Higher Education and Education
Governance, ACDP Indonesia menilai, penyebaran radikalisme bisa
terjadi melalui buku mata pelajaran pendidikan agama di sekolah.
Menurut lembaga internasional tersebut, hal itu terjadi dikarenakan buku mata pelajaran agama tidak diterbitkan oleh Kementerian Agama melainkan dari penerbit.
Hal itu diungkapkan Lead Adviser on Skills Development, Abdul malik dalam kongkow pendidikan, diskusi ahli dan tukar pendapat di Gedung Kementerian Pendidikan, Rabu 4 November 2015.
“Banyak buku yang diterbitkan justru dari penerbit ternama seperti Erlangga atau Yudhistira bukan dari Kementerian Agama sendiri,” ujarnya.
Amin meyebutkan, pada kurikulum sebelumnya, Kementerian Agama memang belum dilibatkan dalam penyusunan materi dalam buku pendidikan agama. “Tapi setelah banyak kasus tentang buku yang mengandung unsur sara dan pornografi jadi saat ini kita telah dilibatkan,” ungkap Malik.
Saat ini, Kementerian Agama juga telah menyeleksi ketat buku pendidikan agama yang beredar untuk menekan penyebaran paham radikalisme di sekolah.
Selain melalui buku, pesan radikal secara tidak langsung juga menginfiltrasi atau menyusup ke dalam sekolah melalui sumber yang berada di luar sekolah yaitu melalui media massa, terutama televisi dan juga melalui orang tua dan anggota keluarga, tetangga, organisasi dalam ekstrakulikuler.
“Media massa seperti televisi dan radio cenderung menjadi jalur yang paling populer,” tuturnya.
Organisasi masyarakat juga dianggap menarik karena menawarkan hubungan kekerabatan yang menarik bagi siswa muda yang duduk di bangku SMP dan SMA.
“Sebuah hubungan kolegial adalah bentuk kontak sosial yang diinginkan oleh banyak anak muda yang dapat menginspirasi mereka untuk menjadi aktif terlibat dalam organisasi termasuk organisasi masyarakat Islam radikal,” paparnya.
Menurut Malik, salah satu cara untuk mengurangi pengaruh pandangan radikal adalah dnegan menerapkan kearifan lokal.
“Jika kearifan lokal terbukti membantu dalam memfasilitasi sikap toleransi di antara masyarakat pluralistik,” pungkasnya.
(Satu-Islam/ABNS)
Menurut lembaga internasional tersebut, hal itu terjadi dikarenakan buku mata pelajaran agama tidak diterbitkan oleh Kementerian Agama melainkan dari penerbit.
Hal itu diungkapkan Lead Adviser on Skills Development, Abdul malik dalam kongkow pendidikan, diskusi ahli dan tukar pendapat di Gedung Kementerian Pendidikan, Rabu 4 November 2015.
“Banyak buku yang diterbitkan justru dari penerbit ternama seperti Erlangga atau Yudhistira bukan dari Kementerian Agama sendiri,” ujarnya.
Amin meyebutkan, pada kurikulum sebelumnya, Kementerian Agama memang belum dilibatkan dalam penyusunan materi dalam buku pendidikan agama. “Tapi setelah banyak kasus tentang buku yang mengandung unsur sara dan pornografi jadi saat ini kita telah dilibatkan,” ungkap Malik.
Saat ini, Kementerian Agama juga telah menyeleksi ketat buku pendidikan agama yang beredar untuk menekan penyebaran paham radikalisme di sekolah.
Selain melalui buku, pesan radikal secara tidak langsung juga menginfiltrasi atau menyusup ke dalam sekolah melalui sumber yang berada di luar sekolah yaitu melalui media massa, terutama televisi dan juga melalui orang tua dan anggota keluarga, tetangga, organisasi dalam ekstrakulikuler.
“Media massa seperti televisi dan radio cenderung menjadi jalur yang paling populer,” tuturnya.
Organisasi masyarakat juga dianggap menarik karena menawarkan hubungan kekerabatan yang menarik bagi siswa muda yang duduk di bangku SMP dan SMA.
“Sebuah hubungan kolegial adalah bentuk kontak sosial yang diinginkan oleh banyak anak muda yang dapat menginspirasi mereka untuk menjadi aktif terlibat dalam organisasi termasuk organisasi masyarakat Islam radikal,” paparnya.
Menurut Malik, salah satu cara untuk mengurangi pengaruh pandangan radikal adalah dnegan menerapkan kearifan lokal.
“Jika kearifan lokal terbukti membantu dalam memfasilitasi sikap toleransi di antara masyarakat pluralistik,” pungkasnya.
(Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email