Pesan Rahbar

Home » » Gus Dur Anti MUI, Gus Dur Usulkan Pembubaran MUI

Gus Dur Anti MUI, Gus Dur Usulkan Pembubaran MUI

Written By Unknown on Monday, 17 October 2016 | 06:49:00


Menurut Media Antara mengatakan, Mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Jakarta, Minggu, menyorot kritis kiprah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilainya, antara lain suka membuat fatwa sesat, sehingga mengusulkan pembubaran atas lembaga itu.

"Jadi, bubarkan MUI. Dia bukan satu-satunya lembaga kok. Masih banyak lembaga lain, seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah. Jadi, jangan gegabah keluarkan pendapat," ujarnya.

Dalam orasi akhir tahunnya, Gus Dur juga berpendapat, organisasi ulama tersebut sudah terbiasa mengeluarkan fatwa secara serampangan, terutama terkait dengan fatwa aliran sesat.

"Makanya, MUI bubarin sajalah kalau caranya begini. MUI kan hanya satu dari sekian ormas Islam. Oleh karena itu, jangan gegabah mengeluarkan pendapat. Karena hal itu bisa membuat kesalahpahaman semakin melebar," katanya.

Bagi Gus Dur, sikap MUI semacam itu ikut memicu timbulnya radikalisme dan fundametalisme di Indonesia.

"Beberapa waktu lalu, Sekjen MUI Ikhwan Syam mengatakan, MUI kan tugasnya bikin fatwa. Pendapat tersebut saya bantah," ujar Gus Dur.

Gus Dur, yang juga Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), lalu menunjuk contoh dalam kasus Ahmadiyah.

Sebaiknya, menurut Gus Dur, MUI tidak menggunakan kata sesat, karena Undang Undang Dasar (UUD) telah mengatur kebebasan berbicara dan kemerdekaan berpendapat.

"Kita bukan negara Islam tapi nasionalis," ujarnya.

Sejumlah tokoh hadir pada acara pidato akhir tahun tersebut yang dimulai sekitar pukul jam 13.00 WIB, antara lain Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Soetrisno Bachir, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar (juga Ketua Umum DPP PKB), dan Ketua Komisi Yudisial (KY), Busyro Muqodas, serta Agum Gumelar. (*)


Menurut Tempo mengatakan, Komunitas Gusdurian Desak Pembubaran MUI Empat puluh tokoh lintas agama yang tergabung dalam komunitas Gusdurian se-wilayah Mataraman menyampaikan sikap keprihatinan atas konflik agama yang terjadi.

Mereka meminta pemerintah mencabut SKB tiga menteri dan membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kerap memberikan fatwa ngawur.

Komunitas Gusdurian ini dibentuk oleh para pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kelompok ini juga berjuang mempertahankan pluralisme yang ditanamkan Gus Dur semasa hidupnya.

Juru bicara Gusdurian, Faizuddin, mengatakan aksi kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Cikeusit, Pandeglang, Banten, serta pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu merupakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

Pemerintah diminta bertanggungjawab penuh atas insiden tersebut karena tak mampu memberikan perlindungan bagi semua warga negara. "Itu pelanggaran Hak Asasi Manusia berat," kata Faizuddin dalam pertemuan Gusdurian se-wilayah Mataraman di Studio Doho TV Kediri, Senin dini hari (14/2).

Faizuddin menyebut biang keladi polemik Ahmadiyah di Indonesia adalah munculnya SKB tiga menteri yang menyudutkan kelompok Ahmadiyah.

Menurut Faizuddin, SKB tersebut cenderung menyerang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Bahkan kekerasan serupa juga kerap terjadi di tempat ibadah umat Kristiani yang dituding tidak memiliki izin. "Kalau mau jujur, berapa banyak musholla atau langgar yang juga tak memiliki izin mendirikan bangunan," ujarnya.

Gusdurian juga menuding MUI terlalu mudah mengobral fatwa yang bisa menimbulkan konflik antar agama. Lembaga ini bahkan disebut kerap mewakili Tuhan yang dengan mudah menuding sebuah kelompok dan ajaran sesat. Karena itu mereka meminta pemerintah mengevaluasi MUI dan jika perlu membubarkannya.

Kritikan serupa disampaikan Romo Benedictus, perwakilan Gusdurian wilayah Blitar. Dia meminta pemerintah benar-benar memberikan pemahaman yang utuh tentang agama di lingkungan pendidikan dasar. Siswa harus diberitahu bahwa agama yang hidup di Indonesia memang sudah berbeda sejak dulu. "Ini untuk mencegah munculnya fanatisme yang berlebihan," paparnya.

Selain tokoh agama, pertemuan tersebut juga dihadiri perwakilan Kejawen, etnis Tiong Hoa, serta tiga pengurus Ahmadiyah Kediri.

Hasil pertemuan akan disampaikan kepada Kepolisian Daerah Jawa Timur dan pemerintah untuk mendapat tindak lanjut.

Gus Dur dan Rekonstruksi TAP MPRS XXV/1966

Presiden Republik Indonesia ke-4, K.H. Abdurrachman Wahid atau yang popular dengan nama Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama sejak orde baru yang mengusulkan ide objektivitas sejarah ketika ia menggulirkan wacana pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966. Gus Dur mengusulkan pencabutan Ketatapan Majelis tentang pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan pengembangan ide Marxisme itu karena dianggapnya telah usang alias out of date.

Argumen Gus Dur saat itu tidak terbaca secara utuh karena gelombang protes atas usulannya telah lebih dahulu naik melebihi keinginan luhurnya. Dari media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Tidak Semua Orang Berani Berubah

Sepanjang bulan April 2000, Presiden Gus Dur menerima banyak sekali tekanan dari kelompok-kelompok yang menantang usulannya. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas menantang wacana yang digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang istimewa jika Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang juga menyatakan ketidaksetujuan mereka atas usul Gus Dur. Demikian halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa sepanjang jalan Merdeka Utara.

Meski demikian, dukungan atas ide Gus Dur juga mengalir. Banyak kalangan generasi muda yang mendukung wacana presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan yang datang dari aktivis gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.

Kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966 berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur. Pada rapat fraksi komisi B DPR RI hari Minggu 3 Agustus 2003, semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966. Fraksi TNI/Polri berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau mempertahankan ketetapan majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945.

Dalam sidang tahunan MPR 2003, ketua MPR Amien Rais menandaskan bahwa MPR telah mencapai keputusan untuk tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966. Keputusan ini sekaligus merupakan penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu.

Tetapi lepas dari semua bentuk formalisme hukum lembaga negara, wacana Gus Dur terasa seperti “rain from heaven”. Dari pernyataannya yang bernada seloroh menanggapi serangan para penantangnya, kejernihan ide Gus Dur dapat dibaca seperti : “Lha wong Gusti Allah saja kasihan kepada mereka (PKI)? Kenapa ini masih ada pandangan sempit seperti itu?”

Humanisme Gus Dur adalah alasan paling jelas mengapa ia melontarkan gagasan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Latar belakangnya sebagai mantan ketua umum Nahdathul Ulama yang pernah menerima tekanan dan perlakuan buruk negara orde baru serta posisinya selaku tokoh aktivis keagamaan dan hak asasi manusia merupakan faktor-faktor yang saling menjalin sebagai inti pelita hatinya manakala ia menggagas ide pencabutan TAP MPRS XXV/1966 dari posisinya selaku presiden Republik Indonesia.

Dalam tindakan ini, Gus Dur adalah figur seorang negarawan. Ia tidak sekedar presiden yang merupakan lambang kekuatan politik mereka yang mendukungnya dan penaklukan atas kekuatan politik mereka yang menolaknya. Tetapi lebih daripada itu, ia berbicara mewakili mereka yang sama sekali tidak memiliki hak untuk menyatakan mendukung atau menolaknya. Mereka yang ada ditumpukan sampah sejarah namun masih hidup, menghirup udara, beranak pinak, dan menghormat pada bendera Merah Putih.

Isi TAP MPRS XXV Tahun 1966

Dengan maksud mendapatkan keterangan yang utuh tentang tema yang dibicarakan, Ketetapan MPRS XXV/1966 akan ditampilkan secara utuh dalam sub bab ini. Adapun isi ketetapan itu diangkat secara utuh dari lampiran buku putih Gerakan 30 September terbitan Sekretariat Negara RI, 1994. Secara lengkap naskah dimaksud dapat dilihat dibawah ini.

MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA

KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO: XXV/MPRS/1966

TENTANG

 PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNJATAAN
SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG, DISELURUH WILAJAH
NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK
MENJEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN PAHAM ATAU
ADJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME

DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :
a. Bahwa paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti-hakikatnja bertentangan dengan Pancasila.
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia jang menganut paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, chususnja Partai Komunis Indonesia, dalam sedjarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah njata-njata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia jang sah dengan djalan kekerasan;
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan jang menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme:
Mengingat : Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3).
Mendengar: Permusjawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Djuni sampai 5 Djuli 1966.

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNJATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAJAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENJEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN PAHAM ATAU ADJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME.

Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan kebidjaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinja dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi jang seasas/berlindung/bernaung dibawahnja dan pernjataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilajah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, jang dituangkan dalam keputusannja tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/1966 dan meningkatkan kebidjaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.

Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau pengembangan paham atau adjaran tersebut, dilarang.

Pasal 3
Chususnja mengenai kegiatan mempeladjari setjara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pantjasila, dapat dilakukan setjara terpimpin, dengan ketentuan bahwa pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.

Pasal 4
Ketentuan-ketentuan diatas tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia.

Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 5 Djuli 1966

MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA

Ketua
ttd
(Dr.A.H.Nasution)
Djenderal TNI
Wakil Ketua
 
Wakil Ketua
ttd
 
ttd
(Osa Maliki)
 
(H.M.Subchan Z.E)
     
Wakil Ketua
 
Wakil Ketua
ttd
 
ttd
(M.Siregar)
 
(Mashudi)
   
Brig.Djen TNI
     
 
Sesuai dengan aslinja
 
Administrator Sidang Umum ke-IV MPRS
 
ttd
 
 
(Wilujo Puspo Judo)
 
 
Maj.Djen.TNI
 


PENDJELASAN
KETETAPAN MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT
SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
NO. XXV/MPRS/1966

    1. Paham dan adjaran Komunisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan mendjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan jang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia jang ber-Tuhan dan beragama jang berlandaskan paham gotong-rojong dan musjawarah untuk mufakat.
    2. Paham dan adjaran Marx jang terkait pada dasar-dasar dan taktik perdjuangan jang diadjarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain mengandung benih-benih dan unsur-unsur jang bertentangan dengan falsafah Pantjasila.
    3. Paham Komunisme/Marxisme-Leninisme jang dianut oleh PKI dalam kehidupan politik di Indonesia telah terbukti mentjiptakan iklim dan situasi jang membahajakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia jang berfalsafah Pantjasila.
    4. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka adalah wadjar bahwa tidak diberikan hak idup bagi Partai Komunis Indonesia dan bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menjabarkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966 ditetapkan pada bulan Juli ketika Soekarno masih menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Pada bulan Juni 1966, MPRS, di bawah ancaman angkatan darat, telah menerima usulan pimpinan angkatan darat untuk memasukan Supersemar dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. TAP MPRS ini kemudian dijadikan landasan bagi Soeharto untuk menyatakan bahwa secara konstitusional Soekarno tidak lagi memegang jabatan presiden.

Konstitusional?

Dari sisi administrasi pemerintahan TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 mengandung cacat dalam dirinya sendiri. Ketetapan itu dibuat untuk mengesahkan Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang berisi perintah membubarkan Partai Komunis Indonesia.

Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 dibuat oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 yang ditandatangani “atas nama beliau” Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Penting untuk dipahami bahwa Surat Keputusan Presiden itu dibuat berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Surat Perintah 11 Maret berisi perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi (1) mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas.

Waktu antara kedua produk hukum itu hanya satu hari. Pertanyaannya adalah : apakah Soeharto memiliki kewenangan untuk itu? Jawabannya: tidak. Jika surat perintah 11 Maret ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan secara luas untuk bertindak, poin (2) dan (3) surat perintah itu memberikan batasan secara jelas.

Lebih jauh, Soeharto telah melakukan penyimpangan administrasi pemerintahan ketika ia menerbitkan sebuah surat keputusan presiden yang membubuhkan namanya hanya karena ia menerima sepucuk surat perintah. Dari analisis administrasi pemerintahan, Surat Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 cacat karena dibuat berdasarkan sebuah surat perintah.

Surat Perintah adalah landasan yuridis pelaksanaan pekerjaan pemerintahan yang bersifat biasa. Semua pejabat yang memiliki kewenangan dapat mengeluarkan surat perintah kepada stafnya dalam pelaksanaan tugas tertentu. Dalam praktek administrasi, surat perintah hanya “setingkat” kedudukannya diatas nota dinas, atau “dua tingkat” di atas perintah lisan.

Sementara Surat Keputusan merupakan produk administrasi yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Keputusan Presiden sendiri berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig). Sedikitnya ada tiga macam keputusan presiden. Pertama, keputusan pengangkatan pejabat. Kedua, keputusan pemberian tunjangan. Ketiga, keputusan untuk mengatur hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan yang lebih tinggi yang mengatur hal-hal yang bersifat umum.

Bahwa Soeharto telah menetapkan Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 berdasarkan surat perintah 11 Maret, hal itu lebih dikarenakan latar belakangnya sebagai seorang militer dalam menafsir sebuah surat perintah. Bagi militer, surat perintah atasan dapat berarti pemberian kewenangan “untuk berbuat apa saja” dalam keadaan darurat.

Pada bagian selanjutnya terlihat inkonsistensi isi TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam mengutip materi Kepres No.1/3/1966. Pertama, dalam isi ketatapan itu sama sekali tidak disebutkan keterangan Soeharto selaku pihak yang menerbitkan Kepres dalam jabatan “atas nama beliau” presiden Soekarno. Kedua, jabatan pejabat penandatangan Kepres No.1/3/1966 disebutkan secara berurut sebagai Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi jabatan yang disebut dalam Pasal 1 Tap MPRS XXV/MPRS/1966 adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.

Jelas kini bahwa TAP MPRS XXV/MPRS/1966 adalah kecacatan administrasi pemerintah di masa lampau. Sebagai produk politik, ketetapan ini merupakan simbol politik kekuasaan semata-mata. Meskipun pada saat yang sama MPRS menetapkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang hirarki peraturan perundang-undangan, persoalan hubungan administratif antara Surat Perintah 11 Maret 1966, Kepres No.1/3/1966, dan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 (serta TAP MPRS IX/MPRS/1966) tidak pernah dipersoalkan lebih serius.
Mungkin saja aspek administrasi dipandang tidak terlalu penting dan strategis dalam lingkup perbincangan sejarah politik. Namun hal terpenting dalam praktek pemerintahan adalah apakah mereka yang memerintah memiliki kewenangan yang sah?

Daftar Bacaan :
  1. Malaka, Tan, Merdeka 100% Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin Kiri, Tangerang, 2005.
  2. Edman, Peter, Komunisme Ala Aidit Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N.Aidit 1950-1965, Terj.Dwi Pratomo Yulianto, Center For Information Analysis, 2005.
  3. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia : Latar Belakang, aksi dan penumpasannya, Jakarta, 1994.
  4. Bradley, William L dan Mohtar Lubis, Dokumen-Dokumen tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia, Terj. S.Maimoen, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
  5. Munasichin, Zainul, Berebut Kiri Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Yogyakarta, 2005.
  6. Lesmana, Surya (Koord)., Saksi dan Pelaku Gestapu Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, Media Presindo, Yogyakarta, 2005.
  7. Kahin, Audrey R., Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. Satyagraha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1989.
  8. Crouch, Harold, Mliter dan Politik di Indonesia, Terj.Th.Sumartana, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
  9. http://www.kompas.com
  10. http://www.mediaindo.co.id
(Kompasiana/Antara-News/Tempo/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI