Pesan Rahbar

Home » » Pahami Budaya Saudi, Selamatkan TKI

Pahami Budaya Saudi, Selamatkan TKI

Written By Unknown on Wednesday 13 July 2016 | 19:40:00


Kasus Satinah kembali menarik perhatian kita atas nasib para Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi. Seperti kasus-kasus sebelumnya, ia hanyalah contoh dari beragam kasus yang lain. Untuk melindungi para TKI tersebut, penting untuk memahami permasalahannya secara utuh, termasuk memahami lingkungan budaya Arab Saudi yang menjadi tempat mereka bekerja.

Arab Saudi adalah negara tujuan utama Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Setidaknya terdapat 1,2 juta TKI yang mengadu nasib di Negara Petro Dolar itu (BBC). Angka ini belum termasuk mereka yang tidak mempunyai izin tinggal resmi. Sesuai peraturan yang berlaku, Warga Negara Asing akan mendapat iqamah (residence permit) sebagai identitas pengganti passport yang ditahan oleh kafil (agen penjamin) selama mereka tinggal di sana. Paspor pelajar akan ditahan pihak Kampus, sedang paspor pekerja akan ditahan pihak perusahaan. Para TKI ini umumnya bekerja sebagai kuli bangunan, dan pekerjaan kasar lainnya seperti di Kontraktor Bin Ladin, sisanya menjadi sopir pribadi, penjaga toko ataupun pramusaji di restoran.

Adapun Tenaga Kerja Wanita (TKW) kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Khusus TKW, gaji mereka sekitar 800 s.d. 1000 SAR (2,4 s.d 3 juta rupiah dengan kurs 1 Riyal=Rp.3000). Tidak terlalu banyak memang, tapi pesona Haramain (kota suci Mekah -Madinah) dan peluang haji dan umroh menjadi magnet utama kedatangan mereka. Sering majikan menjadikan peluang haji sebagai iming-iming TKW agar bisa bertahan di rumahnya.

Ada sekitar 7,2 juta pekerja asing di Saudi. Bila dibandingkan dengan penduduk Saudi (citizen) yang hanya 27 juta orang, maka prosentasenya menjadi sekitar 26 persen. Bisa dikatakan, satu dari empat orang di Saudi adalah warga asing. Secara sederhana, struktur sosial masyarakat Saudi dari kelas terendah terdiri dari Cleaning Service (didominasi orang Bangladesh), Pembantu Rumah Tangga (Indonesia), supir taksi (Pakistan-India), Buruh Bangunan (Indonesia-Afghanistan), penjaga toko (Philippina), Teknisi (India), Pelajar dan Professional (All), serta Orang Saudi sendiri yang selalu ingin jadi mudir (direktur) di segala sisi kehidupan.


Konteks Budaya Arab

Di negara-negara Arab seperti Saudi para wanitanya dilarang bekerja, menyetir mobil, pergi tanpa mahram atau beraktivitas lain di luar rumah. Hal ini membawa konsekuensi logis mahalnya mahar yang dituntut wali tatkala menikahkan anak putrinya. Biasanya sang ayah menuntut agar calon suami bisa menyiapkan rumah, mobil, lengkap dengan supir dan pembantunya. Hal ini terkait fakta bahwa istri tidak boleh bekerja alias hanya mengandalkan pemberian nafkah dari sang suami. Artinya, sudah menjadi tradisi di masyarakat Arab bahwa laki-laki menjamin seluruh kehidupan wanita. Bahkan mereka menganut ajaran fiqh bahwa tugas memberi nafkah itu bukan sekedar bahan makanan mentah, tapi makanan jadi. Singkatnya, istri tidak punya kewajiban memasak. Makanan siap santap adalah tugas suami untuk menyajikannya. Itulah mengapa permintaan TKW di Saudi begitu tinggi. Hal ini karena para istri tidak bersedia masak, cuci piring, cuci baju, siram tanaman, dan seterusnya seperti layaknya wanita Indonesia. Suami wajib menyediakan pembantu untuk melaksanakan semua hal di atas.

Secara adat, adalah hal tabu bagi masyarakat Saudi ketika kita menanyakan “Sudahkah anda menikah?” “Berapa umurmu? “ atau “siapa istri anda?” Bagi mereka istri adalah privasi. Dalam kehidupan keseharian, wanita Saudi itu bercadar, memakai abaya (pakaian serba hitam) seperti difatwakan ulama setempat, serta keluar-masuk perumahan mengendarai mobil. Rumah mereka yang berpagar tinggi menjadikan interaksi TKW dengan dunia luar dan komunitasnya sangat terbatas. Tidak pula ada budaya arisan layaknya di Indonesia, sehingga interaksi antar tetangga begitu tetutup. Ini juga yang menjadikan kasus kekerasan terhadap TKW sulit dideteksi dan ditanggulangi, disamping faktor enggannya para TKI pada umumnya untuk melaporkan diri ke KBRI seperti diamanatkan Undang-undang.


Pendekatan Sebab, bukan Akibat

Kasus ibu Satinah yang ramai dibicarakan media nasional baru-baru ini hendaknya dilihat tidak hanya dari faktor akibat, namun lebih prinsip lagi adalah faktor sebab. Faktor sebab itu adalah tidak diperhatikannya fitrah dan sisi psikologis seorang TKW.

Dalam kompleksnya perbedaan budaya masyarakat Saudi, lingkungan yang “panas” serta karakter majikan yang tidak bersahabat, seorang TKW dituntut untuk bekerja maksimal dengan beban kerja yang tinggi (hampir 24 jam sehari). Sayangnya, tidak terdapat keluarga atau komunitas yang dapat menjadi faktor pengurang stress, menjadikan potensi tekanan psikologis senantiasa bertambah dan pada akhirnya berujung pada tindakan kriminal seperti membunuh majikan.

Tentu sebagai sesama anak bangsa kita senantiasa berprasangka baik bahwa hal itu terjadi atas unsur ketidak sengajaan. Namun, negara Saudi mempunyai mekanisme hukum tersendiri yakni Qishash, sebuah pilihan hukum untuk kasus Pembunuhan sengaja (al-qatlul amd) yang berlaku di seluruh wilayah hukum Saudi. Bila wali atau ahli waris dari orang yang terbunuh memaafkan, maka di sana ada Diyat, yakni denda pengganti jiwa yang tidak dilakukan padanya hukuman bunuh yang biasanya diukur setara 100 ekor unta.

Dalam konteks ini, yang berhak memberi pemaafan adalah ahli waris korban (auliyaud dam). Raja Saudi sendiri tidak punya hak prerogatif untuk menghentikan hukum pancung layaknya hak grasi seorang presiden. Yang dapat dilakukan kepala negara sebatas nasehat dan anjuran untuk memaafkan. Dalam konteks inilah diperlukan lobi pemerintah RI meminta Pemerintah Saudi untuk mempengaruhi ahli waris. Namun, jika ahli waris korban tidak memberi maaf, hukum Qishash tetap dilaksanakan meski Raja atau presiden telah berusaha menganjurkan pemaafan.

Baru-baru ini Pemerintah RI melalui Menakertrans Muhaimin Iskandar pada 19 Februari lalu mencabut moratorium pengiriman TKI ke Saudi. Hal ini patut disesalkan mengingat keputusan yang terkesan terburu-buru tanpa konsultasi lebih lanjut ke DPR. Ke depan, Pemerintah RI perlu mengajukan syarat –syarat super ketat untuk melindungi TKW agar kasus-kasus serupa tidak berulang, sesuai dengan konteks budaya Saudi yang akan mereka hadapi.

Pertama, beri syarat wajib bagi majikan untuk mendatangkan mahram (suami) dan beri tempat tinggal terpisah dengan majikan (misalnya di samping rumah majikan). Seorang TKW dapat bekerja pada majikan siang harinya, sedang malam hari bisa pulang ke anak dan suami. Bagi yg lajang agar sediakan asrama. Kedua, beri hari libur sepekan sekali untuk rekreasi. Hal ini menjadikan TKW dapat melepaskan kejenuhan selama bekerja hingga psikologis TKW terjaga dari hal-hal buruk. Ketiga, perlu diperhatikan bahwa konon hanya ada dua tipe orang Arab: baik sekali seperti Abu Bakar atau jahat sekali seperti Abu Jahal. Pastikan mereka dapatkan majikan tipe pertama. Keempat, penindakan tegas pada PJTKI yang berbuat nakal dan tidak mau tanggung jawab mengurusi permasalahan tenaga kerja yang dikirimkannya.

(Dunia-Tim-Teng/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: