Jika teori evolusinya Charles Darwin kita cangkokkan pada perkembangan sosial-ekonomi dunia, untuk tidak menyebut “ideologi dunia” [karena tokoh mazhab Frankfurt, Theodore Adorno (1903 – 1969), menolak ideologisasi filsafat], bukankah tulisan di atas sudah tidak relevan lagi? Bukankah apa yang digambarkan oleh penulis (Sayid Mujtaba) tentang kapitalisme, kini telah direnovasi secara lebih beradab menjadi kapitalisme lanjut (late-capitalism) yang bekerja secara kultural dan humanistik untuk memenangkan persetujuan kelas pekerja? Apakah kita harus menutup mata dengan penerapan the compassionate capitalism (“kapitalisme yang penuh belas kasih” atau “kapitalisme yang berperikemanusiaan”), di mana para buruh dijamin kesejahteraannya dan mendapatkan asuransi kerja, atau bahkan rakyat banyak diberi peluang sebesar-besarnya untuk membeli saham-saham di berbagai perusahaan yang dijual pada bursa saham? Juga, apakah pantas kita pungkiri manfaat besar yang diberikan sejumlah perusahaan kapitalis melalui program “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” (Corporate Social Responsibility / CSR)? Bukankah prinsip “ekonomi pasar” — yang dianut oleh kapitalisme (neoliberalisme) — inherent dengan kehidupan manusia itu sendiri atas dasar pertimbangan bahwa (antara lain) dalam pasar tradisional atau pasar primitif pun ada “kompetisi” seperti yang berlaku pada ekonomi pasar bebas (harap dibedakan dengan “ekonomi pasar sosial”) saat ini? Bahwa ada ketimpangan ekonomi antara negara-negara maju (Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang) dan negara-negara Dunia Ketiga, seperti kita saksikan dari perdebatan dua kubu tersebut dalam pertemuan WTO (World Trade Organization) di Cancun (Meksiko) pada pertengahan September 2003 lalu, bukankah hal itu lebih bersifat teknis sehingga masih bisa dicarikan titik temunya?
Oleh karena itu, tidakkah kualitas keilmiahan kita akan menjadi merosot jika ngotot mempersamakan teori kapitalisme klasik (yang digagas oleh Adam Smith lewat bukunya: The Wealth of Nations — 1776) dengan prinsip ekonomi neoliberalisme yang (konon) semakin humanistik?
***
KEMUDIAN, tentang komunisme, kita sepakat bahwa ideologi itu sudah mati. Bahkan, jauh sebelum bubarnya Uni Sovyet, Imam Khomeini telah menyatakan kepada utusan Presiden Gorbachev yang datang menemui beliau, bahwa komunisme akan segera masuk museum sejarah.
Memang tulisan ini (Islam dan Ekonomi) dibuat sebelum runtuhnya Uni Sovyet. Tetapi, yang mengherankan, dalam mengkritik sosialisme, mengapa hanya gagasan Lenin yang disoroti? Bukankah Leninisme telah dikritik secara tajam oleh Antonio Gramsci, Andre Gunder Frank, Paul Baran, dan Rosa Luxemburg? Sebagaimana diketahui, meskipun mereka adalah pemikir-pemikir (pejuang-pejuang) beraliran sosialis, namun sosialisme mereka adalah sosialisme yang humanistik dan tidak bengis.
Lalu, seandainya penulis (Sayid Mujtaba) mau membuat lagi tulisan tentang sosialisme, bagaimana pula kejujurannya dalam menyikapi gagasan Anthoni Giddens tentang “Sosialisme Demokrat” (yang diungkapkan dalam bukunya: The Third Way — 1999) yang sangat brilian itu? Memang betul praktik ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) — dalam pengertian lahir dan batin — telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW melalui masyarakat madani (civil society) yang dibentuk oleh beliau. Tetapi, mengapa masyarakat seperti itu sulit diwujudkan oleh ummat saat ini? Dalam aspek kesejahteraan saja, negara-negara Muslim jauh tertinggal dari yang non-Muslim, misalnya negara-negara Skandinavia. Negara-negara ini (Skandinavia) menjadikan “koperasi” sebagai pilar utama yang menopang pembangunan ekonominya.
Sementara itu, negara-negara Muslim dengan bangganya memperkokoh pilar ekonomi konglomerasi — yang dikuasai oleh segelintir orang — untuk mendukung konstruksi ekonomi nasional. Padahal praktik berkoperasi lebih mendekati pengamalan ayat Al-Qur’an: “Dan tolong-menolonglah (bergotong-royonglah) kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu bergotong–royong dalam kejahatan dan permusuhan.” (QS 5 : 2). Bukankah akumulasi modal pada segelintir orang (konglomerat berkerah biru beserta para konconya yang bercokol di berbagai institusi negara) akan menciptakan permusuhan dan kesenjangan sosial?
Bisa saja ummat Islam menuding mereka (yang non-Muslim) tidak bertakwa, tetapi mereka bisa membela diri bahwa mereka telah banyak berbuat kebajikan, antara lain melalui karya-karya teknologi dan ilmu pengetahuan yang juga dimanfaatkan oleh ummat Islam. Lalu, pantaskah karya-karya itu dikatakan sebagai bentuk “kesalehan sosial”? Sebaliknya, ummat Islam yang mengklaim diri mempraktikkan “kesalehan ritual”, mana wujud “kesalehan sosial” mereka?
***
DIHADAPKAN pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, ummat Islam bisa saja berapologi dengan menggunakan argumen (hujjah): “Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun” (QS 24 : 39). Tetapi, bagaimana kita memaknai ayat ini: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan) nya” (QS 6 : 57)? Bukankah yang berhak menimbang kebaikan dan keburukan hanyalah Allah SWT (QS 6 : 57)?
Bisa saja mereka balik menuding ummat Islam dengan mengutib ayat berikut: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS 61 : 3), seraya membela diri: bukankah kami telah berpartisipasi dalam menunaikan perintah Tuhan untuk memakmurkan bumi ini (QS 11 : 61)? Lagi pula, kalian ummat Islam, bagaimana mau menegakkan keadilan (QS 16 : 90) — misalnya “keadilan ekonomi” — jika dalam masyarakat kalian tidak terjadi pertumbuhan ekonomi yang spektakuler? Apa yang mau dibagi (didistribusikan) — dalam rangka penciptaan struktur ekonomi yang berkeadilan — jika untuk mencicil bunga utang luar negeri saja tidak terpenuhi? Lebih menyakitkan lagi jika mereka lancang mengutib Hadits Nabi Muhammad SAW: “Kemiskinan mengakibatkan kekufuran.” Maka, atas dasar itu, dalam praktiknya mereka justru bergerak semakin dekat ke arah maqam ketakwaan, tanpa harus terperangkap dalam kerangkeng pengkultusan simbol-simbol formal keagamaan.
***
RENTETAN peluru-peluru pembelaan yang bernada hujatan itu akan semakin mengoyak kalbu jika dimuntahkan lagi satu peluru eksekusi: “Bagaimana kalian (ummat Islam) bisa meraih kebahagiaan di akhirat kelak jika di dunia tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi?”
“Dan barangsiapa di sini (dunia) buta (tidak berilmu), maka di akhirat nanti buta pula dan lebih sesat lagi jalannya.” (QS 17 : 72)
***
AKHIRNYA, dengan pongah mereka bisa saja mengatakan: Sudahlah, daripada saling menyalahkan, lebih bijak jika kita bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan konstruktif yang bersifat win-win solution untuk kemaslahatan bersama sesuai dengan pesan Al-Qur’an (QS 5 : 2). Silahkan ummat Islam mengklaim pemegang otoritas keimanan, tetapi secara jujur merekapun berhak mengklaim kepemilikan saham ilmu pengetahuan, di mana keduanya mulia di mata Allah.
“ …… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS 58 : 11)
***
IDEALNYA, kedua sumber daya (keimanan dan penguasaan ilmu pengetahuan) menyatu dalam diri ummat Islam atau — kalau diizinkan — juga non-Islam. Tetapi, sudahlah, karena realitasnya terdistribusi seperti itu, maka yang diperlukan adalah bagaimana mengsinergikan atau menarik resultan gaya untuk dimanfaatkan sebagai pembentuk “energi atau usaha bersama”. (Dalam fisika mekanika diketahui bahwa “energi atau usaha adalah hasil multiplikasi gaya dengan jarak yang ditempuh”). Bukankah segala sesuatu di alam semesta ini (termasuk keimanan dan ilmu pengetahuan) adalah milik Allah SWT (QS 29 : 20)? Dan karena pengamalan atas keimanan dan ilmu pengetahuan itu adalah wujud dari kebenaran, maka keduanya pasti bersumber dari Allah SWT.
“Kebenaran itu dari Tuhan, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS 3 : 60)
“Kebenaran merupakan ketersingkapan (aletheia atau tajalli) Sang ‘Ada’ (baca: Tuhan),” begitu kata Martin Heidegger (filsuf Jerman)
.
***
KONSEKUENSI lebih lanjut dari wacana yang agak vulgar seperti digelar di atas, bagaimana jika ideologi neoliberalisme atau globalisasi [tanpa harus terjebak pada Amerikanisasi atau kooptasi logika industri yang menjelma menjadi budaya massa dengan bekerja melalui penyeragaman selera dan pelenyapan individualitas atau eksistensi kelompok-kelompok masyarakat (kebudayaan)] dicarikan pembenarannya dalam ayat berikut:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS 24 : 35)
Bagaimana jika “globalisasi” ditafsirkan sebagai salah satu bentuk proyeksi cahaya yang menerpa layar lebar langit dan bumi, dan tugas manusia adalah berakting sesuai dengan tuntutan Pembuat grand scenario (Pemberi cahaya)? Dengan begitu, manusia bebas berimprovisasi (berakting), tetapi tidak mengabaikan nilai-nilai keadilan, etika, dan humanisme universal demi keteraturan hidup mereka.
Lalu, bagaimana pula kita menanggapi jika muncul usulan berikut: Neoliberalisme dan Sosialisme (sosialisme demokrat atau sosialisme relijius) merupakan keniscayaan karena mereka bergerak atau mengalir melintasi alur sungai alamiah yang bermuara pada “globalisasi”(suatu istilah yang dipopulerkan oleh Anthony Giddens). Bukankah tugas kita tinggal melarutkan nilai-nilai keadilan, etika, dan humanisme universal ke dalam (muara) “globalisasi” itu? Bukankah terbitnya UU Antimonopoli dan rencana pembuatan Undang-Undang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan patut dipandang sebagai bagian dari implementasi kecenderungan itu?
Bagaimana pula kita menanggapi jika ada pemaknaan versi lain (lihat “kalimat di dalam tanda kurung”) atas ayat-ayat berikut:
“Bagi setiap golongan diantara kamu telah Kami tetapkan suatu cara dan jalan hidup (agama, ideologi, filsafat dan kebudayaan) tertentu. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS 5 : 48)
“Sesungguhnya usahamu (ideologi, aliran filsafat, dan kebudayaan) sangat beraneka-ragam.” (QS 92 : 4)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (juga berbagai aliran ideologi, filsafat, dan kebudayaan) supaya kamu saling kenal-mengenal (berinteraksi secara positif, produktif, dan konstruktif dalam bingkai “globalisasi”).
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (silahkan simak QS 3 : 13-14) — yakni orang-orang menafkahkan hartanya (bukan dengan memberi pinjaman atas dasar riba dan kebanggaan yang disertai gunjingan), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya (tidak menebarkan teror dan militerisme) dan memaafkan sesamanya (yang tidak destruktif dan melakukan kejahatan struktural seperti Fir’aun). Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (secara proaktif melakukan hal-hal yang konstruktif, bukan pasrah kepada keadaan) — di antara kamu.” (QS 49 : 13)
“Berjalanlah di muka bumi (tebarkanlah rahmah secara mengglobal), maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.” (QS 29 : 20)
[**]
Oleh: Sayid Mujtaba Rukni Musawi Lari (Intelektual Iran)
Dalam suatu tatanan sosial, kemakmuran merupakan salah satu batu landasan di mana kemerdekaan dan kebebasan dibangun. Di situ, kepentingan umum harus menjadi prinsip pengaturan yang dapat menumbuhkembangkan kepemilikan pribadi. Oleh karenanya, Islam menentang konsep atau gagasan penafian kepemilikan pribadi dan peran perusahaan swasta yang diperkenalkan komunisme, di mana ideologi ini (komunisme) memercayakan pengaturan dan pengelolaan ekonomi kepada negara dengan menghilangkan hak individu serta nilai intrinsik dalam dirinya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia hanya dianggap sebagai alat atau perut bagi negara untuk diisi terus dan kemudian dieksploitasi sebagaimana peternak memperlakukan atau memelihara hewan ternaknya.
Para pengusung komunisme berpendapat bahwa hak milik pribadi bukanlah sesuatu yang alami (kodrati) dalam diri manusia. Dalam kaitan itu tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung kebenaran pemahaman mereka bahwa “komunitas-komunitas” awal manusia primitif menangani atau mengelola segala sesuatunya secara bersama dalam sebuah jalinan kerjasama, cinta, dan persaudaraan. Kelemahan argumen mereka juga karena adanya anggapan bahwa pada komunitas-komunitas primitif tersebut tidak satupun yang memandang apa yang dimilikinya sebagai milik pribadi.
Menurut mereka, terbangunnya “komunitas” manusia diawali dari kerjasama individu-invidu komunis dengan segala sesuatunya adalah milik bersama dan menjadi bagian dari masing-masing individu tersebut. Tidak heran, klaim kepemilikan pribadi atas apa pun hanya dikembangkan beberapa tingkatan saja sehingga mencapai ekses mengerikan seperti yang dapat kita saksikan saat ini (pada era Uni Soviet dan Mao Zedong di China — Penerjemah).
Sayangnya, khayalan atau cita-cita mereka tentang “Zaman Keemasan” hanyalah ibarat sejalur pipa-mimpi karena fakta menunjukkan bahwa kepemilikan pribadi bukanlah hasil dari perkembangan kecenderungan serakah dalam lingkungan tertentu. Praktik kepemilikan pribadi muncul bersamaan dengan keberadaan manusia di bumi ini; dan itu merupakan pembawaan alami manusia sama dengan pembawaan-pembawaan alami lainnya. Tentu saja hal tersebut sulit dipungkiri.
***
PARA ahli ekonomi modern mengatakan bahwa kodrat universal tentang kepemilikan pribadi yang ada pada setiap suku dalam segala zaman di bumi ini hanya dapat dijelaskan bahwa itu adalah insting manusia yang paling mendasar.
Awalnya, manusia ingin menjadi penguasa tunggal atas sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya agar merasa benar-benar bebas dan merdeka. Kemudian, manusia merasa bahwa kehadiran sesuatu itu bergantung pada kerja yang merupakan perpanjangan atau perwujudan dari dirinya sendiri, dan yang membuatnya layak mendapatkan penghormatan sebagaimana yang ia butuhkan untuk kepentingan integritas kepribadiannya. Kemudian, ia merasakan dorongan untuk menabung atau membangun persiapan dalam rangka memberikan jaminan bagi masa depan sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu, ia perlu berhemat dan mengembangkan ekonomi yang membuatnya siap menghadapi datangnya masa yang akan disongsong.
***
KEKAYAAN atau kesejahteraan masyarakat berkembang seiring dengan peningkatan kepemilikan dan produktivitas pribadi. Untuk menghidupi satu unit sosial atau masyarakat, misalnya, sebuah industri dapat mengambil peran. Insentif bagi yang bekerja keras terletak pada penghargaan atas kepemilikan pribadi dan kemudahan meningkatkan taraf hidup. Maka, masyarakat harus mengakui hak individu atau hak untuk memiliki sesuatu dari kerja keras seseorang mengingat kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh hasil kerja individu-individu.
Islam, dengan pendekatannya yang praktis dan realistis terhadap manusia sebagai individu, mengakui pentingnya keinginan untuk memiliki sesuatu sebagai faktor kreatif bagi semua kemajuan sosial; dan karena itu ia (Islam) menetapkan aturan untuk mengamankan hak kepemilikan setiap orang sebagai hasil dari jerih payah dan produktivitasnya yang pantas dan halal. Dan ini dapat dijadikan jaminan untuk hak atas kepemilikan pribadi.
Islam menolak anggapan bahwa penindasan, eksploitasi, dan kekerasan adalah sejalan dengan praktik kepemilikan pribadi hanya karena munculnya kekuatan-kekuatan di parlemen yang dipegang oleh kelas orang-orang kaya (borjuis), seperti yang terjadi di Barat, di mana kekuasaan mereka sebagian besar hanya untuk melindungi kepentingan kelompok.
Karena hukum Islam berasal dari otoritas Allah Swt., maka ia pasti tidak berpihak. Atas dasar ini, hukum apa pun yang dibuat dengan mengacu pada otoritas tersebut tidak boleh ditujukan hanya untuk melindungi kepentingan orang kaya (para investor atau “the rulling elite” — Penerjemah) seraya menistakan orang miskin atau kepentingan publik.
Sejak semula Islam mengakui hak milik pribadi, tetapi selalu ada kondisi-kondisi tertentu di mana kekerasan dan penindasan yang terkait dengan pelanggaran atas hak kepemilikan (pribadi) itu diselesaikan di luar pengadilan. Islam memandang bahwa salah besar menyita pabrik-pabrik dari tangan orang-orang
yang telah mendirikannya dengan susah payah dan kerja keras, membuka lapangan kerja bagi para buruh, menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat, dan — tentu saja — juga mendatangkan keuntungan atau laba bagi para pendiri dan pemegang sahamnya.
Islam menetapkan bahwa kekerasan yang merampas alat-alat produksi dari tangan buruh mengancam keamanan masyarakat dan mencederai penghormatan atas hak-hak individu. Tentu saja hal itu juga akan menjatuhkan semangat atau gairah penemuan dan inisiatif, juga produktifitas serta pengembangan perusahaan. Kendati demikian, pemerintah bisa dan perlu mengontrol pengadministrasian industri-industri besar dan juga pendirian pabrik-pabrik sehingga keadilan sosial, kesetaraan dalam keuntungan (laba), kemanfaatan publik, dan ketersediaan keuangan pemerintah dapat dijamin keterlaksanaannya.
Singkatnya, sistem ekonomi Islam memberikan keutamaan bersama, baik untuk individu maupun masyarakat. Sistem ini secara setara menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak dua unsur tersebut dengan memberikan jaminan suatu iklim perekonomian yang bebas; namun bersamaan dengan itu, di samping menjaga kebebasan individu-individu juga kemanfaatan seluruh masyarakat melalui peraturan-peraturan yang rasional dan perlu terutama dalam kaitannya dengan kepemilikan pribadi.
Tuntutan untuk kepemilikan seperti itu diakui sebagai sesuatu yang alamiah (kodrati), sehingga yang hanya dapat membatasinya adalah kepentingan umum dari seluruh masyarakat, yang tentu saja mengandung kemanfaatan terbaik bagi masing-masing individu.
***
ISLAM menganggap naluri untuk memiliki (sesuatu) sebagai insentif Ilahiah yang ditanamkan oleh Allah Swt. dalam diri setiap manusia untuk memberi inspirasi agar bekerja lebih kompetitif demi perbaikan serta peningkatan taraf kehidupan, di samping juga meningkatkan kegiatan produksi. Islam juga mengatur sistem pemberian insentif yang akan dapat mencegah (serta mengatasi) kekerasan, penindasan, eksploitasi, dan berbagai ketimpangan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan kebebasan.
Kondisi tersebut akan dapat melindungi kepentingan masyarakat dan mengatur batasan-batasan kebebasan individu sehingga sama sekali tidak akan ada yang dirugikan atas nama kebebasan (penegakkan demokrasi ekonomi — Penerjemah), karena baik kehidupan komunal (masyarakat) maupun kebebasaan individu harus diberlakukan batas-batasan, khususnya yang terkait dengan perilaku yang dapat memberi jaminan bagi kelangsungan hidup individu maupun masyarakat. Dengan batasan-batasan itu diharapkan tidak akan ada peluang kejahatan mencari keuntungan, penggelapan, penyalahgunaan jabatan, penimbunan, kekikiran, ketamakan, riba, perampasan secara paksa milik orang lain, dan semua bentuk kriminalitas serta anti-sosial lainnya.[**]
(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email