Patung Willem I, pendiri Kerajaan Belanda, di Den Haag, Belanda. (Foto: Bonnie Triyana)
PADA Sabtu, 4 Mei yang lalu di lapangan Dam, Amsterdam, ribuan orang berkumpul untuk memperingati hari kemerdekaan Belanda dari cengkeraman pendudukan Nazi Jerman. Orang-orang di sini menyebutnya sebagai Bevrijdingsdag atau hari pembebasan. Tepat pukul 8 malam, meriam berdentum, orang-orang menundukkan kepala; saling berpegangan tangan, mengenang para korban yang tewas dan mengingat kembali semua tragedi yang terjadi pada hari-hari pendudukan rezim fasis Jerman.
Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima juga turut hadir dalam upacara peringatan tersebut. Walikota Amsterdam Eberhard van der Laan memberikan sambutannya dan Nienke Woltmeijer, seorang gadis 18 tahun, membacakan puisinya yang berjudul “De Stille Getuige” atau “Saksi Bisu”. Puisi Nienke terpilih sebagai karya terbaik dalam lomba puisi remaja usia 14–19 tahun. Dia mendapatkan kehormatan untuk membacakannya sendiri di dalam peringatan Hari Pembebasan Belanda di Amsterdam.
Dalam puisinya, dia bercerita tentang sebatang pohon yang menjadi saksi bisu kekejaman perang. “Dedaunan mengisahkan kenangan, ranting-ranting menuturkan kisah...akar menyerap air mata. Pohon itu menyampaikan sebuah cerita tentang hal yang takkan pernah bisa dilupakan,” kata Nienke membacakan sajaknya.
Bagi orang Belanda, pendudukan Jerman di negerinya teramat membekas; meninggalkan kenangan pahit yang sangat mendalam. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah tentang Anne Frank, seorang anak berusia 13 tahun yang terpaksa harus bersembunyi dari kejaran Nazi karena berdarah Yahudi.
Selama masa persembunyiannya di sebuah rumah di Amsterdam, Anne menuliskan semua pengalamannya dibuku hariannya sejak 12 Juni 1942 sampai 1 Agustus 1944. Setelah itu dia berhenti mencatat. Kemungkinan besar persembunyiannya di “Achterhuis” diketahui tentara Nazi. Anne dan Margot Frank, saudara perempuannya, dibawa ke kamp konsentrasi Bergen-Belsen. Anne meninggal pada Maret 1945 karena sakit typus kronis.
Kisah Anne menarik minat Jessica Durlaher dan Leon de Winter, pasangan suami istri yang juga penulis terkenal di Belanda untuk menulis kisah Anne sebagai naskah pertunjukan teater. Kamis, 8 Mei kemarin, teater yang berjudul “ANNE” itu resmi dibuka dan turut pula dihadiri oleh Raja Willem-Alexander.
Masa lalu yang penuh tragedi dirayakan pada awal Mei ini. Kisah sejarah dimaknai ulang dan mungkin diresapi sebagai pengalaman yang tak pernah diharapkan untuk terulang kembali. Bagaimana tidak, Jerman datang ke sini pada 10 Mei 1940. Tanpa basa-basi membombardir Rotterdam sampai luluh lantak. Sedangkan tentara Belanda hanya bisa mempertahankan tanah airnya enam hari saja!!
Belanda memang tidak pernah siap untuk berperang. Tak punya barisan tentara yang hebat, sebagaimana yang dimiliki oleh Jerman. Selalu punya kekhawatiran terhadap perang. Bukan saja di negerinya sendiri, di Indonesia, saat masih bernama Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda pun selalu cemas terhadap kemungkinan merambatnya perang.
Kala Perang Dunia Pertama berkecamuk di Eropa pada 1914-1918, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia risau. Maka mereka datang dengan ide pertahanan Hindia, atau dikenal dengan sebutan “Indie Werbaar”. Ini adalah proyek pemerintah kolonial untuk membentuk milisi yang terdiri dari warga pribumi untuk mempertahankan diri apabila kelak perang berkecamuk sampai ke Hindia Belanda.
Gagasan itu ditolak oleh beberapa tokoh pergerakan, salah satunya Henk Sneevliet, yang kelak menjadi salah satu tokoh utama di dalam perlawanan bawah tanah terhadap pendudukan Nazi di Belanda. Dalam terbitan ISDV Het Vrije Woord, Sneevliet menulis sebuah sajak yang bernada mengejek rencana tersebut. Begini cuplikannya,
Buitenlandsche vijand / Musuh dari luar
Nu ben ik hier de Baas/ Sekarang saya jadi penguasa di sini
Werbaar Comite:/ Komite Pertahanan:
“Kom, kromo sta hem teweer”/ Ayo kromo lawanlah dia
Java:/ orang Jawa:
“Dank je wel! Ik Vecht niet mee”/ Terima kasih! Saya tidak mau ikut bertempur
Mas Marco Kartodikromo dan Semaun pun sependapat dengan Sneevliet. Buat apa mereka ikut bertempur untuk sebuah negeri yang sedang dijajah oleh Belanda. Dan mereka merasa kenapa harus melindungi negerinya dari serangan bangsa asing sedangkan ada bangsa lain yang sedang menjajah mereka. Pemerintah kolonial Belanda memang terlihat culas saat itu. Mereka tak mau menanggung resiko kehilangan jajahannya dan menjadikan warga jajahannya sebagai tameng.
Belanda yang kelimpungan ketika diduduki Jerman justru merasa kelimpungan pula ketika banyak tuntutan kemerdekaan dari negeri jajahannya. Belanda tak ingin dijajah, tapi mereka tak jua ingin melepaskan jajahannya. Seperti kata Bung Karno, Indonesia serupa gabus yang membuat Belanda bisa tetap mengapung. Tanpa Indonesia, saat itu, Belanda bisa karam.
Tak aneh kalau selepas Perang Dunia Kedua selesai, mereka mencoba datang lagi. Mencari-cari celah untuk mengembalikan cengkeraman kekuasaan mereka di seantero Indonesia. Orang Belanda punya istilah ‘Indie verloren rampspoed geboren’, ‘Indonesia merdeka, bencana menimpa negeri Belanda’. “Tapi saat itu memang Belanda miskin benar. Kami tak punya banyak uang dan masih tergantung pada Indonesia,” kata Bert van der Zwan pada saya dua hari lalu (7/5). Bert adalah sejarawan Departemen Luar Negeri Belanda.
Kini memang semua telah berubah. Belanda telah merdeka dari Jerman. Indonesia sudah merdeka dari Belanda. Paling tidak begitu teorinya. Pada intinya, tak satu pun manusia mau dijajah. Memanglah benar apa kata pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email