Model pendidikan Islam di
Indonesia direncanakan perpaduan nilai-nilai baik pendidikan Barat dan
ke-Islaman Timur Tengah yang diharapkan memiliki respo terhadap budaya
dan sekaligus respon terhadap relijiusitas.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, di kantornya di Lapangan Banteng, Jakarta 4 Oktober 2015.
“Saya menyebut pendidikan Islam kita itu dual purpose (memiliki tujuan ganda),” kata Kamaruddin.
Tujuan ganda pendidikan Islam, yang dimaksud Dirjen Pendis, adalah pertama agar pendidikan agama Islam membuat anak didik menjadi perekat sosial budaya atau sebagai instrumen kohesi di tengah masyakarat.
Sementara tujuan kedua pendidikan model ini, setiap siswa dituntut agar terus menjalankan ibadah sesuai syariah atau taat dan sholeh beribadah.
Dengan kata lain, lanjut dia, yang dimaksud tujuan ganda itu adalah pendidikan Islam di Indonesia mengajarkan siswa didik agar mempraktikkan nilai-nilai pluralisme sekaligus kereligiusan secara bersamaan.
“Anda meyakini Islam sebagai agama benar yang diyakini, tapi kita juga harus tahu teman kita yang beragama lain, mereka meyakini agamanya sama benarnya pula,” kata Kamaruddin.
Menurut dia, konsep keberagaman dan religiusitas patut dipahami. Dalam konteks lain, pertemanan di antara siswa harus bersifat terbuka. Artinya pendidikan agama Islam di Indonesia tidak pernah menyuruh siswa agar mengisolasi diri dari teman yang berbeda agama.
Maka dari itu, kata dia, pendidikan Islam harus mendorong pada keterbukaan interaksi di antara sesama.
“Keberagaman ini harus diajarkan di negara ini. Dengan begitu, kita akan menghargai orang lain, tetangga dan teman yang berbeda agama. Inilah Islam yang rahmatan lilalamin (rahmat untuk alam semesta),” kata dia.
Lebih lanjut dia berharap agar pendidikan Islam dapat terus berkontribusi dalam menjaga nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang tetap religius.
Atas dasar itu, Kamaruddin berpendapat jika Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi.
“Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di satu sisi, tapi juga negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Islam dan demokrasi bisa ditemukan kompatibilitasnya di sini,” kata dia.
(Satu-Islam/ABNS)
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, di kantornya di Lapangan Banteng, Jakarta 4 Oktober 2015.
“Saya menyebut pendidikan Islam kita itu dual purpose (memiliki tujuan ganda),” kata Kamaruddin.
Tujuan ganda pendidikan Islam, yang dimaksud Dirjen Pendis, adalah pertama agar pendidikan agama Islam membuat anak didik menjadi perekat sosial budaya atau sebagai instrumen kohesi di tengah masyakarat.
Sementara tujuan kedua pendidikan model ini, setiap siswa dituntut agar terus menjalankan ibadah sesuai syariah atau taat dan sholeh beribadah.
Dengan kata lain, lanjut dia, yang dimaksud tujuan ganda itu adalah pendidikan Islam di Indonesia mengajarkan siswa didik agar mempraktikkan nilai-nilai pluralisme sekaligus kereligiusan secara bersamaan.
“Anda meyakini Islam sebagai agama benar yang diyakini, tapi kita juga harus tahu teman kita yang beragama lain, mereka meyakini agamanya sama benarnya pula,” kata Kamaruddin.
Menurut dia, konsep keberagaman dan religiusitas patut dipahami. Dalam konteks lain, pertemanan di antara siswa harus bersifat terbuka. Artinya pendidikan agama Islam di Indonesia tidak pernah menyuruh siswa agar mengisolasi diri dari teman yang berbeda agama.
Maka dari itu, kata dia, pendidikan Islam harus mendorong pada keterbukaan interaksi di antara sesama.
“Keberagaman ini harus diajarkan di negara ini. Dengan begitu, kita akan menghargai orang lain, tetangga dan teman yang berbeda agama. Inilah Islam yang rahmatan lilalamin (rahmat untuk alam semesta),” kata dia.
Lebih lanjut dia berharap agar pendidikan Islam dapat terus berkontribusi dalam menjaga nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang tetap religius.
Atas dasar itu, Kamaruddin berpendapat jika Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi.
“Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di satu sisi, tapi juga negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Islam dan demokrasi bisa ditemukan kompatibilitasnya di sini,” kata dia.
(Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email