Menurut Media Antara mengatakan, Mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Jakarta, Minggu, menyorot kritis kiprah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilainya, antara lain suka membuat fatwa sesat, sehingga mengusulkan pembubaran atas lembaga itu.
"Jadi, bubarkan MUI. Dia bukan satu-satunya lembaga kok. Masih banyak lembaga lain, seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah. Jadi, jangan gegabah keluarkan pendapat," ujarnya.
Dalam orasi akhir tahunnya, Gus Dur juga berpendapat, organisasi ulama tersebut sudah terbiasa mengeluarkan fatwa secara serampangan, terutama terkait dengan fatwa aliran sesat.
"Makanya, MUI bubarin sajalah kalau caranya begini. MUI kan hanya satu dari sekian ormas Islam. Oleh karena itu, jangan gegabah mengeluarkan pendapat. Karena hal itu bisa membuat kesalahpahaman semakin melebar," katanya.
Bagi Gus Dur, sikap MUI semacam itu ikut memicu timbulnya radikalisme dan fundametalisme di Indonesia.
"Beberapa waktu lalu, Sekjen MUI Ikhwan Syam mengatakan, MUI kan tugasnya bikin fatwa. Pendapat tersebut saya bantah," ujar Gus Dur.
Gus Dur, yang juga Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), lalu menunjuk contoh dalam kasus Ahmadiyah.
Sebaiknya, menurut Gus Dur, MUI tidak menggunakan kata sesat, karena Undang Undang Dasar (UUD) telah mengatur kebebasan berbicara dan kemerdekaan berpendapat.
"Kita bukan negara Islam tapi nasionalis," ujarnya.
Sejumlah tokoh hadir pada acara pidato akhir tahun tersebut yang dimulai sekitar pukul jam 13.00 WIB, antara lain Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Soetrisno Bachir, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar (juga Ketua Umum DPP PKB), dan Ketua Komisi Yudisial (KY), Busyro Muqodas, serta Agum Gumelar. (*)
Menurut Tempo mengatakan, Komunitas Gusdurian Desak Pembubaran MUI Empat puluh tokoh lintas agama yang tergabung dalam komunitas Gusdurian se-wilayah Mataraman menyampaikan sikap keprihatinan atas konflik agama yang terjadi.
Mereka meminta pemerintah mencabut SKB tiga menteri dan membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kerap memberikan fatwa ngawur.
Komunitas Gusdurian ini dibentuk oleh para pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kelompok ini juga berjuang mempertahankan pluralisme yang ditanamkan Gus Dur semasa hidupnya.
Juru bicara Gusdurian, Faizuddin, mengatakan aksi kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Cikeusit, Pandeglang, Banten, serta pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu merupakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa.
Pemerintah diminta bertanggungjawab penuh atas insiden tersebut karena tak mampu memberikan perlindungan bagi semua warga negara. "Itu pelanggaran Hak Asasi Manusia berat," kata Faizuddin dalam pertemuan Gusdurian se-wilayah Mataraman di Studio Doho TV Kediri, Senin dini hari (14/2).
Faizuddin menyebut biang keladi polemik Ahmadiyah di Indonesia adalah munculnya SKB tiga menteri yang menyudutkan kelompok Ahmadiyah.
Menurut Faizuddin, SKB tersebut cenderung menyerang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Bahkan kekerasan serupa juga kerap terjadi di tempat ibadah umat Kristiani yang dituding tidak memiliki izin. "Kalau mau jujur, berapa banyak musholla atau langgar yang juga tak memiliki izin mendirikan bangunan," ujarnya.
Gusdurian juga menuding MUI terlalu mudah mengobral fatwa yang bisa menimbulkan konflik antar agama. Lembaga ini bahkan disebut kerap mewakili Tuhan yang dengan mudah menuding sebuah kelompok dan ajaran sesat. Karena itu mereka meminta pemerintah mengevaluasi MUI dan jika perlu membubarkannya.
Kritikan serupa disampaikan Romo Benedictus, perwakilan Gusdurian wilayah Blitar. Dia meminta pemerintah benar-benar memberikan pemahaman yang utuh tentang agama di lingkungan pendidikan dasar. Siswa harus diberitahu bahwa agama yang hidup di Indonesia memang sudah berbeda sejak dulu. "Ini untuk mencegah munculnya fanatisme yang berlebihan," paparnya.
Selain tokoh agama, pertemuan tersebut juga dihadiri perwakilan Kejawen, etnis Tiong Hoa, serta tiga pengurus Ahmadiyah Kediri.
Hasil pertemuan akan disampaikan kepada Kepolisian Daerah Jawa Timur dan pemerintah untuk mendapat tindak lanjut.
Gus Dur dan Rekonstruksi TAP MPRS XXV/1966
Presiden Republik Indonesia ke-4, K.H.
Abdurrachman Wahid atau yang popular dengan nama Gus Dur adalah presiden
Indonesia pertama sejak orde baru yang mengusulkan ide objektivitas
sejarah ketika ia menggulirkan wacana pencabutan TAP MPRS XXV Tahun
1966. Gus Dur mengusulkan pencabutan Ketatapan Majelis tentang
pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan pengembangan ide Marxisme itu
karena dianggapnya telah usang alias out of date.
Argumen Gus Dur saat itu tidak terbaca
secara utuh karena gelombang protes atas usulannya telah lebih dahulu
naik melebihi keinginan luhurnya. Dari media massa sedikitnya dapat
diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.
Tidak Semua Orang Berani Berubah
Sepanjang bulan April 2000, Presiden Gus
Dur menerima banyak sekali tekanan dari kelompok-kelompok yang
menantang usulannya. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas
menantang wacana yang digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR
dari Partai Bulan Bintang menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang
istimewa jika Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang
juga menyatakan ketidaksetujuan mereka atas usul Gus Dur. Demikian
halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa sepanjang jalan Merdeka
Utara.
Meski demikian, dukungan atas ide Gus
Dur juga mengalir. Banyak kalangan generasi muda yang mendukung wacana
presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan yang datang dari aktivis
gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.
Kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966
berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur.
Pada rapat fraksi komisi B DPR RI hari Minggu 3 Agustus 2003, semua
fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966. Fraksi TNI/Polri
berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau mempertahankan ketetapan
majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan UUD 1945.
Dalam sidang tahunan MPR 2003, ketua MPR
Amien Rais menandaskan bahwa MPR telah mencapai keputusan untuk tetap
mempertahankan TAP MPRS XXV/1966. Keputusan ini sekaligus merupakan
penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu.
Tetapi lepas dari semua bentuk formalisme hukum lembaga negara, wacana Gus Dur terasa seperti “rain from heaven”.
Dari pernyataannya yang bernada seloroh menanggapi serangan para
penantangnya, kejernihan ide Gus Dur dapat dibaca seperti : “Lha wong
Gusti Allah saja kasihan kepada mereka (PKI)? Kenapa ini masih ada
pandangan sempit seperti itu?”
Humanisme Gus Dur adalah alasan paling
jelas mengapa ia melontarkan gagasan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Latar
belakangnya sebagai mantan ketua umum Nahdathul Ulama yang pernah
menerima tekanan dan perlakuan buruk negara orde baru serta posisinya
selaku tokoh aktivis keagamaan dan hak asasi manusia merupakan
faktor-faktor yang saling menjalin sebagai inti pelita hatinya manakala
ia menggagas ide pencabutan TAP MPRS XXV/1966 dari posisinya selaku
presiden Republik Indonesia.
Dalam tindakan ini, Gus Dur adalah figur
seorang negarawan. Ia tidak sekedar presiden yang merupakan lambang
kekuatan politik mereka yang mendukungnya dan penaklukan atas kekuatan
politik mereka yang menolaknya. Tetapi lebih daripada itu, ia berbicara
mewakili mereka yang sama sekali tidak memiliki hak untuk menyatakan
mendukung atau menolaknya. Mereka yang ada ditumpukan sampah sejarah
namun masih hidup, menghirup udara, beranak pinak, dan menghormat pada
bendera Merah Putih.
Isi TAP MPRS XXV Tahun 1966
Dengan maksud mendapatkan keterangan
yang utuh tentang tema yang dibicarakan, Ketetapan MPRS XXV/1966 akan
ditampilkan secara utuh dalam sub bab ini. Adapun isi ketetapan itu
diangkat secara utuh dari lampiran buku putih Gerakan 30 September
terbitan Sekretariat Negara RI, 1994. Secara lengkap naskah dimaksud
dapat dilihat dibawah ini.
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO: XXV/MPRS/1966
TENTANG
PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNJATAAN
SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG, DISELURUH WILAJAH
NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK
MENJEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN PAHAM ATAU
ADJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME
DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. Bahwa paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti-hakikatnja bertentangan dengan Pancasila.
b. Bahwa orang-orang dan
golongan-golongan di Indonesia jang menganut paham atau adjaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme, chususnja Partai Komunis Indonesia, dalam
sedjarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah njata-njata terbukti
beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik
Indonesia jang sah dengan djalan kekerasan;
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu
mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap
kegiatan-kegiatan jang menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme:
Mengingat : Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3).
Mendengar: Permusjawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Djuni sampai 5 Djuli 1966.
MEMUTUSKAN
Menetapkan: KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN
PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNJATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG
DISELURUH WILAJAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN
UNTUK MENJEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN PAHAM ATAU ADJARAN
KOMUNISME/MARXISME-LENINISME.
Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan
kebidjaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Madjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk
semua bagian organisasinja dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta
semua organisasi jang seasas/berlindung/bernaung dibawahnja dan
pernjataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilajah kekuasaan
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, jang dituangkan
dalam keputusannja tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/1966 dan meningkatkan
kebidjaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk
menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan
penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau
pengembangan paham atau adjaran tersebut, dilarang.
Pasal 3
Chususnja mengenai kegiatan mempeladjari
setjara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, paham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pantjasila, dapat
dilakukan setjara terpimpin, dengan ketentuan bahwa pemerintah dan
DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Pasal 4
Ketentuan-ketentuan diatas tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia.
Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 5 Djuli 1966
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
Ketua
ttd
(Dr.A.H.Nasution)
Djenderal TNI
Wakil Ketua
|
Wakil Ketua
|
|
ttd
|
ttd
|
|
(Osa Maliki)
|
(H.M.Subchan Z.E)
|
|
Wakil Ketua
|
Wakil Ketua
|
|
ttd
|
ttd
|
|
(M.Siregar)
|
(Mashudi)
|
|
Brig.Djen TNI
|
||
Sesuai dengan aslinja
|
||
Administrator Sidang Umum ke-IV MPRS
|
||
ttd
|
||
(Wilujo Puspo Judo)
|
||
Maj.Djen.TNI
|
PENDJELASAN
KETETAPAN MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT
SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
NO. XXV/MPRS/1966
- Paham dan adjaran Komunisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan mendjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan jang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia jang ber-Tuhan dan beragama jang berlandaskan paham gotong-rojong dan musjawarah untuk mufakat.
- Paham dan adjaran Marx jang terkait pada dasar-dasar dan taktik perdjuangan jang diadjarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain mengandung benih-benih dan unsur-unsur jang bertentangan dengan falsafah Pantjasila.
- Paham Komunisme/Marxisme-Leninisme jang dianut oleh PKI dalam kehidupan politik di Indonesia telah terbukti mentjiptakan iklim dan situasi jang membahajakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia jang berfalsafah Pantjasila.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka adalah wadjar bahwa tidak diberikan hak idup bagi Partai Komunis Indonesia dan bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menjabarkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966
ditetapkan pada bulan Juli ketika Soekarno masih menjabat sebagai
presiden Republik Indonesia. Pada bulan Juni 1966, MPRS, di bawah
ancaman angkatan darat, telah menerima usulan pimpinan angkatan darat
untuk memasukan Supersemar dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. TAP
MPRS ini kemudian dijadikan landasan bagi Soeharto untuk menyatakan
bahwa secara konstitusional Soekarno tidak lagi memegang jabatan
presiden.
Konstitusional?
Dari sisi administrasi pemerintahan TAP
MPRS No.XXV/MPRS/1966 mengandung cacat dalam dirinya sendiri. Ketetapan
itu dibuat untuk mengesahkan Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang berisi
perintah membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 dibuat oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 yang ditandatangani “atas nama beliau”
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Penting untuk
dipahami bahwa Surat Keputusan Presiden itu dibuat berdasarkan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Surat Perintah 11 Maret berisi perintah
kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk
atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi (1)
mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi
serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi
untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan
dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) mengadakan
koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan-angkatan lain
dengan sebaik-baiknya; (3) supaya melaporkan segala sesuatu yang
bersangkut paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di
atas.
Waktu antara kedua produk hukum itu
hanya satu hari. Pertanyaannya adalah : apakah Soeharto memiliki
kewenangan untuk itu? Jawabannya: tidak. Jika surat perintah 11 Maret
ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan secara luas untuk bertindak,
poin (2) dan (3) surat perintah itu memberikan batasan secara jelas.
Lebih jauh, Soeharto telah melakukan
penyimpangan administrasi pemerintahan ketika ia menerbitkan sebuah
surat keputusan presiden yang membubuhkan namanya hanya karena ia
menerima sepucuk surat perintah. Dari analisis administrasi
pemerintahan, Surat Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 cacat karena
dibuat berdasarkan sebuah surat perintah.
Surat Perintah adalah landasan yuridis
pelaksanaan pekerjaan pemerintahan yang bersifat biasa. Semua pejabat
yang memiliki kewenangan dapat mengeluarkan surat perintah kepada
stafnya dalam pelaksanaan tugas tertentu. Dalam praktek administrasi,
surat perintah hanya “setingkat” kedudukannya diatas nota dinas, atau
“dua tingkat” di atas perintah lisan.
Sementara Surat Keputusan merupakan
produk administrasi yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus.
Keputusan Presiden sendiri berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig).
Sedikitnya ada tiga macam keputusan presiden. Pertama, keputusan
pengangkatan pejabat. Kedua, keputusan pemberian tunjangan. Ketiga,
keputusan untuk mengatur hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan
ketentuan yang lebih tinggi yang mengatur hal-hal yang bersifat umum.
Bahwa Soeharto telah menetapkan Surat
Keputusan Presiden No.1/3/1966 berdasarkan surat perintah 11 Maret, hal
itu lebih dikarenakan latar belakangnya sebagai seorang militer dalam
menafsir sebuah surat perintah. Bagi militer, surat perintah atasan
dapat berarti pemberian kewenangan “untuk berbuat apa saja” dalam keadaan darurat.
Pada bagian selanjutnya terlihat
inkonsistensi isi TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam mengutip materi Kepres
No.1/3/1966. Pertama, dalam isi ketatapan itu sama sekali tidak
disebutkan keterangan Soeharto selaku pihak yang menerbitkan Kepres
dalam jabatan “atas nama beliau” presiden Soekarno. Kedua,
jabatan pejabat penandatangan Kepres No.1/3/1966 disebutkan secara
berurut sebagai Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi jabatan yang
disebut dalam Pasal 1 Tap MPRS XXV/MPRS/1966 adalah Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS.
Jelas kini bahwa TAP MPRS XXV/MPRS/1966
adalah kecacatan administrasi pemerintah di masa lampau. Sebagai produk
politik, ketetapan ini merupakan simbol politik kekuasaan semata-mata.
Meskipun pada saat yang sama MPRS menetapkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
tentang hirarki peraturan perundang-undangan, persoalan hubungan
administratif antara Surat Perintah 11 Maret 1966, Kepres No.1/3/1966,
dan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 (serta TAP MPRS IX/MPRS/1966) tidak pernah
dipersoalkan lebih serius.
Mungkin saja aspek administrasi
dipandang tidak terlalu penting dan strategis dalam lingkup perbincangan
sejarah politik. Namun hal terpenting dalam praktek pemerintahan adalah
apakah mereka yang memerintah memiliki kewenangan yang sah?
Daftar Bacaan :
- Malaka, Tan, Merdeka 100% Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin Kiri, Tangerang, 2005.
- Edman, Peter, Komunisme Ala Aidit Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N.Aidit 1950-1965, Terj.Dwi Pratomo Yulianto, Center For Information Analysis, 2005.
- Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia : Latar Belakang, aksi dan penumpasannya, Jakarta, 1994.
- Bradley, William L dan Mohtar Lubis, Dokumen-Dokumen tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia, Terj. S.Maimoen, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
- Munasichin, Zainul, Berebut Kiri Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Yogyakarta, 2005.
- Lesmana, Surya (Koord)., Saksi dan Pelaku Gestapu Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, Media Presindo, Yogyakarta, 2005.
- Kahin, Audrey R., Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. Satyagraha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1989.
- Crouch, Harold, Mliter dan Politik di Indonesia, Terj.Th.Sumartana, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
- http://www.kompas.com
- http://www.mediaindo.co.id
(Kompasiana/Antara-News/Tempo/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email