Pesan Rahbar

Home » , » Studi Komparatif Antara Dua Pandagan Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah Mengenai Ayat-ayat Tentang Ahlul Bait as (Bagian 2)

Studi Komparatif Antara Dua Pandagan Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah Mengenai Ayat-ayat Tentang Ahlul Bait as (Bagian 2)

Written By Unknown on Tuesday, 20 September 2016 | 21:40:00


Oleh: Sayyid Muhammad Husayni Bahesti

Ayat Tathhir Petunjuk Keutamaan Ahlulbayt as Allamah Hilli berkata: "Mayoritas penafsir Qur'an sepakat dengan ahli-ahli hadis seperti Ahmad bin Hanbal dan lain-lain mengatakan bahwa ayat ini (ayat Tathhir) turun berkenaan dengan Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Zahra as., Hasan as. dan Husein as.. Abu Abdillah Muhammad bin Imran Marzbani meriwayatkan dari Abu Hamra' berkata: "Sekitar sembilan atau sepuluh bulan saya mengabdi pada Rasulullah saw., pada setiap subuh beliau tidak keluar dari rumahnya kecuali menghampiri rumah Ali bin Abi Thalib seraya bersabda: "Selamat dan rahmat serta berkat Tuhan untuk kalian", maka Ali, Fatimah, Hasan dan Husein as. menyambutnya dengan ucapan: Selamat dan rahmat serta berkat Tuhan untukmu wahai utusan Allah", kemudian Rasulullah saw. berkata: Shalat. Semoga Allah merahmati kalian, Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahlulbayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya, dan dusta tergolong kotoran, dan ketika terjadi pertentangan (di antara umat Islam) yang di sana Ali (as.) mengklaim khilafah adalah hak dia maka ketahuilah klaim dia adalah jujur dan benar." [1]

Dari penjelasan di atas dapat ditarik dua kesimpulan, yang pertama adalah ayat Tathhir seperti halnya ayat Mubahalah hanya meliputi Ashabul Kisa' (lima manusia suci: Rasulullah saw., Ali, Fatimah Zahra, Hasan dan Husein) dan sama sekali tidak mencakup satu pun dari istri-istri atau keluarga beliau saw. yang lain, adapun yang kedua adalah ayat ini merupakan bukti penting atas keutamaan Ahlulbayt dan keimaman (kepemimpinan) Ali bin Abi Thalib as.

Adapun Ibnu Taimiyah, dia di dalam karya-karya tulisnya yang lebih awal menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat Tathhir tidak lain adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein as., dia berkata: "Allah swt. berfirman "Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahlulbayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya" [2], adalah benar bahwa Rasulullah saw. mengkhususkan penyucian ini pada Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.

Dan ketika Allah swt. menjelaskan Diri-Nya hendak menyingkirkan kotoran dari Ahlulbayt nabi-Nya serta menyucikan mereka sesuci-sucinya maka Rasulullah saw. berdoa untuk keluarganya yang terdekat dan paling agung yaitu Ali, Fatimah, dan dua pemuda penghulu surga, dan dengan demikian maka Allah swt. telah mengumpulkan dua hal untuk mereka, pertama Dia swt. menetapkan kesucian bagi mereka dan yang kedua Dia swt. tetapkan kesempurnaan mereka dengan doa rasul-Nya." [3]

Ibnu Taimiyah menuliskan pernyataan itu di dalam bukunya yang berjudul Huququ Aalilbayt yang dia tulis sebelum bukunya Minhaju as-Sunnah; hanya saja di dalam karyanya Minhaju as-Sunnah meskipun dia tidak mengingkari spesialisasi ayat Tathhir untuk Ashabul Kisa' tapi dia menolak jika ayat ini dinyatakan sebagai bukti keutamaan Ahlulbayt.

Dia berkata demikian: "Firman Allah swt. (ayat Tathhir) hanya menunjukkan kehendak Allah swt. untuk menyucikan Ahlulbayt dan sekedar doa dari Rasulullah saw. untuk penyucian mereka. Ayat ini sama sekali tidak berarti yang sesungguhnya Allah swt. telah menyucikan mereka melainkan sebuah perintah terhadap mereka untuk menyucikan diri sesuci-sucinya.

Ayat ini merupakan salah satu dari bukti-bukti yang menjelaskan Ahlulbayt telah diperintahkan untuk menyucikan diri sesuci-sucinya dan bukan berarti Allah swt. memberitakan realitas penyucian mereka.

Riwayat yang tercatat di dalam kitab hadis Shohih adalah Rasulullah saw. menyelimuti Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein bersamanya kemudian beliau berdoa: "Ya Allah, mereka adalah Ahlulbaytku, maka hindarkanlah kotoran dari mereka dan sampaikan mereka ke tingkat kesucian yang tertinggi."

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shohihnya dari Aisyah sementara penulis karya hadis Sunan meriwayatkannya dari Ummu Salamah." [4]

Pernyataan di atas menjelaskan pandangan Ibnu Taimiyah yang tidak mengakui ayat Tathhir sebagai bukti keutamaan Ahlulbayt dan mengklaim bahwa Allah swt. tidak sedang memberitakan sebuah realitas kesucian Ahlulbayt melainkan sedang memerintahkan mereka untuk penyucian diri. Untuk menilai pandangan ini sebaiknya kita teliti kembali kandungan ayat Tathhir dengan juga menelusuri pendapat para ahli (ulama Islam) tentang hal ini sehingga dengan demikian kita dapat mengetahui apa benar ayat ini menunjukkan keutamaan Ahlulbayt atau tidak?

Terlepas dari sebab turunnya ayat ini yang dinyatakan secara mutawatir dalam makna oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu Qur'an, ulama asbabun nuzul (sebab turunnya ayat Qur'an), penafsir Qur'an dari dua mazhab Syiah dan Ahli Sunnah, ahli hadis, pemilik karya hadis Shohih dan Sunan bahwa ayat ini turun hanya berkaitan dengan Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein as.. Teks ayat itu sendiri secara terang-terangan mengungkapkan bahwa ayat turun berkenaan dengan kedudukan Ahlulbayt dan menerangkan kehendak Ilahi untuk menyucikan mereka sesuci-sucinya.

Perkatan Ibnu Taimiyah bahwa ayat Tathhir tidak berarti berita kesucian Ahlulbayt dari sisi Allah swt. melainkan perintah terhadap mereka untuk penyucian diri adalah perkatan yang tidak ilmiah dan muncul karena pengabaian atas makna ayat yang sebenarnya, selain itu juga bertentangan dengan ucapan-ucapan dia sendiri yang sebelumnya di dalam kitab Huququ Aalilbayt.

Di sana dia sebutkan Allah swt. telah mengumpulkan dua keistimewaan buat mereka, tapi di dalam kitab Minhaju as-Sunnah dia melupakan semua perkataan dia yang sebelumnya. Tapi itu biasa, karena paradoksi dalam perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah tidak terbatas hanya pada satu tempat ini saja, melainkan banyak sekali paradoksi yang terjadi di antara perkataan-perkataannya yang dapat kita perhatikan bersama dalam tulisan ini.

Perenungan secara bijak dan saksama terhadap ayat Tathhir menunjukkan bahwa ayat tersebut bukan dalam konteks perintah terhadap Ahlulbayt as., melainkan dia sedang berbicara tentang kehendak Allah swt. berkenaan dengan penyucian mereka sesuci-sucinya, silahkan Anda baca lagi ayat di bawah ini:

اِنَّمَا یُرِیدُ اللهُ لِیُذهِبَ عَنکُمُ الرِّجسَ اَهلَ البَیتِ وَ یُطَهِّرَکُم تَطهِیرًا[5]

Artinya: "Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahlulbayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya."

Sebab itu, kalau saja Ibnu Taimiyah mengingkari spesialisasi ayat Tathhir untuk Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein as. dan sebaliknya memasukkan orang-orang lain dalam keutamaan tersebut niscaya hal itu lebih mudah baginya daripada dia menolak pembuktian keutamaan Ahlulbayt as. melalui ayat tersebut.


Penilaian Ahli Sunnah Terhadap Dua Pandangan Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah

Apa yang telah kita lakukan sebelumnya adalah pengamatan terhadap ayat-ayat yang diperselisihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Allamah Hilli itu sendiri.

Adapun langkah berikutnya adalah menelusuri pendapat para ulama dan pakar dari kalangan Ahli Sunnah menyikapi pernyataan Ibnu Taimiyah yang tersebar melalui kitabnya Minhaju as-Sunnah dan manakah dari dua pandangan tersebut yang mereka dukung dan lemahkan. Terlebih dahulu kita akan menengok pendapat para ahli di bidang ilmu rijal dari kalangan Ahli Sunnah sehubungan dengan profil Allamah Hilli, kemudian dilanjutkan dengan pendapat ulama Ahli Sunnah tentang kepercayaan-kepercayaan Ibnu Taimiyah yang menolak keyakinan-keyakinan Allamah Hilli, dan pada akhirnya kita akan mengkaji bagaimana cermin Ibnu Taimiyah di tengah ulama dan para ahli dari kalangan Ahli Sunnah khususnya setelah dia melampau batas-batas kehormatan Allamah Hilli.


Allamah Hilli dalam Perspektif Ahli Ilmu Rijal dari Kalangan Ahli Sunnah

Telaah terhadap karya-karya ahli biografi, rijal, dan pemikiran baik dari kalangan Syiah maupun Ahli Sunnah mengungkap sebuah realitas bahwa mayoritas besar dari mereka memandang Allamah Hilli dengan kaca mata penghormatan dan pemuliaan, masing-masing dari ulama menggunakan julukan-julukan yang terhormat untuk dia dan memujinya dari berbagai sudut pandang ilmu, pemikiran, etika, keberagamaan, dan kejujuran.

Berikut ini beberapa contoh dari pernyataan para ahli yang dapat Anda perhatikan sehubungan dengan profil Allamah Hilli:
- Shafadi, salah seorang ulama Ahli Sunnah yang hidup sezaman dengan Allamah Hilli, berkata: "Dia (Allamah Hilli) adalah imam, allamah, ahli di berbagai disiplin ilmu, mempunyai banyak karya, dan tersohor pada masa hidupnya. Di bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu-ilmu rasional dia adalah seorang pemimpin (imam). Dia juga menulis buku di saat mengendarai kuda. Dia berperilaku baik dan berbudi pekerti yang mulia. Dia senantiasa sibuk dengan zikir kepada Allah swt." [6]
- Muhammad Husein Dzahabi berkata: "Syekh Hilli adalah allamah yang solid dan memiliki karya yang banyak sekali." [7] Ibnu Hajar berkata: "Dia (Allamah Hilli) adalah ulama dan pemimpin serta penulis karya-karya Syiah. Dia adalah teladan di dalam kebersihan diri dan kejernihan hati. Karya-karyanya sudah tersohor sejak dia masih hidup. Dia senantiasa mengingat (zikir kepada) Allah swt. dan mempunyai budi pekerti yang mulia." [8] Ibnu Dawud, penulis karya di bidang ilmu rijal yang hidup sezaman dengan Allamah Hilli berkata: "Dia (Allamah Hilli) adalah syeikhu at-thoifah, allamah pada zamannya, pemilik berbagai penelitian dan kajian serta karya yang berbilang, dia adalah pemimpin mazhab Syiah Imamiyah untuk jangka waktu yang lama yang menyelesaikan segala permasalahan baik yang rasional maupun selain rasional." [9]
- Sebagian ulama memuji Allamah Hilli sebagai berikut: "Dia adalah tokoh mazhab Imamiyah, allamah mutlak yang tidak diragukan lagi di saat tidak ada seorangpun pada zamannya yang dijuluki dengan Allamah, dia juga dijuluki dengan Ayatullah di saat pada waktu itu tidak ada satu orangpun yang menggunakan julukan itu untuk selain dia." [10]

Amir Sayid Musthafa Tafrisyi berkata di dalam kitab rijalnya: "Aku berpikir sebaiknya aku tidak berbicara tentang profil Allamah Hilli; karena kitabku ini tidak berkapasitas untuk menyebutkan ilmu, karya, keutamaan, dan pujian-pujian terhadapnya. Karena sesungguhnya dia lebih tinggi dan unggul dari apa saja yang masyarakat bicarakan tentang kebaikan dan keutamaannya." [11]


Ibnu Taimiyah dalam Perspektif Ulama Ahli Sunnah

Wajar saja setiap orang yang terkenal di berbagai pentas intelektual akan menemui kawan sekaligus lawan, yakni di samping bermunculan para pendukung bermunculan juga orang-orang yang menentang dia. Setelah mengarang buku yang diberi judul Minhaju as-Sunnah untuk menentang Allamah Hilli dan mengingkari keutamaan Ahlulbayt as. khususnya ayat-ayat yang turun berkenaan dengan kedudukan Ahlulbayt as., Ibnu Taimiyah kehilangan banyak pendukungnya bahkan dua orang yang sebelumnya tanpa batas membela dia mengungkapkan ketidakrelaan mereka atas pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah tentang Ahlulbayt as. dan mengklaimnya telah membuka front langsung menentang Ali bin Abi Thalib as.


Pendukung Ibnu Taimiyah dalam Penulisan Minhaju as-Sunnah

Di antara sekian ulama Ahli Sunnah, hanya dua orang saja yang secara global berpandangan positif terhadap kitab Minhaju as-Sunnah, mereka adalah: Ali bin Abdul Kafi Subki Syafi'i dan Ibnu Hajar Asqalani.

Pandangan positif mereka terhadap kitab tersebut bukan disebabkan oleh kekuatan atau nilai kitab Minhaju as-Sunnah; karena mereka berkali-kali mengkritik isi kitab tersebut. Hal itu juga bukan disebabkan oleh kelemahan pada diri intelektual, takwa, keberagamaan, dan budi pekerti Allamah Hilli; karena sebagai ahli di bidang biografi perawi, Ibnu Hajar berulang kali memuji Allamah Hilli.

Alasan yang sebenarnya adalah fanatisme mazhab mereka dari satu sisi dan pembelaan Allamah Hilli terhadap mazhab Ahlulbayt as. serta upaya dia untuk membuktikan keimaman Ahlulbayt as. memaksa mereka (Subki dan Ibnu Hajar) untuk memuji dasar penulisan kitab Minhaju as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah.

Tapi, dua orang ini juga telah berkali-kali mengkritiknya secara tajam, baik dalam aspek kepercayaan maupun yang lain, seperti pelecehan terhadap Ahlulbayt as., pembuatan dan pemalsuan hadis, penilaian lemah terhadap hadis-hadis yang sahih, dan sikap berlebihan dalam menjelek-jelekkan Allamah Hilli.

Subki membaca kitab Minhaju as-Sunnah setelah penulisnya meninggal dunia. Dalam puisinya, pertama-tama dia mencerca Allamah Hilli karena keSyiahannya, keudian dia memuji Ibnu Taimiyah karena telah menulis buku tebal yang menentang keyakinan yang dituliskan oleh Allamah Hilli, dan pada akhirnya dia mengisyaratkan pada penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di dalam bagian-bagian dari kitab Minhaju as-Sunnah. [12]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar, dia mengkritisi kitab Minhaju as-Sunnah dari dua sudut pandang positif dan negatif. Dia berkata: "Saya sudah menelaah kitab Minhaju as-Sunnah yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah untuk membantah karya Ibnu Mutahhar Hilli. Dan sebagaimana dikatakan oleh Subki Syafi'i, saya juga melihat bantahan ini bermanfaat ... hanya saja di dalam bantahan ini Ibnu Taimiyah terlalu banyak menolak hadis-hadis sahih yang dari sejak awal sampai sekarang dijadikan landasan argumentasi oleh ulama-ulama terkemuka, selain itu merupakan hadis-hadis yang tersohor dan disebutkan pula oleh para penulis buku-buku induk hadis Sohih dan Sunan serta dari sisi silsilsah perawi juga tergolong hadis-hadis yang sahih." [13]

Berdasarkan perkataan Ibnu Hajar di atas bisa diketahui bahwa Ibnu Taimiyah sudi menolak hadis-hadis yang sahih, masyhur, dan bahkan mutawatir demi menjelek-jelekkan Allamah Hilli. Berdasarkan bahwa Ibnu Hajar adalah seorang ahli di bidang ilmu rijal dan perawi serta mengenal mana hadis-hadis yang sahih dan tidak maka dapat disimpulkan pula bahwa Ibnu Taimiyah tidak segan-segan mengubah hadis sahih untuk membantah keyakinan-keyakinan Allamah Hilli. Bahkan lebih dari itu semua, Ibnu Taimiyah telah mengingkari keutamaan-keutamaan Ahlulbayt as. sebagaimana dia menolak hadis-hadis sahih tersebut untuk tujuan yang sama, hal itu diungkapkan pula oleh Ibnu Hajar Asqalani sebagai berikut: "Betapa dia (Ibnu Taimiyah) telah berlebih-lebihan di dalam menjelek-jelekkan perkataan seorang rofidzi (sindiran untuk orang Syiah) sehingga terkadang dia sampai melecehkan Ali bin Abi Thalib as." [14]

Ucapan Ibnu Hajar ini menunjukkan bagaimana Ibnu Taimiyah melecehkan pewaris ilmu dan hikmah Rasulullah saw. sekaligus imam suci yang diyakini oleh Syiah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., dengan tujuan membantah Allamah Hilli.


Penentang Ibnu Taimiyah dari Kalangan Ahli Sunnah

Setelah tersebarnya pemikiran Ibnu Taimiyah melalui kitabnya yang berjudul Minhaju as-Sunnah muncul perlawanan dari kalangan ulama Ahli Sunnah dan pandangan negatif mereka terhadap dia. Perlawanan ini dari hari ke hari semakin bertambah dan menguat. Dan perlawanan mereka terhadap Ibnu Taimiyah mereka tuangkan dalam berbagai bentuk fatwa, menulis buku, pidato, dan nasihat. Gerakan anti pemikiran Ibnu Taimiyah ini bersumber dari luka agama yang mereka rasakan sehingga banyak sekali dari ulama Ahli Sunnah yang mewajibkan dirinya dan juga orang lain untuk meluaskan gerakan tersebut, dan gerakan itu sudah dimulai sejak Ibnu Taimiyah sendiri masih hidup dan sampai berlanjut sampai sekarang. Berikut ini Anda bisa perhatikan sebagian dari penentang dia dari periode yang berbeda-beda.

Menurut catatan ahli sejarah, di antara ulama terkemuka yang menentang pemikiran Ibnu Taimiyah pada abad kedelapan hijriah adalah: Qadhi Izzuddin bin Jama'ah, Imam Abu Muhammad Yafi'i, Imam Kamluddin Zamlakani, Qadhi Abu Bakar Akhna'i, Imam Taqiyuddin Subki, Imam Abu Hayyan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Kurdi. [15]

Perlawanan ini tidak terbatas pada masa hidupnya Ibnu Taimiyah dan abad kedelapan, melainkan juga terus berlanjut pada abad-abad berikutnya, “ yakni dari masa hidupnya Ibnu Taimiyah sampai akhir abad kedua belas *“, perlawanan ilmiah yang berlangsung secara global dan menyeluruh menentang pemikiran dan kepercayaannya. Berikut ini adalah sebagian nama-nama tokoh terkemuka yang tergolong penentang Ibnu Taimiyah pada abad kesembilan hijriah: Imam Abu Bakar Hushaini Dimesyqi, Qadhi Abu Dawud Hanafi, Imam Abu Syakir Syathi, Qadhi Hamiduddin Halbi, Imam Nuruddin Nablusi, dan Ibnu Hajar Asqalani. [16]

Adapun di abad kesepuluh, tokoh-tokoh berikut ini lebih nampak sebagai penentang pemikiran dan kepercayaan Ibnu Taimiyah: Nuruddin Samhudi Syafi'i, Imam Ibnu Hajar Haitsami, Mulla Ali Qari Hanafi, Abu Umar Rabadhi, Imam Abu Bakar Syami Hanafi, Qadhi Jalaluddin Dawri Syafi'i, dan Ainuddin Muhammad bin Ali Hanbali. [17] Sedangkan di abad kesebelas, tokoh-tokoh terkenal yang menentang dia adalah: Imam Ahmad Syihabuddin Hanafi, Dhiya'uddin Ali bin Ahmad Bakri, Amiduddin Abu Bakar Jabal Nuri, Qadhi Abu Ghayyats Hamdani Hanafi, Imam Abu Abdillah Dehlawi Syafi'i, Imam Abul Ilm Syafi'i Balkhi, Imam Zainuddin Hanafi Mirwazi dan Abdurra'uf Manawi Syafi'i. [18] Lalu tokoh-tokoh terkemuka yang menentang dia pada abad kedua belas adalah: Imam Zarqani Maliki, Qadhi Abu Sahl Sajistani, Qadhi Abu Dawud Baghdadi Hanafi, Abu Safur Iskandari Syafi'i, Abul Hasan Ali bin Ahmad Zarkani, Qadhi Jalilul Qadr Nimruzi, dan Ibnu Hibah Kufi. [19] Kemudian penentang Ibnu Taimiyah dari kalangan Ulama Ahli Sunnah pada abad keempat belas adalah: Imam Muhammad Subki Syafi'i, Adhududdin Hasan bin Rayyah Bashri, Abu Muhammad Ali bin Dawud Basi, Ibnu Umar Tafti Hanafi, Allamah Sayid Muhammad Husein Qazweini, Sayid Ibrahim Rifa'i, Sayid Ali Naqi Hindi, dan Mir Hamid Husein Hindi. [20] Kemudian yang terakhir, ulama terkenal Ahli Sunnah yang menentang Wahabisme dan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah adalah: Mufti Mekkah Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Musthafa Syatthi Hanbali, Abu Hamid bin Marzuq Syami, Abdulghani Hmmadah, dan Syekh Husein Hilmi Istanbuli.


Buku-buku yang Menentang Ibnu Taimiyah

Satu dari sekian cara yang populer untuk mengungkapkan perbedaan dan cuci tangan dari kepercayaan Ibnu Taimiyah adalah menulis buku bantahan terhadapnya. Itulah sebabnya kenapa dari sejak zamannya Ibnu Taimiyah sampai sekarang tertulis banyak buku yang menolak pemikiran dia. Di bawah ini, Anda akan kami perkenalkan dengan sebagian buku-buku literatur Ahli Sunnah yang ditulis untuk menentang pemikiran Ibnu Taimiyah.

Dr. Abdullah Muhammad Shaleh menuliskan: sepanjang sejarah, para ulama, dan cendekiawan muslim telah menulis lebih dari dua ribu jilid buku dan karya tulis lainnya menentang pemikiran Ibnu Taimiyah yang sayangnya karena berbagai faktor (yang diisyaratkan pula oleh penulis) banyak dari buku dan tulisan itu hilang dan hanya judulnya yang tersisa. Kendatipun demikian, sekarang ada sekitar empat ratus naskah dari buku dan karya tulis tersebut yang tersebar di musium-musium, perpustakaan-perpustakaan nasional, negeri, atau koleksi pribadi mulai dari Calcutta sampai London, dan sayangnya pula muslimin di abad-abad terakhir ini (yang merupakan era emas penerbitan buku) tidak menerbitkan ulang dan mendistribusikannya, mungkin karena kelalaian mereka atau karena problem finansial. [21]

Dengan adanya semua masalah yang tersebut di atas, Dr. Shaleh berhasil menyebutkan 420 jilid buku lengkap dengan nama pengarang dan tahun penulisan serta penerbitannya. Dia berkata: "Mayoritas buku-buku itu pernah saya baca secara langsung, dan sebagian lagi yang tidak berhasil saya lihat secara langsung saya mengenal nama dan identitasnya melalui referensi yang diakui." [22] Dia juga berkata: "Para ulama menuliskan buku-buku itu dengan berbagai bahasa termasuk di antaranya bahasa Urdu, Inggris, Turki, dan Parsia, tapi mayoritas buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab." [23] Kemudian dia memberitahukan juga tempat penyimpanan buku-buku yang memuat penolakan terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tersebut, dia berkata: "Sumber terkaya berkenaan dengan hal ini adalah perpustakaan umum Calcutta di India, kemudian perpustakaan pusat Istanbul di Turki." [24]

Berbagai ensiklopedia dan buku tentang biografi para tokoh menyebutkan banyak judul buku yang ditulis khusus untuk menentang pemikiran Ibnu Taimiyah dan sekarang tidak ada di tangan umat Islam. Maula Musthafa Katib Calbi (yang lebih dikenal dengan Hajji Khalifah) di dalam kitabnya yang masyhur berjudul Kasyfu adz-Dzunun 'an Asami al-Kutubi wa al-Funun menyebutkan lebih dari tujuh puluh jilid kitab yang secara langsung atau tidak secara langsung menolak pemikiran dan kepercayaan Ibnu Taimiyah khususnya yang tertuang dalam bukunya Minhaju as-Sunnah." [25]

Umar Ridho Kahhalah di dalam kitabnya Mu'jamu al-Muallifin, Khoiruddin Zarkali di dalam al-A'lam, Umar Abdussalam di dalam al-Mukholafah al-Wahhabiyyah li al-Qur'an wa as-Sunnah, Kholid bin Marzuq di dalam at-Tawassul bi an-Nabi wa bi as-Sholihin dan pengarang-pengarang lainnya memberitahukan jumlah yang besar karya-karya tulis dan terbitan yang menentang Ibnu Taimiyah, jumlah yang mereka sebutkan melebihi seratus naskah.


Buku Tertua yang Menentang Ibnu Taimiyah

Buku pertama yang ditulis oleh ulama Ahli Sunnah untuk menentang Ibnu Taimiyah setelah menulis bukunya Minhaju as-Sunnah adalah al-Maqolatu al-'Arodhiyyah fi ar-Roddi 'ala Ibni Taimiyah, dikarang oleh seorang ulama yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyah yaitu Muhammad Akhna'i. Dia mengritik pemikiran dan keyakinan Ibnu Taimiyah secara terperinci dan argumentatif khususnya yang termuat dalam kitab Minhaju as-Sunnah, dia menolak klaim-klaim Ibnu Taimiyah dan mengatakannya sebagai hal yang berlawanan dengan Islam.

Ketika bukunya Muhammad Akhna'i sampai ke tangan Ibnu Taimiyah, dia menjawabnya dengan menulis buku yang berjudul ar-Roddu 'ala al-Akhna'i (Bantahan terhadap Akhna'i) dan di sana dia mengkafirkan Akhna'i serta mewajibkan jihad melawan Akhna'i dan orang-orang yang sepertinya. [26]

Kitab al-Maqolat al-'Arodhiyyah dan puluhan kitab lainnya yang ditulis oleh ulama-ulama yang bersebelahan dengan Ibnu Taimiyah hanya melaporkan penulisan buku-buku yang menentang Ibnu Taimiyah di dalam negeri Islam, padahal arus penentangan ini sudah melampaui batas-batas teritorial Islam. Menurut laporan Maha Anwar (salah seorang peneliti dari India), buku tertua yang pernah ditulis untuk menentang Ibnu Taimiyah di negeri ini adalah ditulis oleh sekelompok ahli di Dekan dan buku itu sekarang dirawat di perpustakaan Calcutta. [27]

Dokumen tertulis kedua yang tidak dicetak dalam hal ini adalah buku yang ditulis oleh sekelompok ulama negeri India pada tahun 964 untuk Akbar Syah, raja Taimuri yang terkenal pada waktu itu di India. Salah satu isi buku itu berbunyi demikian: "Sepenuhnya kami yakin dan berdasarkan bukti-bukti yang pasti bahwa aliran yang paling memecah belah umat adalah aliran yang hari-hari ini di berbagai tempat dikenal dengan sebutan aliran Ibnu Taimiyah. Aliran ini meskipun sebenarnya tidak bisa disebut dengan mazhab tapi dia mempunyai klaim-klaim menjulang yang seakan-akan lebih unggul daripada semua mazhab Islam dan bahkan menyalahkan semua mazhab-mazhab besar Islam serta menuduh bid'ah dan sesat kepada pengikut mazhab-mazhab tersebut.

Sikap aliran ini terhadap pengikut mazhab-mazhab yang lain sangat kasar, tidak kenal kasih sayang dan kaku, khususnya terhadap orang-orang Syiah sehingga seakan-akan tujuan utama aliran ini adalah permusuhan dengan orang-orang Syiah. ...

Perintis aliran ini berasal dari Syam yaitu Ahmad bin Abdulhalim yang lebih dikenal dengan Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis buku berjilid-jilid tebal dengan nama Minhaju as-Sunnah an-Nabawiyah yang dari awal huruf ba'-nya Bismillah sampai kata terakhir ta'-nya tammat (baca: dari awal sampai akhir) isinya adalah cacian dan hinaan terhadap komunitas Syiah serta pelecehan pada keyakinan mereka. Sebenarnya, banyak sekali dari isi buku ini menuduhkan hal-hal yang tidak pantas kepada Syiah dan di beberapa tempat juga salah memposisikan perbuatan masyarakat awam Syiah sebagai keyakinan dasar Syiah, dan penulis buku ini (Ibnu Taimiyah) betul-betul menunjukkan kedengkian dan permusuhannnya yang mendalam serta tidak terkendalikan terhadap Syiah sehingga kadang-kadang dia sampai mengingkari keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib as. yang masyhur bahkan dia sampai pernah menghina beliau, dan tentunya ini bukan penilaian yang patut terhadap orang yang terdekat dengan Rasulullah saw. melainkan sebuah pengadilan yang hanya dilandasi oleh kebencian dan permusuhan yang tanpa batas terhadap komunitas Syiah, ... dan pada akhirnya, setelah melewati berbagai pembahasan dan perdebatan yang panjang, penulis buku ini (Ibnu Taimiyah) yang sekaligus pendiri aliran tersebut menarik kesimpulan bahwa orang-orang Syiah telah keluar dari kelompok dan mazhab-mazhab Islam sehingga kesimpulan ini sama sekali tidak pernah dikatakan oleh satupun dari tokoh dan ulama agama yang diakui." [28]

Umar Bithar melaporkan dalam kitabnya al-Atsar al-Kholidah melaporkan bahwa karya tulis tertua yang pernah dikarang untuk menentang Ibnu Taimiyah di Mesir adalah pada tahun 716, sebagai contoh Anda bisa perhatikan sebagian isi buku tersebut sebagai berikut: "Di masa kini banyak sekali fitnah dan bencana yang menimpa negeri ini yang membuat gelisah dan melukai hati muslimin, contoh paling terangnya adalah ucapan dan pernyataan-pernyataan yang menyerang keyakinan umat Islam yang benar dan tuduhan-tuduhan yang tidak layak terhadap kedudukan Tuhan, posisi Rasulullah saw. dan keluarga, serta sahabat beliau. Pengucap dan pemilik pernyataan-pernyataan itu (yakni Ibnu Taimiyah) yang tidak mengetahui disiplin ilmu-ilmu Islam dan keyakinan agama yang sebenarnya telah menganggap Allah swt. sama dengan benda-benda materi dan indrawi, dia mengingkari mukjizat dan keramat nabi serta keutamaan sahabat-sahabat beliau, dia menghina tokoh-tokoh mazhab Islam dan menuduhkan hal-hal yang tidak pantas kepada mereka, dia mengingkari sunnah-sunnah nabi saw. dan menyebut perbuatan mubah serta mustahab yang dilakukan oleh muslimin sebagai perbuatan bid'ah sehingga dengan demikian dia telah memecah belah umat Islam dan menyebabkan masyarakat labil dan ragu akan keyakinan mereka ... Kami, sebagaimana tugas syariat yang dibebankan kepada kami, memperingatkan kepada muslimin agar tidak terperdaya oleh wahyu-wahyu syaithoni dan untuk menyelamatkan diri dari godaan setan hendaknya muslimin berpegang teguh pada tali Ilahi dan sirah serta sunnah nabi ..." [29]


Penentang Minhaju as-Sunnah dari Kalangan Syiah 

Buku Minhaju as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah yang pada kenyataannya merupakan refleksi dari emosi dan kedengkian pribadi penulis bukan saja mengundang marah muslimin Ahli Sunnah melainkan juga telah melukai hati muslimin Syiah. Ulama Syiah masing-masing menuangkan kritiknya terhadap Ibnu Taimiyah dalam pikiran dan pena mereka, mereka telah mengarang banyak buku menentang dia yang di antaranya adalah:
1. Minhaju as-Syari'ah fi ar-Roddi 'ala Minhaji as-Sunnah, karya Sayid Mahdi Qazweini. Buku ini ditulis pada tahun 1318 H.
2. Ikmalu al-Minnah fi Naqdhi Minhaji as-Sunnah, karya Sayid Sirajuddin Husein bin Isa al-Yamani al-Lukhnawi.
3. Minhaju as-Syari'ah fi Roddi Ibni Taimiyah, karya Sayid Mahdi Kesywarane Kazimi.
4. Minhaju ar-Rosyad, karya Syekh Ja'far Kasyiful Ghitha.
5. Al-Barohin al-Jaliyyah, karya Muhammad Hasan Qazweini.
6. Ad-Da'wah al-Islamiyah, karya Syekh Muhammad Najafi.

Allamah Amini di dalam kitab al-Ghodir dan Mudzaffar di dalam kitab Dala'ilu as-Shidq memuat pembahasan panjang lebar untuk mengritik Ibnu Taimiyah. Dan lebih penting dari itu semua, ucapan Allamah Hilli sendiri tentang kitab Minhaju as-Sunnah. Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Muthahhar (Allamah Hilli) adalah orang yang berbudi pekerti mulia dan selalu bersikap baik, tapi ketika kitab Minhaju as-Sunnah sampai kepadanya dia berkata: "Andaikan dia (Ibnu Taimiyah) mengerti apa yang aku katakan maka aku pasti akan menjawabnya." [30]


Kata Terakhir tentang Minhaju as-Sunnah

Setelah mengkaji buku tebal Minhaju as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah dan menapaki pendapat ulama serta para ahli baik yang mendukung maupun dan menentang penulisan buku tersebut, kita sampai kepada kesimpulan bahwa di dalam kitab itu terdapat bermacam-macam penyelewengan dan kritik baik dari aspek keyakinan maupun yang lain, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Perubahan makna Qur'an. Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Minhaju as-Sunnah berulang kali menggunting awalan dan akhiran ayat Qur'an untuk dapat mencocokkan klaim dan maksudnya dengan potongan ayat yang dia inginkan, kemudian dia juga mengubah riwayat-riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) yang tidak sesuai dengan keinginannya.
2. Perubahan hadis-hadis yang menjelaskan sebab turunnya ayat-ayat Qur'an yang berkenaan dengan Ahlulbayt as.
3. Perubahan hadis secara umum.
4. Pengingkaran terhadap norma-norma keyakinan umat Islam. Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya tersebut mengingkari amalan tawassul (berperantara) kepada para nabi, wali, dan orang saleh serta istighosah (minta pertolongan) kepada mereka, dia juga menolak syafaat di hari kiamat, kemudian dia mengklaim ziarah kepada ahli kubur, membangun masjid di atas kuburan para nabi dan orang saleh atau mendirikan bangunan dan kubah di atasnya, begitu pula dengan masyhad-masyhad (bangunan utama) para nabi, wali, dan Ahlulbayt sebagai perbuatan bid'ah.

Penerjemah: Nasir Dimyati 


Referensi:

1. Allamah Hilli, Nahju al-Haq wa Kasyfu as-Shidq, hal. 173.
2. QS. al-Ahzab: 33.
3. Ibnu Taimiyah, Huququ Aalilbayt, hal. 12.
4. Minhaju as-Sunnah, hal. 117.
5. QS. Al-Ahzab: 33.
6. Ibnu Khallakan, al-Wafi bi al-Wafayat, jilid 3, hal. 79.
7. Dzuyulu al-'ibar, jilid 4, hal. 77.
8. Ibnu Hajar Asqalani, Lisanu al-Mizan, jilid 2, hal. 317.
9. Ibnu Dawud, Rijalu Ibni Dawud, jilid 8, hal. 466.
10. Sho'ib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa Aqo'iduhu, hal. 203.
11. Tafrisyi, Naqdu ar-Rijal, hal. 100.
12. As-Shafdi, al-Wafi bi al-Wafayat, cetakan kedua, Beirut, 1411 H., jilid 21, hal. 262.
13. Ibnu Hajar Asqalani, Lisanu al-Mizani, jilid 6, hal. 319.
14. Ibid.
15. Al-Ulama' al-Islami, Mawqifuhum min al-Wahhabiyyah, hal. 30.
16. Al-Wahhabiyyatu fi Nadzori al-Ulama' al-Islami, hal. 11.
17. Ibid, hal. 47.
18. Ibid, hal. 54.
19. Ibid, hal. 56.
20. Ali Ashgar Faqihi, Wahhobiyon, Teheran, 1352 HS., hal. 129.
21. Al-Ulama' al-Islamiyun, Mawqifuhum Min al-Wahhabiyyah, hal. 273.
22. Ibid, hal. 347.
23. Ibid.
24. Ibid.
25. Hajji Khalifah, Kasyfu adz-Dzunun 'an Asami al-Kutubi wa al-Funun, cetakan ketiga, Beirut, 1387 H., jilid 2, hal. 1872.
26. Ibnu Taimiyah, ar-Roddu 'ala al-Akhna'I, hal. 205.
27. Maha Anwar, al-Ulama al-Islami fi al-Hind, Haydar Abad, 1962 M., hal. 121.
28. Ibid, hal. 134.
29. Umar Bithar, al-Atsar al-Kholidah, Kairo, 1969 M., hal. 176.
30. Ibnu Hajar Asqalani, Lisanu al-Mizan, jilid 2, hal. 317.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI