Pesan Rahbar

Home » » Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Kedua)

Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Kedua)

Written By Unknown on Monday, 13 June 2016 | 11:53:00


Pada prinsipnya kita harus bertanya apakah para Imam Maksum as memiliki kehidupan politik atau tidak? Apakah kehidupan para Imam Maksum as hanya mengumpulkan sejumlah murid dan pendukung lalu menyampaikan hukum shalat, zakat, haji, akhlak, ushuluddin dan semacamnya kemudian selesai? Atau tidak, selain apa yang telah disebutkan itu dan semangat yang telah disebutkan itu, ada kerangka lain dalam kehidupan para Imam Maksum as yang disebut dengan kehidupan politik.

Ini satu masalah yang sangat penting dan perlu kejelasan. Tentu saja kesempatan yang pendek tidak memberikan waktu luas untuk menjelaskan argumentasi lebih jauh. Saya akan menjelaskan beberapa poin penting agar siapa saja yang ingin mengkajinya lebih jauh lagi dapat melihat kembali hadis-hadis dalam kerangka ini. Mereka dapat mengkaji buku-buku sejarah dengan cara pandang ini. Setelah itu mereka akan mendapati kehidupan Imam Musa al-Kazhim dan para Imam Maksum yang lain memiliki hakikat yang sampai saat ini masih belum dikenal dan belum pernah tersampaikan.

Setelah merasakan lingkungan Imamah dan Ahlul Bait dapat dipahami betapa tujuan Nabi Muhammad Saw belum terlaksana. Yakni, "... membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah."[1] belum dilaksanakan. Setelah mereka menyaksikan pembentukan pemerintahan Islam dan pembentukan sebuah dunia Islam seperti yang diinginkan Nabi Muhammad Saw, pasca periode pertama telah terlupakan secara keseluruhan. Posisi kenabian dan Imamah tergantikan oleh sistem kerajaan, istana, kaisar, penguasa, seperti Iskandar dan nama-nama pelaku kezaliman lainnya serta penindas dalam sejarah dengan memakai pakaian pengganti dan khilafah dengan nama Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Al-Quran ditafsirkan sesuai dengan yang diinginkan para penguasa, sementara otak masyarakat telah dipengaruhi perilaku berkhianat dari para ulama yang rakus dan cinta materi dari penguasa. Setelah menyaksikan semua ini, baru terpatri adanya peran universal dalam kehidupan para Imam Maksum as.

Ketika saya mengatakan Aimmah, maksudnya adalah seluruh Imam Maksum as, mulai dari Amirul Mukminin Ali as hingga Imam Hasan Askari as. Saya berkali-kali mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as berlangsung selama 250 tahun dan itu harus dihitung sebagai kehidupan seorang manusia. Seorang manusia 250 tahun yang tidak terpisahkan, "Kulluhum Nurun Wahidun, mereka semua merupakan cahaya yang satu".[2] Setiap dari mereka bila berkata, maka pada dasarnya ucapan itu juga berasal dari lisan yang lain. Setiap kali satu dari mereka melakukan satu pekerjaan, pada dasarnya juga merupakan pekerjaan yang lain. Satu manusia yang seakan-akan hidup selama 250 tahun. Semua perbuatan Aimmah selama 250 tahun ini merupakan pekerjaan seorang manusia dengan satu tujuan dan satu niat dengan strategi yang berbeda.

Para Imam Maksum as ketika merasa Islam telah terasing dan masyarakat Islam belum terbentuk, mereka segera menyusun beberapa tujuan dari tujuan prinsip. Pertama, menjelaskan Islam secara benar. Islam menurut para penguasa selama periode ini dilihat sebagai pengganggu. Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, Islam yang berada dalam al-Qurn, Islam yang berperang di Badar dan Hunain, Islam yang anti penyembahan kemewahan, Islam yang anti diskriminasi, Islam yang membela orang-orang tertindas dan Islam yang menumpas kelompok arogan tidak akan berguna bagi orang-orang yang substansinya Firaun, tapi memakai jubah Musa as. Esensinya Namrud dengan pakaian Ibrrahim as. Ini tidak mungkin. Oleh karenanya, mereka harus berusaha menyimpangkan Islam yang seperti ini. Tentu saja Islam hakiki ini tidak dapat dijauhkan dari benak umat Islam dengan sekali usaha. Karena masyarakat waktu itu beriman dan dalam upaya ini mereka harus mengganti dan mengosongkan Islam dari semangat, kandungan dan substansinya.

Perbuatan ini sama dengan yang dilakukan rezim sebelum ini terkait simbol-simbol lahiriah Islam dan kalian masih mengingat itu, bahkan menyaksikannya. Di rezim sebelumnya tidak ada penentangan dan penolakan terhadap simbol-simbol lahiriah Islam, tapi penentangan yang dilakukan terhadap makna, semangat dan jihad Islam. Mereka menentang Amar Makruf dan Nahi Munkar, begitu juga dengan penjelasan hakikat Islam. Tapi tidak ada penolakan terkait simbol-simbol lahiriah Islam yang tidak merugikan sapi dan kambing mereka. Kondisi ini terjadi di masa kekhalifahan Bani Umayah dan Abbasiah. Oleh karenanya, untuk mengosongkan Islam dari semangat dan hakikatnya, mereka membayar orang-orang yang memiliki kemampuan dengan pena dan lisannya. Penguasa memberi uang agar mereka membuat hadis. Penguasa memberi uang agar mereka menyusun Manaqib.[3] Penguasa memberi uang agar mereka menulis buku. Disebutkan, ketika Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, kami melihat buku-buku sifulan yang alim, saya tidak ingin menyebut namanya, berada di atas punggung sejumlah hewan dan tengah keluar dari khazanah Sulaiman bin Abdul Malik. Artinya, penulis buku ini, ahli hadis besar ini dan ulama terkenal ini yang namanya banyak ditulis dalam buku-buku Islam menulis pelbagai buku untuk Sulaiman bin Abdul Malik.

Nah, apakah kalian berharap buku yang ditulis untuk Sulaiman bin Abdul Malik berisikan sesuatu yang dibencinya? Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penguasa zalim, peminum khamar, berdamai dengan orang-orang Kafir, menindas umat Islam, menerapkan diskriminasi, menindas orang-orang miskin dan menjarah harta rakyat akan menerima Islam yang seperti ini? Ini merupakan penyakit besar masyarakat Islam sepanjang abad pertama dan para Imam Maksum as melihat kenyataan ini. Mereka menyaksikan warisan tak ternilai Nabi Muhammad Saw, yakni hukum Islam harus tetap abadi sepanjang sejarah dan pembimbing manusia sepanjang sejarah, telah disimpangkan. Satu dari tujuan Aimmah dan itu sangat penting adalah menjelaskan Islam yang benar, menafsirkan al-Quran secara hakiki, mengungkap penyimpangan dan pelakunya.

Perhatikan bahwa ucapan-ucapan para Imam Maksum as dalam banyak kasus menolak hal-hal yang disampaikan ulama, fuqaha dan muhadditsin istana atas nama Islam dan kemudian menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Ini merupakan satu tujuan utama dan besar bagi Aimmah, menjelaskan hukum Islam. Ini yang pertama.

Apa yang telah dilakukan ini memiliki substansi politik. Yakni, ketika kita tahu ada penyimpangan yang diprovokasi oleh khilafah, dimana antek-antek mereka yang secara lahiriah adalah ulama melakukan penyimpangan demi penguasa, maka sudah wajar bila seseorang bangkit melawan penyimpangan ini dan sudah barang tentu apa yang dilakukannya bertentangan dengan kebijakan penguasa.

Saat ini di sebagian negara-negara Islam, sebagian penulis dan ulama yang dibayar oleh pemerintah untuk menulis buku demi menciptakan perselisihan di antara umat Islam atau memburukkan citra saudara muslimnya. Bila di negara-negara ini muncul seorang penulis independen yang menulis buku tentang persatuan Islam dan persaudaraan antara masyarakat Islam, maka apa yang dilakukannya ini terhitung langkah politik dan pada hakikatnya anti pemerintah.

Salah satu aktifitas penting para Imam Maksum as adalah menjelaskan hukum Islam. Itu bukan berarti di masa itu tidak ada yang menjelaskan hukum Islam kepada masyarakat. Tidak demikian. Karena betapa banyak yang mengajarkan al-Quran dan menukil hadis dari Nabi Saw, bahkan para ahli hadis mengetahui ribuan hadis. Di Tabarestan, seorang ulama besar menukil ribuan hadis dari Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Waktu itu ada banyak hadis. Hukum Islam juga dijelaskan. Tapi yang tidak dijelaskan adalah tafsir dan penjelasan yang benar tentang Islam di seluruh urusan masyarakat Islam demi mencegah terjadinya penyimpangan dalam Islam. Ini satu pekerjaan penting yang dilakukan oleh para Imam Maksum as.

Pekerjaan penting lainnya adalah menjelaskan masalah Imamah atau kepemimpinan. Imamah berarti kepemimpinan masyarakat Islam. Ini satu masalah yang sangat penting dan belum jelas bagi umat Islam di masa itu, bahkan praktis secara teori telah terjadi penyimpangan. Siapa yang menjadi pemimpin masyarakat Islam? Yang lebih buruk lagi, orang-orang yang biasanya tidak mengamalkan hukum Islam, bahkan lebih sering melakukan hal-hal yang haram secara terang-terangan mengaku sebagai pengganti Nabi Saw. Mereka menduduki posisi Nabi Muhammad Saw dan tidak malu. Yakni, bukan berarti masyarakat waktu itu tidak tahu. Mereka menyaksikan seseorang atas nama khalifah mabuk dan tanpa sadar mendatangi tempat shalat dan menjadi imam shalat jamaah lalu mereka mengikutinya. Masyarakat tahu Yazid bin Muawiyah memiliki penyakit moral yang akut dan pelaku dosa besar, tapi pada saat yang sama, ketika dikatakan kepada mereka untuk bangkit melawan Yazid, mereka menjawab, kami telah berbaiat kepada Yazid. Oleh karenanya kami tidak bisa bangkit melawannya. Masalah Imamah belum jelas bagi masyarakat waktu itu. Masyarakat beranggapan Imam kaum Muslimin dan penguasa masyarakat Islam dapat saja melakukan dosa, kesalahan, kezaliman, perbuatan yang bertentangan dengan al-Quran dan Islam. Bagi mereka itu bukan masalah penting. Ini sebuah masalah besar. Dengan mencermati pentingnya masalah pemerintahan dalam sebuah masyarakat dan pengaruh penguasa dalam cara pandang masyarakat, apa yang terjadi itu merupakan bahaya terbesar bagi dunia Islam. Itulah mengapa para Imam Maksum as merasa penting untuk menyampaikan dua hal berikut ini.

Pertama, Imam dan penguasa Islam harus memiliki sejumlah syarat seperti; Ishmah, takwa, alim, spiritual, perilaku dengan masyarakat, perbuatan di hadapan Allah. Ini merupakan syarat bagi seorang Imam. Yakni, para Imam Maksum as menjelaskan siapa penguasa Islam kepada masyarakat. Ini yang pertama. Sementara yang kedua, adalah menjelaskan saat ini siapa yang memiliki syarat-syarat itu. Para Imam Maksum as kemudian memperkenalkan dirinya dan menjelaskan siapa mereka sebenarnya. Ini juga merupakan pekerjaan besar yang dilakukan Aimmah dan tentu saja ini merupakan pekerjaan penting politik, propaganda dan pendidikan politik.

Bila para Imam Maksum as tidak melakukan pekerjaan lain, selain dua pekerjaan ini, maka sudah cukup untuk kita mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as dari awal hingga akhir merupakan kehidupan politik. Dengan demikian, ketika mereka menjelaskan tafsir dan ajaran Islam, pada hakikatnya itu merupakan aktifitas politik. Ketika mereka menjelaskan ciri khas Imam, itu juga merupakan aktifitas politik. Yakni, bila ajaran Aimmah diringkas pada dua tema dan masalah ini, tetap saja kehidupan mereka adalah kehidupan politik. Tapi mereka tidak cukup dengan dua aktifitas ini. Selain dua hal ini, setidaknya sejak periode Imam Hasan al-Mujtaba as telah dimulai gerakan bawah tanah secara menyeluruh di bidang politik dan revolusi untuk merebut kekuasaan. Tidak diragukan bahwa bila mengkaji kehidupan para Imam Maksum as dapat dipahami bagaimana memiliki gerakan ini. Apa yang saya sampaikan ini tidak banyak diketahui. Ini masalah penting yang sayangnya tidak dijelaskan dalam buku-buku yang ditulis mengenai kehidupan para Imam Maksum as, seperti kehidupan Imam Shadiq as, Imam Musa al-Kazhim as dan kehidupan para Imam Maksum as yang lain.

Sekalipun para Imam Maksum as telah membentuk gerakan politik dan organisasi luas dengan semua bukti, tapi tetap saja masalah ini tidak banyak diungkap dan ini menjadi masalah terbesar dalam memahami kehidupan para Imam as. Pada dasarnya Aimmah telah melakukan gerakan ini dan bukti-bukti yang ada juga sangat banyak.

Nah, saudara dan saudari perlu mengetahui hal ini secara ringkas bahwa ketika para Imam Maksum as menerima tanggung jawab Imamah, satu pekerjaan yang dimulai oleh mereka adalah sebuah perjuangan politik. Sebuah gerakan politik untuk meraih kekuasaan. Ini merupakan aksi politik seperti semua upaya lainnya yang dilakukan siapa saja yang ingin membentuk pemerintah dan para Imam Maksum as juga melakukannya.

Sumber: Ensan 250 Saleh, Bayanat Magham Moazzam-e Rahbari Darbaraye Zendegi Siyasi-Mobarazati Aemmeh Masoumin as, 1391 HS, Tehran, Moasseh Iman Jahadi.

Referensi:
[1]. QS. Ali Imran: 164.
[2]. Uyun Akhbar ar-Ridha as, Tarjomeh Ghaffari va Mostavid, jilid 2, hal 417.
[3]. Buku yang berisikan hal-hal yang dapat dibanggakan.

(Pars-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: