Pulau Buru adalah tempat bagi tahanan politik (tapol) pada masa Orde Baru, masa dimana kemanusiaan tidak memiliki harga. Di Pulau Buru, ribuan orang dicabut hak asasinya, dibuang, disiksa, dibunuh secara tragis karena dianggap antek komunis. Dengan alasan kebaikan hati, pemerintah membawa para pemberontak negara untuk direhabilitasi di Pulau Buru.
Akan tetapi tahukah anda bahwa sebelum aksi keji Orde Baru itu, sebuah tragedi yang memilukan telah terjadi di Pulau yang penuh luka itu?
Laporan Orang-orang Terbuang
Dalam “Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer”, Pramodya Ananta Toer menyajikan semacam “investigative report” atas apa yang disebutnya sebagai “ rahasia umum yang tak pernah diselidiki”. Itulah peristiwa ketika ribuan perempuan muda Indonesia “diakuisisi secara paksa” dari rumah-rumah mereka dan diangkut dengan kapal ke luar Jawa hanya untuk kandas di berbagai barak ‘Jugun ianfu’ (wanita penghibur) sebagai tumbal untuk memuaskan birahi balatentra Jepang yang bertempur di Asia Pasifik selama pendududkan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945.
Setelah perang dunia II usai, banyak dari para perempuan malang ini tak tentu rimbanya. Sedangkan mereka yang berhasil kembali juga tak menuai nasib yang lebih baik karena masyarakat memandang mereka sebagai “aib”, mereka terlanjur “disampahkan” sebagai pelacur atau gundik Jepang. Padahal, banyak di antara mereka yang diculik ketika masih berusia 14 atau 15 tahun.
Pak Pram beserta para tahanan politik Orde Baru yang lain tiba di Pulau Buru pada tahun 1969. Mereka harus bertahan hidup dengan membuka hutan untuk pemukiman dan membuat ladang-ladang. Sementara pulau ini juga dihuni oleh penduduk asli yang masih sangat sederhana sekali cara hidupnya, mereka hidup dengan berburu dan belum mengenal ladang, belum bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia (dengan baik) dan belum mengenal huruf. Bahkan disebutkan bahwa mereka belum pernah mengenal cangkul dan gergaji.
Sampai muncul suatu ketika pada tahun 1973, seorang perempuan yang memiliki tampang berbeda dengan penduduk asli, dan ternyata perempuan itu adalah seorang Jawa. Setelah itu, terkuaklah tabir yang sudah cukup lama menutupi sebuah kenyataan yang hanya terdengar samar-samar. Ternyata ada sejumlah perempuan Jawa dan Sunda yang diperistri penduduk asli Pulau Buru, dan mereka adalah ‘jugun ianfu’ Jepang yang ditelantarkan begitu saja setelah bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Akhirnya mereka diperistri oleh para pemuka adat, beranak-pinak, dan (harus) tunduk pada suatu sumpah : tidak boleh berbahasa di luar bahasa sukunya.
Bisa dibayangkan apa yang telah terjadi? Sejumlah perempuan diangkut dari Pulau Jawa antara tahun 1942-1945, dikenali kembali antara 1973-1974 di Pulau Buru, itupun oleh orang-orang yang sama-sama “terbuang”, dan nasib mereka baru terpublkasikan dan dapat dibaca secara luas di Indonesia sejak tahun 2001. Pak Pram membawa “laporan” yang disusun oleh sesama tahanan politik itu ketika dibebaskan pada tahun 1979. Catatan ini terlupakan sampai tahun 2000, Pak Pram baru mengingatnnya kembali setelah harus berangkat ke Jepang untuk menerima “The Fukuoka Asian Culturize Prize” pada September 2000. Naskah ini diserahkan ke penerbit sehari sebelum keberangkatannnya ke Jepang.
Tak bisa dibayangkan betapa pahit dan menyakitkannya pengalaman hidup yang dihayati para budak seks yang teramat malang itu ?Dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka, diangkut dengan kapal untuk tujuan yang tak pernah mereka ketahui dengan pasti, mendarat di tempat yang sama sekali tidak mereka kenal, diperkosa setiap hari berkali-kali oleh serdadu asing, dan selanjutnya ditelantarkan untuk jatuh dalam “terkaman” para penduduk asli. Sebagai “anggota” penduduk asli bahkan mereka tak lagi memiliki hak untuk berucap dengan bahasa ibu mereka sendiri. Penjara apakah kiranya yang lebih absurd dan lebih getir dari nasib mereka ?
Kegetiran itu teryata terus berlanjut, bukan hanya Pemerintah yang mengabaikan temuan amat berharga ini, Pers (jurnalisme) Indonesia pun hanya menyambut buku ini (dan semua hasil yang terekam di dalamnya) dalam lingkup perbukuan, dan laporan ini hanya ditangkap sebagai “usaha penyadaran ketidak-adilan gender”. Isi dari buku ini hanya bergulir dengan kejuatan sesaat, tapi hanya dalam “pojok feminisme” dan setelah itu tamat. Padahal hasil investigasi Pak Pram dan kawan-kawan ini sangat jelas menyuguhkan “tragedi kemanusiaan” yang telah cukup lama terabaikan.
Hingga kini Pemerintah Jepang tidak mau bertanggung jawab secara hukum atas semua yang dilakukannya terhadap ribuan orang perempuan di negara-negara Asia yang diduduki oleh Jepang (Korea Selatan, Birma, Taiwan, Filiphina dan Indonesia, termasuk perempuan Jepang sendiri yang dijadikan budak seks), karena Jepang beralasan mereka (para perempuan) adalah Jugun Ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukerala, bukan sebagai budak seks.
Pada bulan Juli 1995 pedana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyampaikan permohonan maaf namun secara pribadi, namun tetap saja tidak mewakili Negara Jepang. Pemerintah Jepang menolak memberikan kompensasi secara resmi pada para Jugun Ianfu. Mereka hanya memberikan kompensasi lewat ‘ASEAN Woman Fund’ sebagai uang kerohanian kepada Jugun Ianfu pada masing-masing negara.
Pengadilan Negeri Belanda tahun 1946 telah memutuskan untuk memberi hukuman pada Tentara yang memaksa Perempuan Belanda yang menjadi Jugun Ianfu, namun hukuman ini tidak menyangkut kasus Jugun Ianfu di Indonesia. Tak lama setelah itu, Pengadilan Internasional Militer Timur Jauh, di Tokyo memberikan putusan hukuman kepada Para tentara yang bertindak brutal. Namun keputusan ini sama sekali tidak menyangkut nasib para Jugun Ianfu.
(Empat-Pilar-MPR/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email