Pesan Rahbar

Home » , , » Inilah Penjelasan Tentang Wahabiyah

Inilah Penjelasan Tentang Wahabiyah

Written By Unknown on Saturday, 2 August 2014 | 16:26:00


Poin-poin Deviasi Penalaran Wahabiyah.

1. Ayat-ayat Al-Qur'an dengan tegas menerangkan bahwa masalah syafaat telah termuat di dalam Al-Qur'an dan Islam. Begitu pula, syarat-syarat yang dimiliki oleh orang yang memberikan syafaat dan orang yang menerima syafaat tercantum dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang mengklaim Islam dan Al-Qur'an tetapi mengingkari kaidah ini, karena terdapat bukti-bukti nyata yang menegaskan kaidah ini. Dan kita terkejut bagaimana mereka (Wahabiyah) menggangap diri mereka sebagai muslim lalu menolak kaidah yang merupakan hal-hal yang sudah gamblang agama dan Al-Qur'an (dharûriyât). Apakah mungkin seorang muslim dapat mengingkari dharûriyât dan kebenaran Al-Qur'an? 

2. Syafaat yang dibela di dalam Al-Qur'an merupakan syafaat yang kembali kepada garis utamanya, yaitu izin Allah swt. Kalau Dia tidak memberikan izin syafaat, seseorang tidak berhak untuk mendapatkan syafaat. Dengan kata lain, syafaat berasal dari izin Allah swt., bukan syafaat yang dimiliki oleh para sultan, yang berasal dari bawah dan berdasarkan hubungan pribadi. Syafaat ini (dari Allah swt.) semacam penegasan atas prinsip tauhid, sebab garis utamanya berasal dari sisi Allah swt. Tauhid ini lepas dari segala bentuk syirik. Akan tetapi, Wahabiyah salah menempatkan antara syafaat qur'ani dan syafaat setani dari para sultan. Mereka mengingkari syafaat qur'ani. Mereka beranggapan bahwa syafaat semacam ini bertentangan dengan tauhid. Justru sesungguhnya mereka telah mengkritisi anggapan mereka sendiri dalam masalah ini, bukan terhadap syafaat qur'ani. 

3. Syafaat sesungguhnya sejenis penyebab keselamatan, sebagaimana keyakinan akan adanya sebab-sebab di dalam alam semesta ini, seperti efek sinar matahari dan deras air hujan dalam pertumbuhan pohon-pohon, selaras dengan rinsip tauhid. Dan pada kenyataannya, perbuatan mereka sebentuk syafaat dalam tata cipta (takwînî). Begitu pula di alam tata hukum syaria't (taysri'i), adanya sebab-sebab demikian untuk ampunan dan keselamatan juga terwujud berkat izin Allah swt. Hal ini tidak hanya selaras dengan tauhid, akan tetapi juga menegaskannya. Dan syafaat ini disebut sebagai syafaat tasyrî'î. 

4. Syafaat berhala-berhala yang dinafikan oleh Al-Qur'an, dari satu sisi, adalah lantaran para penyembah berhala itu menempatkan wujud-wujud yang sama sekali tak berpengaruh ini sebagai pemberi syafaat kepada mereka. Oleh karena itu, di permulaan ayat 18, surat Yunus [10] yang secara khusus menjadi sandaran mereka, dengan gamblang ditegaskan, "Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemaslahatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'" Tentu saja syafaat jenis ini tidak ada kaitannya dengan syafaat para nabi dan wali. Syafaat jenis ini adalah syafaat arca-arca bebatuan dan baja yang tak berakal. Dari sisi lain, syafaat yang dicela oleh Al-Qur'an adalah syafaat yang berasaskan keyakinan pada kemandirian (istiqlâl) pemberi syafaat, yaitu mereka dapat memberikan efek dan pengaruh terhadap nasib manusia tanpa adnya izin dari Allah swt. Oleh karena itu, di dalam surat Az-Zumar [39], ayat 3 yang secara khusus menyinggung dalil mereka, ditegaskan, "... dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka selain supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.' Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan." Sesuai dengan ayat ini, mereka menganggap sesembahan itu sebagai wali, pengurus, dan pelindung lalu mereka menyembahnya. Anggapan dan penyembahan ini merupakan kesalahan besar mereka. Akan tetapi, apabila seseorang yang sama sekali tidak menyembah malaikat, para nabi, dan wali Allah, namun menganggap mereka sebagai budiman, santun, dan pemberi syafaat di hadirat Allah Swt dan dengan izin-Nya, ia sama sekali tidak termasuk dalam kategori kecaman ayat-ayat ini. Para pengikut aliran Wahabiyah, lantaran ketidakcakapan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an ihwal syafaat, iman, kufur, dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah Swt. terhadap para pemberi dan penerima syafaat, mereka campur-adukkan masalah ini dengan kepercayaan para penyembah berhala. Lantaran tidak melihat hakikat, Ia menyusuri jalan legenda. 

5. Pendapat para pengikut alirah Wahabiyah -bahwa para penyembah berhala Arab masih menganggap penciptaan, kepemilikan, dan pemberian rezeki termasuk sifat-sifat khusus Allah swt. dan kesalahan mereka hanya pada masalah media dan syafaat berhala-berhala tersebut- adalah salah satu kesalahan mereka yang bersumber dari ketidakcakapan ilmiah dan kurangnya penguasaan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Banyak ayat yang sebagiannya diyakini oleh mereka tentang sifat-sifat berhala tersebut, seperti surat al-'Ankabut [29], ayat 65, "Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]". Dapat dipahami bahwa redaksi ayat ini dengan baik menunjukkan bahwa untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam keadaan normal, mereka mengadukannya kepada berhala-berhala, kendati dalam kondisi payah mereka menyebut nama Tuhan. Di dalam surat Fathir [35], ayat 40, , Allah swt. memerintahkan Nabi saw., "Katakanlah, 'Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang Kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku [bagian] manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka memiliki andil dalam [penciptaan] langit ...." 

Apabila musyrikin beranggapan bahwa sifat pencipta hanya khusus milik Tuhan, dan memandang berhala-berhala sebagai pemberi syafaat, pertanyaan di ayat ini tidaklah bermakna, lantaran mereka menjawab, "Kami tidak meyakini berhala tersebut sebagai pencipta. Berhala itu kami anggap sebagai satu-satunya media antara makhluk dan pencipta. Memangnya harus ada media antara makhluk dan pencipta? Hal ini menandaskan adanya sebuah bentuk syirik dalam penciptaan. Dan Nabi saw. ditugaskan untuk menerangkan kebohongan mereka dengan bertanya; siapakah yang menciptakan berhala-berhala tersebut? Di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 111, juga mengindikasikan anggapan mereka bahwa berhala-berhala tersebut serupa dengan Tuhan dalam kepemilikan (mâlikiyah) dan pemerintahan (hâkimiyah) atas alam semesta. Bahkan mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut membantu Tuhan ketika menghadapi masalah. "Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong pun [untuk menjaga-Nya] dari kehinaan dan agungkanlah Ia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya." Firman yang terdiri dari tiga bagian ini, masing-masing menafikan kepercayaan para penyembah berhala yang menyatakan bahwa "para malaikat itu adalah putri-putri Tuhan" (walad dapat digunakan pada putra atau putri) , berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dan menganggapnya sebagai pembantu Tuhan. 

Jelas bahwa apabila kepercayaan ini tidak ada pada lingkungan seperti itu, redaksi Al-Qur'an ini tidak akan berarti apa-apa. Patut untuk diperhatikan bahwa Al-Qur'an di berbagai tempat menengarai para penyembah berhala sebagai orang-orang musyrik dan perbuatan mereka merupakan perbuatan syirik. Sekiranya mereka tidak berkeyakinan akan adanya persekutuan antara Tuhan dan berhala, dan hanya memandang bahwa berhala-berhala tersebut sebagai pemberi syafaat di hadirat Tuhan, maka redaksi ayat ini tidak benar. Teks syirik dan musyrik menyatakan pandangan mereka bahwa berhala-berhala tersebut sekutu Tuhan dalam rubûbiyah atau khâliqiyah, dan semisalnya. (Tentu saja berhala-berhala batu dan kayu tersebut merupakan lambang dan manifestasi dari para orang saleh dan para malaikat). Dengan kata lain, mereka percaya bahwa berhala-berhala tersebut dengan sendirinya dan mandiri mengelola alam semesta. Sesuai keterangan mereka, berhala-berhala tersebut merupakan sesuatu yang serupa dengan Tuhan, tidak sekedar sebuah media dan perantara di sisi-Nya. Khususnya redaksi-redaksi beragam yang tertuang dalam Al-Qur'an bagaimana menyodorkan pembahasan ini secara jelas. Misalnya, dalam surat Al-'Ankabut [29], ayat 22, "... dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah." Ayat ini menyiratkan kepercayaan para penyembah berhala. Ayat ini menyebutkan bahwa berhala-berhala tersebut adalah pelindung dan wali mereka (selain Tuhan). 

Kenyataan ini yang tercetuskan dalam surat Al-Jatsiyah [45], ayat 10, "... dan tidak akan berguna lagi bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan [mereka] selain Allah ...." Redaksi "selain Allah" (mindunillah) secara berulang disebutkan dalam Al-Qur'an sehubungan dengan masalah kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan makhluk-makhluk yang menyita perhatian mereka selain Tuhan. Sehingga berhala-berhala tersebut menjadi wali, penolong, dan pembela mereka. Dan hal ini merupakan syirik rubûbiyah, yang tidak terkait dengan masalah syafaat. Singkatnya, Al-Qur'an dalam pelbagai ayat mengkritisi secara tajam kaum musyrikin. Pertama, berhala-berhala tersebut merupakan makhluk yang tidak mengerti apa-apa. Mereka menganggapnya sebagai sumber kejadian (mabda' atsar). Dan kedua, berhala-berhala tersebut berada di samping pengaturan Tuhan, dan mereka yakin terhadap rubûbiyah berhala tersebut. Tentu saja, ucapan para penyembah Jahiliyah serbakontradiksi. 

Mereka bukanlah orang-orang yang berpengetahuan dan berpikiran logis. Mereka menjelaskan ucapan-ucapan mereka tanpa bebas dari kontradiksi dan kerancuan. Oleh karena itu, sembari mereka beranggapan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi, mereka juga memperkenalkan berhala-berhala tersebut sebagai mindunillah dan terpisah dari Tuhan; sebagai wali dan pembela bagi mereka. Terkadang mereka menyebutkan masalah syafaat di sisi Tuhan, dan hal ini berarti adanya keyakinan terhadap syirik af'âli (menyukutan Tuhan dalam perbuatan-Nya-AK.). Semua ini merupakan telaah dari sekumpulan ayat-ayat dan kondisi mereka. Lagi pula, mereka tidak beranggapan bahwa syafaat itu adalah bergantung kepada izin Tuhan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila seseorang menanti syafaat kepada manusia-manusia soleh dan para wali Allah (tidak mencarinya dari berhala-berhala bebatuan dan pepohonan) dan mempercayai mereka hanyalah sebagai pemberi syafaat di sisi Tuhan, (bukan sekutu dalam otoritas [wilâyah], pembela, dan pengatur), serta syafaat mereka dapat terlaksana berdasarkan izin-Nya (tidak mandiri dari-Nya), maka ini dibenarkan. Masalah kemudian yang akan mengemuka ialah jika seseorang tidak mengindahkan salah satu dari tiga prinsip (Tauhid, Kenabian dan Hari Kiamat) ini dan melampaui batas-batasnya. 

Al Qur’an Di Mata Salafy (keyakinan mereka bahawa Al-Quran yang ada sekarang bukan asli).


Setiap salafy harus, sekali lagi harus percaya bahwa Al Qur’an yang ada saat ini tidak otentik dan mengalami perubahan. Tidak percaya?

Jangan terburu marah, baca dulu selengkapnya.
Jika kita menelaah literatur-literatur salafy, maka akan anda temui banyak riwayat juga pernyataan baik sahabat maupun tabiin yang merupakan rujukan para salafy yang menegaskan bahwa Al Qur’an yang dijadikan pedoman umat islam saat ini sudah bukan asli lagi, alias sudah dirubah. Jadi kitab suci yang ada pada umat islam sejak dulu sampai hari ini menurut salafy sudah bukan otentik lagi, alias ada ayat-ayat yang bukan lagi wahyu Allah, tetapi ada juga hasil tulisan tangan manusia. Selain diubah, nukilan-nukilan itu juga menyatakan bahwa ada ayat-ayat dalam Al Qur’an yang dihapus. Intinya, Al Qur’an yang ada sekarang ini tidak seperti yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad SAAW. Sampai di sini para pembaca mungkin merasa heran dan bertanya-tanya, apakah benar salafy menganggap demikian? Mungkin anda belum pernah atau malah sudah pernah mendengar hal ini sebelumnya dan mengklarifikasi kepada teman atau tetangga anda yang salafy, dan dijawab oleh mereka bahwa hal itu semata-mata adalah fitnah dan tuduhan yang dihembuskan oleh musuh-musuh salafy, dari mereka yang ingin memecah belah umat Islam. Lebih jauh lagi, mereka akan menuduh orang yang menebarkan hal itu sebagai antek zionis yahudi. Astaghfirullah


Mengklarifikasikan sebuah tuduhan adalah sikap yang benar, dan seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang objektif, tetapi hendaknya kita tidak salah alamat dalam mengklarifikasi sebuah berita. Seperti kasus kita kali ini, mestinya kita mengklarifikasi tuduhan ini dengan melihat langsung ke literatur salafy untuk mengecek kebenaran berita ini, mengecek apakah benar ada kitab-kitab salafy yang menyatakan demikian atau tidak ada. Mengapa klarifikasi ke tetangga, teman atau dosen anda yang salafy adalah salah alamat? Ada beberapa sebab bisa jadi teman, tetangga dan dosen anda belum pernah mendapat akses ke literatur itu, bisa jadi dia memang sudah mengakses tetapi dia mengingkari hal itu. Bisa jadi dia adalah “anggota biasa” yang tidak tahu apa-apa, banyak kemungkinan. Tetapi semua itu tidak akan mengubah apa yang tercantum dalam kitab-kitab salafy. Di antaranya:
 
عن عمر بن الخطاب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم القرآن ألف ألف حرف وسبعة وعشرون ألف حرف فمن قرأه صابرا محتسبا كان له بكل حرف زوجة من الحور العين 
 
Dari Umar bin Khaththab yang berkata bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda “Al Qur’an terdiri dari sejuta dua puluh tujuh ribu huruf , barang siapa membacanya dengan mengharapkan pahala maka baginya akan diberikan balasan setiap hurufnya seorang istri dari bidadari”. Mu’jam Al Awsath Thabrani jilid 6 hal 361 no 6616.
 
Ulama salafy kenamaan Thabrani tidak mengkritik atau mencela hadis tersebut beliau hanya mengomentari dengan kata-kata لايروى هذا الحديث عن عمر رضي الله عنه إلا بهذا الإسناد تفرد به حفص بن ميسرة tidak diriwayatkan hadis dari umar radiyallahuanhu tersebut kecuali dengan sanad yang tafarrud (sendiri) oleh Hafsh bin Maisarah Thabrani seolah mau mengatakan satu-satunya keraguan pada hadis tersebut adalah Hafsh bin Maisarah tafarrud dalam meriwayatkannya. Padahal menurut keterangan Dzahabi dalam Al Kasyf no 1167, Hafsh bin Maisarah dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim mengatakan kalau hadisnya baik. Jadi hadis di atas sanadnya shahih karena tafarrud orang yang tsiqah tetap diterima.

Padahal huruf-huruf yang ada dalam Al Qur’an sekarang jumlahnya tidak melebihi dari sepertiga jumlah yang disebutkan hadis di atas. Kemana sisanya huruf-huruf itu?. Berdasarkan hadis di atas Al Qur’an sekarang sudah mengalami perubahan. Naudzubillah
Jika kita telaah lagi pernyataan-pernyataan dalam literatur salafy maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan berbahaya, yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesimpulan ini berbunyi

Setiap salafy harus mengingkari keaslian Al Qur’an, jika masih beriman bahwa Al Qur’an sekarang ini adalah asli otentik seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAAW, maka dia bukan salafy.
 
Ada kalimat lain untuk kesimpulan di atas, yaitu setiap salafy harus meyakini bahwa al qur’an telah dirubah, ditambah dan dikurangi. Seseorang tidak bisa menjadi salafy jika tidak meyakini hal itu. Sehingga dapat kita katakan bahwa seorang salafy terpaksa meyakini hal itu jika masih ingin menjadi salafy. Di sini meyakini adanya penambahan, pengurangan dan perubahan terhadap ayat Al Qur’an menjadi sebuah konsekwensi yang melekat, dan tidak pernah akan lepas, bagi seorang penganut salafy.
 
Sangat mengerikan bahwa dalam literatur shahih salafy banyak terdapat keterangan kalau para sahabat dan tabiin telah meyakini Al Qur’an yang berbeda dengan Al Qur’an yang ada sekarang. Bisa dikatakan juga, mereka yang meyakini bahwa Al Qur’an masih asli tidak pernah akan menjadi salafy karena mahzab salafy mengharuskan pemeluknya untuk mengikuti agama sesuai pemahaman sahabat dan tabiin sebagai penghulu para salafy.

Pada bagian diatas, kami sudah menyebutkan bahwa “adanya perubahan Al Qur’an” adalah keyakinan yang sifatnya aksiomatis di dalam mahzab salafy. Tentu saja ini bukan sekedar tuduhan kosong belaka, karena banyak kitab mu’tabar mahzab salafy telah menyebutkan hadis-hadis tentang perubahan dalam Al Qur’an. Hadis-hadis tersebut bukan sembarang hadis tetapi hadis yang shahih dimana menunjukkan dengan nyata kepada kita semua bahwa Sahabat Nabi generasi terbaik pujaan kaum salafy an nashibi telah meyakini adanya tahrif Al Qur’anul Karim.Naudzubillah.

Sebenarnya memang menyakitkan memberitahukan hal ini kepada teman-teman dan saudara pembaca yang salafy. Tetapi kami yakin kebenaran itu walaupun pahit tetap berharga untuk disampaikan. Bagi teman-teman salafy tentu saja sudah menjadi aksiomatis bahwa aqidah atau keyakinan dan ibadah hendaknya berdasarkan Al Qur’anul Karim dan Al hadis berdasarkan pemahaman Sahabat Nabi sebagai penghulu kaum Salaf. Jadi sudah tentu jika sahabat Nabi sendiri meyakini adanya perubahan dalam Al Qur’an maka sudah seharusnya seorang salafy sejati mengikuti aqidah sahabat tersebut.

Dalam kitab Fadhail Al Qur’an oleh Abu Ubaid Qasim bin Sallam jilid 2 hal 135 disebutkan riwayat Ismail bin Ibrahim menceritakan hadis kepada kami dari Ayub dari Nafi dari Ibnu Umar yang berkata “Janganlah ada di antara kalian yang mengatakan “aku telah menemukan seluruh Al Qur’an”. Apakah ia benar-benar tahu seluruh Al Qur’an itu? Karena telah banyak Al Qur’an yang hilang. Oleh karena itu seharusnya orang mengatakan “aku telah menemukan Al Qur’an yang tampak saja”.

Hadis ini ternyata juga dimuat oleh para Ulama tafsir kenamaan Salafy seperti Jalaludin As Suyuthi dalam Tafsir Durr Al Mansur jilid 1 hal 106 dan Al Alusi dalam Ruhul Ma’ani jilid 1 hal 25.

Hadis diatas disampaikan oleh para perawi yang terpercaya sampai ke Ibnu Umar sehingga tidak diragukan lagi kalau Ibnu Umar benar-benar mengucapkannya. Inilah para perawi hadis tersebut
Ismail bin Ibrahim telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib At Tahzib jilid 1 hal 90 dan dinyatakan sebagai hujjah oleh Dzahabi dalam kitab Kashif jilid 1 hal 242

Ayub bin Abi Tamimah Al Sakhtiani disebutkan oleh Ibnu Hajar sebagai tsiqah,tsabit dan hujjah dalam kitab Taqrib jilid 1 hal 116.

Nafi’ maula Ibnu Umar disebutkan Ibnu Hajar sebagai tsiqah, tsabit dalam kitab Taqrib jilid 2 hal 239.
Ibnu Umar adalah sahabat Nabi, yang dalam aqidah mahzab salafy adalah adil dan dijadikan hujjah perkataannya.

Maka dari itu sudah seharusnya seorang salafy sejati meyakini bahwa sudah banyak Al Qur’an yang hilang dan Al Qur’an yang ada sekarang hanyalah apa yang tampak saja. Aqidah ini diyakini oleh sahabat yang adil Ibnu Umar . Beliau juga mengajarkan kepada orang-orang agar meyakini hal tersebut.

Memang ada saja orang-orang nyeleneh yang menyimpang dari mahzab salafy, mereka menentang aqidah Ibnu Umar dan mengatakan kalau sebenarnya Al Qur’an banyak yang dimaksud itu adalah sudah dinasakh sehingga yang ada adalah yang Nampak sekarang. Sudah jelas hal ini menyimpang dari aqidah penghulu salaf Ibnu Umar, dalam hadis di atas ia tidak mengatakan Al Qur’an tersebut dinasakh, tetapi ia berkata “dzahab”. Dalam bahasa Arab dzahab berarti hilang, artinya sesuatu yang ada kemudian menjadi tidak ada dan tidak tahu kemana perginya. Lagipula kalau memang yang dimaksud Ibnu Umar adalah nasakh maka tentu ia akan mengatakan “telah banyak Al Qur’an dinasakh” bukan “telah banyak al Qur’an hilang” .

Selain itu jika ada ayat Al Qur’an yang dinasakh sehingga tidak berlaku lagi maka ayat itu bukan lagi Al Qur’an sehingga Al Qur’an yang ada sekarang tetap adalah seluruh Al Qur’an. Jadi Ibnu Umar tidak perlu merasa gusar jika ada yang mengatakan “tahu seluruh al Qur’an”. Tetapi hadis di atas justru mengatakan Ibnu Umar menentang orang yang mengatakan tahu seluruh Al Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa menurut Aqidah Ibnu Umar banyak Al Qur’an yang sudah hilang sehingga tidak pantas seseorang mengaku tahu keseluruhan Al Qur’an. Ini membuktikan kalau Ibnu Umar tidak bicara soal nasakh. Oleh karena itu perkataan nasakh adalah aqidah bid’ah yang menyimpang dari mahzab salafy.

Salafy biasa mencari dalih untuk membela agamanya, penganut agama salafy seperti hakekat.com memiliki jurus andalan untuk melindungi keyakinannya dari cercaan Umat Islam. Mau tahu jurus andalan hakekat.com dan ulamanya, simak baik-baik makalah ini.

Pada bagian pertama dan kedua telah dikupas mengenai kenyataan pahit bahwa adanya perubahan Al Qur’an adalah hal yang aksiomatis dalam mahzab salafy. Mengingkari adanya perubahan Al Qur’an sama dengan mengingkari manhaj salafy.Karena sudah jelas bahwa mahzab salafy dibangun atas dasar pemahaman sahabat sebagai penghulu para salafy. Bagi salafy sahabat Nabi adalah manusia pilihan Allah yang merupakan manusia terbaik. Sahabat Nabi bagi salafy adalah orang yang mengemban tugas untuk menjaga syariat Allah SWT.

Nuruddin Ali Abu Bakar Al Haitsami –seorang ulama panutan salafy- dalam kitab Majma az Zawaid jilid 1 hal 428 dan Ahmad bin hanbal –imam kebanggan salafy- dalam Musnadnya jilid 1 hal 379 menuliskan atsar dari Abdullah bin Mas’ud berikut:

إن الله عز و جل نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه وابتعثه برسالاته ثم نظر في قلوب العباد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد وزراء نبيه صلى الله عليه و سلم يقاتلون عن دينه فما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ
 
Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya dan Allah mendapatkan hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah memilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati para hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik setelahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang para shahabat Rasul itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek”.

Nuruddin mengatakan kalau orang-orang yang meriwayatkan atsar ini adalah terpercaya. Begitu pula jika kita melihat tulisan-tulisan ulama salafy maka dapat kita lihat bahwa mereka penganut agama salafy dengan bangga mengutip hadis ini dan berhujjah dengannya.

Jadi sudah merupakan aksioma yang tak terbantahkan kalau sahabat Nabi adalah hujjah panutan salafy. Sehingga keyakinan sahabat Ibnu Umar bahwa sudah terjadi perubahan Al Qur’an –sebagaimana yang telah dibahas pada bagian kedua- seharusnya merupakan aqidah yang diyakini oleh salafy sejati. Tetapi aneh bin ajaib wahai pembaca ternyata ada ulama salafy yang mengingkari aqidah ini, mungkinkah demikian? Atau hanya kura-kura dalam perahu.

Tentu bagi salafy sejati, seorang sahabat Nabi harus menjadi pegangan sehingga perkataan ulama salafy yang menentang aqidah Ibnu Umar harus dibuang jauh-jauh dan dinyatakan dhalalah bin dhalalah. Bukankah berdasarkan kitab salafy, sahabat itu pilihan Allah SWT jadi yang menentang sahabat sudah pasti sesat. Tapi lagi-lagi aneh bin ajaib, para pembaca mungkin pernah bertemu dengan teman penganut salafy yang menolak untuk meyakini adanya perubahan Al Qur’an.. Kalau memang begitu maka sebenarnya teman anda itu bukan salafy sejati alias salafy gadungan atau mungkin ia sedang melakukan taqiyyah untuk melindungi aqidahnya.

Memang merupakan konsekuensi yang sangat berat, tetapi mengapa kita masih mendengar teman-teman kita yang kebetulan salafy, yang marah ketika diajak bicara masalah perubahan Al Qur’an, dia tidak bisa menerima jika salafy dikatakan meyakini perubahan Al Qur’an. Kami tambahkan, bukan hanya penganut salafy yang “amatir” [kroco] yang mengingkari, tetapi ada ulama mereka yang mengingkari juga.

Pertanyaannya, mengapa mereka mengingkari kenyataan yang nampak jelas dalam kitab mereka sendiri?
Menurut Kami ada dua sebab:
1. Karena memang mereka bertaqiyah. Padahal menurut agama salafy taqiyyah itu sama saja dengan berdusta. Apakah ini berarti dalam mnhaj salafy dusta dihalalkan bagi penganutnya dan diharamkan bagi orang lain.
2. Karena mereka benar-benar tidak tahu dan mengingkari hal itu, tetapi mereka tidak sadar akan konsekuensinya yang amat berat, yaitu keluar dari manhaj salafy dan mendapat predikat dhalalah bin dhalalah. Padahal menurut salafy, mereka adalah golongan yang selamat dari 73 jenis firqah dimana yang 72 sisa-nya masuk neraka. Mungkin bagi salafy keluar dari manhaj salafy berarti mengambil tiket ke neraka.

Perlu anda pembaca yang budiman ketahui bahwa salafy memiliki alergi ketika kita ajak dialog tentang masalah perubahan Al Qur’an. Sebenarnya alergi itu tidak perlu terjadi, karena bagaimana seorang penganut sebuah keyakinan bisa alergi dengan ajaran keyakinan yang dianutnya? Kalo mau alergi tidak usah dianut saja, khan gampang, mengapa dibuat repot?. [gitu aja kok repot]

Maka anda pembaca yang budiman jangan takut ketika melihat teman anda yang salafy marah, mencak-mencak dan bisa jadi kejang ketika anda membicarakan masalah ini. Itu adalah reaksi yang biasa muncul dan tidak perlu ditakutkan. Walaupun kadar mencak-mencak dan kejangnya kadang berbeda antara yang amatir [kroco alias salafy gadungan]dan ulama mereka yang menyimpang.

Mengapa mereka alergi? Wajar saja, karena masalah iman pada Al Qur’an menjadi salah satu pemisah antara kaum muslimin dan mereka yang “non muslim”. Artinya mudah bagi seorang muslim awam untuk memahami bahwa siapa yang tidak percaya pada Al Qur’an adalah bukan orang muslim. Dengan begitu orang awam akan mudah menilai bahwa salafy adalah agama yang sesat. Juga karena salafy masih ingin dianggap sebagai kaum muslimin. Karena dengan masih dianggap sebagai muslim akan membuat misi dakwah salafy lebih mudah.

Jika teman anda yang salafy marah ketika diajak dialog masalah perubahan Al Qur’an, maka segera anda diam, biarkan dia menyelesaikan marahnya. Jika marahnya sudah mereda, beritahukan padanya bahwa hal itu tercantum dalam kitab-kitab induk salafy dan hadis-hadisnya yang shahih yang dia belum menelaahnya, katakan padanya bahwa orang yang belum tahu tidak layak untuk marah sebelum menelaah. Tetapi jika kemarahan dan emosinya begitu menggelora sampai ia meneriaki bahwa anda sesat, antek zionis yahudi laknatullah atau mungkin tangannya meraih pentungan atau benda yang ada di dekatnya dan mengarahkannya ke kepala anda, segera ambil benda apa pun untuk melindungi kepala anda, dan sebaiknya anda segera pergi sebelum benda itu benar-benar mendarat di kepala dan menimbulkan masalah bagi anda. Maklumlah, seorang penganut salafy sering ekstrim sekali kalau sudah menghadapi orang yang mereka anggap sesat.

Selain marah dan mencak-mencak ada juga reaksi lain yang muncul saat diajak dialog, yaitu dengan mengajak anda meneruskan dialog. Lalu kira-kira apa jawaban yang akan keluar dari penganut salafy?
1. Membela diri Mereka membela diri dengan mengklaim bahwa riwayat yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah dhaif, biasanya mereka juga mengatakan bahwa hadis itu harus bersanad shahih karena jika tidak maka harus ditolak. Tentu saja ucapan mereka ini adalah dusta. Buktinya silakan pembaca yang budiman membuka kembali tulisan satria di bagian pertama dan kedua, disana sudah disebutkan bukti-bukti bahwa riwayat yang menyatakan adanya perubahan Al Qur’an di sisi salafy adalah shahih. Ulama salafy tidak bisa berkelit akan fakta ini sehingga satu-satunya usaha mereka untuk menutupi keyakinannya adalah mengelabui orang islam yang awam yang hampir sebagian besar minim sekali ilmunya tentang sanad hadis.

2. Takwil Nasakh Di antara cara mereka adalah dengan mengakui adanya riwayat-riwayat itu, tetapi mereka memiliki pemahaman lain, yaitu katanya riwayat-riwayat itu memiliki makna yang berbeda dengan yang tertulis, maksud ulama salafy dengan pernyataan itu adalah mengatakan bahwa sebenarnya perubahan Al Qur’an yang dimaksud adalah nasakh tilawah. Ini sungguh aneh, karena dalam pernyataan para sahabat Nabi pernyataan yang jelas menunjukkan terjadinya perubahan, contoh nyata riwayat yang ada di bagian kedua, Ibnu Umar mengatakan “ayat Al Qur’an yang hilang” bukan yang dinasakah, sejak kapan hilang sama artinya dengan nasakh. Atau barangkali penganut salafy itu belum bisa membaca dan menulis bahasa arab. Lalu bagaimana dengan “kawan kita” yang mencoba menafsirkan riwayat salafy dengan makna lain? Barangkali pembaca bingung mengapa ada “teman kita yang salafy” begitu berani memahami sendiri isi riwayat salafy dan mendustakan aqidah sahabat Nabi. Satria juga bingung dengan ulah penganut agama salafy ini.

3.Riwayat seperti itu tidak ada. Lebih parah lagi, bisa jadi kawan anda itu menyangkal adanya riwayat perubahan Al Qur’an dalam kitab pegangan salafy. Barangkali anda yang telah membaca bagian pertama dan kedua makalah ini akan bertambah bingung, bagaimana tidak? Riwayat-riwayat tersebut telah dikutip oleh para Ulama besar salafy. Lalu mana yang benar? Katakan saja pada kawan anda, barangkali anda belum pernah menelaah kitab salafy karena anda tidak bisa berbahasa arab. Atau anda adalah korban penipuan dari ustad salafy anda yang sengaja menipu agar anda tetap masuk salafy Karena jika anda tahu bahwa salafy meyakini perubahan Al Qur’an, ustad anda takut kalau anda keluar dari salafy.Mungkin anda pembaca yang budiman tidak heran ketika yang menyangkal adalah orang awam yang polos, tetapi jika yang menyangkal adalah ulama salafy maka anda perlu merasa heran. Tapi mungkin sebagian pembaca sudah mengetahui watak ulama salafy yang mempermainkan ayat-ayat Allah dan hadis Rasul untuk kepentingan hawa nafsunya. Naudzubillah.

Pada makalah ini mari para pembaca yang budiman melihat riwayat yang ditulis oleh ulama besar salafy Nuruddin Ali bin Abu Bakar Al Haitsami dalam Majma az Zawaid jilid 7 hal 311:

وعن عبد الرحمن بن يزيد – يعني النخعي – قال : كان عبد الله يحك المعوذتين من مصاحفه ويقول : إنهما ليستا من كتاب الله تبارك وتعالى
 
Dari Abdurrahman bin Yazid –yaitu An Nakha’i- berkata “Abdullah bin Mas’ud menghapus Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Nas) dari mushafnya dan berkata “itu bukan bagian dari Kitab Allah”.
 
Haitsami mengomentari riwayat ini dengan berkata:

رواه عبد الله بن أحمد والطبراني ورجال عبد الله رجال الصحيح ورجال الطبراني ثقات
 
Telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dan Thabrani, dimana perawi Abdullah adalah perawi shahih dan perawi Thabrani adalah orang-orang tsiqat terpercaya.

Ulama kenamaan salafy Jalaludin Suyuthi dalam kitab Itqan jilid 1 hal 213 menuliskan:

وأخرج عبد الله بن أحمد في زيادات المسند والطبراني وابن مردويه من طريق الأعمش عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد النخعي قال كان عبد الله بن مسعود يحك المعوذتين من مصاحفه ويقول إنهما ليستا من كتاب الله وأخرج البزار والطبراني من وجه آخر عنه أنه كان يحك المعوذتين من المصحف ويقول إنما أمر النبي أن يتعوذ بهما وكان لا يقرأ بهما أسانيده صحيحة
 
Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Ziyadah Musnad, Thabrani dan Ibnu Mardawayh dengan jalan ‘Amasy dari Abi Ishaq dari Abdurrahman bin Yazid An Nakha’I yang berkata “Abdullah bin Mas’ud menghapus Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Nas) dari mushafnya dan berkata “itu bukan bagian dari Kitab Allah”. Dan dikeluarkan oleh Bazzar dan Thabrani dengan perawi yang sama bahwa “Abdullah bin Mas’ud menghapus Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Nas) dari mushafnya dan berkata “sesungguhnya Nabi memerintahkan itu sebagai ta’awudz” sehingga dia tidak menuliskannya. Semua riwayat ini shahih sanad-sanadnya.

Dan mungkin pembaca masih ingat dengan hadis yang masyhur dari mahzab salafy yang diriwayatkan oleh ulama panutan salafy Bukhari Muslim dan Tirmidzi [kitab Sunan Tirmidzi jilid 5 hal 674]

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم خذوا القرآن من أربعة من ابن مسعود و أبي بن كعب و معاذ بن جبل و سالم مولى أبي حذيفة
 
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ambillah al Qur’an dari empat orang yiatu Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal dan Salim maula abi huzaifah.
Tirmizi mengatakan kalau hadis ini hasan shahih dan ulama salafy yang terkenal Albani Al Mutanaqidh juga menshahihkan hadis ini.

Lagi-lagi dalam mahzab salafy Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat islam untuk mengambil Al Qur’an salah satunya dari Ibnu Mas’ud. Tentu saja jika Ibnu Mas’ud ini sesat atau menyimpang maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pasti tidak akan mengatakan “ambillah Al Qur’an dari Ibnu Mas’ud”.

Perhatikanlah wahai pembaca yang budiman kitab panutan salafy memuat riwayat shahih kalau Abdullah bin Mas’ud dengan tegas mengatakan kalau Mu’awidzatain yaitu surah Al Falaq dan An Nas adalah bukan bagian dari kitab Allah Al Quranul Karim. Jelas sekali ini adalah aqidah yang diyakini oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan telah dishahihkan oleh ulama salafy sendiri. Sehingga sebagai seorang salafy sejati usdah sewajarnya untuk mengikuti aqidah Ibnu Mas’ud sebagai sahabat penghulu para salaf yaitu meyakini kalau Al Falaq dan An Nas bukan bagian dari Al Qur’an. Aqidah salafy ini jelas bertentangan dengan aqidah kita umat islam yang sudah sangat mengenal bahwa Al Falaq dan An Nas adalah dua surah yang tertera dalam Al Qur’an.

Dalih apakah yang akan dikemukakan oleh para penganut salafy tersebut. Mau mendhaifkan maka jelas sekali kebodohannya bukankah ulama mereka telah menshahihkannya, mau berkata nasakh tilawah sudah jelas gak nyambung, riwayat itu mengatakan kalau Al Qur’an sekarang sudah mengalami penambahan dua surah yang seharusnya tidak termasuk Al Qur’an yaitu Al Falaq dan An Nas. Apakah sesuatu yang dinasakh justru malah bertambah? Jika iya maka salafy itu memang parah sekali otaknya. Mau menakwilkan, lihat baik-baik pembaca budiman sahabat Ibnu Mas’ud berkata “itu bukan bagian dari Kitab Allah” adakah yang lebih jelas dari ini. Menakwilkan hanyalah alasan yang dicari-cari. Apalagi mau bilang riwayat itu nggak ada, malah menunjukkan kedunguan salafy sendiri.

Satu-satunya yang harus dilakukan adalah menolak hadis ini tetapi bagaimana mungkin seorang salafy bisa mendustakan hadis yang shahih, jika mereka berani maka bagaimana kita bisa menjamin keshahihan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab induk salafy. Bukankah mereka senantiasa berdengung akan kehandalan ilmu sanad hadis dalam mahzab mereka. Sudah jelas mendustakan hadis shahih berarti meruntuhkan pilar berdirinya manhaj salafy yang sudah tentu mustahil dilakukan oleh seorang salafy sejati. Waspadalah wahai pembaca yang budiman. Memang akidah sesat versi salafy yang meyakini perubahan Al Qur’an ini harus diwaspadai dan dikecam habis-habisan karena keyakinan ini merupakan pemisah yang nyata antara kita umat islam dengan mereka penganut agama salafy.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: