Intelektual muda NU Akhmad Sahal, Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin, dan Ketua Fraksi PKB Ahmad Helmy Fasihal Zaini (kiri ke kanan) menjadi nara sumber pada Halaqoh Kebangsaan dengan tema “Islam Nusantara: Mengembangkan Sikap Toleran, Moderat, dan Maslahah” di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu 19 Agustus 2015 (Foto; Kompas)
Islam Nusantara yang berwatak toleran, moderat, dan mengutamakan kemaslahatan umat ini diharapkan dapat menjadi pola pikir dan tindakan bangsa Indonesia dalam membangun dan memajukan bangsa, utamanya pada konteks interaksi lintas agama dan keyakinan.
Namun karena masih banyak warga Muslim di negeri ini yang belum memahami Islam Nusantara, perlu ada kajian mendalam tentang konsep Islam Nusantara sekaligus rumusan strategis untuk menindaklanjuti konsep ini.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Akhmad Sahal menyatakan, persoalan bukan pada istilah Islam Nusantara. Menurutnya, substansi Islam Nusantara yang berwujud kontekstualisasi ajaran Islam dalam lingkup budaya Indonesia lebih penting untuk diperhatikan. Hal ini yang kerap disalahpahami kebanyakan orang dengan menuduhnya produk liberal.
“Misal ini kaitan dengan Islam liberal. Hal tersebut tidaklah tepat,” jelasnya dalam diskusi Halaqoh Kebangsaan di Gedung DPR RI, Rabu 19 Agustus 2015.
Dia menyatakan dalam kaidah ushul fiqh ada dua prinsip dalam memandang Islam. Yakni, ketentuan tsawabit dan ketentuan mutaghayyirat. Tsawabit, sifatnya prinsip dan tidak bisa diubah. Sedangkan, mutaghayyirat sifatnya tidak tetap.
“Misal, kalau tsawabit terkait akidah dan ibadah. Hal itu tak bisa diubah,” jelasnya. Sedangkan untuk mutaghayyirat, sifatnya seperti yang berhubungan dengan muamallah.
Dia menegaskan, Islam nusantara dalam konteks ini masuk dalam kategori mutaghayyirat. Sifatnya luwes dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Contohnya, jelas seperti Wali Songo yang melakukan dakwah dengan metode budaya.
(Kompas/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email