pamor legging melonjak beberapa tahun belakangan –di Barat, legging kembali mengeliat pada 2005. Perempuan, mulai balita hingga manula, mengenakannya di tempat-tempat umum, bahkan tanpa rok atau kaos panjang sebagai penutupnya. “Karena perempuan banyak yang pakai, ya nyaman-nyaman sajalah,” ujar Tri Cahyani, ibu rumahtangga asal Surabaya.

Suatu hari, Tri pergi dengan busana legging warna coklat kulit, persis warna kulitnya, dengan atasan kaos. Orang-orang pun menatapnya, mengira dia hanya pakai atasan. “Aku tadinya juga heran. Tapi setelah nyadar, isin (malu),” lanjutnya.

Beragam legging dengan bahan dan motif berbeda turut memberi nilai tambah penampilan para pemakainya di era tren budaya populer sekarang. Banyak perempuan merasa lebih percaya diri dengan paduan legging dan atasan yang dikenakannya. Meski banyak leggingbermotif, legging polos tetap lebih disukai lantaran, “Bisa matching sama atasannya,” ujar Cahyani.

Penerimaan positif pasar membuat legging makin digemari. Karyawati mengenakanlegging dengan paduan rok pendek di kantor-kantor bukan lagi hal asing. “Bahannya nyaman sih. Nggak seperti jins, legging bisa melar, mengikuti bentuk tubuh,” ujar Cahyani.


Kotroversi

Popularitas legging bukan tanpa cela. Pengkritik tetap ada, terutama dari kalangan konservatif. Alasan mereka: legging mempertontonkan lekuk tubuh dengan jelas. Namun, di Indonesia belum pernah terdengar kasus yang disebabkan penggunaan legging.

Sebaliknya, penggunaan legging terus meluas. Bahkan kini banyak perempuan berjilbab menggunakannya. “Perempuan muslimah yang berhijab (jilbab) biasa memakainya untuk dalaman ketika pakai rok, gamis, atau tunik,” ujar Umi Sumiwang, perempuan karier berusia 29 tahun, yang memakai dan menjual legging.

Di China, penggunaan legging atau menjadi perdebatan. Orang-orang China menamakannya jianmei ku (celana kebugaran). Para pengkritiknya beranggapan, leggingterlalu berani menonjolkan bentuk tubuh perempuan. Banyak dari mereka menjulukilegging sebagai “mode memalukan”. Sementara, para pendukungnya menganggap penggunaan legging merupakan penanda naiknya kepercayaan diri perempuan China. Toh, “meski beberapa pihak bersikeras bahwa feminitas China terletak dalam pakaian tradisional seperti qipao, perempuan neo-modern tidak merangkul qipao sebagai mode populer,” tulis Juanjuan Wu dalam Chinese Fashion: From Mao to Now.

Bukan hanya di Indonesia atau China, di Amerika Serikat pun kritik terhadap penggunaanlegging tetap eksis. April lalu, misalnya, sebuah SMP di California melarang siswinya memakai legging. “Pihak sekolah, bagaimanapun, telah menyesuaikan kebijakannya setelah ada protes dari orangtua murid,” tulis Katherine Bindley di huffingtonpost.com. Menurutnya, banyak orangtua murid protes lantaran anak-anak mereka terganggu oleh pemandangan siswi berlegging.

Keprihatinan serupa juga datang dari penulis-cum-social media entrepreneur Bunmi Zalob. Dalam artikelnya “Leggings Are Not Pants: An Essay” di huffingtonpost.com, dia mengkritik pemakaian legging tanpa atasan panjang atau rok yang bisa menutupi bagian paha perempuan di tempat umum, tak terkecuali ibu negara Michelle Obama.

Michelle kerap mengenakan legging. Dalam acara inaugurasi setelah Obama terpilih sebagai presiden AS pada 2009, Michelle mendampingi suaminya dalam balutan bawahanlegging hitam dan atasan mantel berlengan tiga perempat. Dia juga mengenakannya ketika liburan di Granada, Spanyol pada 2010 atau sewaktu menghadiri penganugerahan Kid Choices dua tahun kemudian.

Bagi para pengamat mode, sebagai ibu negara Michelle kerap mengenakan busana yang tak pas; bagi para moralis itu tak sesuai ajaran moral. “Setiap pagi ibu di seluruh dunia bersungguh-sungguh menjelaskan kepada anak-anak mereka yang berusia dua tahun mengapa memakai celana bukanlah sebuah pilihan,” tulis Bunmi Zalob.

Pemakaian legging, lanjutnya, hanya “sah” bila dikenakan di gym atau tempat-tempat yang semestinya. Meski kenyataannya legging kini dipakai perempuan di tempat umum, “trendi tak serta-merta membuat sesuatu benar,” ujarnya. “Kegunaan celana adalah untuk menyembunyikan ketelanjangan kita. Legging sebagai celana gagal mencapai maksud ini,” ujar Bunmi.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: