illustrasi
Bagaimanakah tobat yang sesungguhnya? Apakah seseorang yang telah banyak berbuat dosa besar dan kemudian betul-betul bertobat maka dosa-dosa dia yang sebelumnya terampuni?
Bagaimanakah tobat yang sesungguhnya? Apakah seseorang yang telah banyak berbuat dosa besar dan kemudian betul-betul bertobat maka dosa-dosa dia yang sebelumnya terampuni?
Dan jika memang demikian, apa bedanya dia –yang telah merasakan nikmatnya hal-hal yang terlarang– dengan orang yang sama sekali tidak pernah berbuat dosa?
Jawaban:
Taubah dalam bahasa arab berarti kembali, dan Allah swt. memerintahkan semua orang yang beriman untuk bertobat kepada-Nya:
﴿ وَ تُوبُوا اِلَی اللهِ جَمِیعًا اَیُّهَا المُؤمِنُونَ لَعَلَّکُم تُفلِحُونَ ﴾ / نور: 31
Artinya: “Dan tobatlah kalian semua kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya memperoleh keberuntungan”. (QS. Nur: 31).
Terkadang hijrah manusia atau kembalinya kepada Allah swt. disinyalir oleh al-Qur’an dengan ungkapan faror (lari):
﴿ فَفِرُّوا اِلَی اللهِ ﴾ / الذاریات: 05
Artinya: “Maka larilah kaliah menuju Allah”. (QS. adz-Dzariyat: 50).
Perintah untuk lari ke arah benteng tauhid yang aman ditujukan kepada semua orang –bahkan para manusia suci as.– dan tidak khusus untuk orang yang musyrik, ahli kitab, muslim yang adil, atau muslim yang berdosa.
Tentunya, orang yang teramat jauh harus berusaha lebih keras untuk dapat menyampaikan dirinya ke benteng tauhid tersebut. Lari dari diri sendiri dan kembali pada Allah swt. mempunyai tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Orang yang bodoh harus lari dari kebodohannya menuju pengetahuan dan mempelajari ajaran serta hukum Tuhan.
2. Ketika sudah berilmu, maka hendaknya dia beralih dari ilmu hushuli ke ilmu hudhuri dengan cara mengamalkan ilmu yang dia dapatkan.
3. Ketika ilmu hudhuri telah tercapai dan ilmul yaqin beranjak menjadi ainul yaqin, maka dia tetap harus meningkat dan melanjutkan larinya sehingga berpindah dari ainul yaqin kepada haqqul yaqin dan tidak lagi menyaksikan sesuatu kecuali hakikat serta mencapai tauhid yang murni.
Itulah sebabnya dalam tahap apapun seseorang dilarang untuk menunda proses kesempurnaannya dan bermalas-malasan, melainkan hendaknya semua orang senantiasa bertobat kepada Allah swt..
Dan rahasia tobat terletak pada realitas bahwa orang yang bertobat selalu berada di antara rasa takut dan harapan; dia tidak yakin apakah dosa dan masa lalunya telah diampuni tapi dia juga tidak putus asa dari ampunan serta rahmat Ilahi. Kondisi di tengah antara takut dan harapan ini merupakan faktor paling penting gerakan, suluk (perjalanan ruhani), pembinaan diri, atau jihad akbar.
Ciri-ciri Tobat yang Murni
Di antara kode etik tobat yang murni dan syarat-syaratnya adalah hendaknya pihak yang bertobat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Betul-betul menyesal terhadap kelalaian atau kebiadaban dirinya.
2. Tekad yang bulat untuk meninggalkan perbuatan dosa.
3. Melunasi hak-hak orang lain yang telah dia sia-siakan.
4. Membayar kewajiban-kewajiban yang telah dia tinggalkan.
5. Takut dari kemungkinan tobatnya tertolak dan di saat yang sama berharap pada luasnya rahmat Tuhan semoga tobatnya diterima di sisi-Nya.
6. Sebagai gantinya kenikmatan dosa hendaknya dia pikulkan beban ketaatan terhadap Allah swt. pada dirinya. [1]
Kendatipun dosa orang yang bertobat diampuni dan tobatnya diterima di sisi anugerah dan kelembutan Ilahi, tetap ada perbedaan antara orang yang berdosa lalu bertobat dengan orang yang dari awal sama sekali tidak melakukan perbuatan dosa, di antara perbedaan-perbedaan itu adalah:
1. Sebagian guru besar akhlak dan irfan mengatakan: Hati orang yang tidak pernah berbuat dosa seperti papan putih yang tidak pernah dicoret, sedangkan hati orang yang pernah berbuat dosa lalu bertobat seperti papan putih yang pernah dicoret lalu dihapus. [2]
Yakni, seringkali dampak-dampak negatif dosa tetap ada dalam jiwa pelakunya, hal itu terkadang menimbulkan hal-hal negatif yang berikutnya.
Tapi sudah barang tentu persoalan ini erat hubungannya dengan kualitas tobat dan tingkatannya; semakin serius tobat itu dilakukan, semakin tulus dan sempurna, maka semakin efektif pula dalam menjinakkan dampak-dampak negatif yang muncul akibat dosa, bahkan dalam beberapa kasus juga dapat menghapus semua dampak dosa tersebut, itulah kenapa Imam Muhammad Baqir as. berkata:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنبِ کَمَن لَا ذَنبَ لَهُ [3]
Artinya: “Orang yang bertobat dari dosa sama dengan orang yang tidak punya dosa”. Yakni tobat yang sesungguhnya memberikan nilai, kejernihan, dan hakikat yang menimbulkan ketakwaan dari dosa.
2. Orang yang sejak pertama tidak berdosa dan senantiasa berjuang melawan hawa nafsunya agar jangan sampai tersentuh oleh kelezatan-kelezatan yang terlarang niscaya dia akan mendapatkan pahala yang besar atas usahanya tersebut. Dan sebagai ganti dari kelezatan-kelezatan yang dia tinggalkan demi keridoan Allah swt. maka Allah swt. menganugerahkan pahala yang termulia dan kelezatan-kelezatan spiritual serta kenikmatan-kenikmatan surga kepadanya.
Adapun orang yang bertobat dari dosa, sesungguhnya dia telah memadamkan api yang menyala karena perbuatan dosanya, tapi dia tidak mendapatkan kelebihan-kelebihan spiritual sebagaimana orang yang tidak berdosa tersebut, kecuali jika setelah bertobat dia meraih kedekatan yang lebih kepada Allah swt. dan derajat yang lebih tinggi di sisi-Nya melalui usaha yang sungguh dan ikhlas.
3. Orang yang sejak awal menjaga dirinya agar tidak ternodai oleh dosa lebih cepat dalam menempuh jalan ruhani menuju Allah swt. dan mencapai derajat-derajat yang tinggi di sisi-Nya.
Oleh karena itu, secara otomatis dia selalu lebih terdapat daripada orang yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bertobat dan membersihkan dalam dirinya. Tapi di saat yang sama, orang yang tidak pernah berdosa sekalipun harus tetap waspada akan kondisi dirinya dan melanjutkan jihad akbar, khususnya dia harus ekstra waspada jangan sampai terkena wabah congkak dalam diri sendiri dan sombong atas orang lain, karena jika tidak demikian maka dia akan turun ke tingkatan yang lebih rendah daripada tingkatan orang yang bertobat dari dosa.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah swt. berfirman: “Wahai Dawud! Berilah berita gembira kepada orang-orang yang berdosa dan berilah peringatan kepada orang-orang yang jujur”, Dawud bertanya: “Bagaimana aku memberikan berita gembira kepada mereka itu dan memberikan peringatan kepada mereka ini?”, Allah swt. berfirman: “Beritagembirakan kepada orang-orang yang berdosa bahwa sesungguhnya Aku menerima tobat dan mengampuni dosa, dan peringatkan orang-orang yang jujur agar jangan congkak dalam diri mereka sendiri atas perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, karena sebetulnya tidak ada satu pun orang yang tidak hancur dalam perhitungan yang Aku selenggarakan”. [4]
Penerjemah: Nasir Dimyati
Referensi:
1. Untuk lebih terperincinya Anda bisa melihat referensi: Muhammad, Syuja’i, Maqolot, Teheran, Surusy, 1378 hs., cetakan ketiga, jilid ke2, halaman 75-315.
2. Selengkapnya Anda bisa melihat: Nasir, Makarim Syirazi, Tafsir Namuneh, jilid ke24, tafsir ayat ke8 surat at-Tahrim.
3. Ushul Kafi, dengan penelitian dari Ali Akbar Ghifari, Teheran, Darul Kutub al-Islamiyah, 1365 hs., jilid 2, halaman 435.
4. Ushul Kafi, jilid 1, halaman 314, kitab Iman wa Kufr, bab Ujb, hadis ke8.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email