Pesan Rahbar

Home » » Mengenal Zoroaster Yang Berasal Dari Yunani

Mengenal Zoroaster Yang Berasal Dari Yunani

Written By Unknown on Saturday 27 December 2014 | 22:58:00


Kepercayaan akan yang metafisik menjadi tema penting dalam setiap peradaban manusia, yang kemudian terinstitusi dalam agama. Sejak manusia primitif hingga modern (bahkan posmodern[?]), dari ujung Timur hingga ujung Barat, agama tetap bertahan sebagai tema penting dalam menghadapi persoalan-persoalan ummat manusia.

Kehadiran agama dalam sejarahnya menjadi jawaban atas ketidakmampuan manusia menghadapi alam. Walaupun, dalam pemikiran yang paling mutakhir, ada semacam upaya para pemikir menghindari dari yang metafisik karena ia menjadi sumber dehumanisasi. Kenyataannya, konsep yang absolut tidak mau beranjak dari pemikir yang paling sekuler sekalipun.

Auguts Comte, seorang sosiolog dan filsuf asal Perancis, mengklasifiskasi perkembangan masyarakat manusia menjadi 3 fase: fase agama, fase metafisik dan fase positivistik. Melalui klasifikasinya tersebut, ia meramalkan bahwa pada zaman modern tugas agama akan digantikan oleh ilmu-ilmu positivistik, ilmu-ilmu yang disandarkan pada data empiris dan diolah secara rasional. Tanpa agama, alam akan dapat ditaklukan.

Tampaknya, ramalan Comte tersebut belum terbukti, untuk tidak mengatakan gagal sama sekali. Sampai detik ini, agama pada level konsep masih menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan intelektual. Pada level kuantitas penganutnya juga tidak berkurang. Malah, bukan hanya penganutnya yang semakin berkembang, jumlah agamanya pun semakin beragam.

Nampaknya, dari sisi kuantitas, agama-agama semitik memiliki penganut paling besar. Fenomena ini menjadi penting karena secara logis kita akan segera menyimpulkan bahwa konsep berketuhanan dengan cara yang monoteistik lebih bisa diterima masyarakat dunia ketimbang sistem lainnya. Kesimpulan ini tidak bermaksud bahwa agama di luar agama semitik lebih buruk secara konseptual karena kita tahu bahwa penyebaran agama juga melalui banyak cara, salah satunya politik: pencitraan lewat kekuasaan.

Zoroastrianisme adalah agama pertama yang menghadirkan konsep monoteisme. Sebagai sebuah sistem teologi, pemikiran zoroastrianisme sangat “modern” pada zamannya. Ada “kebaruan” yang ia bawa dan capai dalam konsep dan pemahaman tentang realitas. Perubahan persepsi tentang Sang Kuasa ini, tidak hanya merubah sistem pemikiran, tapi juga peradaban hingga kini. Zoroastrianisme mengubah wajah dunia menjadi sangat indah, bak taman bunga yang keindahannya terletak perayaan keragaman warna di dalamnya.

Maka tak heran jika tradisi Yahudi, Kristen, Islam dan lainnya yang menganut faham monoteisme, tentu saja, berhutang pada agama terua di Iran ini. Klaim ini kedengarannya berlebihan memang, namun pendapat ini berdasarkan penelitian antropologis yang serius. Dan, pendapat ini perlu kita apresiasi dalam kerangka pola pikir yang terbuka terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial, terutama sejarah (historis).

Tulisan ini bermaksud memaparkan tentang agama monotheisme paling tua tersebut secara deskriptif. Walaupun, dari sana, kemudian kita akan menemukan letak pengaruh dan “jejak” konsep Zoroastrianisme dalam agama semitik.


Sejarahnya

Kapan tepatnya Zoroastrianisme lahir sebagai agama? Tidak ada jawaban yang pasti. Akan tetapi kemudian, para peneliti bersepakat bahwa Zoroastrianisme hadir di dunia kira-kira 2000-1800 SM. Pendapat ini berdasarkan zaman pada saat “tokoh utama” agama ini hidup: Zoroaster atau—orang Yunani lebih suka memanggilnya—Zaratustra.

Ini berarti zoroastrianimse manggung di pagelaran dunia ini 12 abad sebelum Thales berpikir tentang hakikat realitas. Kenapa Thales? Karena, konsepsi Thales tentang realitas sudah merepresentasikan monotheisme: “sumber realitas” adalah AIR. Artinya, sebelum dia mampu berpikir tentang “sumber realitas”, atau semasa muda, sedang mengalami kebudayaan yang didasarkan pada ke-Esa-an “sumber realitas” tersebut.

Agama ini membawa konsep monoteisme terlihat pada lima nyanyian atau puisi Zarathustra. Dalam lima puisi atau nyanyian Zarathustra ini, Tuhan digambarkan sebagai Ahura Mazda atau The Wise Lord (bahasa saya, Tuannya kebijaksanaan). Kelima sajak tersebut disebut sebagai Gathas. Dalam batas-batas tertentu, Gathes, sebagai kitab penting agama Zoroastrianisme, seolah berkata bahwa Zoroaster adalah nabi dan pernah bertemu dengan Tuhan—dalam pengertian ruhani. Walaupun, tentu saja, ini tidak bisa dibandingkan dengan agama lain yang sumber sejarahnya bejubel.

Secara garis besar pada lima sajak tersebut, Zarathustra menyapa Tuhan dengan Lord. Ini berarti “sesuatu” atau “seorang”, ada ketunggalan di situ karena kemudian sang Lord disifati dengan Invisible Bonovelent Spirit atau jiwa kebajikan yang tak terlihat. Ia adalah sesuatu atau seorang yang sungguh beda dari yang lain yang tidak tersifati oleh Invisible Bonovelent Spirit.

Dengan tidak perlu berpanjanglebar, dari data ini kita bisa menyimpulkan bahwa Zoroastrianisme adalah agama monotheisme pertama di dunia. Kesimpulan ini juga adalah kesimpulan Dr. Pallan R. Ichaporia, seorang pimpinan pada The Research and Preservation Commitee of The Federation of Zaratustra Assosiation di Amerika Utara, dalam artikelnya Zoroastrianism.


Model pewarisan tradisi

Seperti telah disinggung bahwa Thales sebagai pemikir Yunani pertama yang mencara “sumber realitas”, menemukan bahwa “sumber realitas” ternyata esa: AIR. Hal lain yang menarik untuk saya sampaika di sini adalah bahwa Zarathustra begitu terkenal di Yunani saat itu. Walalupun saat itu pewarisan tradisi kebudayaan masih terbatas pada wilayah oral namun pandangan Zoroaster tentang Tuhan dan hakikat alam sangat membekas dalam peradaban Yunani.

Salah satu bukti menarik, saya kira, bahwa Nietzsche, seorang filolog ulung modern, menulis buku khusus tentang Zarathustra yaitu Thus Spoke Zarathustra. Apa hubungannya? Demikian, Nietzsche sebagai seorang filolog ia akan meneliti bahasa secara genealogis, bahasa pada pusaran pertamakalinya muncul. Dan, model penelusuran dalam filologi ini merujuk ke karya-karya Yunani kuno.

Ini berarti, sajak-sajak atau puisi karya Zauarathustra adalah salah satu karya penting zaman itu. Konsekuensinya, pengaruh pemikiran Zarathustra tak terhindarkan dalam kebudayaan masyarakat Yunani kala itu. Karena Yunani waktu itu adalah pusat peradaban, berati Zarathustra telah dikenal secara turun temurun sejak sajak-sajaknya didengar oleh para pengikutnya. Dan, hal ini bertahan hingga peradaban Yunani runtuh, dan bahkan hingga zaman kita sekarang.

Pewarisan tradisi ini tidak hanya berpengaruh di kalangan elite, namun juga mampu disosialisasikan menjadi kultur masyarakat saat itu, terutama Indo-Eropa, yang sekarang kita kenal Iran. Selain peran Nabi, agama Yahudi, Kristen dan Islam mendapat tempat di hati penganutnya adalah karena sistem teologi monotheistik. Karena secara kultural masyarakat di belahan dunia bagian Barat memiliki keyakinan yang monoteistik akan realitas. Sebagaimana ajaran dan pandangan para filsuf tentang realitas yang hanya benar secara logis manakala sumbernya itu tunggal. Begitupun ajaran Zaratustra, realitas dipandang sebagai dualisme tapi lahir dari sumber yang tunggal.


Sumber

Lalu bagaimana zoroastrianisme bertahan dan terwarisi hingga kini, berarti ia telah bertahan selama 3 milenium? Jawabannya: karya. Betul bahwa salah satu kesulitan para sarjana agama tentang Zoroaster terletak pada keterbatasan sumber. Akan tetapi, sumber yang terbatas itulah yang membuat agama ini sanggup bertahan selama itu.

Salah satunya adalah The Avesta. Avesta adalah kumpulan teks yang terkumpul dalam bentuk tulisan yang ditulis kira-kira abad ke 6 M. Hampir seluruh “penanda” dari zoroasterianisme ada dalam Avesta ini. Di dalamnya termuat: Yasna (tindakan pemujaan), Yashts (himne pemujaan kepada Entitas ke-Tuhanan (Divine Entities), Vendidad (mantra untuk para iblis), Vispered (pemujaan kepada para guru), dan lain sebagainya. Avesta ini dari periode ke periode di Iran timur terus diapresiasi oleh seluruh peradaban yang pernah singgah di Iran, termasuk di dalamnya Islam. Terlebih sekarang, setelah orientalisme dan studi agama mulai dipelajari secara serius, agama ini menjadi perhatian banyak pengamat.

Selain Avesta, rujukan lain untuk dapat tahu banyak dan kemudian menafsirkannya lebih jelas tentang zoroastrianisme yaitu buku Pahlavi. Buku ini ditulis kira-kira abad 9 M di daerah Iran Tengah. Buku ini menjadi penting karena di dalamnya juga termuat Zand (interpretasi): semacam exegesis terhadap Avesta, Bundahishn (buku tentang penciptaan awal), Zand-Agahih (pengetahuan tentang Zend: termasuk di dalamnya konsop tetang kosmologi dan eskatologis), Denkard (berkeagamaan), dan lain sebagainya. Sejak buku pahlavi ini ditulis, bersamaan dengannya Iran dikuasai Islam, dan sejak itu pula pengikut zoroaster menjadi minoritas. Walaupun minoritas, buku Pahlavi berkembang dan menghadirkan tradisi pemikiran yang lebih maju perihal Zarathustra terutama pada periode Sasanid dan post-Islam.


Keunikan Zoroatrianisme

Hal yang membuat zoroaster menjadi lain dari yang lainnya, terletak pada konsepsi tentang monoteisme. Pada zamannya, konsep ini bisa dikatakan sebagai bentuk pemikiran maju karena di Iran, di indo-Eropa dan Asia tengah hanya zoroaster yang secara eksplisit berteologi monoteistik.

Di Yunani, Zarathustra lebih dikenal sebagai ahli hikma, atau orang bijak atau–bahasa saya—filsuf ketimbang pendiri agama Zoroaster. Sebutan ini tentu tidak berlebihan untuk seorang zarathustra karena Gathas, karya terpentingnya dalam bentuk nyanyian, merupakan salah satu dari konseps kebijaksanaan (Wisdom) yang terpenting saat itu.

Akan tetapi, konsep monoteisme yang dibawa zoroaster berpijak dalam dualisme etis. Membingungkan memang (!) bagaimana mungkin konsep yang dualistis sekaligus juga monoteistik? Secara simplistik, persoalan ini bisa difahami sejauh kita menyadari bahawa dualisme yang di maksud di sini dalam kerangka etika: Spenta Mainyu (jiwa kedermawanan) dan Angra Mainyu (jiwa kejahatan). Atau lebih sederhana lagi kita katakan sebagai baik dan buruk. Kebaikan diwakili oleh cahaya dan kejahatan diwakili oleh gelap. Dua “entitas” (?) ini merupakan anak sah dari Ahura Mazda (Tuhan). Jadi, Tuhan dalam konsepsi Zoroaster adalah “sesuatu” yang melampaui dualisme etis tersebut dengan pertimbangan mitos tentang pilihan-pilihan (Choices). Dua kekuatan yang saling bertentangan hanya mungkin dileburkan dalam satu entitas yang dianggapnya sebagai pencipta dua kekuatan tersebut.

Pada zamannya ini adalah pemikiran yang maju berdasarkan fakta historis bahwa zoroaster berada dalam lingkungan agama yang formalistik-ritualistik. Sementara ia lebih menawarkan penekanan ke arah batin atau mistik, yang menurut beberapa ahli merupakan akar dari tradisi mistisisme Aryan, sebuah tradisi mistik yang sangat banyak mengapresiasi pengetahuan. Tentu saja, pada perkembangan selanjutnya, terutama hingga kini monoteisme-dualistik bukanlah “baranga baru” lagi.


Teologi

Seperti telah disinggung di atas bahwa teologi zoroastrianisme itu monoteisme-dualistik. Dulisme ini merupakan konsekuensi alamiah dari konsep monoteismenya. Karena dalam ajaran zoroaster kejahatan sesungguhnya telah tersedia di dunia ini. Sementara, seperti juga telah disebut di atas, untuk menjembatani keduanya—baik dan jahat—yaitu dengan mitos tentang pilihan-pilihan (Choices).

Daivas, sebagai dewa kejahatan, tak lain adalah ide turunan dari pengetahuan jelek kemudian pengetahuan tersebut dikembangkan menjadi pengetahuan salah dan pada akhirnya ia menjadi jahat, “menjadi jahat” tidak lebih disebabkan karena pilihan yang salah. Baik dan benar adalah dua cara berfikir. Jika ia dua cara maka menjalani salah satunya: pilihan. Kejahatan di sini, dalam tradisi zoroaster, menjadi penting karena bagaimana bisa mengukur kebaikan tanpa kejahatan, kebenaran tanpa kesalahan, anatar hidup dan tidak hidup. Di sini pulalah ide kemanusiaan (humanity) akan bisa difahami. Dua pertentangan yang akhirnya saling mengandaikan ini melebur dalam Ahura Mazda.

Posisi Tuhan atau Ahura Mazda terletak melampaui dua sudut yang bertentangan ini. Melampaui karena Mazda adalah pencipta dua pertentangan tersebut. Dalam Yasna 44.3-7 Zaratustra bertanya tentang banyak hal: kebenaran, kebaikan, pengetahuan, kekuatan dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan ke-berlingkupan (Wholeness) dan keabadian (Immortality) sang “Tuan Kebijaksanaan”. Dalam Gathas, tuhan dipersonovikasi menjadi subjek berketuhanan (Divine Subject).


Kosmologi dan Eskatologi

Konsep kosmogoni zoriastrianisme tersusun dalam 3 momen: penciptaan dunia, pewahyuan agama Mazda, dan trasfigurasi akhir. Pada dasarnya diyakini di sini bahwa apapun yang tercipta di muka bumi ini terdiri dari dua: spiritual dan material, jiwa dan raga. Jadi dualisme Cartesian sebenarnya sudah sejak zaman zaroaster diyakini adanya (!)

Proses penciptaan berawal dalam yang spiritual memiliki embrio menuju yang material, embrio ini kemudian mengembang menjadi alam semesta. Akan tetapi, jika spiritualnya adalah kejahatan (evil) maka sulit tercipta menjadi materi, satu-satunya kemungkinan menjelma adalah adanya ketercampuran dengan hawa baik. Kemudian semesta ini hadir berdasarkan susunan: Langit yang terdiri dari batu dan kristal, air, bumi, tumbuhan, binatang dan lalu manusia. Semua ini dijelaskan dalam Gathes yang merupakan wahyu atau petunjuk dala agama Mazda.

Dan akhirnya ketika meninggal transfigurasi alam akan berakhir dalam keabadian. Di sinilah letak konsep yang juga sangat berpengaruh terhadap pemikir dan agama selanjutnya di kawasan indo-iran: eskatologi. Dalam zoroastrianisme, jiwa yang baik akan mengarah ke surga dan yang jahat akan terjatuh ke neraka. Antara yang baik dan yang jahat memiliki kedudukan yang sama. Artinya keduanya berada pada tingat yang sederajat, orang akan berada di pihak mana akan sangat tergntung pilihan hidupnya, tergantung mitos tentang pilihan (mhyte of choice).

Proses pencapaian ke surga bagi jiwa yang baik bergerak dalam 3 tahap, atau cahaya: bintang (stars), Bulan (the moon) dan Matahari (The Sun). Begitupun dengan kejahatan digambarkan dengan kegelapan. Jelaslah bahwa konsep ini berpengaruh dalam agama monoteistik selanjutnya. Kepercayaan terhadap hari pembalasan menjadi salah satu titik tolak etika dalam semua agama. Entah modelnya surga-neraka atau reinkarnasi.


Catatan akhir:
Sebagai catatan akhir tentu saja perlu diakui di sini bahwa tulisan di atas merujuk pada Encyclopedy of religion. Tetap saja penelitian tentang agama zaroaster, sesungguhnya, tidak cukup. Walaupun demikian, kami yakin “catatan kecil” ini dapat memberikan informasi yang cukup sebagai pengantar bagi orang yang tertarik memperlajari zoroastrianisme secara lebih mendalam lagi.

Kita juga harus mengakui bahwa zoroaster adalah agama monoteisme pertama, dan Islam beserta agama-agama monoteistik lainnya, berhutang ke Zoroaster. Karena dialah pembawa kesegaran pemikiran dan—dalam pengertiannya yang sangat primitif—awal perubahan atau pencerahan keluar dari mitos lama ke mitos baru yang lebih humanistik. Meski hutang itu cukup dibalas dengan menghormati keberadaannya, tanpa bredel. Terima kasih.

(Berbagai-Sumber/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: