Para analis dunia memandang Arab Saudi dengan mata sebelah. Negara ini telah mengalami kegagalan dalam kebijakan dalam dan luar negeri.
Rezim Riyadh telah menjadi korban hubungan erat yang selama ini dijalin dengan Amerika. Hubungan tersebut kali ini telah berubah menjadi sebuah krisis yang harus dibayar mahal dengan masa depan Al Saud.
Hubungan antara Riyadh dan Washington hanya tersisa berdasarkan kepentingan-kepentingan yang dituntut oleh prinsip masing-masing pihak. Bahkan problem yang sekarang ini sedang menerkam Timur Tengah telah menyebabkan kedua sekutu ini berbeda dalam menentukan metode dan tujuan.
Telah banyak usaha untuk menyembunyikan masalah ini. Akan tetapi, banyak peristiwa seperti pilpres Amerika, bencana 11 September, dan tuduhan Barat bahwa Riyadh berada di balik terorisme telah menjadi meningkatkan volume pertikaian antara kedua negara ini.
Ada tiga hal yang bisa dicermati dalam masalah ini:
(1) sejarah hubungan Riyadh-Washington;
(2) hubungan Riyadh-Washington pada masa pemerintahan baru Amerika;
(3) peran Cina dalam hubungan Riyadh-Washington.
Hubungan Riyadh-Washington kembali ke masa Abdul-Aziz, pendiri Al Saud. Pada masa ini, Riyadh memberikan banyak hak kepada perusahaan-perusahaan Amerika untuk mencari dan menggali tambang minyak. Sebagai imbalannya, Washinton harus menjamin keamanan dan politik Arab Saudi di Timur Tengah. Kesepakatan ini dikenal dengan sebutan “kesepakatan keamanan demi minyak”.
Keretakan hubungan Riyadh-Washington semakin kentara setelah Konggres Amerika mengesahkan JASTA dan Iran tampil sebagai kekuatan tangguh pasca penandatangan kesepakan nuklir.
Pemerintah mendatang yang akan berkuasa di Amerika juga tidak bisa diprediksi secara jelas. Mungkin dari banyak pernyataan dua capres AS bisa dipahami bahwa kondisi hubungan sekarang adalah kondisi yang ideal untuk kedua negara.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email