Yati Aruji membawa "obor perjuangan" prajurit wanita angkatan ′45 dalam acara Reuni Nasional Wanita Pejuang tahun 1976 di Sasono Langen Budoyo Jakarta. (Foto: Dok. Wirawati Catur Panca)
PASCA pengakuan kedaulatan, Yati Aruji dan para anggota Laswi kembali ke masyarakat untuk menghadapi tantangan baru. Yati tetap aktif dalam kegiatan sosial-politik. Dia menjadi anggota dewan pengurus Yayasan Ibu Sukarno yang digagas Ibu Negara Fatmawati. Yayasan ini mendirikan sebuah rumah sakit khusus anak-anak yang menderita TBC. Sejak 23 Mei 1967, rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Fatmawati.
Yati juga menjadi anggota Jajasan Perdamaian Sukarno yang dibentuk pada 1961. Menurut Ibrahim Isa dalam Bui Tanpa Jerajak Besi, Komite (Jajasan) Perdamaian ini terbentuk setelah kembalinya pemuda-pemudi Indonesia dari Festival Pemuda Sedunia di Berlin yang bertema perdamaian dunia dan demokrasi. Isa sendiri diangkat sebagai sekretaris II, yang kemudian diganti Soeroso, karena dia berada di luar negeri. Jajasan ini dibekukan oleh Presiden Soeharto pada 6 Maret 1972.
Pada 1950-an, terjadi ketegangan antara Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Islam. Pasalnya, tulis Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Gerwani terpukau dengan kemajuan dan modernisasi yang dijanjikan sosialisme, yang mengakibatkan diabaikannya kebudayaan tradisional dan agama, khususnya Islam. Gerwani mengkritik praktik adat dan agama, seperti perkawinan, yang masih mendiskriminasikan perempuan.
“Tokoh perempuan yang berusaha keras menjembatani kesenjangan antara Gerwani dan Islam adalah Ny. Aruji Kartawinata dari PSII, Ny. Utami Suryadharma, dan Ny. H. Subandrio, termasuk para tokoh yang simpati pada Gerwani; serta Ny. Aminah Hidayat yang pernah menjadi anggota Gerwani,” tulis Saskia. Bahkan, PSII menjadi satu-satunya organisasi yang kaum perempuannya kadang-kadang ikut-serta dalam demonstrasi yang dilakukan oleh Gerwani dan Wanita SOBSI seputar masalah sosial-ekonomi.
Menurut Saskia, Ny. Aruji secara garis besar menyampaikan pandangannya tentang Islam dan perempuan dalam seminar tentang perempuan dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, membeberkan tentang kesesuaian Islam dengan “ilmu pengetahuan sekuler”, seperti misalnya menekankan saling mencintai antara suami-istri dan kenyataan bahwa Islam tak mencegah perempuan aktif dalam bidang ekonomi.
Simpati Yati terhadap Gerwani berakhir setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965. Pada 5 November 1965 dibentuk Seksi Wanita Badan Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu Pusat, terdiri dari Muslimat NU, Wanita Marhaen, Gerwa PSII, Aisyiah, Wanita Perti, Wanita Katolik, PII, dan HMI. Mereka mengorganisasi satu demonstrasi massa yang diikuti 25 ormas, khususnya pelajar dan mahasiswa. Mereka diterima Mayjen Soeharto dan Brigjen Djuhartono.
“Sebuah resolusi yang telah disiapkan seksi ini dibacakan Ny. Aruji Kartawinata,” tulis Stanley dalam Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan.
Resolusi tersebut “mengutuk perbuatan Gerwani, yang telah menjatuhkan derajat kaum wanita, dan mendesak kepada Presiden agar segera menyatakan pelarangannya terhadap PKI, Gerwani, dan ormas-oramasnya yang lain, demi menyelamatkan generasi muda dari pengaruh dekaden dan kekejaman yang dilakukan organisasi itu.”
Sehati dengan sikap istrinya, Aruji Kartawinata yang saat itu menjadi ketua DPR-GR mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, penurunan harga, dan perbaikan sandang-pangan. Aruji menyampaikan tuntutan itu kepada Presiden Sukarno pada 13 Januari 1966.
“Mungkin karena sikap ini Aruji diberhentikan sebagai ketua DPR-GR pada Februari 1966 bertepatan dengan diadakannya reshuffle kabinet,” tulis A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum. Aruji kemudian hanya menjadi anggota biasa DPR-GR (1966-1968). Pada masa Orde Baru, Aruji diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari 1968 hingga wafatnya pada 13 Juli 1970.
Pada 20 Mei 1972, Yati mendirikan Yayasan Ibu Yudha Kencana Bhakti. Dia dengan sekira 50 mantan anggota Laswi mendirikan cabang di daerah-daerah tempat mereka dulu berjuang antara lain Bogor, Bandung, Banten, Serang, Rangkasbitung, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Atas restu Ibu Negara Tien Soeharto, mantan pendiri Laskar Putri Indonesia Surakarta, Yati mengadakan pertemuan akbar eks pejuang wanita dari berbagai kelaskaran pada 6-8 Maret 1976. Hasil reuni memutuskan untuk membentuk wadah yang menampung semua oraganisasi kelaskaran yang berjuang pada masa revolusi. Yati ditunjuk sebagai ketua pembentukan organisasi tersebut. Akhinya, pada 30 Juni 1976 terbentuk Yayasan Wirawati Catur Panca, yang menampung para mantan pejuang wanita terutama dari Laswi, Laskar Putri Indonesia, Barisan Putri Indonesia, dan Wanita Pembantu Perjuangan.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email