Pesan Rahbar

Home » » Kekerasan Atas Nama Agama Dalam Perspektif Fenomenologi

Kekerasan Atas Nama Agama Dalam Perspektif Fenomenologi

Written By Unknown on Saturday, 27 December 2014 | 23:08:00

Puing-puing Pesantren Syi'ah yang dibakar massa yang tidak bertanggungjawab di Sampang, Madura

Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Saat itu saya sedang menonton TV One sekitar pukul 13.00 WIB ketika seorang penyiar menyampaikan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi tepat di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, Jawa Tengah. Seketika saya tersentak sambil bergumam mengapa peristiwa seperti itu terjadi lagi di negeri ini. Pasalnya, pada bulan Ramadan yang lalu saya sempat menjadi pembicara dalam konferensi internasional di depan para pemimpin agama Katolik dari banyak negara, mulai Amerika Serikat, negara-negara Kepulauan Pasifik, Jerman, Filipia, Australia, Jepang, Selandia Baru, negera-negara Afrika, Lebanon, Turki, Thailand, Papua New Guniea, Singapura, Mesir, dan Indonesia sendiri. Saya berbicara tentang perjalanan Islam di Indonesia sepuluh tahun terakhir, tepatnya sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Saya sampaikan bahwa Islam sebagai agama wahyu memiliki misi ‘rahmatan lil alamin’, yang artinya Islam itu agama yang membawa rahmat bagi semua, termasuk bagi orang-orang yang bukan Islam sekalipun, lingkungan, dan alam sekitarnya. Sebagai pembawa rahmat, Islam menjamin kehidupan yang sejuk, nyaman serta aman bagi siapa dan apa yang bersanding dengannya. Karena itu, semoga kekerasan atas nama agama tidak terjadi lagi di Indonesia. Seputar itu yang saya sampaikan kepada peserta yang semuanya adalah pemuka umat Katolik di negaranya masing-masing.

Para peserta tampaknya setuju dengan apa yang saya sampaikan, walau ada yang skeptik dengan penjelasan saya karena peristiwa kekerasan atas nama agama begitu sering terjadi, di banyak negara, termasuk di Indonesia, dengan alasan jihad. Saya tidak tahu bagaimana perasaan peserta yang bertanya itu setelah mendengar (saya yakin pasti telah mendengar) bahwa bom bunuh diri dengan label agama terjadi lagi di Indonesia, kali ini di Solo. Saya jelaskan bahwa tidak ada agama, termasuk Islam, yang mengajarkan kekerasan seperti itu. Pelakunya adalah orang yang sejatinya belum paham benar mengenai agama, kendati merasa paling benar dalam menafsirkan ajaran agama. Sebenarnya kekerasan atas nama agama tidak hanya terjadi pada agama Islam, yang pelakunya adalah orang Islam. Di masyarakat Kristen kekerasan sejenis juga terjadi. Dalam sejarah bisa kita pelajari bahwa Perang Salib yang dicetuskan oleh Sri Paus Urban II abad sebelas bukan saja melancarkan serangan secara besar-besaran terhadap orang Yahudi dan Islam (yang dianggap sebagai musuh utama), melainkan juga terhadap orang-orang Kristen kelompok Ortodoks.

Umumnya, para pelaku kekerasan didorong oleh keyakinan keagamaan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perang suci, dan itu sesuai dengan perintah Tuhan dalam teks kitab suci. Saya yakin pelaku kekerasan di Solo yang diduga seorang diri juga tidak lepas dari pemahaman keagamaan seperti itu. Dia yakin akan masuk surga setelah melakukan bom bunuh diri. Nah, andai tidak masuk surga, bagaimana? Padahal, sudah terlanjur mati dan tidak mungkin bisa kembali.

Menurut laporan pihak keamanan, untuk sementara korban yang meninggal hanya satu orang dan diduga pelaku pembomam itu sendiri. Tetapi yang luka, berat dan ringan, cukup banyak. Bagi saya permasalahannya bukan berapa jumlah korban, baik yang meninggal, luka berat maupun ringan, tetapi peristiwa itu terjadi di depan sebuah tempat ibadah, yaitu gereja. Siapa pun tahu bahwa gereja adalah simbol institusi sebuah agama, yang sama-sama kita hormati. Islam mengajarkan untuk hidup saling menghormati para pemeluk agama dan simbol-simbol institusi keagamannnya, apa itu gereja, pure, wihara, dan kuil. Sasarannya jelas, yakni para jama’ah yang keluar atau masuk ke gereja. Karena itu, tidak bisa dipungkiri peristiwa tersebut adalah peristiwa kekerasan atas nama agama. Pertanyaan akal sehatnya adalah apa salahnya para jamaah gereja itu yang menjadi sasaran bom bunuh diri? Andai peristiwa itu terjadi di jalan atau tanah lapang dan pelaku sendiri saja korbannya, maka dampaknya tidak sehebat sekarang ini.

Tentu saja peristiwa semacam itu mengusik ketenangan hidup beragama. Bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, peristiwa semacam itu mudah sekali diseret ke arena konflik yang lebih luas dengan mengipas-ngipasi bahwa pelaku pemboman beragama X dan sasaran peristiwa beragama Y. Karena itu, peristiwa pemboman merupakan bentuk perang antara agama X melawan agama Y. Jika itu terjadi, maka konflik horisontal sebagaimana terjadi di Poso dan Ambon beberapa waktu lalu yang memakan demikian banyak korban akan terjadi lagi. Maka, energi kita yang saat ini mestinya terfokus pada penyelesaian berbagai persoalan bangsa akan terkuras lagi, sehingga bangsa ini memang tidak akan pernah keluar dari persoalan yang seharusnya bisa dihindari. Konflik antarsuku dan antarpemeluk agama di negeri ini seolah terua mewarnai perjalan kita sebagai bangsa. Ini ironis, sebab Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara dengan kehidupan beragama yang baik justru sering terjadi peristiwa kekerasan atas nama agama. Beberapa kawan asing saya sering bertanya mengapa Indonesia yang dikenal sebagai negara ‘religious’ justru kekerasan dan konflik bernuansa agama sering terjadi.

Usai siaran TV tentang peristiwa itu, saya membuka referensi tentang kekerasan atas nama agama, atau istilah menterengnya radikalisme agama. Ternyata peristiwa kekerasan tidak sesederhana yang kita perkirakan. Perspektif fenomenologi mengatakan tidak ada peristiwa sekecil apa pun yang tidka bermakna. Karena itu, peristiwa bom bunuh diri di Solo itu juga sarat makna, walau korbannya hanya satu dan diduga pelakunya sendiri. Selain selalu bermakna, setiap peristiwa tidak pernah terpisah dari aneka kasus atau persitiwa yang lain. Jika begitu, peristiwa bom bunuh diri di Solo itu juga tidak lepas dari konteks makro dan mikro yang ada, baik secara sosial, politik, bahkan ekonomi di masyarakat kita saat ini. Dalam konteks makro, peristiwa Solo itu tidak lepas dari berbagai gejolak dan persoalan sosial dan ekonomi yang membuat hidup ini semakin sulit tanpa tahu kapan akan berakhir. Bisa juga, sang pelaku melihat ulah para koruptor yang dengan seenaknya memakan uang rakyat, termasuk uang si pelaku bom itu juga. Gonjang-ganjing politik negeri ini, perseteruan DPR-KPK, kasus Gayus, kasus Nazaruddin, korupsi di pembangunan Wisma Atlet Sea Games, isu suap menyuap di kalangan Panitia Anggaran di DPR tak bisa dipungkiri semuanya merupakan lingkaran makro yang menambah sumpek pelaku. Maka jalan pintas lewat bom bunuh diri sebagai bentuk ekspresi kejengkelannya. Materi dan doktrin agama yang diajarkan kepada pelaku di lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal (baca: Pondok Pesantren) tidak luput dari faktor penting penyebab tindakan kekerasan atas nama agama. Sebagian besar pelaku kekerasan pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.

Dalam konteks mikro, mungkin sang pelaku mengalami kesumpekan hidup dan tidak mampu mencari jalan keluar. Akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan kekerasan bom bunuh diri. Tak bisa diabaikan juga pemahaman agama yang sangat sempit, khususnya mengenai jihad, menjadi salah satu penyebab tindakan kekerasan. Saya teringat pelaku bom bunuh diri di Bali, Amrozi, yang sedikitpun tidak merasa menyesal setelah bom yang dia ledakkan memakan korban hampir 200 orang meninggal. Sebagian besar adalah warga asing yang sedang berwisata di Bali. Sejak ditangkap, diperiksa, diadili hingga menjelang eksekusi mati, Amrozi masih menebar senyum dan tawa tanpa sedikitpun menyesali perbuatannya. Bahkan, dia merasa bangga telah melakukan tindak kekerasan dengan korban demikian banyak. Perilaku Amrozi tentu sangat menjengkelkan masyarakat luas yang kontra dengan tindakan tersebut, apalagi keluarga korban. Dia sangat yakin ulah jihadnya (?) akan diterima oleh Tuhan. Konon, keluarganya sangat bangga karena dia telah mati syahid yang diyakininya akan langsung masuk surga.

Sebagai orang yang awam terhadap fenomena kekerasan, saya tidak habis pikir bagaimana orang begitu yakin bisa masuk surga dengan cara membunuh orang lain yang tidak berdosa. Padahal, agama apapun mengajarkan bahwa hidup dan mati adalah kuasa Tuhan, sehingga orang tidak berhak membunuh orang lain atas nama apa pun. Logikanya sederhana karena Tuhan yang memberi hidup manusia, maka Tuhan pula yang berhak mematikannya. Hampir bisa dipastikan bahwa para korban bom bunuh diri adalah orang-orang tak berdosa yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa dan pelakunya. Jadi fenomena kekerasan bom bunuh diri termasuk kejahatan luar biasa. Bagaimana tidak? Para jamaah yang baru saja keluar dari gereja selesai kebaktian hari Minggu menjadi sasaran bom bunuh diri. Apa salah mereka?

Tampaknya, jika menggunakan perspektif fenomenologi sebagai pisau analisis, maka dapat disimpulkan bahwa dengan melihat aneka ragam peristiwa sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini yang kuantitas dan kualitasnya terus meningkat akhir-akhir ini, dapat disimpulkan bahwa peristiwa kekerasan atas nama agama tampaknya akan tetap terus terjadi. Ini ironis dengan kehidupan demokrasi yang terus berkembang di Indonesia. Kehidupan demokrasi yang kita nikmati saat ini yang menganjurkan dan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, saling menghargai, toleransi dan pengertian antar-sesama mestinya kemudian diikuti dengan kehidupan yang semakin harmonis, jauh dari nilai-nilai kekerasan, apalagi atas nama agama. Sebab, tujuan akhir dari agama, apa pun agamanya, adalah meringankan beban dan penderitaan pemeluknya, sehingga bisa hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat.

Para ahli radikalisme agama mungkin bisa memberikan penjelasan lebih gamblang bagaimana relasi antara demokrasi dan kekerasan agama. Selama ini demokrasi merupakan salah satu sistem politik terbaik yang telah dianut oleh sebagian besar negara di dunia, karena berbagai kelebihannya. Negara yang tidak menganut sistem demokrasi dianggap otoriter dan itu merupakan lawan bersama masyarakat global abad ke 21.

Tak ketinggalan Indonesia juga mengadopsi sistem demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang harganya begitu mahal. Idealnya, dengan semakin tertatanya kehidupan yang lebih demokratis di negeri ini diikuti dengan kehidupan yang lebih harmonis. Saya yakin selama ini para penggagas sistem demokrasi berasumsi bahwa demokratisasi berjalan linier dengan harmonisasi, sehingga demokrasi dianggap plihan sistem politik terbaik saat ini di dunia. Tetapi kenyataannya kok tidak. Buktinya, tak terhitung pula berbagai kekerasan terjadi menyertai pilkada di beberapa daerah di negara kita. Ketika sedang menyelesaikan tulisan ini, saya juga menyaksikan lewat layar TV kekerasan pasca-pilkada di Papua. Beberapa korban yang meninggal dan luka sudah berjatuhan. Karena itu, kekerasan tidak saja atas nama agama, tetapi juga atas nama demokrasi tampaknya akan terus terjadi di negeri ini dan saya tidak tahu kapan akan berakhir.!

(Tulisan-Terkini/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: