Apakah pendapat Qur’an tentang akhlak umumi
Jawaban:
Maksud dari akhklak umumi adalah kualitas perbuatan dan interaksi sebuah nasyarakat islam dengan masyarakat lain yang tidak meyakini Islam. Dalam membangun hubungan dengan masyarakat di luar Islam harus kita pahami bahwa pihak lain adalah pihak di luar Islam. Pihak di luar Islam dapat dibagi dalam dua kelompok:
1. Kafir penentang adalah masyarakat yang tidak menghormati hak-hak muslimin dan selalu berusaha untuk menghancurkan dan menjatuhkan Islam.
2. Kafir yang bukan penentang adalah masyarakat yang tidak memeluk Islam tapi menghormati hak-hak muslimin.
Pembahasan kita berkaitan dengan kafir yang bukan penentang. Sebagian masalah akhlak, baik dan buruk dapat dipahami oleh akal tanpa petunjuk agama. Dalam hal ini aturan agama hanyalah sebagai pengingat saja. Kami akan menyebutkan beberapa contoh dari hal ini:
1. Keadilan dan saling menghormati
Masalah ini adalah masalah yang manusiawi dan akli serta termasuk dalam bagian hak-hak umumi. Hubungan antara manusia di negara atau mazhab manapun haruslah berdasarkan keadilan dan saling menghormati.
Karena masalah ini adalah sebuah fondasi penting dan merupakan aturan umum maka Islam memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk berjuang menegakkan keadilan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ[1]
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bangkitlah untuk menegakkan keadilan.”
Kata قوام adalah gaya bahasa hiperbola (sighah mubalighah) yang berarti selalu bangkit; yakni dalam berbagai kondisi, pekerjaan dan waktu bangkitlah selalu untuk menegakkan keadilan.
Amirul Mukminin Ali as menganggap bahwa kemenangan adalah keberhasilan menegakkan keadilan. Beliau bersabda: Jadikanlah agama sebagai tempatmu berlindung dan gunakanlah keadilan sebagai ganti pedang supaya engkau tenang menghadapi segala peristiwa dan menang menghadapi segala musuh.[2]
Adil dengan musuh: Qur’an telah melarang melakukan perbuatan zalim meskipun kepada musuh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى[3]
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan keadilan karena Allah, dan berilah kesaksian dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kareba ia lebih dekat takwa.”
Ayat mulia ini mengisyaratkan salah satu faktor penyebab diselewengkannya keadilan dan kepada muslimin berkata bahwa jangan sampai dendam, permusuhan, balas dendam pribadi menjadi penyebab kezaliman dan perusakan hak orang lain; karena keadilan lebih tinggi dari ini semua.[4] Almarhum Thabarsi, ketika menjelaskan ayat ini berkata: Makna ayat ini adalah bahwa mukminin harus berlaku adil pada musuh dan temannya.[5]
Ali as bersabda kepada Husain bin Ali as: Berlaku adillah pada teman dan musuhmu.[6]
Allah swt juga bersabda:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[7]
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Di sisi lain Allah berfirman:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون [8]
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Keadilan bagi minoritas: Dalam Islam, pelaksanaan hak-hak para oposisi dan minoritas juga sangan ditekankan. Jika kafir zimmi melakukan suatu perbuatan yang dalam Islam merupakan perbuatan melanggar hukum tapi tidak demikian menurut agamanya, dengan syarat ia tidak terang-terangan melakukannya, maka ia tidak akan dihukum. Tapi, jika ia melakukan perbuatan yang menurut agamanya haram maka kaim berhak mengadilinya atau menyerahkannya kepada kaumnya agar diadili sesuai dengan undang-undang mereka:
فَإِن جَآؤُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُم أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ [9]
Artinya: “Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.”
Ketika Imam Ali as melihat seorang pria tua Nashrani sedang meminta-minta di tengah jalan, beliau bersabda: Ketika ia masih muda, anda mempekerjakannya. Tapi setelah tua, anda biarkan dia begitu saja!Berilah uang untuk pengeluarannya dari Baitul Mal.[10]
Keadilan dalam peperangan: Bahkan peperangan tidak boleh berubah menjadi ajang balas dendam:
وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ[11]
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Allamah Thabathaba’i, dalam kitab tafsirnya, di bawah ayat ini menulis: Larangan ini adalah mutlak dan meliputi semua perbuatan yang bisa disebut sebagai mishdaq dari menyerang; seperti perang sebelum melakukan usaha damai (kompromi), perang prematur, pembunuhan wanita dan anak-anak, perang sebelum mengumumkan bahwa perang akan dimulai.[12]
2. Perjanjian.
Salah satu masalah akhlak umumi adalah perjanjian. Menepati perjanjian merupakan masalah akli; yakni merupakan masalah yang mampu dipahami oleh akal manusia tanpa dituntun oleh petunjuk luar. Dan jika Islam memerintahkan untuk menepati perjanjian, ia bukanlah hukum utama melainkan hanya memperingatkan saja.
Sebab masalah ini merupakan masalah yang manusiawi dan menndunia, semua masyarakat memuji orang yang menepati janji dan mencela orang yang tidak menepati janji. Amirul Mukminin Ali as, dalam suratnya kepada Malik bin Asytar, bersabda: Meskipun semua masyarakat dunia emiliki perbedaan dalam ide dan kesenangan, tapi mereka memliki pendapat yang sama dalam hal menepati perjanjian bahkan kaum musyrikin di jaman jahiliah menepati perjanjiannya dengan kaum muslimin, karena mereka telah memahami akibat buruk dari pelanggaran perjanjian di masa yang akan datang. Maka janganlah sekali-kali melanggar perjanjian dan jangan mengkhianati janjimu sendiri.[13]
Karena menepati perjanjian adalah urusan manusiawi, maka Allah bersabda:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللّهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ الَّذِينَ عَاهَدتَّ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُونَ[14]
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya)”.
Maka jelaslah bahwa melanggar perjanjian tidak sesuai dengan kemanusiaan manusia; karena Allah bersabda binatang yang paling buruk adalah yang mereka yang melanggar janji. Perjanjian terkadang di antara beberapa orang, terkadang antara beberapa kelompok dan terkadang antara beberapa masyarakat yang sering disebut dengan Treaty (Fakta). Seperti perjanjian negara Islam dengan negara ainnya yang terdiri atas berbagai jenis perjanjian; perjanjian gencatan senjata, perjanjian perdamaian, perjanjian kerjasama politik, ekonomi, militer dan lain-lain. Maka Allah bersabda:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ [15]
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu.”
Kata عقود adalah kata jamak dan ال muncul di depannya yang menunjukkan sesuatu yang umum. Maka ayat ini adalah dalil atas wajibnya menepati semua janji baik politik, ekonomi, militre, sosial, individual, kelompok, dan perjanjian antara sesama muslim atau dengan yang bukan muslim.
Menepati janji meskipun kepada musuh: Karena menepati janji merupakan masalah akli maka Allah swt memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi janji yang telah ditetapkan kepada kaum musyrikin kendati mereka adalah orang-orang yang sering melanggar janji:
إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُواْ عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّواْ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ [16]
“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.”
Dalam suratnya kepada Malik Asytar, Imam Ali as bersabda:
Jika tercipta perjanjian antara dirimu dengan musuhmu atau kau memberikan perlindungan kepadanya, tepatilah janjimu itu dan lakukanlah apa yang telah menjadi amanah bagimu.[17]
Waktu untuk memenuhi janji: Syarat penting dalam memenuhi janji adalah kenyataan kedua belah pihak. Jika salah satu pihak melanggar janji atau berusaha meneror dan merusak perjanjian maka pihak yang lain tidak wajib memenuhi janjinya:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَانبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاء إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الخَائِنِينَ [18]
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.”
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.
Maka jika di suatu tenpat terdapat petunjuk bahwa musuh sedang berusaha meneror dan menyerang, maka muslimin berhak mengantisipasi dan membatalkan perjanjian sampai mereka tidak lagi merasa takut akan terjadi teror.
3. Menunaikan Amanah.
Salah satu masalah dalam akhlak umumi adalah menunaikan amanah. Masalah ini tidak hanya terbatas pada kaum muslimin, bahkan semua negara dan agama mengakuinya. Jika seseorang tidak menunaikan amanah maka iaa akan dicela dan masalah ini termasuk dalam masalah akli; yakni tanpa pertolongan wahyu akal mampu untuk memahaminya.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا[19]
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
Amanah memiliki makna yang luas yang meliputi semua modal materi dan non materi dalam semua dimensi kehidupan sosial, politik dan akhlaki. Berdasarkan ayat di atas, tidak boleh ada satu amanatpun yang boleh dikhianati dan masalah ini pada hakikatnya merupakan masalah akli. Adapun sebab turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut: Ketika Rasulullah saww menaklukkan kota Mekkah, beliau memanggil Usman bin Talhah yang merupakan penjaga kunci Ka’bah. Beliau mengambil kunci tersebut untuk membersihkan bagian dalam Ka’bah dari berhala. Abbas, paman Rasul meminta beliau untuk memberikan kunci Ka’bah kepadanya supaya ia yang menjadi pemegang kunci Ka’bah karena pemegang kunci Ka’bah merupakan suatu kedudukan terhormat dalam masyarakat Arab.Tapi Rasulullah saww tidak memenuhi permintaan ini. Setelah membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala, Rasulullah menutup pintu Ka’bah seraya membaca ayat tersebut di atas, lalu mengembalikan kunci Ka’bah kepada Usman bin Talhah.[20]
Di samping memberikan perintah untuk menunaikan amanah, Allah juga melarang ummat mengkhianati amanah:
وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ [21]
“Dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu.”
Bahkan Allah telah memuji sekelompok ahli kitab yang menunaikan amahnya dan mencela sebagiannya lagi yang mengkhianati amanahnya:
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَّ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَآئِمًا [22]
“Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya.”
Masalah menunaikan amanah sangat pentig hingga Imam Shadiq as bersabda: Jika pembunuh Ali as menitipkan amanahnya kepadakuatau menginginkan nasihat dariku atau ingin bermusyawarah kepadaku, aku akan mengatakan kesiapanku dan pasti aku akanmenunaikan amanah itu.[23]
Penerjemah: Mukhlisin Turkan
Referensi:
1. Nisa: 135.
2. Abdul Wahid Amudi, Ghurur Hikam wa Dirarul Kalam, Tehran, cetakan 4, 1337, jilid 1, hal. 124.
3. Maidah: 8
4. Nashir Makarim Shirazi, Tafsir Nemuneh, Qom, Intisyarat Darul Kutub Islamiah, cetakan ke-14, jilid 4, hal. 302.
5. Thabarsi, Majmaul Bayan, Qom, Maktabah Ayatullah Mar’asyi, 1413, jilid 2, hal. 69.
6. Sya’batul Harani, Tahful Uqul, Qom, Intisyarat Ilmiah Islamiah, jilid 1, 1363, hal. 89.
7. Mumtahanah: 8.
8. Mumtahanah: 9.
9. Maidah: 42.
10. Wasail Syiah, jilid 15, Bab 19, hadis 1.
11. Baqarah: 190.
12. Muhammad Husain Thabthab’i, Tafsir Mizan, Qom, Mansyurat Jame’eh Mudarrisin, jilid 2, hal. 61.
13. Nahjul Balaghah, surat ke-53.
14. Anfal: 55-56.
15. Maidah: 1.
16. Taubah: 4.
17. Nahjul Balaghah, suratke-53.
18. Anfal: 58.
19. Nisa: 58.
20. Thabarsi, Majmaul bayan, Muassasah Ilmi Matbu’ah, cetakana awal, 1415, jilid 3, hal. 12.
21. Anfal: 27.
22. Al-Imran: 75.
23. Huwaizi, Tafsir Nurussaqalain, Beirut, Muassasah Tarikh Arabi, cetakan 4, 1422, jilid 2, hal. 82.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email