Pesan Rahbar

Home » » Koran Kayhan: Arab Saudi dan Yordania Bantu Mossad dan CIA Teror

Koran Kayhan: Arab Saudi dan Yordania Bantu Mossad dan CIA Teror

Written By Unknown on Wednesday 22 April 2015 | 04:38:00


Kayhan: Arab Saudi dan Yordania Bantu Mossad dan CIA Teror Imad Mughniyah

Koran Kayhan Iran hari Senin (7/4) menulis, menurut laporan situs Fars mengutip sebuah situs Suriah, sebuah sumber yang dapat dipercaya terkait teror Imag Mughniyah, komandan Hizbullah Lebanon mengatakan, “Badan intelijen Rezim Zionis Israel, Amerika, Arab Saudi dan Yordania terlibat dalam teror Imad Mughniyah.”

Sumber yang tidak ingin namanya disebutkan ini menjelaskan, “Para pejabat Arab Saudi meminta Amir Kuwait dan Amir Qatar menjadi mediator meminta kepada pemerintah Suriah agar mengundurkan hasil penyidikan atas teror Imad Mughniyah dan menghapus nama Arab Saudi dalam laporan tersebut. Menurut para pejabat Arab Saudi, masalah ini akan berakibat pada munculnya kembali perselisihan Ahli Sunnah dan Syiah di dunia Arab.

Sumber ini menambahkan, “Sangat mungkin sekali Damaskus akan menerima permintaan Riyadh yang disampaikan lewat mediasi Kuwait dan Qatar. Tentu saja dengan syarat Arab Saudi memberikan insentif kepada Suriah.” Menurutnya, bila mediasi Kuwait dan Qatar berhasil mempengaruhi Suriah, maka utusan khusus Arab Saudi segera menuju Damaskus.

Masih dari sumber Suriah, Saud Al-Faisal, Menteri Luar Negeri Arab Saudi hari Rabu dua minggu lalu melawat Suriah dengan tujuan membebaskan sejumlah intelijen Arab Saudi yang dua bulan lalu ditangkap pihak keamanan Suriah karena berniat membunuh Bashar Asad, Presiden Suriah namun negosiasi Al-Faisal tidak berhasil dan pulang dengan tangan hampa.

Laporan dari Gaza oleh Kayhan News

Laporan berikut ini sulit Anda dapatkan di media2 pro Barat; benar-benar laporan yg luar biasa! Saya terjemahkan dari koran terbesar di Iran, Kayhan, dari bahasa aslinya (Farsi). Sejarah kemenangan Hizbullah tahun 2005 insya Allah akan segera terulang!

**

Laporan dari Gaza oleh Kayhan News
“Saya tidak ragu bahwa Hamas akan dapat kami lenyapkan dan operasi ini; meskipun operasi ini tidak bertujuan untuk melenyapkan Hamas. Pada umumnya, Hamas-lah yang harus mengajukan permintaan gencatan senjata.”
Kata-kata ini disampaikan oleh Menlu Israel pd tgl 3 Januari atau sepekan sesudah dimulainya perang melawan rakyat Gaza dalam pertemuan dengan Nicholas Sarkozy, Presiden Prancis. 

*

Bukti-bukti banyak yang menunjukkan bahwa para pemimpin Zionis pada akhir hari ketiga perang sudah mengetahui bahwa kemungkinan untuk melemahkan Hamas secara total sudah tertutup, dan prediksi awal sebagaimana disampaikan oleh Meir Degan, Direktur Mossad mengenai kehancuran insfrastuktur dan kematian tokoh-tokoh utama Hamas dan Jihad Islam, ternyata salah besar.

Sebuah agen intelijen Israel yang berafiliasi dengan Mosad tiga hari yll mengeluarkan laporan yang menujukkan bahwa Mosad memulai perang 33 Hari di Lebanon juga berlandaskan informasi intelijen yang salah; klaim-klaim para pejabat intelijen Mossad telah menipu pejabat militer dan pemerintah Israel sehingga mrk menyerang Lebanon (dan akhirnya mengalami kekalahan—Pent. ).

Mosad kepada militer Israel mengatakan bahwa menurut laporan mata-mata mereka yang tinggal di Gaza, tempat persembunyian pasukan asli Hamas maksimal hanya 300 gedung dan semua perlengkapan militer mereka pun hanya terbatas di 300 gedung itu. Oleh karena itu, jika ke-300 gedung -yang alamat lengkapnya sudah diketahui lengkap dengan peta udaranya- dihancurkan, maka perjuangan Hamas secara total akan dilumpuhkan. Pada malam keempat perang, barulah pejabat politik dan militer Israel menyadari bahwa sekali lagi mereka tertipu oleh laporan-laporan dan kesimpulan keliru para pejabat intelijen.

Mossad dalam sidang yang dilakukan pada malam tersebut memberikan daftar baru 300 titik target kepada pejabat militer dan politik Tel Aviv; dan meminta mereka untuk menyerang 300 titik itu supaya Hamas lumpuh total. Angkatan Udara Israel ditugaskan untuk mengebom target-target itu. Namun seiring dimulainya tahapan baru ini, Hamas dan Jihad Islam juga memulai strategi baru, yaitu meningkatkan serangan rudal dan roket.

Pada hari keempat perang, Hamas menembakkan rudal-rudal dengan jarak 40 km ke kota-kota di Israel. Pada kondisi ini, bertentangan dengan prediksi Zionis, jumlah rudal yang ditembakkan Hamas ternyata menurun: hari ketiga perang 80 rudal, hari keempat 60, dan hari selanjutnya 40 unit. Peningkatan jumlah roket dan menurunnya jumlah rudal yang ditembakkan menunjukkan bahwa Hamas memiliki kontrol, kesabaran, serta manajemen perang yang bagus (tidak grasa-grusu dan buru-buru menghabiskan amunisi—pent.). Dan, ini menunjukkan Hamas memiliki kesiapan untuk pertempuran jangka panjang. 

Periode operasi udara dalam kondisi seperti ini terus berlangsung hingga tgl 4 Januari, sementara militer Israel melewatkan hari-hari itu tanpa ada prestasi militer dan tak ada pola baru dalam serangan. Tembakan roket Hamas ke kota penting Bi’rul Sab’a telah menimbulkan ketakutan yang amat sangat di Israel dan muncullah kekhawatiran di antara mereka: bila dibiarkan, Dimona dan Tel Aviv pun pasti akan kena serangan Hamas. 

Selanjutnya, Menteri Perang Israel memprediksi bahwa jika tank-tank secara bersamaan menyerang dari berbagai penjuru dan disertai pula dengan pesawat yang susul-menyusul melempari bom, serta kapal-kapal perang menembakkan peluru dari pantai sepanjang 45 km di tepian Gaza; para gerilaywan Hamas tidak punya pilihan selain keluar dari persembunyian mereka dan saat itulah Israel akan menangkapi mereka.
Prediksi ini menunjukkan ketidakmampuan petinggi Zionis dalam mengenali situasi rumit di Gaza dan telah mengubah strategi menjadi perang darat. Dalam perang darat ini, Israel menyerang dari 6 arah: 2 arah dari pinggir laut, 2 arah dari Beit Hanoun dan Jabaliya, satu arah dari Hay Syujaiyah, dan satu lagi dari Netzaria. Ketika operasi darat yang disiarkan secara langsung oleh berbagai channel TV ini dimulai, banyak yang menyangka bahwa tidak akan ada yang mampu menahan serangan militer dengan peralatan canggih dan tanpa belas kasihan itu.

Dua-tiga hari berlanjut hingga situasi tekanan psikologi perang darat yang semula sangat berat menjadi berkurang. Menteri Perang Ehud Barak dan Komandan Militer Gabungan, Eskenazi dalam sidang kabinet Israel menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari 22 anggota Kabinet Israel, yang menanyakan mengapa operasi militer kini telah ‘dingin’. Mereka mengatakan, “Operasi militer kami berlangsung panas hingga sampai saat permukaan tanah menjadi datar dan tidak ada penghalang; namun ketika kami mendekati gedung-gedung, kami menemukan kondisi lain.” Ehud Barak secara khusus menjelaskan panjang lebar tentang jebakan-jebakan berisi bom dan juga aksi para gerilyawan yang hanya muncul satu detik dan detik itu juga melakukan serangan, lalu langsung lenyap lagi. Barak bahkan terang-terangan menyebut bahwa perang harus dihentikan hari ini juga karena tidak akan membawa hasil apapun! Dan tentu saja, dengan keras dia menoleh ke arah MeirDegan (Direktur Mossad) dan mengatakan bahwa gara-gara informasi intelejen yang salah darinya, Israel terjebak dalam situasi ini. 

Perang di Gaza semakin mencapai jalan buntu (bagi Israel—pent.) ketika kini para penduduk muslim di kawasan 1948 (utara Palestina) dan penduduk Tepi Barat (timur Palestina) juga telah ikut terjun ke medan perang dan mereka mengumumkan persatuan dengan rakyat dan pemerintah Gaza. Ikrar persatuan ini menunjukkan jelas bahwa popularitas Hamas dan Jihad Islam tidak hanya di Gaza, tapi seluruh wilayah Palestina. Dan sebaliknya menujukkan semakin terkucilnya pendukung Fatah dan Mahmud Abbas. Dalam hari-hari ini, rakyat Palestina di kawasan 1948 juga menemukan cara perjuangan baru yaitu ‘revolusi pisau’. Mereka menyerang orang-orang Israel di dengan menggunakan pisau di jalanan Tel Aviv, Haif, Naharia, Jerusalem Barat, dan Natania. Aksi ini mendatangkan ketakutan yang amat sangat bagi orang-orang Israel karena tidaklah mudah untuk mengidentifikasi satu juta pemuda Palestina yang tinggal di kawasan Palestina yang sejak thn 1948 “diresmikan” sbg wilayah Israel itu; yang masing-masing mampu membuat beberapa orang Zionis tewas atau terluka.

Barak meninggalkan sidang kabinet hari itu (5/1) dengan kekesalan. Keesokan harinya, sebuah kejadian besar terjadi, yaitu militer Israel telah mengebom sebuah sekolah Kristen di bawah kontrol PBB di desa Al Fakhurah. Di sekolah itu banyak anak-anak dan kaum perempuan berlindung. Akibatnya, lebih dari 40 orang (termasuk anak-anak) syahid dalam serangan itu.

Kejadian ini mengingatkan public pada tragedy Qana tahun 1996 dan 2006 dimana militer Zionis untuk memaksa pejabat Tel Aviv agar mencari jalan keluar politik alih-alih meneruskan operasi militer. Serangan ke Al Fakhurah dan tewasnya puluhan orang yang di antaranya petugas PBB, juga telah memberika tekanan berat dari opini publik terhadap Israel dan karena itulah kabinet Zionis pada hari Rabu (7/1) sekali lagi mengadakan sidang dan dalam sidang itu disahkan keputusan penarikan pasukan dari Gaza dan penghentian operasi militer.
 
Namun, sementara ini, Israel merasa perlu untuk melanjutkan perang dan mempertahankan situasi perang demi memperlancar proses politik agar menguntungkan posisi Israel. Atas dasar inilah Israel mengutus delegasi beranggota 4 orang ke Mesir dan meminta AS untuk mendorong DK PBB agar mengesahkan resolusi dan secara bersamaan, atas tekanan Olmert, perang terus dilanjutkan; meskipun ditentang oleh menlu dan menteri perang Israel.

Sehari setelah sidang Kabinet Israel itu, Menlu AS, Condoleeza Rice, yang sebelumnya menentang keras pernyataan Sekjen PBB terkait pembunuhan massal di Gaza, mengumumkan, ”Saatnya telah tiba untuk melakukan gencatan senjata dan perang harus segera dihentikan.” Malam harinya, DK PBB mengadakan sidang dan proposal Inggris disepakati dengan 2 kali perbaikan. 

Resolusi 1860 DK PBB disahkan dalam kondisi ketika suara kekalahan multak dan total Israel mulai tersebar dan sejak beberapa hari sebelumnya telah disebut-sebut oleh media Barat. Bersamaan dengan itu, Ahmad Abul Ghaits Menlu Mesir yang dalam beberapa hari ini telah menjelma menjadi “muslim-Zionis”, dan selama perang selalu berada di samping Israel, serta berhadapan dengan warga Arab di Gaza, pada tanggal 8 Januari, sebelum disahkannya resolusi mengumumkan,”Berlanjutnya perang Israel tidak mencapai tujuan yang diinginkan yaitu lenyapnya Hamas, dan hanya menimbulkan korban pembununuhan yang lebih banyak.”
Harian Figaro terbitan Prancis menulis, “Kebangkitan perjuangan Palestina yang landasannya adalah keikutsertaan dalam operasi syahadah jauh lebih kuat dari milisi Fatah yang dikalahkan oleh Israel pada tahun 2002 dalam Intifadhah II di Tepi Barat.”

Website Atlantic juga pada hari Kamis (8/1) menulis, “Tidak ada kelompok Palestina yg bisa menggantikan Hamas. Kelompok Fatah dan Mahmud Abbas di tengah rakyat Palestina dikenal sebagai kaki tangan Israel dan memiliki legitimasi yang sangat minim.” Majalah Inggris “Time” pada pekan ketika dirilisnya resolusi menulis, “Serangan Israel sudah pasti tidak akan mencapai sasaran dan tidak akan mampu menghalangi serangan roket Hamas; bahkan orang-orang Arab seperti Mesir dan Arab yang mendukung serangan Israel kepada Hamas kini, secara diplomatik, terpaksa mundur dari posisinya saat ini.” Time juga menulis poin menarik, “Rencananya langkah Israel ini akan membuka jalan bagi politik Obama di Timur Tengah. Namun kenyataannya, semua program strategis Obama kacau dengan adanya operasi militer ini. Konsultan politik Obama mengira Israel akan mampu memenuhi janjinya untuk menyingkirkan masalah keamanan yang ditimbulkan Iran namun kekalahan Israel dalam perang Gaza menunjukkan bahwa Israel bahkan untuk menyelesaikan masalah yang dtimbulkan Hamas pun tak mampu.”

Washington Post, harian paling laris di AS, menulis, ”Hamas kepada dunia menunjukan bahwa mereka mampu bertempur selama berbulan-bulan melawan Israel.” Los Angeles Times yang merupakan koran keempat terbesar di AS dalam menurunkan sebuah artikel berjudul “Di Gaza, Musuh Sebenarnya Adalah Iran
==================

In Gaza, the real enemy is Iran

The images from the fighting in Gaza are harrowing but ultimately deceptive. They portray a mighty invading army, one equipped with F-16 jets that have bombed a civilian population defended by a few thousand fighters armed with primitive rockets. But widen the lens and the true nature of this conflict emerges. Hamas, like Hezbollah in Lebanon, is a proxy for the real enemy Israel is confronting: Iran. And Israel's current operation against Hamas represents a unique chance to deal a strategic blow to Iranian expansionism.
Until now, the Iranian revolution has appeared unstoppable. The Iran-Iraq war of the 1980s ended with Iranian troops occupying Iraqi territory. Iranian influence then spread to Saudi Arabia's heavily Shiite and oil-rich Eastern province, and to Lebanon through Hezbollah. Since the fall of their long-standing enemy, Saddam Hussein, Iranians have deeply infiltrated Iraq. Syria has been drawn into Iran's sphere, and even the Sunni sheikdoms of the gulf now defer to Iran, dispatching foreign ministers to Tehran and defying international sanctions against it. Iran has co-opted Hamas, a Sunni organization closely linked to the Egyptian Muslim Brotherhood, transforming the Israeli-Palestinian conflict into a jihad against the Jewish state. But Iran's boldest achievement has been to thwart world pressure and approach the nuclear threshold. Once fortified with nuclear weapons, Iranian hegemony in the Middle East would be complete.

All of which helps explain the public statements from moderate Arab leaders, such as Egyptian President Hosni Mubarak and Palestinian Authority head Mahmoud Abbas, who have blamed the end of the tenuous Israel-Hamas cease-fire on Hamas. Egyptian Foreign Minister Ahmed Aboul Gheit has even called on the Arab world to stop using the U.N. as a forum for blaming Israel alone for the fighting, surely a first. Those leaders understand what many in the West have yet to grasp: The Middle East conflict is no longer just about creating a Palestinian state but about preventing the region's takeover by radical Islam. Indeed, Palestinian statehood is impossible without neutralizing the extremists who oppose any negotiated solution.

If Israel successfully overthrows Hamas in Gaza, it would strengthen anti-Iranian forces throughout the Mideast and signal the region that Iranian momentum can be reversed. The Israeli military operation could begin the process that topples a terrorist regime that seized power in the Gaza Stripin 2007 and has fired thousands of rockets and mortar shells into Israeli neighborhoods.

And whether or not Hamas is ultimately overthrown, Israel can achieve substantial goals. The first is an absolute cease-fire. Previous cease-fires allowed Hamas to launch two or three rockets a week into Israel and to smuggle weapons into Gaza through tunnels. To obtain a cease-fire now, the international community should recognize Israel's right to respond to any aggression over its international border and monitor the closure of Hamas' weapons-smuggling tunnels.

Above all, the goal is to ensure that Hamas is unable to proclaim victory and thereby enhance Iranian prestige in the Arab world.

Yet even those limited goals are far from guaranteed. An earlier opportunity to check Iran -- during Israel's war against Hezbollah in 2006 -- was squandered through a combination of Israeli incompetence and international pressure. Hezbollah manipulated the Western media by grossly inflating the number of civilian casualties and even "recycling" corpses from one bombed site to another.

The international community responded by imposing a cease-fire before Israel could achieve its goals and installing a peacekeeping force that has since allowed Hezbollah to more than double its prewar arsenal. Though the Israeli army killed a quarter of Hezbollah's troops and destroyed its headquarters, Israel was widely perceived as the loser. The winner was Iran.

Israel learned the bitter lesson of Lebanon. For the last two years, the Israeli army has gone back to basics, rigorously training and restoring its fighting spirit. Israeli leaders drew on that spirit to attack Hamas bases in one of the most impressive airstrikes since the 1967 Six-Day War.

Yet the question remains whether the international community has learned its Lebanon lesson, or will once again allow the jihadists to win.

Hamas is attempting to portray the Israeli invasion as a war against the Palestinian people. Television viewers are being presented with heartbreaking images of dead and injured children and supposedly indiscriminate devastation. Palestinian doctors claim that Israel has blocked the supply of vital medicines, and humanitarian organizations warn of imminent starvation. In fact, many of those claims are exaggerated.

Though civilians have, tragically, been hurt, about three-quarters of the 400 Palestinians killed so far have been gunmen -- an impressive achievement given that Hamas fires rockets from apartments, mosques and schools and uses hospitals as hide-outs.

Israel has recently allowed nearly 200 truckloads of food and medicine to enter Gaza, even under shellfire. It is in Israel's urgent interest to minimize civilian suffering and forestall international criticism. For that same reason, Hamas welcomes the suffering of Palestinian civilians. According to a BBC report on Dec. 30, dozens of ambulances were dispatched by Egypt to its border with Gaza, only to remain empty because, according to Egyptian authorities, Hamas wasn't allowing wounded Palestinians to leave.

The international community must not be duped again. If Hamas is successful in manipulating world opinion into the imposition of a premature cease-fire, it will proclaim victory and continue to stockpile long-range missiles for the next round of fighting. That would mean another triumph for Iran.

No less crucially, the international community must not allow the Gaza crisis to divert its attention from the imminent -- and ultimate -- threat of a nuclear Iran. Intelligence sources now measure that threat in months rather than years.

President-elect Barack Obama has declared his intention to confront Iran through diplomacy. Ideally, that process should begin in the aftermath of an Iranian defeat. If Israel is allowed to achieve its goals in Gaza, the Obama administration will be better poised to achieve its goals in Iran.

Yossi Klein Halevi is a senior fellow at the Adelson Institute for Strategic Studies of the Shalem Center in Jerusalem. Michael B. Oren is a distinguished fellow at the Shalem Center and a professor at the foreign service school of Georgetown University.
=================================
 yang mengakui faktor Iran di balik kekuatan Hamas. Yossi Klein Halevi, penulis artikel itu menyatakan, “Jika Hamas mampu memanipulasi opini publik sehingga dunia mendukung gencatan senjata prematur, hal ini akan mendeklarasikan kemenangan dan kelanjutan bagi hamas untuk menambah cadangan rudalnya bagi pertempuran berikutnya. Dan, ini pun akan menjadi kemenangan lain bagi Iran.” (translated by: Dina Y. Sulaeman)
 (Infosyiah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: