Pesan Rahbar

Home » » Syaikh Salman Al Audah Sangat Dekat dengan Ahlul Bait Nabi SAW Bagian Kedua

Syaikh Salman Al Audah Sangat Dekat dengan Ahlul Bait Nabi SAW Bagian Kedua

Written By Unknown on Wednesday 9 July 2014 | 23:27:00


Hadis Tsaqalayn adalah hadis yang menegaskan bahwa umat Islam wajib berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Ahlul bait Nabi saw. Redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain:
Rasulullah saw bersabda:

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku.”

يَا أَيُّهَاالنَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي

“Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian, yang jika kalian bepegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku.”

إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat sesudahku: Al-Qur’an dan ‘Itrahku.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ خَلِيْفَتَيْنِ ـ اَوِ الْخَلِيْفَتَيْنِ ـ: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua khalifah: Al-Qur’an dan ‘Itrahku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, kalian tidak akan tersesat sesudahku.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي، فَلاَ تُقَدِّمُوهُمَا فَتَهْلِكُوا، وَلاَ تُقَصِّرُوا عَنْهُمَا فَتَهْلِكُوا، وَلاَ تُعَلِّمُوهُمْ فَإِنَّهُمْ أَعْلَمُ مِنْكُمْ

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian binasa, jangan menganggap enteng keduanya sehingga kalian binasa, dan jangan mengajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي، أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنَ اْلاَخَرِ: كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلاَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ، فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخَلَّفُونِي فِيْهِمَا

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sesuatu jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat sesudahku, yang satu lebih agung dari yang lain: Al-Qur’an adalah tali penyambung dari langit ke bumi dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Keduanya tidak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali padaku di telaga surga, maka perhatikan bagaimana sikap mereka kepada keduanya sesudahku”

Hadis Tsaqalayn dengan bermacam-macam redaksinya terdapat dalam:
1. Shahih At-Tirmidzi, jilid 2, halaman 219; jilid 5, halaman 662 dan 663, no: 3786 dan 3788, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
2. Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 492, no: 1878; jilid 6, halaman 232, no: 21068, 21145, dan 244.
3. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 109.
4. Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, halaman 194.
5. Al-Mathalib Al-‘Aliyah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, no hadis: 1873.
6. Mu’jam Al-Kabir, Ath-Thabrani, jilid 3, halaman 62, no hadis: 2678; jilid 5, halaman 186-187, cet. Dar Ihya’ at-Turats Al-‘Arabi.
7. Mashabih As-Sunnah, jilid 4, halaman 190, no hadis: 4816, cet. Dar Ma’rifah, Bairut tahun 1407 H.
8. Jami’ul Ushul, jilid 1, halaman 278, no hadis: 66, cet. Darul Fikr, Bairut tahun 1403 H.
9. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, Ibnu Hajar, halaman 90, 231, 233, cet Darul kutun ilmiyah, Bairut tahun 1414 H.
10. Usdul Ghabah, jilid 1, halaman 490, cet Darul Fikr, Bairut tahun 1409 H.
11. Tafsir Ar-Razi, jilid 8, halaman 173.
12. Tafsir Al-Khazin, jilid 1, halaman 277, cet Darul kutub ilmiyah, Bairut tahun 1415 H.
13. Kitab As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim, halaman 336, no: 754, cet. Al-Maktab Al-‘Arabi, Bairut tahun 1405 H.
14. Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 165, cet. Darul kutun al-‘Arabi, Bairut tahun 1402 H.
15. Al-Jami’ush Shaghir bisyarhil Manawi, jilid 3, halaman 14.
16. Faydhul Qadir, jilid 3, halaman 14, syarah hadis ke 2631, cet Darul Fikr, Bairut tahun 1391 H.
17. Jami’ul Ushul 1/ 277.
18. Sunan Al-Darimi 2/ 310
19. Sunan Al-Baihaqi 2/ 148
20. Al-Bidayah wan-Nihayah 5/ 209
21. Kasyful Astar 3/ 221
22. Tarikh Baghdad 8/ 443
23. Tarikh Ash-Shaghir 1/ 302
24. Al-Ishabah, Ibnu hajar 7/ 78, no: 4767
25. As-Sirah Al-Halabiyah 3/ 274.

Para Perawi hadis Tsaqalayn dari kalangan sahabat
1. Imam Ali bin Abi Thalib (as)
2. Imam Hasan bin Ali (as)
3. Abu Dzar Al-Ghifari
4. Salman Al-Farisi
5. Jabir bin Abdullah Al-Anshari
6. Abul Haytsim Ibnu An-Tihan
7. Hudzaifah Al-Yamani
8. Hudzaifah bin Asid Abu Syarikhah
9. Zaid bin Tsabit
10. Abu Said Al-Khudri
11. Khuzaimah bin Tsabit
12. Abdurrahman bin Auf
13. Thalhah
14. Abu Hurairah
15. Said bin Abi Waqqash
16. Abu Ayyub Al-Anshari
17. Amru bin Ash
18. Fatimah Az-Zahra’
19. Ummu Salamah Ummul mukminin
20. Ummu Hani (saudara perempuan Imam Ali as)

Para Perawi pasca sahabat:
1. Said bin Masruq Ats-Tsauri
2. Sulaiman bin Mahran Al-A’masy
3. Muhammad bin Ishaq, shahibus Sirah
4. Muhammad bin Sa’d, shahibuth Thabaqat
5. Abi Bukar bin Abi Syaibah
6. Ibnu Rahawaih, shahibul Musnad
7. Ahmad bin Hanbal, shahibul Musnad
8. Abd bin Humaid, shahibul Musnad
9. Muslim bin Hujjaj, penulis Shahih Muslim
10. Ibnu Majah Al-Qazwini, shahibus Sunan
11. Abu Dawud, shahibus Sunan
12. At-Tirmidzi, penulis shahih Tirmidzi
13. Abu Bakar Al-Bazzar, penulis Musnad.
14. An-Nasa’i shahibush Shahih
15. Abu Ya’la Al-Mawshili, shahibul Musnad
16. Ibnu Abi Ashim, penulis kitab As-Sunnah
17. Muhammad bin jarir, mufassir dan penulis Tarikh.
18. Abul Qasim Ath-Thabrani, penulis Mu’jam
19. Abul hasan Ad-Daraquthni Al-Baghdadi
20. Al-Hakim An-Naisaburi, penulis Al-Mustadrak
21. Abu Na’im Al-Isfahani
22. Abu Bakar Al-Baihaqi, penulis Sunan al-Kubra
23. Ibnu Abd Al-Birr, penulis Al-Isti’ab
24. Al-Khathib Al-Baghdadi, penulis Tarikh Baghdad
25. Razin Al-Abdari, penulis Al-Jam’u bayna Ash-Shahhah As-Sunnah
26. Muhyissunnah Al-Baghawi, penulis Mashahihus Sunnah
27. Al-Qadhi ‘Iyad, penulis kitab Asy-Syifa’
28. Ibnu Asakir Ad-Damsiqi, penulis Tarikh Damsiq
29. Ibnu Atsir Al-Juzuri, penulis Usdul Ghabah
30. Fakhrur Razi, penulis Tafsir Al-Kabir
31. Abu Zakariya An-Nawawi, penulis syarah Shahih Muslim
32. Abul Hujjaj Al-Muzzi, penulis Tahdzibul Kamal
33. Syamsuddin Adz-Dzahabi, penulis kitab-kitab yang masyhur
34. Adh-Dhiya’ Al-Muqaddasi, pwnulis kitab Al-Mukhtarah
35. Ibnu Katsir Ad-Damsiqi, mufassir dan penulis Tarikh
36. Nuruddin Al-Haitsami, penulis kitab Majma’uz zawaid
37. Jalaluddin As-Suyuthi, penulis kitab-kitab yang terkenal
38. Syihabuddin Al-Qasthalani, pensyarah Al-Bukhari.
39. Syamsuddin Ash-Shalihi Ad-Damsiqi, murid As-Suyuthi, penulis Sirah An-1. Nabawiyah.
40. Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Asqalani.
41. Syamsuddin Ibnu Thulul Ad-Damsiki.
42. Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Makki, penulis Shawaiqul Muhriqah
43. Al-Muttaqi Al-Hindi, penulis Kanzul Ummal.
44. Ali Al-Qari Al-Harawi.
45. Al-Mannawi, pensyarah Jamiush Shaghir.
46. Al-Halabi, penulis Sirah.
47. Dahlan, penulis Sirah.
48. Manshur bin Nashib, penulis At-Tajul Jami’ lil-Ushul.
49. An-Nabhani, penulis terkenal.
50. Al-Mubarak Yuri, pensyarah shahih Tirmidzi.


Alhamdulillah masih ada pendapat yang sesuai dengan pandangan Ahlul bait (sa) tentang sebab-sebab turunnya ayat ini (Al-Maidah: 67). Orang-orang Quraisy telah menyebarkan usaha-usaha mereka dan menjungkir-balikkan landasan-landasan yang kokoh agar kaum muslimin tidak mengenal masalah Imamah dan kekhalifahan pasca Nabi saw.

Karena itulah, kita jumpai kaum nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul Bait s.a) sangat membenci dan menolak keberadaan hadis Al-Ghadir, hadis tentang sebab-sebab turunnya ayat ini dan ayat-ayat imamah lainnya. Mereka sangat berkeinginan hadis ini dan yang lainnya tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis yang shahih dan kitab-kitab rujukan Ahlussunnah. Kami melihat mereka berusaha keras melakukan kajian ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan hadis-hadis muttaqun alayh, kemudian menyerang dan mengecam ulama-ulama dan para pengikut Ahlul bait (sa). Kemudian mereka berusaha keras meniadakan dan mengeluarkan hadis-hadis tersebut dari kitab-kitab rujukan Ahlussunnah.

Syeikh Albani mengatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahih 5: 644:
Nabi saw dijaga dari bahaya manusia sehingga ayat ini turun: “Allah menjagamu dari bahaya manusia.” Kemudian mengeluarkan kepalanya dari kubah sambil berkata: “Wahai manusia, pulanglah aku telah dijaga oleh Allah.”.

Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Shahih Tirmidzi 2: 175, Ibnu Jarir 6: 199 dan Al-Hakim 2: 3, dari jalur Harits bin Abid dari Said Al-Jariri, dari Abd bin Syaqiq dari Aisyah. Aisyah mengatakan: Lalu Nabi saw menyebutkannya (hadis ini).

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini hadis gharib. Sebagian ahli hadis meriwayatkan hadis ini dari Al-Jariri dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Nabi telah dijaga…dan mereka tidak menyebutkannya. Hadis ini bersumber dari Aisyah.

Tirmidzi mengatakan: ini benar, karena Harits bin Abid yaitu Abu Qudamah Al-Ayadi daya hafalannya lemah. Ini dinyatakan oleh Al-Hafizh dengan pernyataannya: Dia jujur tapi salah.

Pernjelasan Tirmidzi berbeda dengan yang lain, antara lain Ismail bin Aliyah. Ia mengatakan: Harits bin Abid adalah tsiqqah, kuat dan dapat dipercaya hafalannya. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan dua sanad antara lain dari Al-Jariri, sebagai hadis mursal.

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini shahih mursal; adapun pendapat Al-Hakim tentang sanad hadis ini yang berujung pada Aisyah: sanadnya shahih tapi ditolak, kami tidak menyebutkannya walaupun ia diikuti oleh Adz-Dzahabi.

Memang, hadis ini shahih, karena hadis ini mempunyai bukti dari hadis Abu Hurairah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berhenti di suatu tempat, mereka (para sahabat) melihat pohon yang paling besar lalu mereka berharap Nabi saw berhenti, lalu beliau berhenti di bawah pohon itu juga para sahabatnya. Ketika berada di bawah pohon itu, beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu, lalu datanglah orang arab badui dan mengambil pedang dari pohon itu kemudian mendekati Nabi saw yang sedang tidur, lalu ia membangunkan beliau dan berkata: Wahai Muhammad, siapakah yang akan menghalangimu dariku malam ini? Nabi saw menjawab: Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Mardawaih sebagaimana yang disebutkan oleh tafsir Ibnu Katsir 6:198, dari dua jalur: dari Hammad bin Salamah dan Jabir, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Riwayat ini mempunyai dua bukti yaitu riwayat dari Said bin Jubair dan Muhammad bin Ka’b Al-Qarazhi sebagai hadis mursal.

Ketahuilah! Orang-orang syiah mengira ada perbedaan tentang hadis-hadis tersebut, bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, tentang Ali (ra). Mereka menyebutkan sejumlah hadis mursal dan sangat lemah. Antara lain hadis dari Abu Said Al-Khudri, yang telah dinyatakan tidak shahih oleh hasil penelitian tentang hadis-hadis dhaif (4922). Dan riwayat-riwayat yang disebutkan oleh Abdul Husein Asy-Syi’i dalam kitabnya Al-Murajaat: 38, tanpa satu penelitian terhadap satupu sanadnya. Dan ini kebiasaan dia dalam menyebutkan hadis-hadis dalam kitabnya. Karena ia hanya mengumpulkan semua hadis yang menguatkan mazhabnya, baik hadis itu shahih maupun tidak shahih. Kaidah orang-orang syi’ah: Tujuan menganggap baik wasilah! Karena itu, ia dan riwayat-riwayat hadisnya harus diwaspadai. Bukan hanya itu, bahkan ia menipu para pembaca walaupun harus berdusta. Dalam bab tertentu ia mengutip hadis dari Abu Said, itu batil dan dusta: Hadis ini diriwayatkan tidak hanya oleh seorang penyusun kitab-kitab hadis seperti Imam Al-Wahidi…!

Sisi kedustaannya: Mereka yang pemula pun tentang ilmu tahu bahwa Al-Wahidi tidak tergolong pada penulis kitab-kitab hadis yang empat. Dia hanya seorang mufassir yang meriwayatkan hadis-hadis, yang sanadnya shahih dan tidak shahih. Dan hadis Abu Said ini termasuk hadis yang tidak shahih. Ia meriwayatkan dari jalur yang sangat lemah sebagaimana kelemahan itu nampak dalam penjelasannya.

Inilah kebiasaan orang-orang syiah dari dulu hingga sekarang. Mereka berdusta atas nama Ahlussunnah dalam kitab-kitab dan ceramah-ceramah mereka. Karena itu, orang yang paling mengetahui tentang mereka yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Syiah adalah golongan yang paling pendusta, saya mengetahui kedustaan mereka dari sebagian kitab-kitabnya, terutama Abdul Husein ini …

Yang lebih berdusta darinya adalah Khumaini. Ia menjelaskan dalam kitabnya bahwa ayat ‘Ishmah (ayat ini) turun pada hari Ghadir Khum tentang Imamah Ali bin Abi Thalib, dengan pengakuan Ahlussunnah dan kesepatan syi’ah. Dalam hal ini saya akan menambah penjelasan tentang kelemahan mereka, insya Allah. (selesai)

Jawaban:
Kami ingin mengatakan kepada seorang pembahas seperti Syeikh Albani:
Pertama: Tinggalkan kecamanmu, penyebaran hukummu, dan pengklasifikasianmu tentang orang yang paling jujur dan yang paling berdusta dari golongan ummat Islam. Karena di kalangan sunni dan syi’i terdapat bermacam-macam manusia. Tapi nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul bait Nabi saw) punya hukum tersendiri.

Jangan lupa wahai pembahas, Ibnu Taimiyah yang tidak bersikap adil terhadap Ali bin Abi Thalib (sa) ia juga tidak bersikap adil terhadap pengikutnya. Kami berterima kasih Anda mengakui kebenaran: Anda telah membela Ali bin Abi Thalib (sa) dan menolak kezaliman Ibnu Taimiyah dan keingkarannya terhadap hadis Al-Ghadir: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya.” Kemudian Anda menyatakan hadis ini adalah shahih, kemudian Anda mencatatnya dalam kitabmu tentang hadis-hadis yang shahih 5: 330, no: 1750. Kemudian Anda mengatakan dalam halaman 344: Setelah aku mengetahui hadis ini, maka aku terdorong untuk menyampaikan pendapat secara merdeka tentang hadis ini dan keterangan keshahihannya: Aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mendhaifkan baris yang pertama hadis ini, dan mendustakan baris yang terakhir! Dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah berlebihan mengambil kesimpulan, terlalu cepat mendhaifkan hadis-hadis sebelum mengumpulkan sanad-sanadnya dan menelitinya secara mendalam. Allah adalah Tempat memohon perlindungan.

Adapun apa yang disebutkan oleh syiah tentang hadis ini dan lainnya, bahwa Nabi saw bersabda tentang Ali (ra): “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sesudahku,” tidak shahih dari beberapa sisi, bahkan kebatilan mereka banyak, ini ditunjukkan oleh realitas sejarah tentang kedustaannya. Sekiranya benar Nabi saw menyabdakan hadis itu, niscaya itu menjadi kenyataan, karena beliau bersabda sesuai dengan wahyu, sementara Allah tidak mengingkari janji-Nya!!.
*****

Kami mengamati bahwa Syeikh Albani akhirnya juga gegabah, menjadikan berita syar’i sebagai berita ghaibiyah. Dua hal ini jelas berbeda. Jika ia telah mengakui keshahihan hadis Al-Ghadir, dan mengokohkan hukumnya: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya”, sebagai wahyu dari Allah saw, maka wajib baginya dan kaum muslimin menjadikan Ali sebagai pemimpin mereka.
Tetapi hal itu tidak menjadi kenyataan, bahkan mereka menyerang rumah Ali dan Fatimah (sa) pada hari kedua atau ketiga dari wafatnya Rasulullah saw, mereka mengancam membakar rumahnya jika keduanya tidak keluar dan tidak berbaiat. Kemudian mereka memaksa Ali untuk berbaiat, dan ini peristiwa ini masyur dalam kitab-kitab sejarah, misalnya di dalam:
1. Tarikh Ya’qubi, jilid 2 halaman 126.
2. Tarikh Ath-Thabari, jilid 1 halaman 18.
3. Tarikh Ibnu Khaldun, jilid 3 halaman 26-28.

Kedua hadis itu sama, dua-duaya adalah wahyu. Jika mengukur keshahihan hadis pertama dengan fakta yang terjadi, maka juga hadis yang kedua. Mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Memaksa Ali (sa) untuk berbaiat kepada orang lain.

Wahai pembahas yang mulia, pemberitaan dua hadis itu bersifat tasyri’i, wahyu tentang kewajiban bagi kaum muslimin, bukan berita ghaibiyah, keshahihannya tidak dapat diukur dengan fakta yang terjadi. Karena jika demikian cara mengukurnya, terlalu banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia karena kezaliman manusia dan para penguasanya.

Kedua: Ketika Anda mendhaifkan hadis tentang sebab turunnya ayat ini, apakah Anda telah mengumpulkan sanad-sanad hadis itu lalu menelitinya secara mendalam, sehingga Anda mengatakan: hadis itu mursal dan sangat lemah?
Apakah Anda telah meneliti semua sanad hadis itu, yang telah dikutip oleh Ats-Tsa’labi, Abu Na’im, Al-Wahidi, Abu Said As-Sijistani, Al-Haskani, dan sanad-sanad mereka? Kemudian mendapatkan semua itu mursal atau dhaif, dan Anda dapatkan diantara perawi-perawinya orang yang tidak menjadi pegangan Anda? Apakah telah terjadi pada Anda apa yang telah terjadi pada Ibnu Taimiyah yang Anda sendiri mengkritiknya?

Yang jelas, Anda tidak punya waktu yang cukup untuk meneliti semua itu. Kami berharap Anda mendapat karunia dalam meneliti apa yang telah kami tulis tentang tafsir ayat ini, meneliti secara mendalam sanad-sanadnya yang telah kami persembahkan, dan membahasnya dengan ukuran-ukuran yang Anda kehendaki. Dengan syarat, Anda tidak menulis hal-hal yang kontradiktif dalam kitab-kitab Anda, bersifat objektif, tidak mendhaifkan suatu riwayat karena memberitakan keutamaan Ali bin Abi Thalib (sa) dalam suatu topik, dan dalam topik yang lain Anda menerimanya dan menjadikannya pegangan.

Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan sanad-sanad hadis itu yang hanya dari satu sumber kitab yaitu Syawahid At-Tanzil oleh Al-Hakim Al-Haskani:

Ubaidillah bin Abdullah bin Ahmad Al-‘Amiri Al-Qurasyi, murid Al-Hakim An-Naisaburi penulis kitab Al-Mustadrak. Ia mengatakan dalam kitabnya yang telah diteliti oleh Al-Muhmudi: jilid 1: 250-257:

244: Memberitakan kepada kami Abu Abdillah Ad-Daynuri, ia berkata: Bercerita kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim As-Sunni. Ia berkata: memberitakan kepadaku Abdurrahman bin Hamdan, ia berkata: bercerita kepada kami Muhammad bin Ustman Al-‘Abasi, ia berkata: bercerita kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin Maymun, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin ‘Abis dari Al-A’mas dari Abu Al-Juhaf (Dawud bin Abi Awf) dari ‘Athiyah: dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…”

245: Memberitakan kepada kami Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: memberitakan kepada kami Ali bin Abdurrahman bin Isa Ad-Dahqan bil-Kufah, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Husayn bin Al-Hikam Al-Habari, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Hasan bin Al-Husayn Al-‘Irani, ia berkata: bercerita kepada kami Hibban bin Ali Al-‘Unzi, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Kalabi dari Abu Shilah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali, memerintahkan Rasulullah saw agar menyampaikannya kemudian Rasulullah saw memegang tangan Ali seraya bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangilah orang yang menyayangi Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.”.

246: Diriwayatkan oleh jema’ah dari Al-Habari, dan diriwayatkan oleh As-Sabi’i darinya dalam tafsirnya: Seolah-olah aku mendengarnya dari As-Sabi’i, dan diriwayatkannya oleh jema’ah dari Al-Kalabi.
Sanad hadis ini banyak terdapat dalam kitab doa, mengharap petunjuk untuk menunaikan hak wilayah, dalam sepuluh jilid kitab.

247: Memberitakan kepada kami Abu Bakar As-Sakri, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu ‘Amr Al-Muqri, ia berkata: memberitakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Azhar, ia berkata: bercerita kepada kami Abdurrahman bin ‘Amr bin Jabalah, ia berkata: bercerita kepada kami Umar bin Na’im bin Umar bin Qais Al-Mashir, ia berkata: aku mendengar kakekku berkata: bercerita kepada kami Abdullah bin Abu Awfa, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Ghadir Khum, dan membacakan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Kemudian beliau mengangkat tangannya sehingga kelihatan putih ketiaknya, kemudian bersabda: “Ingatlah, barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali, dan musuhi orang yang memusuhi Ali.” Kemudian bersabda: “Ya Allah, syaksikan.”.

248: Memberitakan kepada kami ‘Amr bin Muhammad bin Ahmad yang bersikap adil terhadap bacaanku yang asli berdasarkan tek yang aku dengan, ia berkata: memberitakan kepada kami Zahir bin Ahmad, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Yahya Ash-Shuwali, ia berkata: bercerita kepada kami Mughirah bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin Muhammad bin Sulaiman An-Nawfali, ia berkata: bercerita kepadaku ayaku, ia berkata: Aku mendengar Ziyad bin Mundzir berkata: aku berada di dekat Abu Ja’far Muhammad bin Ali ketika ia bercerita kepada manusia saat ada seseorang dari Bashrah datang kepadanya, ia berkata kepadanya: UtsmanAl-A’sya meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, ia berkata kepadanya: Wahai putera Rasulillah, jadikan aku tebusanmu sesungguhnya Al-Hasan memberitakan kepada kami bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tidak diceritakan kepada kami, yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Sekiranya manusia ingin mengetahuinya tentu aku akan menceritakannya, tapi saat Nabi saw khawatir Jibril datang kepadanya saw lalu berkata: Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menunjukkan kepada ummatmu tentang shalat mereka, puasa, puasa, dan haji mereka, agar menjadi kokoh hujjah terhadap mereka tentang semua itu.

Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ya Rabbi, sesungguhnya kaumku sudah mendekat pada zaman jahiliyah, mereka saling membanggakan dirinya, dan meninggalkan pemimpinnya, aku khawatir.” Kemudian Allah swt menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” Setelah Allah menjamin kekhatirannya dengan penjagan-Nya, beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian bersabda:

يا أيها الناس من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله وأحب من أحبه وأبغض من أبغضه

“Wahai manusia, barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya, cintai orang yang mencintainya dan murkai orang yang murka padanya.”.

Ziyad berkata: kemudian Utsman berkata: Aku tidak pernah pulang ke negeriku dengan membawa sesuatu yang lebih aku cintai daripada hadis ini.

249: Bercerita kepadaku Ali bin Musa bin Ishaq dari Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Sahl bin Bahr, ia berkata: bercerita kepada kami Fadhl bin Syadzan, dari Muhammad bin Abu Umayr, dari Umar bin Udzaynah dari Al-Kalabi dari Abu Shaleh: dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, mereka berkata: Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk menetapkan Ali di depan manusia dan memberitakan kepemimpinannya kepada mereka, kemudian Rasulullah saw merasa khawatir mereka berkata bahwa beliau hanya mencintai putera pamannya, dan mencerca Ali karenanya. Kemudian Allah menurunkan wahyu yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” Setelah turun ayat ini Rasulullah saw menyampaikan secara terbuka kepemimpinannya (Ali bin Abi Thalib) pada hari Ghadir Khum.

250: Bercerita kepadaku Muhammad bin Qasim bin Ahmad dalam tafsir, ia berkata: bercerita kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ali Al-Faqih, ia berkata: bercerita kepada kami ayahku, ia berkata: bercerita kepada kami Sa’d bin Abdullah, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Abdullah Al-Baraqi dari ayahnya, dari Khalaf bin Ammar Al-Asadi, dari Abul Hasan Al-Abdi, dari Al-A’masy dari Ubabah bin Ruba’i: Dari Abdullah bin Abbas dari Nabi saw, dalam kontek hadis tentang Mi’raj, beliau menyampaikan hadis kudsi: “Sesungguhnya Aku belum pernah mengutus seorangpun nabi kecuali Aku jadikan baginya seorang wazir (pembantu khusus), dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah dan Ali adalah wazirmu.” .

Ibnu Abbs berkata: Kemudian Rasulullah merasa khawatir untuk menyampaikan kepada manusia, khawatir karena hadis ini mereka kembali ke jahiliyah sehingga kembali tujuh hari yang telah berlalu. Kemudian Allah swt menurunkan: “Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa yang telah diwahyukan kepadamu, dan dadamu merasa sempit karenanya sebab merasa khawatir mereka mengatakan …” (Hud: 12), Rasulullah saw merasa khawatir sehingga hari yang kedelapan belas Allah menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” (Al-Maidah: 67) .

Kemudian Rasulullah saw menyuruh Bilal azan di hadapan manusia sehingga besok pagi tidak ada seorangpun kecuali semuanya keluar ke Ghadir Khum. Kemudian esok harinya Rasulullah saw dan manusia keluar lalu bersabda: “Wahai manusia, Allah telah menurunkan kepadaku suatu risalah, dan dadaku merasa sempit karena khawatir kalian meragukan aku dan mendustakan aku, sehingga Tuhanku mengecamku karenanya dan menurunkan padaku azab setelah azab yang lain.” Kemudian beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya sehingga kelihatan putih ketiaknya, lalu bersabda:

أيها الناس الله مولاي وأنا مولاكم، فمن كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله

“Wahai manusia, Allah adalah Pemimpinku dan aku adalah pemimpin kalian. Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya.”

Kemudian Allah menurunkan ayat: “Hari ini Kusempurnakan agamamu …” (Al-Maidah: 3).


 Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jala menerima Ibrahim (as) sebagai seorang hamba sebelum Dia menjadikannya sebagai seorang nabi. Sesungguhnya Allah mengangkatnya sebagai seorang nabi sebelum Dia memilihnya sebagai seorang rasul. Sesungguhnya Allah mengangkatnya sebagai seorang rasul sebelum Dia menjadikannya khalilullah (kekasih Allah). Sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai khalilullah sebelum Dia mengangkatnya sebagai seorang imam. Ketika Allah menggabungkan semuanya Dia berfirman:

إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً

‘Sungguh Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ (Al-Baqarah: 124).

Karena begitu agungnya kedudukan imamah bagi nabi Ibrahim (as), maka ia memohon kepada Allah swt: ‘Aku memohon juga untuk keturunanku’. Kemudian Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim’. Selanjutnya Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Orang yang jahil tidak akan menjadi imam orang yang bertakwa.”.

Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) bahwa Allah menerima nabi Ibrahim (as) sebagai hamba-Nya sebelum Dia menjadikannya seorang nabi, dapat dipahami dari firman Allah swt:

وَ لَقَدْ ءَاتَيْنَا إِبْرَهِيمَ رُشدَهُ مِن قَبْلُ وَ كُنَّا بِهِ عَلِمِينَ‏. إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَ قَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتى أَنتُمْ لهََا عَكِفُونَ‏. قَالُوا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا لهََا عَبِدِينَ‏. قَالَ لَقَدْ كُنتُمْ أَنتُمْ وَ ءَابَاؤُكمْ فى ضلَلٍ مُّبِينٍ‏. قَالُوا أَ جِئْتَنَا بِالحَْقّ‏ِ أَمْ أَنت مِنَ اللَّعِبِينَ‏. قَالَ بَل رَّبُّكمْ رَب السمَوَتِ وَ الأَرْضِ الَّذِى فَطرَهُنَّ وَ أَنَا عَلى ذَلِكم مِّنَ الشهِدِينَ‏

“Sungguh Kami telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya dan Kami mengetahuinya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya. Ibrahim berkata: Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main. Ibrahim berkata: Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (Al-Anbiya’: 51-56).

Kisah ini menunjukkan bagaimana Allah menjadikan sebagai hamba-Nya pada awal perjalanan hidupnya.
Kita harus mengetahui perbedaan seseorang yang diterima oleh Allah sebagai hamba-Nya dengan orang yang menjadi hamba secara wujudiyah. Karena semua wujud dan ciptaan Allah adalah hamba-Nya, termasuk manusia. Baik yang patuh kepada Allah dan yang menentang-Nya. Semuanya hamba Allah sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

إِن كلُّ مَن فى السمَوَتِ وَ الأَرْضِ إِلا ءَاتى الرَّحْمَنِ عَبْداً

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93).

Ketika manusia berbuat tidak sesuai dengan statusnya sebagai seorang hamba, misalnya berbuat kerusakan dan kesombongan di muka bumi, maka ia tidak lagi dinamakan seorang hamba dilihat dari segi tujuan penciptaannya. Manusia dinamakan seorang hamba jika ia patuh dan tunduk kepada Allah serta mengenal dirinya. Manusia tak pantas dinamai seorang hamba kecuali ia menyadari diri dan perbuatannya sebagai seorang hamba. Manusia seperti inilah yang diterima kehambaannya oleh Allah dan layak menduduki hakikat hamba-Nya sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَ عِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشونَ عَلى الأَرْضِ هَوْناً

“Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…” (Al-Fur’qan: 63).

Berdasarkan keterangan ini jelaslah bahwa ketika Allah menerima seseorang sebagai hamba-Nya di pintu rububiyah-Nya dalam tingkatan wilayah, maka Dia akan menjadikannya sebagai wali terhadap perkara-perkara-Nya sebagaimana Allah menjadi wali terhadap semua urusan hamba-Nya. Kehambaan inilah yang menjadi kunci wilayah sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّىَ اللَّهُ الَّذِى نَزَّلَ الْكِتَاب وَ هُوَ يَتَوَلى الصالِحِينَ

“Sesungguhnya waliku adalah Allah Yang telah menurunkan Al-Quran dan Dia menjadikan orang-orang yang saleh sebagai wali.” (Al-A’raf: 196).

Orang-orang yang sholeh dinyatakan oleh ayat ini sebagai orang-orang yang layak menduduki maqam wilayah, kepemimpinan Ilahiyah.

Kesimpulannya, jika Allah swt menerima dan memilih seseorang sebagai hamba-Nya, maka ia akan dijadikan oleh-Nya sebagai wali-Nya yang akan menduduki maqam wilayah, kepemimpinan Ilahiyah.

Perbedaan Nabi dan Rasul.
Berdasarkan perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) bahwa Allah mengangkat nabi Ibrahim sebagai nabi sebelum menjadikannya sebagai rasul, maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara nabi dan rasul. Perbedaan nabi dan rasul menurut hadis-hadis dari Ahlul bait Nabi saw sebagai berikut:
Seorang nabi melihat melalui mimpinya apa yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. Sedangkan seorang rasul melihat malaikat dan berbicara dengannya.

Proses perkembangan ini nampak dalam kisah nabi Ibrahim (as). Allah swt berfirman:
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan[905] lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Maryam: 41-42).

Ayat ini menunjukkan bahwa Ibrahim (as) menjadi seorang nabi ketika ia menceritakan hal ini kepada ayahnya. Ini adalah penegasan terhadap apa yang telah ia ceritakan pada awal ia mendatangi kaumnya, yaitu:
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (Az-Zukhruf: 26-27).
Kemudian kita perhatikan ayat berikut ini:

وَ لَقَدْ جَاءَت رُسلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشرَى قَالُوا سلاما

“Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.”(Huud: 69).

Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Ibrahim melihat malaikat dan berbicara dengannya. Peristiwa ini terjadi ketika nabi Ibrahim telah berusia lanjut setelah meninggalkan ayah dan kaumnya.

Pengangkatan menjadi Khalilullah.
Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Sesungguhnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai rasul sebelum Dia menjadikannya khalilullah (kekasih Allah).” Maksudnya terkandung di dalam firman Allah swt:

وَ اتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَهِيمَ حَنِيفاً وَ اتخَذَ اللَّهُ إِبْرَهِيمَ خَلِيلاً

“Dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus, dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” (An-Nisa’: 125).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt menjadikan nabi Ibrahim (as) sebagai kekasih-Nya karena ia memperjuangkan dengan tulus-ikhlas agama yang telah ditetapkan oleh Tuhannya. Tema ayat ini menjelaskan kemuliaan agama yang benar, yang karena memperjuangkan agama ini nabi Ibrahim dipilih oleh Allah swt sebagai kekasih-Nya, khalilullah.

Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Sesungguhnya Allah menjadikan nabi Ibrahim (as) sebagai kekasih-Nya sebelum ia menjadikan sebagai seorang imam.” Maksud hadis ini telah kami jelaskan.

Jahil dan Takwa.
Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Orang yang jahil tidak akan menjadi imam orang yang bertakwa.” Pernyataan ini mengisyaratkan pada firman Allah swt:

وَمَن يَرْغَب عَن مِّلَّةِ إِبْرَهِيمَ إِلا مَن سفِهَ نَفْسهُ وَلَقَدِ اصطفَيْنَهُ فى الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فى الاَخِرَةِ لَمِنَ الصالِحِينَ‏. إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسلِمْ قَالَ أَسلَمْت لِرَب الْعَالَمِينَ‏

“Tidak ada yang benci pada agama Ibrahim kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab: Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah:130-131).

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa siapa saja yang membenci agama Ibrahim, ia adalah orang yang bodoh dan zalim. Lawan dari kezaliman dan kebodohan adalah pilihan Ilahi. Allah menjelaskan “pilihan” dengan kata “Islam”, sebagaimana yang dinyatakan dengan firman-Nya:

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسلِمْ

Kemudian Allah swt menjadikan “Islam” dan “Takwa” sebagai kesatuan aplikasi makna, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya:

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لا تمُوتُنَّ إِلا وَ أَنتُم مُّسلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (Ali-Imran: 102).

Hadis yang semakna dengan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) tersebut banyak sekali, bagi yang berminat silahkan merujuk ke kitab-kitab hadis mazhab Ahlul bait (sa). (Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, jilid 1).



Kepemimpinan Ulil-Amri dan Ketaatan padanya

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الاَخِر

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri kalian. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Setelah Allah swt menyerukan hamba-Nya untuk beribadah kepada Yang Maha Esa yang sekutu bagi-Nya, menyebarkan ihsan kepada seluruh kaum mukminin, dan menghinakan orang-orang yang menghina kebenaran dan menyimpang darinya, Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berpegang teguh pada dasar keimanan yang memiliki cabang-cabang hukum, yang di atasnya masyarakat Islam harus meletakkan fondasi hukum. Yakni Allah merintahkan kaum mukminin agar menjalin dan mencintai persatuan di antara mereka, meninggalkan segala perselisihan dan perpecahan di antara mereka dengan cara kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah swt menegaskan bahwa kaum mukminin tidak boleh meragukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini harus menjadi dasar pijakan ketika terjadi perselisihan di antara mereka, yaitu harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena azas ini merupakan dasar dari seluruh syariat dan hukum Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah swt: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”.

Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan Allah swt berikut ini:

أَ لَمْ تَرَ إِلى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْك وَ مَا أُنزِلَ مِن قَبْلِك يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلى الطغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشيْطنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضلَلا بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu.” Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)

فَلا وَ رَبِّك لا يُؤْمِنُونَ حَتى يُحَكِّمُوك فِيمَا شجَرَ بَيْنَهُمْ

“Demi Tuhanmu, mereka sebenarnya tidak beriman kecuali mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’: 65).

Berdasarkan pernyataan Allah swt tersebut tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud mentaati Allah adalah mematuhi semua ilmu dan syariat-Nya yang diwahyukan melalui Rasulullah saw. Adapun mentaati Rasulullah saw memiliki dua sisi:
Pertama: Syariat yang termaktub di dalam hadis dan sunnahnya, yaitu semua penjelasan Rasulullah saw tentang makna Al-Qur’an yang ijmali (global). Ini dinyatakan oleh Allah swt di dalam firman-Nya:

وَ أَنزَلْنَا إِلَيْك الذِّكرَ لِتُبَينَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيهِمْ

“Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).

Kedua: Ketetapan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pemerintahan dan peradilan. Ini dinyatakan oleh Allah swt:

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْك الْكِتَب بِالْحَقّ‏ِ لِتَحْكُمَ بَينَ النَّاسِ بمَا أَرَاك اللَّهُ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (An-Nisa’: 105).

Inilah ketetapan yang menjadi dasar hukum undang-undang peradilan di antara manusia. Rasulullah saw menjadikan ketetapan ini sebagai dasar hukum semua perkara yang dikehendaki. Dalam hal ini Allah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan:

وَ شاوِرْهُمْ فى الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْت فَتَوَكَّلْ عَلى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يحِب الْمُتَوَكلِينَ

“Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-Imran: 159).

Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa ketataan kepada Rasulullah saw miliki makna tertentu, dan mentaati Allah swt juga memiliki makna tertentu. Yang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah itu sendiri. Inilah makna ketaatan kepada Rasulullah saw sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam firman sebelumnya, yaitu: “Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64).

Allah swt yang paling mengetahui maksud pengulangan perintah “ketaatan” dalam ayat ini, yaitu:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ

Kebanyakan mufassir tidak menjelaskan bahwa pengulangan tersebut sebagai “taukid” (penguat) dalam istilah ilmu bahasa arab. Sekiranya tanpa pengulangan, misalnya:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ الرَّسولَ

maksud ayat ini dapat dicapai, karena memang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt, yakni dua ketaatan ini pada hakikatnya satu; maka sia-sialah pengulangan yang menunjukkan taukid itu.

Tentu, sebenarnya dalam pengulangan itu ada maksud dan tujuannya. Perlu diketahui bahwa “Ulil-Amri” itu tidak menerima wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat, mereka wajib ditaati jika mereka sesuai dengan ketetapan dan sunnah Rasulullah saw. Karena itu, ketika Allah menyebutkan keharusan mengembalikan keputusan, Dia hanya menyebutkan Allah dan Rasul-Nya:
“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Kepada siapa ditujukan perintah “mengembalikan keputusan kepada Allah dan Rasul-Nya”? Hanya orang-orang mukmin? Atau keduanya yaitu orang-orang mukmin dan ulil-amri?

Jawabannya: hanya orang-orang mukmin. Ini ditegaskan khithab firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…”.

Karena yang dimaksud dengan “Jika terjadi perselisahan pendapat” adalah perselisihan pendapat yang terjadi di antara orang-orang mukmin, bukan perselisihan orang-orang mukmin dengan ulil-amri. Karena sebenarnya orang-orang mukmin tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri. Mengapa? Karena ulil-amri wajib ditaati.

Penjelasan ini dikuatkan oleh “Qarinah” (kaitan) ayat-ayat berikutnya, yang mencela orang-orang yang kembali pada hukum thaghut, tidak kembali pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Padahal hukum Allah dan Rasul-Nya tempat mengembalikan semua persoalan yang diperselisihkan. Yakni hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an dan sunnah adalah dua hujjah yang qath’i bagi orang-orang yang memahaminya secara mendalam. Sementara dalam hal ini, semestinya yang paling memahaminya secara mendalam adalah ulil-ami sebagai penerus Rasulullah saw. Selain itu, perintah Allah swt dalam ayat ini tentang ketaatan kepada ulil-amri tanpa syarat dan batas. Karena ketaatan kepada ulil-amri, sebagai penerus Rasulullah saw, adalah ketaatan kepada Rasulullah saw, dan ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt.

Dari uraian ini jelaslah bahwa ulil-amri bukanlah mereka yang membuat hukum baru, dan menghapus hukum yang telah ditetaptkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri, karena ketetapan ulil-amri sebenarnya adalah ketetapan Rasulullah saw. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah swt:

وَ مَا كانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضى اللَّهُ وَ رَسولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لهَمُ الخْيرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَن يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسولَهُ فَقَدْ ضلَّ ضلَلاً مُّبِيناً

“Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

Siapakah Ulil-amri?

Ulil-Amri harus ma’shum.

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya jelaslah bahwa ketetapan Rasulullah saw adalah ketetapan Allah swt dalam persoalan ini dan persoalan yang lebih umum. Karena itu untuk kelangsungan persoalan ini kita harus memfokuskan pandangan pada persoalan wilayah, kepemimpinan Islam; menggali rahasia hukum Allah dan Rasul-Nya tentang persoalan ini dan persoalan yang lain.

Bagi kita tidak ada pilihan yang lan tentang ulil-amri dan ketetapannya kecuali apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Allah tidak menyebutkan ulil-amri ketika menyuruh mengembalikan keputusan saat terjadi perselisihan:

فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ

“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59).

Ini menunjukkan adanya satu ketaatan kepada Allah, dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan ulil-amri.

Karena Allah swt berfirman:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ

“Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil-amri kalian.”.

Ini menunjukkan adanya ketaatan mutlak kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak mungkin memerintahkan atau melarang sesuatu yang bertentangan dengan Allah swt. Dan ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Rasulullah saw tanpa adanya kema’shuman beliau, penjagaan dari Allah swt.

Demikian juga kema’shuman itu harus dimiliki oleh ulil-amri. Orang yang tidak mendalam pandangannya tentang makna Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya konsep kema’shuman. Karena itu mereka mengatakan bahwa ulil-amri tidak harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.
Mereka mengatakan, ayat ini hanya menjelaskan hukum tentang kemaslahatan umat Islam dan masyarakatnya agar terpelihara dari perselisihan dan peperangan sesama umat Islam. Karenanya ulil-amri harus ditetapkan dan dipilih oleh umat dan masyarakat. Mereka memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi ulil-amri guna dapat melangsungkan Islam dan ia wajib ditaati. Mereka sebenarnya sadar bahwa ulil-amri mereka punya peluang besar untuk melakukan kemaksiatan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Jika ulil-amri melakukan kesalahan atau kemaksiatan, maka ia tidak boleh diaati dan harus dinasehati. Jika tidak jelas kesalahan dalam menetapkan hukum, maka keputusan hukumnya boleh dilaksanakan. Jika jelas kesalahannya, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi kemaslahatan dan persatuan masyarakat Islam, dan agar pemerintahan Islam terpelihara dari perpecahan. Mereka menganggap hal seperti ini sebagai kemaslahatan walaupun harus menanggung banyak keraguan dan kesalahan. Inilah pendapat kebanyakan mufassir.

Pendapat seperti inilah yang menyatakan: inilah kondisi ulil-amri yang dimaksudkan oleh ayat ini, dan yang wajib ditaati. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin wajib mentaati ulil-amri; jika ia menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, maka ia tidak boleh diaati dan tidak boleh dilaksanakan keputusannya, karena Rasulullah saw bersabda:

لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah swt.”

Hadis ini nampak membatasi kemutlakan makna ayat ini. Jika kesalahan dan pelanggaran ulil-amri diketahui harus dikembalikan pada kebenaran hukum Al-Qur’an dan sunnah. Jika kesalahan itu tidak diketahui secara jelas, maka hukumnya tetap dilangsungkan seperti tidak ada kesalahan, demi kemaslahatan, persatuan, dan kejayaan umat Islam. Pandangan seperti ini merujuk secara lahiriyah pada kaidah Ushul Fiqih. Yakni, demi kokohnya kondisi hukum dalam realita, jika terjadi perbedaan yang mengarah pada kerusakan yang lazim, maka dapat diperbaiki dengan kemaslahatan. (Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, tentang surat An-Nisa’: 59).
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: