Pesan Rahbar

Home » » Penjelasan Mengenai Nabi Isa Dalam Al-Qur'an: Sebuah Perspektif Akhbari

Penjelasan Mengenai Nabi Isa Dalam Al-Qur'an: Sebuah Perspektif Akhbari

Written By Unknown on Tuesday 4 October 2016 | 20:57:00

Ilustrasi Nabi Isa

Oleh: Reza Shah-Kazemi

Salah satu prinsip terpenting yang mana Nabi Isa di dalam "Quran" ditampilkan sebagai "simbol" adalah bahwa karunia dan kasih sayang merupakan realisasi Diri yang sesungguhnya. Kasih sayang harus dipahami tidak hanya secara moral tetapi juga secara a priori. Allah memberi kehidupan kepada alam semesta dari kasih sayang karena kualitas-kualitas tersembunyi-Nya yang ingin dikenali. Manusia turut andil dalam proses ini baik secara positif dan dari dalam, dengan menghidupkan jiwanya sendiri dan jiwa orang lain melalui ilmu Allah. "Wujud" Yang Hakiki memiliki makna "menjadi" yang bermakna kasih sayang, pemberi karunia, dan murah hati.

Seorang hamba tidak dapat "menjadi" tanpa yang lain. Apabila kesadaran menjadi Yang Hakiki tidak diimbangi dengan kesadaran makhluki, kesadaran seorang hamba, pada saat yang sama dan sepanjang seseorang tetap menjadi seseorang, hasilnya sebenarnya jauh dari rasa kasih sayang. Rasa itu adalah kesombongan, kebanggaan diri, dan mempertuhankan diri.

Ibn Arabi menjelaskan Nabi Isa sebagai "simbol perwujudan" (mathalan bi-takwin). Pada makalah ini saya ingin menunjukkan bahwa, dalam perspektif metafisik Ibn Arabi, salah satu prinsip terpenting yang mana Nabi Isa di dalam "Quran" ditampilkan sebagai "simbol", mukjizat dan perwujudan yang nyata, adalah bahwa karunia dan kasm sayang merupakan realisasi Diri yang sesungguhnya "• atau Diri yang Hakiki, Ibn Arabi menyebutnya Nafs al-Haqq. Kasih sayang yang berkenaan dengan pemberian kehidupan, pada gilirannya, secara metafisik, harus dipahami tidak hanya secara moral tetapi juga secara a priori. Allah memberi kehidupan kepada alam semesta dari kasih sayang karena kualitas-kualitas tersembunyi-Nya yang ingin dikenali; dan manusia turut andil dalam proses ini baik secara positif "• melalui rasa kasih sayang kepada dirinya sendiri, dan kepada orang lain -dan dari dalam, dengan menghidupkan jiwanya sendiri dan jiwa orang lain melalui ilmu A1lah.

Pernyataan Quran berkenaan dengan Nabi Isa, dan penafsiran esoteris menurut pandangan Akbari, menyoroti realitas kedirian dan kasih sayang yang terjalin dalam cara yang secara khusus mendatangkan manfaat. Nabi Isa digambarkan di dalam Quran sebagai "tanda bagi umat manusia" dan "karunia dari Kami. Ibn Arabi menjelaskan dengan cara yang sangat berharga bagaimana kedua aspek Nabi Isa ini secara spiritual dapat dipahami: tentang sebagai pertanda apa Nabi Isa itu, dan bagaimana hal ini terkait dengan karunia atau kasih sayang.

Saya akan memulai makalah ini dengan mencuplik ayat Quran dalam Surat Maryam yang mengaitkan cerita kelahiran Nabi Yahya dan Nabi Isa. Ini merupakan pemikiran dari ayat-ayat yang membentuk titik awal dari serangkaian penelitian yang merupakan tujuan makalah ini. Kita menemukan sejumlah kesamaan yang besar dalam kedua ayat ini. Kepada keduanya "• Nabi Zakaria, ayah Nabi Yahya, dan Maryam, Ibunda Nabi Isa "• malaikat muncul membawa berita tentang seorang putra yang akan lahir dalam waktu dekat.

Malaikat memberikan berita tersebut dengan jawaban yang sama; beberapa kalimat yang digunakan untuk menggambarkan Nabi Yahya dan Nabi Isa sama. Kita melihat bahwa sumpah untuk tidak berkata sepatah kata pun dilakukan oleh Nabi Zakaria dan Ibunda Maryam setelah mereka bertemu malaikat, dan lain-lain. Tetapi ada juga perbedaan yang menyolok di kedua ayat Quran tersebut: malaikat memberi penjelasan tentang Nabi Yahya, sedangkan Nabi Isa menjelaskan dirinya sendiri melalui kata-kata menakjubkan yang ia ucapkan ketika masih bayi.

Memang, inilah tingkat keajaibannya, bahwa, secara umum, membedakan dua ayat tersebut: kelahiran Nabi Isa dari seorang wanita yang masih perawan, merupakan keajaiban mutlak dibandingkan dengan Nabi Yahya putra Nabi Zakaria, meskipun "dilahirkan melalui seorang wanita yang mandul dan usiaku yang tua" (QS. 19:8).

Tetapi, kita harus memperhatian secara saksama pada kalimat yang diucapkan terakhir kali oleh Nabi Isa: "Semoga kesejahteraan tercurah padaku sejak pertama kali aku dilahirkan, diwafatkan dan ketika aku dibangkitkan."

Dalam kasus Nabi Yahya, malaikat-lah yang mengucapkan salam untuknya: "Semoga kesejahteraan tercurah atas-nya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan dan pada hari ia dibangkitkan."

Pembaca mungkin dikejutkan oleh perbedaan antara ucapan salam yang ditujukan pada diri sendiri dan yang ditujukan kepada orang lain. Lebih jauh lagi, Nabi Isa menggunakan ucapan salam dengan menggunakan kata sandang al-salam, sedangkan malaikat menggunakan bentuk kata sandang khusus salamun untuk Nabi Yahya. Seolah-olah ada jukstaposisi antara sebutan sifat ilahiah keselamatan, dalam menghormati Nabi Isa, dan keselamatan berkualitas umum, yang pada akhirnya bersifat ilahiah, dalam esensinya, tetapi di sini dianggap berada pada tingkat manifestasi formalnya • dalam menghormati Nabi Yahya.

Perbedaan ini mungkin ditafsirkan sebagai kiasan terhadap kesempurnaan kehidupan ilahi, dan totalitas kesadaran Diri yang paling tinggi yang meniupkan zat manusia Kristus dari awal mulanya, zat itu sendiri adalah ayat Allah. Dalam kaitan ini, Ibn Arabi mengingatkan kita pada analogi yang sangat penting. Quran menyatakan bahwa Nabi Isa sesungguhnya adalah ayat Tuhan, yang diturunkan kepada Maryam, dan ruh yang ditiupkan dari-Nya. (QS. 4:171).

Ibn Arabi memberikan komentar, bahwa Malaikat Jibril menyampaikan ayat ini kepada Maryam sebagaimana seorang rasul menyampaikan ayat Tuhan kepada umatnya. Ibn Arabi dengan demikian menunjukkan bahwa ada sesuatu di dalam zat Nabi Isa, di dalam dan dari dirinya, yang merupakan sebuah wahyu, "tanda bagi umat manusia", sebagaimana yang dinyatakan Quran ayat 19:21.

Pandangan tentang Nabi Isa yang demikian, dalam aspek tertentu, mempersempit jurang yang memisahkan konsep seorang Muslim dan konsep seorang Nasrani, tentang "pesan" Kristus.

Dalam kitab Fushush al-Hikam, kita menemukan bahwa Ibn Arabi menafsirkan perbedaan antara dua ucapan salam ini. Pada bab yang membahas tentang Nabi Yahya kita lihat bahwa:
Apabila ucapan yang disampaikan adalah ucapan ruh: "Semoga kesejahteraan tercurah padaku sejak pertama kali aku dilahirkan, diwafatkan dan ketika aku dibangkitkan" "• berkenaan dengan realitas penyatuan dan dengan ajaran, serta interpretasinya lebih tinggi, ucapan tersebut lebih lengkap.

Abdurrazzaq Kasyani memberikan "interpretasi yang tinggi yang seperti itu beserta penafsirannya pada ucapan salam yang disampaikan kepada diri sendiri:
Allah mengaruniakan kepada Diri-Nya sendiri ucapan salam, karena kehendak Diri-Nya di dalam zat Isawi, dan hal ini juga menunjukkan kedudukan Nabi Isa yang sempurna dalam penyaksian keesaan ini.

Dengan kata lain, Allah sendirilah yang memberi ucapan salam di dalam melalui bentuk Nabi Isa dan melalui bentuk-Nya. Sekarang, tema ini banyak menyentuh tema-tema metafisik utama Ibn Arabi, tetapi mari kita perhatikan poin berikut: ucapan salam yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri melalui diri yang lain dapat dianggap sebuah simbol ajaran bahwa Allah mengungkapkan Diri-Nya melalui seluruh ciptaan.

Sebagaimana yang kita lihat sebelumnya, Ibn Arabi menyatakan bahwa Nabi Isa merupakan sebuah simbol penciptaan (takwin), perwujudan, atau aktifitas kreatif. Hal ini dinyatakan dalam puisi berikut ini, yang membuka pembahasan Nabi Isa dalam kitab Fushush:
Bersumber dari air Bunda Maryam atau dari nafas Jibril,
dalam bentuk tanah liat berbentuk yang tak abadi
Ruh itu datang dalam bentuk esensi
Yang disucikan, yang disebut Sijjin.
... ruh ditiupkan Allah, dan bukan berasal darimanapun.
Lalu ia menghidupkan orang yang sudah mati dan menghidupkan burung yang terbuat dari lempung
... Allah menyucikan tubuhnya dan mengangkat ruhnya,
dan Ia menjadikannya sebagai simbol perwujudan. 

Kita dapat merenungkan "simbol perwujudan" ini dalam empat cara. Pertama, penciptaan Nabi Isa sendiri "• melalui tiupan, sebuah kata, ruh, kepada Maryam "• secara umum merupakan tanda keajaiban Allah, dengan cara di mana ruh tersebut menghidupkan materi. Kedua, penciptaan Nabi Isa merupakan rekapitulasi keajaiban-keajaiban yang khusus dari penciptaan Nabi Adam. Ketiga, di tingkat kosmogenesis, Nabi Isa yang dilahirkan dari seorang perawan suci Maryam mengungkapkan prinsip yang dengannya kosmos itu sendiri dihidupkan.

Menurut Ibn Arabi, alam semesta berasal dari perwujudan "realitas Muhammad" (al-haqiqah al- Muhammadiyyah), realitas yang paling menerima dari semua realitas yang ada "• terdapat di dalam "persembunyian" asal muasal "• hingga cahaya Allah yang kreatif. Atas dasar penerimaan total Nabi terhadap Cahaya inilah, kepasifannya (infi'aliyyah) diubah menjadi keaktifan (fa'iliyyah):
Pada prinsipnya, Muhammad diciptakan sebagai seorang hamba: tidak pernah sedikit pun ia angkat kepalanya untuk berharap menjadi pemimpin. Tak pernah ia berhenti bersujud dalam kerendahan hati, berdiri di hadapan Tuhannya dalam keadaan diam, hingga Allah mewujudkan (kawwana) darinya semua yang telah Ia wujudkan. Kemudian Ia mengaruniainya kedudukan aktif (fa'iliyyah) di dunia Manusia...

Kita diingatkan dengan ucapan malaikat yang ditujukan kepada Bunda Maryam di dalam Quran: .
Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu, dan mengutamakanmu dari semua wanita. Wahai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, bersujudlah kepada-Nya dan tunduklah kepada-Nya dengan segala ketundukan. (QS. 3:42-43).

Nabi Isa dan Ibundanya, Maryam, menjadi "mukjizat", bukan hanya Nabi Isa saja: Dan Kami jadikan putra Maryam dan ibunya sebagai mukjizat. (QS. 23: 50).

Dengan demikian Nabi Isa dapat dilihat sebagai simbol kosmos itu sendiri, dan "hasil" dari aktivitas yang berakar dalam penerimaan yang total dan suci dari Ayat di atas, peranan Maryam di sini sama dengan peranan Realitas Muhammad.

Terakhir, melanjutkan proses fa'iliyyah ini, aktivitas Nabi Isa itu sendiri secara positif mencerminkan kreativitas ilahi: menyembuhkan orang buta, orang yang berpenyakit lepra, menghidupkan burung yang terbuat dari tanah liat, dan yang paling penting adalah, menghidupkan orang mati.

Sebagaimana yang Quran nyatakan, Nabi Isa berkata:
Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa mukjizat dari Tuhanmu. Sesungguhnya, aku membentuk seekor burung untuk kalian dari tanah liat, kemudian aka tiupkan kepadanya, dan jadilah ia seekor burung, atas izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta dan penderita lepra, dan aku menghidupkan orang yang mati atas izinAllah. (QS. 3:49).

Penjelasan Kasyani sangat mengandung pelajaran ketika ia menjelaskan makna esoteris perbuatan yang menakjubkan tersebut. Dalam buku tafsirnya, ia memberi penafsiran berikut ini:
Sesungguhnya, melalui disiplin spiritual, kesucian dan kebijaksanaan, aka mencipta untukmu, dari tanah liat yang masih tak bernyawa tetapi dapat menerima, sebentuk burung, burung yang terbang ke alam suci berdasarkan besarnya kerinduannya. Kemudian aku tiupkan padanya nafas ilmu ilahi dan kehidupan yang sesungguhnya, melalui pengaruh keberadaan dan ajaranku. Lalu jadilah ia seekor burung, sebuah jiwa yang hidup, terbang dengan sayap-sayap kerinduan dan cita-citanya untuk menuju Sang Hakiki. Aku menyembuhkan orang buta, orang yang terhijab dari cahaya Sang Hakiki, orang yang mata hatinya selalu tertutup dan tidak pernah melihat matahari Sang Hakiki, ataupun cahayanya... dan aku menyembuhkan orang yang menderita lepra, orang yang jiwanya tersesat oleh penyakit kejahatan dan agama yang sesat, tercemari oleh kecintaan kepada dunia ini dan terkotori oleh noda nafsu berahi. Dan aku menghidupkan orang dari kematian kejahiliahan dengan menghembuskan nyawa ilmu.

Dengan penafsiran bernafaskan seperti di atas, kita mungkin berani menambahkan bahwa ayat-ayat Quran, atas izin Allah, yang menerangkan perbuatan mukjizat Nabi Isa, dapat dipahami, secara esoteris, dengan makna bahwa perbuatan yang dilakukan Nabi Isa itu sesuai dengan pengetahuannya tentang siapa sebenarnya yang menjadi pelaku, siapa sebenarnya Diri Hakiki dalam dirinya yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain, Nabi Isa tidak terhijab dari realitas ilahi ketika melakukan perbuatan tersebut. Ia mengetahui bahwa Allah melakukan perbuatan tersebut melalui dirinya.

Kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya pelaku yang muncul dalam pandangan Akhbari merupakan konsekuensi subjektif dari tujuan keesaan wujud yang tak dapat dihindari. Atau, menurut ungkapan Ibn Arabi, realitas "bahwa tidak ada sesuatu pun selain Dia" di banyak tempat, menafsirkan pengaruh-pengaruh ontologis ayat yang berbunyi "Engkau tidak melempar ketika engkau melempar tetapi, Allah lah yang melempar" (QS. 8:17).

Contoh-contoh berikut ini akan memudahkan tujuan kami.
Engkau tidak melempar, oleh karenanya, Ia menyangkal. Ketika engkau melempar, Ia menegaskan, Allah-lah yang melempar, maka ia menyangkal mewujudnya eksistensi (kawn) Muhammad, dan menegaskan Dirinya sebagai sesuatu yang identik ('ayn) dengan Muhammad.

Keambivalenan penyangkalan dan penegasan seperti itu menimbulkan ketakjuban.
Engkau bukanlah engkau ketika engkau adalah engkau. Tetapi Allah adalah engkau.

Tetapi mereka menyingkap kebenaran bahwa Allah saja yang merupakan pelaku dari semua perbuatan, pelaku yang berbuat melalui seluruh fakultas manusia.

Kebenaran ini dibenarkan oleh Ibn Arabi dengan menyebutkan kalimat hadis qudsi yang terkenal, yang dikenal sebagai hadits al-taqarrub, "mendekatkan diri", di mana Allah bersabda bahwa ketika ia mencintai seorang hamba, Ia adalah telinga yang dengannya ia mendengar, mata yang dengannya ia melihat, tangan yang dengannya ia memukul dan kaki yang dengannya ia melangkah. Ibn Arabi menitikberatkan pada pentingnya fakta bahwa Allah bersabda dalam waktu saat ini, dengan berkata, "Aku adalah telinganya, matanya, dan kedua tangannya."

Ucapan "Aku" menunjukkan bahwa demikianlah kenyataannya, tetapi hamba tersebut tidak mengetahui. Dengan demikian, karunia yang melimpah di mana kedekatan diberikan kepadanya adalah tersingkapnya ilmu bahwa Allah adalah telinga dan matanya.

Artinya adalah bahwa tidak ada perubahan dari perantaraan ontologis. Allah tidak "menjadi" fakultas-fakultas hambanya setelah memberi kesempatan pada mereka untuk menikmati, di keadaan sebelumnya, perbuatan prerogatif. Allah adalah pelaku sesungguhnya dari semua perasaan dan tindakan hambanya. Perubahan satu-satunya ada dalam kesadaran si hamba, penerimaannya pada kebenaran bahwa Allah satu- satunya realitas yang meliputi semua pelaku-pelaku lain dan menghilangkan semua alteritas ontologis, sebuah kebenaran yang menghijabi hamba tersebut dari fakultasnya sendiri. Perlu ditambahkan bahwa, apabila seorang hamba tidak boleh terhijabi oleh makhluk dan aktivitas dan Kedirian yang Hakiki, ia juga harus menghindari hijab yang sebaliknya; yakni kita tidak boleh membiarkan Yang Hakiki menghijabi makhluk dan sifat yang melekat padanya secara abadi, sifat kehambaan.

Kaitan antara penerimaan kehambaan yang murni dan aktifitas perwujudan dijelaskan di atas; tetapi pada poin ini, yang harus ditekankan adalah bahwa salah satu hasil kombinasi paradoks dari Kedirian yang terwujud dan kehambaan yang tak berubah adalah kasih sayang, sebagaimana yang dinyatakan dari pembahasan tentang Nabi Isa dalam beberapa bait berikut ini.
Sesungguhnya aku menyembah, TuhanKu, PemimpinKu,
Dan tentunya, aku adalah diri-Nya, maka pahamilah.
Ketika aku berkata "manusia", janganlah terhijab ioleh manusia,
Karena ia telah memberimu bukti Maka jadilah Yang Hakiki dan jadilah seorang hamba.
Demi Allah, engkau akan menjadi orang yang penuh kasih sayang. 

Bait terakhir menunjukkan inti argumen makalah ini. "Wujud" Yang Hakiki "• meskipun dalam keadaan menjadi seorang makhluk "• memiliki makna "menjadi" yang bermakna kasih sayang, pemberi karunia, dan murah hati. Seorang hamba tidak dapat "menjadi" tanpa yang lain.

Ketika Ibn Arabi menulis takun billahi rahmanan (demi Allah, jadilah engkau orang yang penyayang), hal ini terdengar seperti sebuah sumpah "• dengan ukuran bahwa engkau menyadari Diri yang sebenarnya, yang terselubungi oleh diri luarmu, ego dirimu. Perlu dicatat bahwa merealisasikan "Diri seseorang yang sebenarnya" bukanlah suatu persoalan, karena Diri bukanlah milik siapapun; satu hal yang dapat dikatakan milik seseorang adalah kemiskinan esensial. Dalam perspektif ini, tidak ada seorang pun yang memiliki sesuatu, sebaliknya, semua orang "adalah milik" Diri.

Inti pembahasan ini muncul dari takwil Kasyani berikut mengenai ayat Quran di mana Allah berkata tentang Nabi Isa:
Wahai "Isa, putra Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia: "sembahlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah?"
Ia berkata: Mahahesar Engkau, tidaklag pantas bagiku berkata hal yang bukan menjadi hakku ... (QS. 5:116).

Apakah engkau mengajak umat untuk menyembah dirimu dan ibumu "• ataukah kepada hati dan jiwamu; karena sesungguhnya dalam dirinya terdapat realitas ego (ananiyyah) dan tempat jiwa dan hasrat, atau di dalamnya terdapat naik turunnya keadaan hati dan manifestasi hati melalui kualitasnya "• ia mengajak makhluk kepada keadaan jiwa atau hatinya. bukan kepada Yang Hakiki. Ia berkata: Mahahesar Engkau, aku tidak pernah mengatakan hal yang bukan hakku, karena sesungguhnya aku tidak memiliki wujud dalam realitas, dan tidaklah benar dan pantas bagiku untuk mengungkapkan semua yang tidak aku miliki lewat kata-kata, karena sesungguhnya semua kata dan perbuatan, kualitas dan wujud adalah milik-Mu.

Kemudian apabila rasa kasih sayang mengalir dari diri makhluk, tidak ada kasih sayang melainkan kasih sayang Allah, bukan kasih sayang makhluk; dan rasa kasih sayang ini mengalir sangat deras dan makhluk tidak memiliki kasih sayang ini di dalam dirinya. Ibn Arabi menyatakan kepada para pembacanya tentang menjadi Yang Hakiki dan menjadi seorang makhluk, hanya dengan seperti itu, rasa sayang mengalir dari mereka; dan bukan dari kepemilikan makhluki tetapi berasal dari bi'llah, dengan atau melalui Allah. Apabila kesadaran menjadi Yang Hakiki tidak diimbangi dengan kesadaran makhluki, kesadaran seorang hamba, pada saat yang sama dan sepanjang seseorang tetap menjadi seseorang, hasilnya sebenarnya jauh dari rasa kasih sayang. Rasa itu adalah kesombongan, kebanggaan diri, dan mempertuhankan diri.

Dengan kata lain, kerendahan diri dan kasih sayang merupakan kebaikan pelengkap yang mengalir dari kesadaran realitas yang sesungguhnya: "kesadaran yang benar" menjadi seseorang yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, berkenaan dengari manifestasi Diri dalam dirinya dan melaluinya ia mengetahui bahwa makhluk tiada berarti kecuali Yang Mahanyata, bahwa makhluk tiada berarti di hadapan yang Hakiki. Pada kedua kasus, orang tersebut menjadi tiada; penafian diri merupakan conditio nime qua non dari perwujudan diri.

Apabila seseorang memiliki kesadaran sebagai seorang makhluk, tetapi tanpa memiliki rasa realitas Kedirian Ilahi dalam dirinya, maka kebaikan seseorang, termasuk rasa sayang itu, akan mengurangi semua totalitas dan kedalaman yang tidak terbatas yang datang dari ilmu spiritual yang mewujud. Semakin seseorang menyadari realitas Allah sebagai agen ontologis, satu-satunya Diri yang sesungguhnya, rasa kasih sayang akan semakin mengalir secara alami dan spontan.

Dengan kata lain, semakin dekat seseorang kepada sumber kasih sayang, semakin besar rasa sayang yang diwujudkan melalui dirinya; yakni, seseorang itu tidak hanya menjadi seorang marhum, seseorang yang dianugerahi kasih sayang dan karunia, tetapi juga menjadi seorang rahim, orang yang memberi kasih sayang kepada orang lain. Inilah yang membedakan antara "orang-orang yang terhijabi" (al-mahjubun) dan "Orang-orang yang mendapat ilmu penyingkapan" (ahl al-kasyf).

Sebagaimana yang dinyatakan Ibn Arabi:
Orang-orang yang tertutupi hatinya, sesuai dengan keyakinan mereka, meminta Tuhan untuk mencurahkah kasih sayang kepada mereka. Sedangkan orang-orang yang memperoleh ilmu penyingkapan meminta agar kasih sayang Allah memancar melalui mereka. Mereka meminta hal ini dengan mengucap nama Allah, "Ya Allah, timbulkanlah kasih sayang kepada kami" dan Ia akan menimbulkan kasih sayang dengan menjadikan rasa sayang memancar melalui diri mereka. Kasih sayang memiliki sifat yang dalam realitasnya berasal dari esensi "kasih sayang yang memancar melalui sebuah titik" (al-qa'im bi'l mahall).

Kasyani menafsirkan:
Sifat kasih sayang meliputi mereka, karena kasih sayang yang memancar melalui sebuah titik memfungsikan sifatnya pada ruang, berdasarkan realitasnya; maka Ia hanya menimbulkan kasih sayang dengan menjadikan kasih sayang memancar melalui diri mereka. Allah menjadikan mereka orang-orang yang mengasihi (rahimin).
Orang-orang yang memancarkan kasih sayang, dengan cara ini dinyatakan sebagai pencari sifat kasih sayang dengan cara "mengecap" secara gaib (dzawqan).

Intuisi spiritual mereka tidak hanya memberi rasa esensi kasih sayang, tetapi juga menunjukkan bahwa kasih sayang itu merupakan esensi Yang Hakiki. Ada banyak indikasi bahwa kasih sayang menunjukkan fitrah Allah yang mendasar. Quran menyatakan bahwa "Kasih sayang-Ku meliputi segaia sesuatu" (QS. 7:156).
Nama Allah, al-Rahmah, secara praktis merupakan sinonim dari Allah: "Sebutlah nama Allah atau sebutlah nama al-Rahman (QS. 12:10).

Kata "al-Rahman" secara berulang-ulang dinyatakan di dalam Quran sebagai sumber kreatif yang memunculkan segata sesuatu.

Menurut Ibn Arabi, hal ini tepat karena kasih sayanglah Allah menciptakan dunia: seluruh mawjud dengan demikian adalah marhum, objek kasih sayang. Pandangan mengenai ciptaan ini mungkin dilihat sebagai penafsiran yang paling penting pada salah satu "penjelasan alasan dibalik penciptaan dunia oleh Allah," menurut hadis qudsi yang sering dikutip Ibn Arabi: "Aku adalah harta karun terpendam dan Aku ingin dikenali oleh karena ituAku mencipta."

Di sini tujuan peciptaan secara eksplisit terkait dengan keinginan Allah untuk dikenali. Ia ingin memanifestasikan kesempurnaan rahasia-Nya; dan inilah satu cara untuk dikenali, artinya, mengenal dirinya secara eksternal, yang berbeda dengan mengetahui Dirinya secara internal. Bait-bait kalimat di pembuka kitab Fushush menjelaskan hal ini dalam pembahasan tentang Nabi Adam.

Yang Hakiki berkehendak, atas dasar nama-nama-Nya yang Indah dan tak terhitung, untuk melihat idendtas mereka "• apabila engkau ingin engkau dapat berkata: aku mengenal-Nya "• dalam makhluk yang mewujud secara luas yang meliputi seluruh persoalan. Misteri tentang-Nya diwujudkan kepada Dirinya melalui misteri itu, karena melihat sesuatu tentang dirinya sendiri dalam dirinya, tidak sama dengan melihat sesuatu dalam dirinya yang ada dalam sesuatu yang lain, yang akan berfungsi sebagai cermin baginya.

Salah satu pernyataan Ibn Arabi yang paling mengejutkan muncul ketika ia berkata bahwa objek pertama dari kasih sayang Allah sebenarnya bukan ciptaan. Objek pertama tersebut adalah Allah Sendiri. Dengan kata lain, Allah mencurahkan kasih sayang pada Nama-nama-Nya Sendiri dan Sifat-sifat yang ingin memanitestasikan diri tetapi tersembunyi di dalam esensi-Nya sendiri.

Dengan kata lain, ia mencurahkan kasih sayang kepada "harta karun-Nya" yang tersembunyi. Ibn Arabi menuliskan: "Melalui nafas Yang Maha Pengasih, Allah memunculkan (tanfis) nama-nama ilahi... Ia mewujudkan nama-nama ilahiah dari kurangnya hasil yang nampak."

Dengan demikian, teladan dari semua kasih sayang, cinta, perasaan terhadap "yang lain", adalah kecintaan Esensi Allah pada Pemanitestasian Dirinya Sendiri, untuk teofani Dirinya pada "yang lain" dan melalui "yang lain."

Segala sesuatu pada akhirnya dimanitestasikan oleh kasih sayang, terjalin dari kasih sayang, dan kembali kepada kasih sayang: "Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu", sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya.

Ibn Arabi menekankan bahwa segala sesuatu kembali kepada karunia dan kasih sayang, tetapi hat ini tidak menyangkal realitas neraka yang mengerikan atau membuka sisi Allah yang keras. Ibn Arabi sering menyebutkan hadis yang menyatakan bahwa kasih sayang Allah mendahului murka-Nya, tetapi ia tidak menyangkal realitas murka-Nya ini. Ia menyatakan bahwa hal itu bukan sitat esensial Allah, tetapi sifat penyangkalan makhluk secara sukarela terhadap karunia yang ditawarkan kepadanya "secara ontologis", artinya, atas dasar kasih sayang yang melekat pada setiap mahluk.

Hal ini pun dinyatakan Kasyani dalam kalimat pembukanya ketika membahas tentang Nabi Zakaria:
Mengenai kasih sayang yang berasal dari Esensi, secara fitrah kasih tersebut melimpah ruah, dipenuhi kemurahhatian dari harta karun kasih sayang dan karunia. Keberadaan merupakan efusi pertama dari rasa kasih sayang yang meliputi segala sesuatu. Tetapi berkenaan dengan kemurkaan, secara esensial kemurkaan bukan sifat Yang Hakiki, tetapi, kemurkaan merupakan sifat ketiadaan (hukm 'adami), yang muncul dari ketiadaan penerimaan (ladam qabiliyyah), pada hal-hal tertentu, bagi perwujudan sempurna dari hasil wujud dan sifat-sifat di dalam wujud. Ketiadaan efusi kasih sayang terhadap suatu hal yang diakibatkan dan kurangnya penerimaan disebut "murka" di hadapan yang memberi kasih sayang (al-rahim).

Oleh karena ini, kasih sayang wujud tidak hanya meliputi kecenderungan sifat kemurkaan yang tidak ada, tetapi juga meliputi sifat kejahatan dan penderitaan yang aksidental, suatu persamaan dari ketiadaan: "Setiap orang akan berakhir dengan karunia."

Kebenaran ini dipahami berdasarkan kesadaran seseorang akan realitas kebaikan absolut yang tak terbatas dan realitas kejahatan yang relatif dan terbatas "• tidak hanya secara khayali tetapi juga secara spiritual.

Kembali kepada tema Kedirian dan kasih sayang, berikut ini kalimat penegasan Ibn Arabi yang sangat penting:
Allah memiliki sifat cinta kepada kita, dan cinta merupakan sifat yang perlu bahwa ia yang disifati dengannya menjadi penuh karunia kepada dirinya sendiri.

Kita telah melihat bagaimana Allah mengaruniai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya sendiri. Pada diri manusia, rasa mengasihi diri ini menyiratkan arti objektifitas radikal pada diri sendiri. Gagasan ini dinyatakan dengan sangat tajam oleh Ibn Arabi. pada dialog tentang jiwa berikut ini: dialog itu sendiri menyiratkan arti "suatu yang lain di dalam", objektifitas yang harus dimiliki pada jiwa seseorang. Dialog tersebut melibatkan dua sufi besar Islam, Mansur al-hallaj dan Uways al-Qarani. Ibn Arabi membantah bahwa tingkatan al-Hallaj lebih tinggi dari Uways karena, ketika Uways memenuhi kebutuhannya sebelum mengeluarkan kelebihan hartanya untuk amal, al-Hallaj bahkan mengorbankan kebutuhannya demi kepentingan orang lain.

Pada bantahan ini Ibn Arabi menjawab:
Apabila sufi tersebut memiliki keadaan spiritual seperti al-Hallaj, ia membedakan antara jiwanya dan jiwa orang lain; ia memperlakukan jiwanya dengan kejam, kasar dan aniaya, sedangkan ia memperlakukan jiwa orang lain dengan sukacita, karunia dan kelembutan. Tetapi apabila sufi tersebut adalah seseorang yang tingkatannya tinggi... Jiwanya akan menjadi sesuatu yang asing bagi dirinya; ia tidak lagi membedakan jiwanya dengan jiwa lain di dunia ini... Apabila sufi tersebut mengeluarkan amal, ia akan memberikannya kepada orang Islam pertama yang ia temui. Jiwa pertama yang ia temui adalah jiwanya sendiri, bukan jiwa orang lain.

Menyimpang dari pembicaraan di atas sejenak, meskipun fokus makalah ini adalah mengenai pembahasan Nabi Isa di dalam Quran, pandangan yang dikemukakan Ibn Arabi membuat kita dapat melihat pesan Injil tentang Nabi Isa dalam perspektif yang baru. Melalui pandangan Akhbari dalam kasih sayang ontologis, kita dapat menghargai aspek yang lebih dalam dari perintah-perintah Injil tentang Nabi Isa.

Contohnya dalam Injil Markus: Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel. Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada keduah hukum ini (Markus, 12:29-31).

Makna "mencintai diri sendiri" di dalam kitab matafisikanya lbn Arabi diubah menjadi "menyayangi diri sendiri." Jelas juga bahwa perintah kedua dijelaskan "seperti" perintah pertama.

Dalam pandangan Ibn Arabi, nampaknya kata 'ayn digunakan: sama dengan yang pertama. Karena ia menekankan bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Esa, realitas yang satu, dengan demikian kecintaan Allah harus ditujukan pada sifat ilahi dalam dirinya, di atas semua mahluk, tetapi juga pada sifat ilahi yang melekat di dalam seluruh ciptaan, sifat keilahian yang meliputi wujud makhluk yang sebenarnya.

Kedua jenis kecintaan ini berkaitan dengan satu-satunya Yang Dicintai. Kita dapat mengingat apa yang dinyatakan Nabi Isa dalam Injil Matius:
Karena engkau telah melakukan hal tersehut kepada salah satu saudaramu, engkau juga melakukannya kepadaku. (Matius, 25:40).

Pernyataan berikut, dinyatakan di surat Lukas setelah meraih tangan seorang anak kecil:
Barangsiapa yang menyambut anak ini dalam namaku, ia menyambut aku; dan barangsiapa menyambut aku, ia telah menyamhut Dia, yang telah mengutusku. (Lukas, 9:48).

Gagasan bahwa setiap mawjud secara definisi adalah marhum telah mengangkat derajat yang tinggi dan pesan Nabi Isa tentang kedermawanan dan kasih sayang, pesan yang sering terbatas ada penerapan moral semata. Contohnya:
Kasihanilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah hagi orang yang mencaci kamu... kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaldah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. (Lukas,6:27-8, 35-6).

Ayat dari surat Madus berikut mengungkapkan dengan sangat jelas kasih sayang yang meliputi segala sesuatu atas dasar diberikannya kehidupan kepada mereka:
...Bapamu di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (Matius, 5:45).

Di atas dinyatakan bahwa tidak hanya kasih sayang tetapi juga kerendahan diri yang turun dari pemahaman tentang Kedirian yang sebenarnya. Kembali ke surat Maryam sebagai pembuka diskusi mi, penting untuk dicatat bahwa kalimat yang diucapkan Nabi Isa pertama kali ketika masih bayi adalah "Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan" (QS.19:30).

Nampaknya, secara sekilas kedirian makhluki dan Kedirian Ilahi secara diametris bertolak belakang, tetapi dalam pandangan Ibn Arabi, sebagaimana yang telah kita lihat di atas, hanya orang yang mengetahui bahwa ia adalah hamba Allah-lah yang tahu bahwa Allah adalah satu- satunya Diri yang sesungguhnya.

Dalam penjelasannya tentang puncak mikraj spiritual, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Hamba dan Kedirian:
Allah melepaskan dimensi ketergantungan (imkani) dari diriku. Kemudian pada perjalanan ini aku sampai pada realitas terdalam dari semua Nama, dan aku melihat mereka semua kembali kepada Subjek yang Satu (Musamma wahid) dan kepada Satu Entitas ('ayn wahida): Subjek itu adalah yang aku saksikan dan Entitas itu adalah wujudku. Karena perjalananku hanya di dalam diriku sendiri, ditujukan kepada diriku, dan melalui perjalanan ini aku mengetahui bahwa aku adalah "seorang hamba" tanpa jejak kepemilikan sedikit pun dalam diriku.

Sekali lagi, mari kita catat bahwa hal pertama yang ia nyatakan setelah pengalaman tauhid yang menakjubkan yang ia alami dalam cara subjektif ini, yakni perealisasian kesatuan Diri yang sesungguhnya, adalah bahwa ia mengetahui kehambaan dirinya. Hal yang ditunjukkan dengan jelas oleh hal ini adalah bahwa penafian diri merupakan konsekuensi dan perwujudan Diri yang sesungguhnya. Ketika inti subjektif individual hilang, tidak ada kesombongan yang dapat melekat pada apa pun. Dengan penafian diri, ada pencerabutan kesombongan, dan penyempurnaan kehinaan yang tidak dapat tercerabut sebagaimana ilmu tempat bergantungnya kehinaan adalah pasti.

Untuk menyempurnakan pencarian kita tentang hubungan antara Kedirian, kehambaan dan kasih sayang, mari kita renungkan penafsiran Kasyani yang terkenal berikut ini tentang ayat dalam Surat al-Insan. Pada penafsirannya, ketiadaan diri dipandang sebagai keterikatan yang erat yang tidak dapat dihilangkan pada pemberlan diri.

Pada ayat-ayat yang menjadi pembahasan, kami ungkapkan dengan perbedaan antara orang-orang saleh (al-abrar) dan hamba Allah ('Ibad Allah):
Sesungguhnya orang-orang yang saleh akan minum dari cangkir berisi Kafiur, sebuah Telaga di mana hamha-hamha Allah minum, yang mengalir dengan air yang melimpah ruah. (QS. 74:5-6).

Kasyani menafsirkan telaga ini sebagai simbol Esensi Ilahi, yang melampaui batas sifat ilahi. Ia menuliskan bahwa, orang-orang yang beriman adalah:
Orang-orang yang berbahagia yang telah melampaui batas hijab jejak-jejak dan perbuatan, dan saat ini diselubungi sifat ilahi. Tetapi mereka tidak sepenuhnya berhenti pada tingkat ini, melainkan, tujuan mereka adalah menuju telaga Esensi... mereka berada di tengah Jalan tersebut.

Hamba-hamba tersebut, di sisi lain, yang minum secara langsung dan telaga itu sendiri, tanpa mengurangi air itu sama sekali, dibedakan dengan ketaatan khusus mereka kepada kesatuan Esensi tersebut.
Kecintaan mereka adalah untuk Telaga Esensi yang melampaui sifat-sifat, tidak membedakan antara pemaksaan dan kebaikan, kelembutan dan kekasaran... kecintaan mereka menetap ditengah kebertentangan, kebahagiaan mereka ada di dalam kemudahan dan cobaan, kasih sayang dan penderitaan ...
Kini, pokok yang penting terlihat.

Pokok ini menunjukkan hubungan yang jelas antara kehambaan, kedirian, dan pemberian diri untuk hamba-hamba ini tidak hanya mencintai Telaga Esensi, mereka tengelam di dalamnya secara total dan tak dapat dibedakan dengannya. Pernyataan Quran secara tegas mengungkapkan identitas ini, yufajjrunaha tafjiran, semakin banyak mereka minum dari telaga itu, semakin melimpah ruah air yang mengalir di dalamnya. Mengapa demikian?

Karena menurut Kasyani, hamba-hamba ini:
adalah sumber Telaga itu sendiri, tidak ada dualitas atau sesuatu yang lain... ataupun sekiranya demikian, Telaga itu bukan telaga Kafur, karena kegelapan hijab ego (ana' iyyah) dan dualitas.

Tidak ada kesadaran ego dalam Esensi, karena tiada ego yang berbeda, meskipun semuanya bagaimana pun secara misterius terkandung oleh Esensi, dalam ketidaksamaan; yang ada hanya Diri yang satu, Nafs al- Haqq, diri Yang Hakiki, dan tidak ada perbedaan, tidak ada tafadul di dalamnya. Hanya di Surga kita dapat menemukan tingkatan antara Nabi, utusan, syuhada, dan orang-orang yang beriman. Dalam Futuhat kita temukan bahwa Ibn Arabi menyatakan hal ini dengan cara membedakan antara "kesempurnaan esensial (Dzati)" dan kesempurnaan aksidental ('aradhi).

Kesempurnaan esensial cocok untuk menyucikan "kehambaan" ('ubudiyyah), sedang yang kedua cocok untuk menyucikan "Kemanusiaan" (rajuliyyah):
Tingkat kesempurnaan esensial berada dalam Diri Yang Hakiki (Nafs al-Haqq), sedangkan tingkat kesempurnaan aksidental terdapat di surga. Tingkatan yang didasarkan atas keutamaan (tafadul) ada di dalam kesempurnaan aksidental, bukan dalam kesempurnaan esensial.

Dengan kata lain, "kesempurnaan aksidental" ada pada individu, baik di dunia maupun di akhirat. Cara penegasan diri yang tak dapat dihindari ini dengan demikian "bersifat manusiawi," bertolak belakang dengan penafian ontologis dari diri pada perealisasian yang paling tinggi, seperti penafian yang diungkapkan dengan istilah "hamba."

Dengan demikian, kembali kepada takwil Kasyani, minuman "hamba Allah" pada telaga Esensi "• dan fakta bahwa minuman di telaga tersebut bertambah "• menyimbolkan identitas terdalam mereka dengan Esensi, tetapi sebagai manusia, tingkatan mereka di surga tetap berbeda-beda.

Dan, kita mungkin menambahkan, dalam pandangan ini, hal ini tidak hanya merupakan kasus di hari Akhirat, tetapi juga kasus di dunia: para Nabi dan utusan menyatu dengan Esensi di dalam, sedangkan di luar sebagai mereka adalah hamba, mereka minum dari telaga ini, sumber identitas esensial, satu-satunya Diri yang Sesungguhnya; dan inilah mengapa mereka tidak hanya hamba, tetapi juga sungai kemudahan yang dengannya kasih sayang tak terbatas dari al- Rahman mengalir melalui nadi-nadi seluruh Kosmos:
Dan Kami mengutusmu sebagai karunia bagi sekalian alam. (QS. 21:107)

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: