Pesan Rahbar

Home » , » Studi Komparatif Antara Dua Pandagan Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah Mengenai Ayat-ayat Tentang Ahlul Bait as (Bagian 1)

Studi Komparatif Antara Dua Pandagan Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah Mengenai Ayat-ayat Tentang Ahlul Bait as (Bagian 1)

Written By Unknown on Tuesday, 20 September 2016 | 22:08:00


Oleh: Muhammad Husein Musawi Mubalig

Mengenal Allamah Hilli 

Jamaluddin Abu Mansur Asadi Hilli Hasan bin Yusuf bin Ali bin Muhammad bin Mutahhar yang lebih dikenal dengan sebutan Allamah Hilli lahir pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadan tahun 1648 Hijriah di Kota Hillah. [1]

Dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang mulia dan terhormat, masa kekanakan dia lalui dengan perhatian sekaligus pendidikan langsung dari ayah dan pamannya, kemudian di masa muda dia bertemu dengan Khojeh Nasiruddin Thusi teolog muslim yang terkemuka dan menimba ilmu darinya sampai tahun 672 “ tahun wafatnya Khojeh “ dengan mempelajari berbagai kitab dalam bidang ketuhanan, astronomi, matematika, dan juga kitab-kitabnya Ibnu Sina. [2]


Karya-Karya 

Allamah Hilli mempunyai ingatan yang kuat dan pena yang hebat. Sebagian dari mereka yang menuliskan biografinya mengatakan bahwa Allamah Hilli sekalipun sedang dalam perjalanan dan menunggangi kuda dia tetap menulis. [3]

Dia mempunyai banyak karya berharga di bidang ilmu teologi, filsafat, fisika, ulumul Qur'an, fikih, ushul fikih, komentar dan terjemahan karya-karya Ibnu Sina, serta komentar terhadap karya-karya gurunya Khojeh Nasiruddin Thusi. Dia mewariskan sembilan belas karya buku di bidang ilmu fikih, delapan buku di bidang ilmu hadis, dua buku di bidang ilmu tafsir, lima belas buku di bidang ilmu usul fikih, tujuh buku di bidang ilmu logika, empat buku di bidang sastra arab seperti nahwu dan sharaf, serta empat buku di bidang ilmu rijal.


Persahabatan yang Harmonis dengan Ulama Ahli Sunnah

Allamah Hilli menjalin hubungan yang erat dan harmonis dengan para cendekiawan dan ulama' Ahli Sunnah Wal Jama'ah, mereka menghormatinya begitupun dia dengan kemuliaan dan kepribadiannya yang besar sangat menghormati mereka, setiap kali dia sedang menghadiri perkumpulan ulama' Ahli Sunnah maka tanpa ada sedikitpun fanatisme pada dirinya dengan rasa hormat terhadap mereka dia melakukan shalat-shalat hariannya dalam lima waktu yang terpisah.

Dia juga sering mengadakan pertemuan akrab dan dialog ilmiah dengan ulama' Ahli Sunnah, di antaranya dia surat menyurat dengan Qadhi Baidhawi Syirazi (685 H.) penulis kitab Tafsir Baidhowi dalam persoalan-persoalan seputar teologi, usul fikih, hadis, fikih, dan lain-lain. Baidhawi memulai surat keduanya kepada Allamah Hilli sebagai berikut: "Wahai Maulana Jamaluddin, Anda adalah imam orang-orang yang utama, Anda adalah imam para mujtahid di bidang ilmu usul fikih, fikih, hadis dan ...". [4]


Kehebatan dalam Berdiskusi 

Allamah Hilli adalah orang yang lembut dan toleran terhadap ulama Ahli Sunnah, tapi di saat yang sama dia mempunyi kemampuan yang luar biasa dalam berdiskusi dan dialog-dialog ilmiah, dia selalu memaparkan pandangan-pandangannya di hadapan ulama-ulama yang lain dengan logika yang kokoh dan argumentasi ilmiah yang kuat. Semua peneliti mengetahui kejadian diskusinya dengan berbagai ulama dari empat mazhab Ahli Sunnah di hadapan Sultan Muhammad (yang dikenal dengan Khudabandeh) raja penguasa negeri Islam pada waktu itu, pada akhirnya diskusi itu membuat raja menjadi Syiah. [5]

Namun demikian, tidak pernah terjadi diskusi antara Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah, masing-masing dari mereka tidak ada yang berkeinginan untuk itu. Kata Ibnu Hajar Asqalani, hanya sekali ketika ada seseorang yang mengumbar olokan-olokan Ibnu Taimiyah terhadap Allamah Hilli, dia (Allamah) mengatakan: kalau saja aku tahu dia (Ibnu Taimiyah) sanggup mengerti kata-kataku maka aku sudah tulis surat untuknya. [6]

Ibnu Hajar juga menukil bahwa ketika Ibnu Taimiyah menulis buku yang berjudul Minhaju as-Sunnah untuk membantah karya Allamah Hilli yang berjudul Minhaju al-Karomah dan mengirimkan satu copy kepadanya, dia (Allamah) mengatakan hal yang sama tentang Ibnu Taimiyah. [7]


Mengenal Ibnu Taimiyah

Nama lengkap dan julukannya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Khidhr Abul Abbas Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Dia lahir pada tahun 661 Hijriah di Harran dan meninggal pada tahun 728 Hijriah di Damaskus. Dia lahir dari keluarga yang hampir satu abad mengibarkan bendera mazhab Hanbali.


Pemikiran Ibnu Taimiyah 

Menurut Ibnu Taimiyah, tawassul (berperantara) dan beristighosah (minta pertolongan) kepada para nabi, washiy (pewaris sekaligus penerus misi nabi), wali, dan orang saleh adalah perbuatan syirik, keyakinan terhadap syafaat adalah kafir, dan amalan ziarah kepada ahli kubur dan membangun bangunan, qubah, pot bunga atau semacamnya di atas kuburan adalah bid'ah jahiliyah.

Dia menyebut keyakinan terhadap keimaman Ahlulbayt (keluarga khusus nabi saw.) as. sebagai ajaran agama Yahudi, sedangkan kepercayaan tentang kesucian para imam dan Ahlulbayt as. dari dosa dan kesalahan dia sebut dengan kekafiran, di saat yang sama dia mempunyai pemikiran tersendiri tentang sifat-sifat Allah swt. yang menurut al-Qur'an Maha Suci Allah swt. dari sifat-sifat itu dan ulama Islam dari berbagai aliran menyatakan siapa saja yang meyakini sifat-sifat itu ada pada Allah swt. adalah kafir.
Ibnu Taimiyah meyakini penjisiman Allah swt. dan menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya.

Syekh Hanafi Kautsari berkata tentang keyakinan Ibnu Taimiyah mengenai sifat-sifat Tuhan: Ibnu Taimiyah secara terang-terangan meyakini kejisiman (ketubuhan) Allah swt. [8]

Itulah sebabnya mayoritas ulama dan tokoh dari berbagai mazhab fikih Ahli Sunnah “ mencakup mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali“ mengkafirkan Ibnu Taimiyah.

Syekh Syihabuddin Ibnu Jahbal Syafi'i (733 H.) yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah menulis banyak karya tulis untuk menjelaskan kepercayaan Ibnu Taimiyah yang penuh dengan kekafiran dan terang-terangan mengundang dia untuk berdialog, Syekh mengatakan: kita tunggu kerusakan dan penyimpangan Ibnu Taimiyah muncul satu persatu untuk kemudian kita jelaskan lebih lanjut tingkat-tingkat kesesatannya dan jihad yang sepatutnya di jalan Allah swt. [9]


Fanatisme Terhadap Syiah

Ibnu Taimiyah menunjukkan fanatisme kebencian tersendiri terhadap Syiah dan ajaran-ajarannya seakan tidak mungkin untuk didamaikan. Dia mengklaim mazhab Syiah didirikan oleh Abdullah bin Saba' Yahudi dan ajarannya bersumber dari agama Yahudi. [10] Dia juga memberi label Khasyabiyah kepada Syiah, menurut dia penamaan itu dikarenakan keyakinan orang-orang Syiah bahwa mereka tidak akan berjihad dengan pedang kecuali bersamam imam yang maksum (suci). [11] Ibnu Taimiyah juga menyebut Syiah dengan ghuluw atau orang-orang yang keterlaluan dan pembohong. [12]


Karya-Karya 

Karya Ibnu Taimiyah ada banyak sekali dan mayoritas karya-karyanya membahas tentang persoalan-persoalan akidah atau kepercayaan. Di antara koleksi karya dan karangannya, kitab Minhaju as-Sunnah “ yang secara lahir ditulis untuk menyangkal ide-ide Allamah Hilli “ lebih dahsyat daripada yang lain dalam melecehkan nilai-nilai kepercayaan umat Islam, mazhab Syiah, dan bahkan kepada Ahlulbayt keluarga Rasulullah saw.

Kata Ibnu Hajar Asqalani, ketika Ibnu Mutahhar Hilli menulis kitab berjudul Minhaju al-Karomah fi Itsbati al-Imamah untuk membuktikan keimaman Ahlulbayt melalui bukti-bukti teologis dan rasional serta dengan bersandar pada hadis-hadis yang diakui oleh Ahli Sunnah dan dinukil dalam kitab-kitab Sahih atau Sunan, maka Ibnu Taimiyah bertekad untuk menulis kitab bantahan yang pada akhirnya dia berhasil menulis buku tebal berjudul Minhaju as-Sunnah an-Nabawiyah fi Naqdhi Kalami as-Syi'ah wa al-Qodariyah. [13]


Sekilas Tentang Ayat-Ayat Yang Menjadi Pembahasan

Allamah Hilli di dalam dua kitabnya yang berjudul Kasyfu al-Haq wa Nahju as-Shidq dan Minhaju al-Karomah fi Itsbati al-Imamah membawakan lebih dari seratus ayat dan surat al-Qur'an yang menurutnya turun berkenaan dengan keagungan posisi Ahlulbayt Nabi as., sebagiannya khusus mengenai kedudukan Fatimah Zahra as. dan sebagian besar berkaitan dengan kedudukan Ahlulbayt secara umum. Di antaranya adalah:
1. Surat Kautsar turun berkenaan dengan kedudukan Fatimah Zahra as.
2. Surat Hal Ata turun berkenaan dengan kedudukan Fatimah Zahra as., Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Imam Hasan as., dan Imam Husein as. serta Fiddhah pembantunya.
3. Surat al-Ashr turun berkenaan dengan kedudukan Ahlulbayt as.
4. Ayat tathir atau penyucian (al-Ahzab: 33), ayat mubahalah (Aali Imran: 61) dan ayat فَتَلَقَّی آدَمُ مِن رَبِّهِ کَلِمَاتٍ (al-Baqarah: 37) turun berkenaan dengan kedudukan Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Zahra as., Hasan as. dan Husein as.
5. Ayat wilayah atau kepemimpinan (al-Ma’idah: 55), ayat tabligh atau penyampaian misi terakhir (al-Ma’idah: 67), ayat اَلیَومَ اَکمَلتُ لَکُم دِینَکُم (al-Ma’idah: 3), ayat وَمِنَ النّاسِ مَن یَشرِی نَفسَهُ ابتِغَاءَ مَرضَاتِ اللهِ (al-Baqarah: 207), ayat اِنِّی جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ... (al-Baqarah: 124), dan puluhan ayat-ayat yang lain turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.


Bukti dan Tolok Ukur 

Semua asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) ayat-ayat tersebut tentang Ahlulbayt as. yang disebutkan oleh Allamah Hilli bersandarkan kepada referensi Ahli Sunnah, dan sebagaimana akan kita jelaskan nanti ungkapan yang digunakan oleh Allamah dalam menukil riwayat-riwayat tafsir dan asbabun nuzulnya ayat adalah: ajma’a al-mufassirun (para penafsir Qur’an bersepakat), ajma’a al-Muhadditsun (para ahli hadis bersepakat), ajma’a al-mufassirun ‘ala nuzuliha fi (para mufassir Qur’an bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ...), naqola al-Jumhur (mayoritas muslimin menukil), rowa al-Jumhur fi as-Shohihayn (mayoritas meriwayatkan dalam dua kitab Shahih), atau qola fulan ... (berkata sifulan bahwa ...).

Di sisi lain, Ibnu Taimiyah juga mengklaim dirinya bersandar pada ijmak atau kesepakatan ulama Islam, ijmak para penafsir Qur’an, dan ijmak para ahli hadis untuk menyangkal pernyataan-pernyataan Allamah Hilli. Oleh karena itu, penilaian terhadap dua pemikiran kontradiktif yang masing-masing mengaku adanya ijmak dan salah satunya mengklaim pernyataannya termuat di dalam enam kitab induk hadis-hadis sahih sementara yang lain mengklaim sebaliknya, membutuhkan pada penelitian yang komprehensif mencakup satu persatu ayat-ayat tersebut.

Berhubung penelitian yang terperinci terhadap masing-masing dari ayat-ayat tersebut tidak mungkin dilakukan oleh artikel yang singkat ini, maka terpaksa kami hanya menyelidiki beberapa ayat sebagai contoh dan kemudian kita nilai dengan juga melihat secara umum pandangan para ahli dari kalangan Ahli Sunnah tentang dua pemikiran Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah.


KAJIAN TENTANG AYAT-AYAT

Ayat Wilayah (ayat kepemimpinan):


اِنَّمَا وَلِِیُّکُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِینَ آمَنُوا الَّذِینَ یُقِیمُونَ الصَّلَاةَ وَ یُؤتُونَ الزَّکَاةَ وَ هُم رَاکِعُونَ [14]

Artinya: “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman; yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan membayar zakat di saat mereka ruku’”.

Ayat ini di dalam terminologi ahli Qur’an populer dengan sebutan Ayat Wilayah (ayat kepemimpinan) dan banyak sekali dari ahli hadis serta mufassir Qur’an yang juga memakai istilah ini. Kendatipun demikian, ada juga sebagian ahli yang menamai ayat ini dengan Ayat Zakat Dengan Cincin.

Mayoritas hampir mutlak para ahli sepakat bahwa keyakinan ayat ini turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. adalah ijmak antara Syiah dan Ahli Sunnah. Para ahli tafsir dan hadis membuktikan turunnya ayat itu tentang Ali as. melalui berbagai jalur dan sanad yang tidak terbilang lagi jumlahnya. Dalam hal ini, Allamah Hilli juga sependapat dengan ulama Syiah Imamiyah lainnya bahwa perihal turunnya ayat ini berkenaan dengan kedudukan Amirul Mukminin Ali as. adalah pasti dan tidak bisa diganggu gugat, lalu dia menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk membuktikan keimaman beliau as.

Mengenai popularitas sebab turunnya ayat ini, Allamah Hilli mengatakan: “ulama Islam bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as., dan ini disebutkan dalam enam kitab induk hadis sahih Ahli Sunnah bahwa oleh karena Ali bin Abi Thalib as. menyedekahkan cincinnya ketika dalam keadaan shalat dan disaksikan oleh para sahabat yang hadir pada saat itu maka turunlah ayat ini”. [15]

Di lain tempat, dia mengatakan: “para ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksudkan oleh ayat:

 اِنَّمَا وَلِیِّکُمُ اللهُ و ... 

adalah Amirul Mukminin Ali as.; sebab ketika sedang dalam keadaan ruku’, beliau menyedekahkan cincinnya kepada orang miskin maka kemudian turunlah ayat berkenaan dengan beliau dan dalam hal ini tidak ada lagi perbedaan pendapat.” [16]

Di sisi lain, Ibnu Taimiyah dalam karya-karyanya mendustakan kisah sedekah Amirul Mukminin Ali as. dalam keadaan shalat dan turunnya ayat ini berkenaan dengan beliau, kemudian dia menyandarkan pandangannya kepada ijmak dan kesepakatan pendapat ulama muslim. Dia berkata dalam kitabnya yang berjudul Muqoddimatun fi Ushuli at-Tafsir: “menurut kesepakatan ulama, hadis yang menceritakan Ali menyedekahkan cincinnya dalam keadaan shalat adalah hadis palsu.” [17]

Di tempat lain, dia mengulang perkataannya tadi dengan ungkapan: “menurut ijmak orang-orang yang ahli ilmu, hadis ini adalah palsu.” [18]

Ibnu Taimiyah mengeluarkan pernyataan tentang tidak turunnya ayat ini berkenaan dengan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as. di berbagai karyanya yang lama, akan tetapi di kala dia dihadapkan dengan logika dan argumentasi kuat yang diajukan oleh Allamah Hilli maka dia langsung menghina Allamah dan menuduhnya telah mengubah Qur’an. Sehubungan dengan penolakannya terhadap turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as., Ibnu Taimiyah berkata: “Ibnu Mutahhar telah mengubah Qur’an yang tidak pernah ada orang sebelum dia melakukan perubahan seperti itu; salah satunya perkataan dia bahwa ayat:

 اِنَّمَا وَلِیِّکُمُ اللهُ وَ ... 

turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib karena dia menyedekahkan cincinnya ketika dalam keadaan shalat. Ini merupakan klaim bohong yang paling besar, bahkan ulama sepakat bahwa ayat ini tidak turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib dan juga sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah menyedekahkan cincinnya dalam keadaan shalat, mereka berijmak sesungguhnya sifat yang dinukil tentang Ali tersebut adalah kebohongan yang dibuat-buat.” [19]

Tapi, dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengingkari seperpustakaan referensi yang dipaparkan oleh Allamah Hilli tentang turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan hanya menyebutkan satu dari semua yaitu Tafsir Tsa’labi yang kemudian dia nyatakan lemah dan tidak akurat, dia mengatakan: “adapun riwayat-riwayat yang dinukil oleh Ibnu Mutahhar (berkenaan dengan sebab turunnya ayat wilayah) dari Tafsir Tsa’labi disepakati oleh ahli hadis bahwa Tsa’labi telah meriwayatkan hadis-hadis palsu di dalam kitab tafsirnya. Itulah sebabnya kenapa Baghawi yang termasuk orang alim di bidang hadis tidak menukil hadis-hadis palsu itu dalam kitab tafsirnya dan juga tidak memuat penafsiran-penafsiran ahli bid’ah di sana sebagaimana yang dilakukan oleh Tsa’labi.” [20]

Di tempat lain, dia berkata tentang Baghawi sebagai berikut: “dia adalah orang yang alim dalam hadis dan tidak menukil hadis-hadis palsu seperti ini.” [21]

Selain Baghawi, Ibnu Taimiyah juga memuji Thabari dan tafsirnya serta mengklaim bahwa oleh karena Thabari berprinsip untuk mengumpulkan hadis-hadis yang sahih dengan sanad atau silsilah perawi yang valid maka dia tidak menukil hadis-hadis palsu seperti turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib dan ... .” [22]

Di tempat lain, ketika ditanya tentang tafsir apakah yang lebih sahih dan benar dan paling dekat dengan al-Qur’an dan sunnah dia menjawab: “adapun perihal kitab-kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, yang paling sahih dan benar adalah tafsirnya Muhammad bin Jarir Thabari, karena dia menyebutkan perkataan-perkataan salaf dengan sanad yang kuat dan di dalamnya tidak terdapat bid’ah atau pun penukilan dari orang-orang yang tersangka seperti Muqatil dan Kalbi.” [23]


Kritik Terhadap Pernyataan Ibnu Taimiyah

Setelah mengamati pandangan Allamah Hilli dan pernyataan Ibnu Taimiyah, ternyata kita mendapati beberapa kontradiksi dalam perkataan Ibnu Taimiyah. Di satu sisi, berkenaan dengan hadis sebab turunnya ayat wilayah dia memuji Thabari dan Baghawi serta mengklaim bahwa hanya Tsa’labi yang menukil hadis-hadis palsu, tapi di sisi lain berkenaan dengan hadis indzar (peringatan pertama Rasulullah saw. yang beliau sampaikan kepada sanak famili dan berakhir dengan berita dan pengangkatan bahwa Ali bin Abi Thalib as. akan menjadi washiy atau penerus misi beliau setelah meninggal dunia) dia menuduh Thabari dan Baghawi yang dia puji-puji tadi telah meriwayatkan hadis-hadis palsu. Dia mengatakan: “hadis indzar termuat dalam kitab-kitab tafsir yang di dalamnya tidak terdapat hadis-hadis sahih seperti tafsir Tsa’labi, Wahidi, Baghawi, dan bahkan tafsirnya Ibnu Jarir Thabari serta Ibnu Abi Hatim, hanya karena sebuah riwayat termuat dalam masing-masing dari tafsir-tafsir tersebut tidak bisa menjadi alasan yang membenarkannya.” [24]

Dengan demikian, Ibnu Taimiyah terjerumus dalam kubangan kontradiksi yang amat jelas karena di satu tempat dia memuji Thabari dan Baghawi tapi di tempat lain dia menghina mereka. Selain itu, terlihat juga secara jelas kontradiksi lain dalam perkataan Ibnu Taimiyah di kala dia memuji Baghawi dan Ibnu Jarir Thabari karena mereka berdua tidak meriwayatkan hadis-hadis lemah di dalam kitab-kitab mereka, padahal Ibnu Jarir Thabari di dalam kitab tafsirnya dengan sanad yang kuat (sebagaimana diakui oleh Ibnu Taimiyah) meriwayatkan hadis sedekahnya Amirul Mukminin Ali as. dalam keadaan shalat dan turunnya ayat wilayat berkenaan dengan beliau melalui lima jalur[25], sedangkan Baghawi meriwayatkannya pula dari jalur-jalur yang banyak[26].


Pengamatan Terhadap Ijmak yang Diklaim Oleh Dua Belah Pihak

Seperti yang telah Anda perhatikan di atas, masing-masing dari dua belah pihak (Allamah Hilli dan Ibnu Taimiyah) mengklaim adanya ijmak untuk membuktikan pandangan atau bantahannya, dan sekarang seyogyanya diamati lebih lanjut apa benar ada ijmak atau pada hakikatnya sama sekali tidak ada ijmak baik untuk pandangan Allamah Hilli maupun untuk bantahan Ibnu Taimiyah? dan jika memang benar ada ijmak lalu klaim siapakah dari dua belah pihak tersebut yang didukung oleh ijmak?

Sebaiknya kita memperhatikan sahabat-sahabat yang menjadi perawi hadis sebab turunnya ayat wilayah ini sebelum kita menelusuri pendapat para ahli tafsir Qur’an dan ahli hadis. Di antara perawi-perawi hadis wilayah terdapat nama-nama berikut ini: Ibnu Abbas, Abu Dzar Ghifari, Ammar bin Yasir, Jabir bin Abdillah Anshari, Abu Rafi’, Anas bin Malik, Salmah bin Kuheil, Abdullah bin Salam, Miqdad bin Aswad Kindi, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Thalhah bin Abdillah, Khalil bin Murrah, dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as..

Para ahli hadis menukil sebab turunnya ayat wilayah dan kisah sedekah Amirul Mukminin Ali as. di dalam literatur hadis dan tafsir mereka dari sahabat-sahabat Rasulullah saw., sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya bahwa Thabari menyebutkan lima jalur untuk membuktikan turunnya ayat ini tentang Amirul Mukminin Ali as. dan Baghawi, satu lagi dari penafsir Qur’an yang dipercaya oleh Ibnu Taimiyah, menukil hadis sebab turunnya ayat tersebut dari beberapa jalur.

Selain mereka berdua, ahli-ahli hadis berikut ini juga meriwayatkan hadis sebab turunnya ayat wilayah tersebut: Wahidi[27] di dalam kitab Asbabu an-Nuzul, Jarullah Zamakhsyari[28] di dalam kitab Tafsir Kassyaf, Imam Fakhruddin Razi[29] di dalam kitab Tafsir Kabir, Tsa’labi[30] di dalam kitab tafsirnya, Muslim dan Bukhari di dalam masing-masing kitab Shohihnya, Ahmad bin Hanbal[31] di dalam kitab Fadho’il, Ibnu Atsir[32] di dalam kitab Jami’u al-Ushul, Khatib Baghdadi dan Ibnu Murdawaih serta Abu Su’ud[33], Nasafi[34], Baidhawi[35], Suyuthi[36], Syaukani[37], dan Alusi[38].

Syaukani setelah menyebutkan kisah sedekahnya Amirul Mukminin Ali as. di saat shalat, berkata: “Khathib menukil riwayat ini dari Ibnu Abbas dalam kitab al-Muttafaq wa al-Muftaroq dan membenarkan turunnya ayat ini tentang Ali bin Abi Thalib as., begitu pula Abdurrozzaq, Abdu bin Hamid, Ibnu Jarir, Abu Syekh dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib as.” [39]

Abu Syekh dan Ibnu Murdawaih menukil hadis yang serupa dari Ali bin Abi Thalib as. [40] Alusi mengatakan: “mayoritas ahli hadis percaya bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib as.” [41]

kemudian dia memaparkan kisah sebab turunnya ayat wilayah secara terperinci. Dia juga menukil di dalam kitab tafsirnya bahwa ketika ayat wilayah turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. maka Hassan bin Tsabit yang pada waktu dia hadir di masjid, melantunkan puisi-puisi yang artinya: wahai Abu Hasan, kukorbankan jiwa dan darahku untukmu, semua orang lambat dalam hidayah sementara kamu laju, kamulah orang yang memberi zakat di saat ruku’, sungguh jiwa kan menjadi korban untukmu wahai sebaik-baik yang ruku’, karena itu Allah swt. menurunkan kebaikan dan ayat tentang dirimu serta menjelaskannya di dalam Qur’an kitab syariat yang kuat. [42]

Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Fadho’ilu as-Shohabah, Ibnu Atsir di dalam kitab Jami’u al-Ushul, dan sebagian besar ahli hadis yang lain membenarkan hadis ini serta menyatakan turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. [43]

Haskani, ulama terkemuka Ahli Sunnah, menyebutkan dua puluh delapan hadis yang menjelaskan sebab turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. di dalam kitabnya yang berjudul Syawahidu at-Tanzil, dan di antara perawi-perawi hadis tersebut terdapat enam nama sahabat besar Rasulullah saw. yaitu: Ali bin Abi Thalib as., Ammar, Abu Dzar, Miqdad, Jabir, dan Ibnu Abbas. [44]

Begitu pula Wahidi di dalam kitab Asbabu an-Nuzul menyebutkannya melalui dua jalur[45], Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya melalui enam jalur[46], Suyuthi di dalam kitab tafsir ad-Durru al-Mantsur fi Tafsiri al-Qur’ani bi al-Ma’tsur melalui – sekitar – dua puluh jalur[47] dan di dalam kitab Lubabu an-Nuqul dia menyebutkan ayat tersebut turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. serta menyebutkan kisah beliau memberikan cincinnya di saat shalat.

Fakhrur Razi menuliskan: “diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Abdullah bin Salam berkata kepada Rasulullah saw.: “wahai Rasulullah, saya menyaksikan Ali menyedekahkan cincinnya ketika dia dalam keadaan ruku’, Oleh karena itu kami memilihnya untuk wilayah (kepemimpinan) terhadap kami.”.” [48]

Allamah Amini menyebutkan enam puluh enam ahli hadis dari kalangan Ahli Sunnah dengan bukti dan nama kitab masing-masing dari mereka yang menyatakan bahwa ayat wilayah ini turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. [49]

Allamah Thaba’ Thaba’i mengatakan dalam kitab tafsir Mizannya bahwa: “para tokoh tafsir riwa’i atau bil Ma’tsur (tafsir Qur’an dengan hadis) seperti Ahmad, Nasa’i, Thabari, Thabrani, Abdu bin Hamid dan hafidz serta tokoh ilmu hadis lainnya sepakat dalam menukil kenyataan ini tanpa menunjukkan sedikitpun penolakan terhadapnya, selain itu para teolog muslim juga mengakui riwayat tersebut dan fuqaha (ahli-ahli fikih) menyinggung masalah ini di dalam bab shalat ketika mereka membahas tentang perihal melakukan hal yang banyak di saat shalat dan perihal apakah sedekah suka rela (tidak wajib) juga dapat disebut dengan zakat ataukah tidak?.” [50]

Al-Marhum Ayatullah Mar’asyi Najafi menukil turunnya ayat wilayah berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dari tiga puluh satu referensi. [51]

Allamah Sayid Syarafuddin Amili menuliskan: “turunnya ayat wilayah tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. merupakan salah satu hal-hal yang disepakati (ijmak) oleh para mufasir Qur’an, dan ijmak ini dinukil oleh oleh sebagian pembesar-pembesar Ahli Sunnah seperti Imam Qousyanji ketika membahas imamah di dalam Syarhu Tajrid.” [52]

Sayid Murtadha mengatakan bahwa: “para ahli tekstual sepakat bahwa yang memberi zakat (sedekah) pada waktu ruku’ di saat shalat adalah Ali bin Abi Thalib as.” [53]

Ayat Mubahalah:

فَمَن حَاجَّکَ فِیهِ مِن بَعدِ مَا جَاءَکَ مِنَ العِلمِ فَقُل تَعَالَوا نَدعُ اَبنَاءَنَا وَ اَبنَاءَکُم وَ نِسَاءَنَا وَ نِسَاءَکُم وَ اَنفُسَنَا وَ اَنفُسَکُم ثُمَّ نَبتَهِل فَنَجعَل لَعنَتَ اللهِ عَلَی الکَاذِبِین[54]

Artinya: “Maka barangsiapa yang membantah engkau tentang itu (kebenaran tentang Isa) sesudah datang pengetahuan kepadamu maka (tinggalkan cara dialog dan diskusi dan) katakanlah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian, kemudian kita bermubahalah (baca: berdoa dengan sungguh-sungguh dan merendah) dan kita jadikan (baca: kita minta) supaya laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang berdusta.”

Lazim kiranya untuk mengamati ayat ini dari berbagai sudut pandang dan di sini kami akan memulainya dengan kajian seputar mereka yang menemani Rasulullah saw. dalam fenomena Mubahalah ini. Selain semua penafsir Qur’an dari kalangan Syiah yang bersepakat, para penafsir Qur’an dari kalangan Ahli Sunnah juga seperti Baidhawi, Nisyaburi, Brusawi, Haqqi, Suyuthi, Fakhrur Razi, dan Ibnu Katsir mengakui bahwa mereka yang menamani Rasulullah saw. dalam proses Mubahalah adalah empat manusia suci yaitu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Zahra as., Hasan as., dan Husein as. [55]


Fenomena mubahalah bukti keutamaan ahlulbayt as.

Allamah Hilli percaya menyebut kesertaan Ashabul Kisa’ (empat manusia tersebut) bersama Rasulullah saw. di dalam proses Mubahalah dan turunnya ayat tentang mereka sebagai salah satu dari keutamaan Ahlulbayt as., dia berkata: “para penafsir Qur’an berijmak pendapat bahwa maksud dari kata “abna’ana” dalam ayat Mubahalah adalah Hasan as. dan Husein as., sedangkan maksud dari kata “anfusana” adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.. Dengan demikian, di dalam ayat ini Allah swt. menyebut Ali bin Abi Thalib as. dengan diri Nabi Muhammad saw., dan itu artinya kesamaan mereka berdua, yakni karena Ali bin Abi Thalib as. sama dengan manusia paling sempurna dan utama maka dia juga demikian adanya.

Sudah barang tentu ayat ini menunjukkan kedudukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. yang agung; karena Allah swt. telah menyejajarkan dia dengan diri Rasulullah Muhammad saw. dan memilihnya untuk menemani beliau dalam proses doa besar atau Mubahalah. Keutamaan apa yang lebih dari realitas bahwa Allah swt. memerintahkan rasul-Nya untuk minta bantuan dari seseorang dalam proses doa besar (Mubahalah) dan berperantara padanya? Lalu, siapakah orang yang telah memperoleh kedudukan istimewa ini?.” [56]

Di sisi lain, Ibnu Taimiyah menganggap bahwa kesertaan Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Zahra as., Hasan as., dan Husein as. bersama Rasulullah saw. di dalam proses Mubahalah sama sekali tidak menunjukkan keutamaan mereka. Dia berkata: “adapun mengenai kejadian Mubahalah, saya sama sekali tidak melihat ada keutamaan tersendiri bagi mereka, Rasulullah saw. mengajak mereka bukan karena keutamaan pada diri mereka melainkan karena mereka adalah sanak famili beliau, dan di dalam Mubahalah lelaki selalu mengajak sanak familinya yang terdekat, dan andaikan beliau mengajak Abu Bakar dan Umar niscaya doa beliau akan lebih dulu serta lebih cepat untuk dikabulkan.” [57]

Ucapan Ibnu Taimiyah ini menunjukkan dia betul-betul lupa bahwa yang mengajak Ahlulbayt as. untuk datang ke proses Mubahalah adalah Allah swt. dan ajakan itu datangnya bukan dari diri Rasulullah saw.. Meskipun demikian, dia malah ingin menentukan garis yang lebih tepat untuk Rasulullah saw. sehingga secara tidak langsung dia telah menyalahkan beliau saw. yang telah mengajak sanak familinya dan tidak mengajak Abu Bakar dan Umar.

Di tempat lain, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Ibnu Mutahhar (Allamah Hilli) berupaya menggunakan ajakan Rasulullah saw. terhadap Ali, Fatimah, Hasan dan Husein untuk ikut dalam proses Mubahalah untuk mengarang keutamaan mereka daripada sahabat Rasulullah saw., padahal kejadian ini sama sekali tidak menunjukkan keutamaan apapun bagi mereka, dan saya telah berulang kali katakan bahwa orang-orang Rafidhi ini (sebutan yang digunakan Ibnu Taimiyah untuk orang Syiah), sebagaimana yang terjadi pada periode jahiliyah, berusaha untuk membuat keutamaan Ahlulbayt daripada sahabat nabi.” [58]

Data-data membuktikan penentangan Ibnu Taimiyah terhadap Allamah Hilli disebabkan karena Allamah Hilli berupaya menetapkan keutamaan-keutamaan Ahlulbayt as.; kenyataan ini juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar yang berkata: “penghinaan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah terhadap Ibnu Mutahhar (Allamah Hilli) adalah untuk mengurangi (baca: menghina) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.” [59]

Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri tidak ingin menutup-nutupi permusuhannya terhadap Ahlulbayt as., dia berkata di dalam kitabnya yang berjudul Minhaju as-Sunnah: “sesungguhnya ide pendahuluan Ahlulbayt Rasulullah saw. adalah salah satu dampak dari tradisi jahiliyah yang senantiasa mendahulukan keluarga para pemimpin.” [60]

Kemudian dia juga di dalam kitab yang sama menyebutkan ide pendahuluan Ahlulbayt bersumber dari pemikiran Yahudi, dia berkata: “Syiah mengatakan: imamah (kepemimpinan umat) tidak layak kecuali untuk keturunan Ali, sedangkan Yahudi juga mengatakan: kekuasaan tidak layak kecuali untuk keluarga Dawud.” [61]

Persoalan berikutnya yang akan kita kaji lebih lanjut adalah apakah perintah Allah swt. terhadap Rasulullah saw. untuk mengikutsertakan Ahlulbaytnya dalam proses Mubahalah menjadi bukti keutamaan mereka atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kita menengok pandangan para ahli dari kalangan Ahli Sunnah tentang hal ini baru kemudian mengamati pendapat para ahli dari kalangan Syiah Imamiyah.

Mayoritas besar ahli hadis dan penafsir Qur’an dari kalangan Ahli Sunnah – yang sebagian besar nama mereka telah kita sebutkan sebelumnya – mempercayai bahwa ayat Mubahalah merupakan bukti penting atas keutamaan Ahlulbayt.

Ibnu Hajar di dalam kitab as-Showa’iqu al-Muhriqoh menukil riwayat dari Daru Quthni bahwa: Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pada hari Syura berkata: “aku sumpah kalian dengan nama Allah swt., tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. daripada aku, orang yang beliau nyatakan sejajar dengan diri beliau, putera-puteranya beliau nyatakan sebagai putera-putera beliau, dan istrinya beliau nyatakan sebagai wanita terdekat di antara keluarga beliau,? Hadirin menjawab: tidak seorangpun yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. daripada kamu.” [62]

Zamakhsyari menuliskan: “bukti paling kuat yang menunjukkan keutamaan Ashabul Kisa’ (empat manusia suci tersebut plus Rasulullah saw.) adalah ayat Mubahalah.” [63]

Allamah Sayid Mahmud Alusi menulis dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruhu al-Ma’ani: “tidak ada seorang mukmin pun yang meragukan bahwa ayat ini (Mubahalah) menunjukkan keutamaan Ahlulbayt Rasulullah saw., adapun anggapan orang-orang nasibi (pembenci keluarga nabi) bahwa ayat ini tidak menunjukkan hal tersebut tidak lain adalah igauan mereka yang menyingkap adanya kontak mereka dengan setan.” [64]

Muslim di dalam kitab induk hadis Sohihnya[65] dan Ibnu Hajar di dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqoh[66] menyebutkan bahwa pemilihan ini langsung dari sisi Allah swt. dan merupakan bukti paling besar keutamaan lima manusia tersebut (Ashabul Kisa’).”.

Syafi’i di dalam kitab Matholibu as-Sa’ul ketika dia panjang lebar membahas tentang kejadian Ghadir Khum, dia membawakan banyak ayat dan hadis untuk menjelaskan kelayakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin setelah Rasulullah saw., di antaranya dia menyebutkan ayat Mubahalah yang menurutnya spesialisasi ayat ini untuk lima manusia (Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah Zahra, Hasan dan Husein) adalah bukti paling penting keutamaan Ali dan keluarganya. [67]

Kemudian dia menunjuk hadis

مَن کُنتُ مَولاَهُ فَهذَا عَلِیٌّ مَولاَهُ 

(artinya: barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya maka ini Ali adalah pemimpinnya.) dan berkata: “seyogyanya diketahui bahwa hadis

مَن کُنتُ مَولاَهُ 

merupakan salah satu rahasia firman Allah swt. yang berbunyi:

... وَ اَنفُسَنَا وَ اَنفُسَکُم ... , 

dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya maksud dari wilayah di sini adalah otoritas jiwa Ali terhadap orang-orang mukmin, di ayat itu Allah swt. menyejajarkan jiwa Rasulullah saw. dan jiwa Ali as., dua-duanya secara bersamaan dikembalikan kepada satu kata ganti (dhomir) Rasulullah saw., kemudian di dalam hadis tersebut Rasulullah saw. menetapkan apa saja yang sudah tetap bagi jiwa beliau berkenaan dengan otoritas terhadap orang-orang beriman untuk jiwa Ali bin Abi Thalib as..

Itulah sebabnya kenapa Ali as. lebih utama daripada semua orang mukmin dan dialah penghulu orang-orang yang beriman, seluruh keutamaan yang dapat ditetapkan untuk Rasulullah saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin orang-orang mukmin dapat juga ditetapkan untuk Ali as, dan keutamaan-keutamaan ini merupakan posisi yang tiada duanya dan sangat tinggi yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. hanya untuk Ali as. dan tidak untuk selainnya. Oleh karena itu, hari ini (18 Dzul Hijjah) adalah hari raya dan hari kebahagiaan sahabat-sahabatnya.” [68]

Abu Na’im Isfahani di dalam kitabnya Hilyatu al-Awliya’ meriwayatkan sebuah hadis dengan silsilah perawi yang diakui bahwa: “suatu kala Ali masuk ke tempat Rasulullah saw. maka beliau bersabda: selamat datang penghulu orang-orang muslim dan imam orang-orang yang bertakwa.” [69]

Kemudian dia menambahkan: “ketika kepenghuluan terhadap muslimin dan kepemimpinan atas orang-orang yang bertakwa merupakan sifat jiwa Rasulullah saw. dan Allah swt. telah menyebut jiwa Ali as. dengan ungkapan jiwa Rasulullah saw. maka itu berarti semua Allah swt. juga telah menyatakan semua sifat jiwa Rasulullah saw. dimiliki pula oleh Ali as.” [70]

Fakhrur Razi di dalam kitab tafsirnya menegaskan maksud ayat ini tidak lain adalah Ashabul Kisa’ dan menurutnya ayat ini juga menjadi bukti untuk dua hal: yang pertama adalah sebaik-baik bukti untuk keutamaan Ahlulbayt Rasulullah saw., dan yang kedua adalah Hasan dan Husein merupakan putera-putera Rasulullah saw. [71]

Dia juga bersandar pada ayat selain Mubahalah untuk membuktikan hal yang kedua tersebut: “di antara ayat-ayat yang menekankan ayat Mubahalah yang menyatakan Hasan dan Husein adalah putera-putera Rasulullah saw. terdapat ayat 84 dan 85 dari surat al-An’am yang artinya: “... dan sebagian keturunan Ibrahim yaitu Dawud, Sulaiman, ... Zakariya, Yahya, dan Isa...”, dan sudah jelas bahwa Isa as. disambungkan kepada Ibrahim as. melalui ibunya dan bukan melalui perantara ayah, oleh karena itu terkadang keturunan dari anak perempuan seseorang disebut dengan anak orang tersebut.” [72]

Adapun para pemikir Syiah, mereka berdasarkan ideologi Ahlulbayt as. menyatakan proses Mubahalah dan turunnya ayat Mubahalah tentang kedudukan Ahlulbayt as. sebagai keutamaan yang istimewa bagi Ahlulbayt as. Kita melihat ketika Ali bin Abi Thalib as. berargumentasi di hadapan Abu Bakar, beliau berkata: “demi Allah wahai Abu Bakar! Apakah Rasulullah saw. mengajak diriku dan keluarga serta putera-puteraku dalam proses Mubahalah atau beliau mengajak dirimu dan keluarga serta putera-puteramu?” Abu Bakar menjawab: “beliau mengajak dirimu dan keluarga serta putera-puteramu.” [73]

Begitu pula dengan Imam Ali bin Musa ar-Ridho yang ketika berada di majlisnya Ma’mun beliau berargumentasi dengan ayat Mubahalah untuk membuktikan keutamaan Ahlulbayt as. atas seluruh umat Islam. Kala itu, ada seorang bertanya kepada imam as. apakah Allah swt. pernah menafsirkan dan menerangkan kata اصطفا di dalam kitab suci-Nya?
Beliau menjawab: “iya, Allah swt. telah menafsirkan dan menerangkannya sebanyak dua belas kali”, beliau menyebutkan satu persatu dua belas keterangan tersebut, di antaranya adalah: “adapun yang ketiga adalah ketika Allah swt. memilih yang suci dari seluruh makhluknya dan memerintahkan rasul-Nya untuk mengajak mereka dalam proses Mubahalah melawan ahli Najran, Allah swt. berfirman:

 فَمَن حَاجَّکَ فِیهِ مِن بَعدِ مَاجَائَکَ مِنَ العِلمِ.. . 

Ulama! yang hadir di majlis itu mengatakan bahwa maksud dari kata اَنفُس di dalam ayat Mubahalah adalah diri Rasulullah saw. sendiri dan bukan orang lain. Imam Ridho membantah seraya berkata: “maksudnya adalah Ali bin Abi Thalib, alasannya adalah sabda Rasulullah saw. bersabda dalam kejadian yang disebut dengan “Banu Wali’ah” sebagai berikut: “aku akan kirim lelaki yang sejajar denganku kepada mereka”, dan di situ maksud beliau saw. adalah Ali bin Abi Thalib as.

Oleh karena itu, maksud dari diri Rasulullah saw. di dalam ayat Mubahalah adalah Ali bin Abi Thalib as., dan maksud dari putera-putera Rasulullah saw. di dalam ayat tersebut adalah Hasan dan Husein, dan maksud dari perempuan-perempuan Rasulullah saw. di situ adalah Fatimah Zahra as.; hal itu disebabkan oleh kriteria-kriteria yang teraplikasi hanya kepada mereka, dan ini merupakan keutamaan yang tidak akan pernah dialami oleh umat manusia setelah mereka serta kemuliaan luar biasa yang tidak pernah ada yang mendahului mereka sebelumnya; yaitu kenyataan bahwa Ali bin Abi Thalib as. dinyatakan sebagai diri Rasulullah saw.” [74]

Syekh Mufid juga meriwayatkan hadis dari Ali bin Musa ar-Ridho berkenaan dengan Mubahalah, di sana beliau menjelaskannya sebagai keutamaan yang agung bagi Ali bin Abi Thalib as. [75]

Ayat Tathhir:

اِنَّمَا یُرِیدُ اللهُ لِیُذهِبَ عَنکُمُ الرِّجسَ اَهلَ البَیتِ وَ یُطَهِّرَکُم تَطهِیرًا[76]

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan kotoran dari kalian Ahlulbayt dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”

Menurut mayoritas ahli tafsir dan hadis, ayat Tathhir – yang menunjukkan kesucian Ahlulbayt yang datang dari sisi Allah swt. – hanya mencakup Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Zahra as., Hasan as., dan Husein as., dan tidak ada lagi selain mereka. Dari kalangan Ahli Sunnah di antara yang meyakini spesialisasi ayat Tathhir ini untuk lima manusia suci tersebut adalah:
1. Hakim Haskani, di dalam kitab Syawahidu at-Tanzil, jilid 2, dari halaman 10 sampai 192 dan dengan menyebutkan silsilah sanad atau perawinya.
2. Jalaluddin Suyuthi, di dalam kitab tafsir ad-Durru al-Mantsur, jilid 5, halaman 198 dengan menyebutkan berbagai jalur periwayatan.
3. At-Thahawi, di dalam kitab Musykilu al-Atsar, jilid 1, halaman 238 sampai 332.
4. Hafidz bin Hajar Haitsami, di dalam kitab Majma’u az-Zawa’id, jilid 9, halaman 121 sampai 146.
5. Ahmad bin Hanbal, di dalam kitab al-Musnad, jilid 1, halaman 23 dan jilid 4, halaman 107.
6. Ibnu Hajar, di dalam kitab as-Showa’iqu al-Muhriqoh, halaman 85.
7. Muhammad bin Jarir Thabari, di dalam kitab tafsirnya, jilid 22, halaman 5 sampai 7.
8. Nasa’i, di dalam kitab Khoso’ish, jilid 4.
9. Hakim Nisyaburi, di dalam kitab al-Mustadrok ‘ala as-Shohihayn, jilid 2, hal. 416.

Ada banyak riwayat yang mereka sebutkan tentang hal ini, kiranya cukup untuk kali ini kita menelaah satu di antaranya, yaitu riwayat dari Ummu Salamah sebagai berikut: “di kala ayat ini (ayat Tathhir) turun membawa berita gembira untuk Ashabul Kisa’ (lima manusia suci yang berulang kali telah disebutkan di atas) maka saya langsung berkata: “wahai Rasulullah! Apa saya juga boleh menjadi salah satu dari Ahlulbayt?” Beliau menjawab: “kamu berada di dalam kebaikan, mereka adalah Ahlulbaytku sementara kamu adalah salah satu dari istri-istriku”.” [77]

Adapun di dalam nukilan penulis kitab Musykilu al-Atsar riwayat Ummu Salamah ini mempunyai sedikit tambahan sebagai berikut: “Ummu Salamah berkata: “aku berharap sekali Rasulullah saw. memberi jawaban iya kepadaku, karena sungguh hal itu lebih kucintai daripada apa saja yang diterbiti oleh matahari dan ditenggelaminya”.” [78]

Penerjemah: Nasir Dimyati


Referensi:

1. Ibnul Wardi, Tarikhu Ibni al-Wardi, jilid 2, hal. 398.
2. Hasan Armawi di dalam pengantar kitab Nahju al-Haq wa Kasyfu as-Shidq karya Allamah Hilli, hal. 9.
3. Sha’ib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa Aqo’iduhu, hal. 200.
4. Sayid Muhsin Amin Amili, A’yanu as-Syi’ah, jilid 5, hal. 401.
5. Ibnul Wardi, Tarikhu Ibni al-Wardi, jilid 2, hal. 381, bab kejadian-kejadian tahun 718 hijriah.
6. Ibnu Hajar Asqalani, ad-Duraru al-Kaminah, jilid 2, hal. 71.
7. Ibid, Lisanu al-Mizan, jilid 2, hal. 317.
8. Ta’liqu al-Kawtsari fi Dzaili al-Asma’I wa as-Shifat li al-Bayhaqi, hal. 31.
9. Sho’ib Abdulmajid, Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa Aqo’iduhu, hal. 125.
10. Ibnu Taimiyah, Minhaju as-Sunnah, jilid 1, hal. 2.
11. Ibid, hal. 8.
12. Ibnu Taimiyah, at-Tawassul wa al-Wasilah, hal. 86.
13. Ibnu Hajar Asqalani, ad-Duraru al-Kaminah, jilid 2, hal. 26.
14. QS. al-Ma’idah: 55.
15. Allamah Hilli, Nahju al-Haq wa Kasyfu as-Shidq, diteliti lebih lanjut oleh Hasani Armawi, Qom, penerbit Al-Hijrah, hal. 172.
16. Allamah Hilli, Kasyfu al-Murod, penerbit Daftare Intisyorote Islomi Wobasteh beh Jome’ehye Mudarrisine Hauzehye Ilmiyehye Qum, 1407 H., hal. 368.
17. Ibnu Taimiyah, Muqoddimatun fi Ushuli at-Tafsir, hal. 31.
18. Ibid, hal. 36.
19. Ibnu Taimiyah, Minhaju as-Sunnah, jilid 2, hal. 90.
20. Ibid.
21. Ibid.
22. Ibid.
23. Ibnu Taimiyah, Muqoddimatun fi Ushuli at-Tafsir, hal. 51.
24. Ibnu Taimiyah, Minhaju as-Sunnah, jilid 4, hal. 80.
25. Muhammad bin Jarir Thabari, Tafsir Thobari, jilid 4, hal. 186.
26. Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil, jilid 2, hal. 272.
27. Wahidi, Asbabu an-Nuzul, hal. 114.
28. Jarullah Zamakhsyari, Tafsir Kasyyaf, jilid 1, hal. 649.
29. Fakhruddin Razi, Tafsir Kabir, jilid 12, hal. 26.
30. Tsa’labi, Tafsir Kabir (tulisan tangan), tepatnya setelah menyebutkan ayat wilayah.
31. Ahmad bin Hanbal, Fadho’ilu as-Shohabah, jilid 2, hal. 678.
32. Ibnu Atsir, Jami’u al-Ushul, jilid 9, hal. 478.
33. Abu as-Su’ud, Tafsir, jilid 2, hal. 52.
34. Nasafi, Tafsir Nasafi, jilid 1, hal. 420.
35. Baidhawi, Tafsir Baidhowi, jilid 1, hal. 272.
36. Jalaluddin Suyuthi, Lubabu an-Nuqul, hal. 93.
37. Syaukani, Fathu al-Qodir, jilid 2, hal. 53.
38. Alusi, Ruhu al-Ma’ani, jilid 6, hal. 167.
39. Syaukani, Fathu al-Qodir, jilid 2, hal. 53.
40. Ibid.
41. Alusi, Ruhu al-Ma’ani, jilid 6, hal. 167.
42. Ibid.
43. Ahmad bin Hanbal, Fadhoilu as-Shohabah, jilid 2, hal. 678, hadis 1158; Ibnu Atsir, Jami’u al-Ushul, jilid 9, hal. 478, hadis 6503.
44. Haskani, Syawahidu at-Tanzil, jilid 1, hal. 209.
45. Wahidi, Asbabu an-Nuzul, Beirut, Daru al-Kutub al-Ilmiah, hal. 133.
46. Ibnu Katsir, Tafsiru al-Qur’ani al-‘Adzim, Beirut, Daru al-Ma’rifah.
47. Suyuthi, ad-Duru al-Mantsur, Beirut, Daru al-Fikr, 1403 HQ., jilid 3, hal. 104-106.
48. Fakhrur Razi, Tafsir Kabir, jilid 12, hal. 26.
49. Allamah Amini, al-Ghodir, jilid 3, hal. 56.
50. Allamah Thaba’ Thaba’I, al-Mizan, jilid 6, hal. 25.
51. Qadhi Nurullah Syusytari, Ihqoqu al-Haq, dengan komentar dari al-Marhum Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qom, Kitobkhonehye Ayatullah Mar’asyi Najafi, jilid 2, hal. 408-392.
52. Syarafuddin, al-Muroja’at, diteliti oleh Syekh Husein Radhi, Teheran, Majma’ Jahani Ahlibayt, 1416 HQ., hal. 157.
53. Sayid Murtadha, al-Fushulu al-Mukhtaroh, al-Mu’tamar al-Alami li Alfiyati as-Syekh al-Mufid, 1413 HQ., hal. 140.
54. QS. Aali-Imran: 61.
55. Umar bin Muhammad Syirazi Baidhawi, Tafsir Baidhowi, Muassasah A’lami, jilid 1, hal. 261.
56. Allamah Hilli, Nahju al-Haq wa Kasyfu as-Sidqi, hal. 177.
57. Ibnu Taimiyah, Minhaju as-Sunnah, jilid 2, hal. 118 dan jilid 4, hal. 35.
58. Ibid, jilid 4, hal. 34.
59. Ibnu Hajar Asqalani, Lisanu al-Mizan, jilid 2, hal. 319.
60. Ibnu Taimiyah, Minhaju as-Sunnah, jilid 3, hal. 269.
61. Ibid, jilid 1, hal. 61.
62. Ibnu Hajar Haitsami, as-Showa’iqu al-Muhriqoh, hal. 124, dinukil dari catatan kaki Biharu al-Anwar, jilid 35 dan kitab al-Mubahalah karya Sabiti halaman 92.
63. Jarullah Zamakhsyari, al-Kassyaf, jilid 7, hal. 370.
64. Sayid Mahmu Alusi, Ruhu al-Ma’ani, jilid 3, hal. 190.
65. Muslim, Shohih, jilid 2, bab keutamaan Ali as., hal. 180.
66. Ibnu Hajar, as-Showa’iqu al-Muhriqohi, hal. 92.
67. Kamaluddin bin Thalhah Syafi’I, Matholibu as-Sa’ul, hal. 16.
68. Ibid.
69. Abu Na’im Isfahani, Hilyatu al-Awliya’, jilid 1, hal. 61.
70. Ibid.
71. Fakhruddin Razi, Tafsir Kabir, jilid 8, hal. 81.
72. Ibid.
73. Thabarsi, al-Ihtijaj, jilid 1, hal. 118.
74. Syekh Shaduq, Uyunu Akhbari ar-Ridho, jilid 1, hal. 231; Sayid Syarif Radhi, Haqo’iqu at-Ta’wil, Muassesehye Bi’tsat, hal. 230.
75. Anda bisa merujuk pada: Syekh Mufid, al-Fushulu al-Mukhtaroh, Qom, Intisyorote Konggerehye Syekh Mufid, hal. 38; Allamah Majlisi, Biharu al-Anwar, jilid 35, hal. 257.
76. QS. al-Ahzab: 33.
77. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485; Faroidu as-Simthoyn; Kifayatu at-Tholib, hal. 323, dan sumber-sumber lain yang tercantum dalam teks.
78. Thahawi, Musykilu al-Atsar, jilid 1, hal. 426.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI