Oleh: Sholeh Basalamah
Ketahuilah bahwa ghibah (mengumpat) itu diperbolehkan
untuk tujuan yang benar menurut hukum agama, berkisar ada enam alasan Sebagai berikut:
Pertama, mengadukan kedzaliman orang lain. Maka
diperbolehkan bagi orang yang teraniaya untuk mengadukan kedzaliman orang lain
kepada penguasa dan hakim serta lainnya, yang mempunyai kekuasaan atau
kemampuan untuk memberinya keadilan terhadap orang yang mendzaliminya. Maka ia
berkata, “Si fulan telah mendzalimi aku dengan berbuat begini.”.
Kedua, meminta tolong untuk mengubah kemungkaran dan
mengembalikan orang yang durhaka ke jalan yang benar. Maka ia katakan kepada
orang yang ia harapkan kemampuannya untuk menhilangkan kemungkaran, “Si fulan
berbuat begini, maka cegahlah dia”, dan semacam itu. Tujuannya ialah berusaha
menghilangkan kemungkaran. Jika ia tidak bertujuan begitu, maka hukumnya haram.
Ketiga, meminta fatwa. Maka ia berkata kepada mufti, “Aku
didzalimi oleh ayahku atau suamiku atau si fulan dengan berbuat begini. Apakah
ia boleh melakukan itu dan apa caraku untuk membebaskan diri darinya dan
memperoleh hakku serta menolak kedzaliman,” dan sebagainya. Ini boleh untuk
keperluan tertentu. Akan tetapi yang lebih berhati-hati dan lebih utama adalah
ia katakan, “Apa pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang berbuat
begini.” Maka ia berhasil mencapai sasarannya tanpa penentuan. Mesikupun
demikian, penentuan itu boleh.
Keempat, memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan dan
menasehati mereka. Hal itu ada bermacam-macam, contohnya mengeritik para
periwayat hadist dan para saksinya. Hal itu boleh menurut para ‘ijma kaum
muslimin, bahkan wajib bila ada keperluan. Diantaranya lagi, saat bermusyawarah dalam mengawinkan
seseorang atau bersekutu dagang atau menitipkan sesuatu pada seseorang atau
bila ingin bertetangga. Orang yang diajak bermusyawarah tidak boleh
menyembunyikan keadaannya, tetapi ia boleh menyeebutkan kejelekan-kejelekan
yang ada pada orang lain dengan niat nasihat.
Diantaranya yang lain lagi, apabila melihat orang yang
hendak belajar agama sering mndatangi ahli bid’ah atau seorang fasik untuk
mengambil ilmu darinya dan takut pelajar itu mendapat bahaya dengan
pelajarannya. Maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaannya,
asalkan itu bertujuan menasehatinya, karena mengikuti ahli bid’ah dan kau fasik
merupakan perbuatan yang salah.
Termasuk juga boleh menilai seorang pemimpin yang
mempunyai program jabatan namun tidak dijalankannya dengan semestinya, karena
orang bodoh dan fasik itu tidak layak dipilih sebagai pemimpin. Maka hal itu
wajib diberitahukan kepada masyarakat, agar mereka dapat mengganti dengan
pemimpin lain yang memenuhi syarat kepemimpinan.
Kelima, apabila seorang menampakkan kefasikan atau bid’ah
secara terang-terangan. Seperti orang yang minum khamar, merampas harta orang
lain, memungut pajak yang mengumpulkan harta secara aniaya dan melakukan
perbuatan terrcela secara terang-terangan. Maka hal itu boleh disebutkan,
sedangkan kejelekan lainnya tidak boleh disebutkan, kecuali ada sebab lain yang
memperbolehkannya.
Keenam, untuk tujuan mengenalkan seseorang yang sudah
dikenal dengan julukan semisal si pincang, si tuli, si buta, si juling dan
lainnya. Maka boleh mengenalkan mereka dengan julukan itu, dan haram menyebutnya
bila dengan maksud menghina, andaikata hanya bisa dikenalkan dengan julukan
itu, maka hal itu lebih utama.
Demikian inilah yang disepakati para ulama tentang
bolehnya ghibah atau membicarakan keburukan orang lain, yang sesuai dengan ketentuan
syariat.
Post a Comment
mohon gunakan email