Pesan Rahbar

Home » » Menghidupkan Kembali Ilmu

Menghidupkan Kembali Ilmu

Written By Unknown on Tuesday 4 October 2016 | 20:11:00

ilustrasi Pesantren

Oleh: Anees, Munawar Ahmad [*]

Salah satu gagasan yang paling canggih, amat komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Al-Quran ialah konsep 'ilm. Sesungguhnya. tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan konsep mendasar Al-Quran.

Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa Al-Quran menyebut-nyebut kata-akar dan kata-turunannya sekitar 800 kali. Konsep 'ilm membedakan pandangan-dunia Islam dari cara pandang dan ideologi lainnya: tidak ada pandangan-dunia lain yang membuat pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial dan memberikan arti moral dan religius penyelidikan setara 'ibadah.

Karenanya, 'ilm berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban Muslim. Dalam sejarah peradaban Muslim, konsep 'ilm secara mendalam meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain dalam sejarah yang memiliki konsep "pengetahuan" dengan semangat yang demikian tinggi dan mengejarnya dengan amat tekun seperti itu.

Menerjemahkan 'ilm sebagai "pengetahuan" berarti melakukan suatu kejahatan, walaupun tidak disengaja, terhadap konsep yang luhur dan multidimensional ini. Ia memang mengandung unsur-unsur dari apa yang kita pahami sekarang sebagai pengetahuan. Tetapi ia juga mengandung komponen-komponen dari apa yang secara tradisional digambarkan sebagai hikmah. Tetapi ini sama sekali bukan merupakan akhir cerita. Mungkin cara paling baik bagi kita untuk memahami gagasan tersebut adalah dengan merujuk kepada konsep-konsep Al-Quran lainnya yang berkaitan erat.

Dengan begini, 'ilm juga mempunyai arti ibadah, yaitu bahwa menuntut 'ilm merupakan suatu bentuk ibadat. Demikian pula, 'ilm juga mencakup konsep Al-Quran tentang khilafah: dengan demikian manusia mencari 'ilm sebagai khalifah Tuhan; karena jika 'ilm dicari di luar kerangka ini, maka hal itu melanggar konsep dasar Islam, tauhid. Selain itu, cara mendapatkan 'ilm dan penggunaannya oleh individu dan masyarakat adalah sesuatu yang menuntut tanggung jawab: konsep Al-Quran tentang akhirah (Hari Akhir) membatasi ilmu agar selalu menjamin relevansi moral dan sosialnya. Dimensi-dimensi 'ilm tersebut, yang baru sebagian dari amat banyak dimensi-dimensi lainnya, melukiskan sifat kompleks dan canggihnya konsep ini.

Sintesis dari sederetan prinsip dan gagasan ke dalam sebuah konsep tunggal 'ilm yang merupakan satu kesatuan ini, adalah salah satu ciri dasar pandangan-dunia Islam. Sintesis universal inilah yang menghancurkan batas-batas artifisial dari apa yang dinamakan pengetahuan religius dan pengetahuan sekular. Dan adalah sintesis universal ini pula yang menegaskan bahwa, bagi seorang Muslim, pengetahuan bukan merupakan tindakan atau pemikiran yang terpencil dan abstrak; ia terletak pada bagian yang paling dasar dari kemaujudan dan pandangan-dunianya.

Maka tidaklah mengherankan jika 'ilm memiliki arti yang demikian penting untuk kaum Muslim pada masa awal Islam, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir Muslim yang larut dalam upaya mengungkapkan konsep ini. Konseptualisasi 'ilm yang mereka lakukan mungkin paling nyata kelihatan dalam upaya mendefinisikan 'ilm; tampaknya kita tidak akan kekurangan definisi.

Upaya para sarjana dalam mendefinisikan 'ilm dalam seluruh bentuknya yang tidak ada habis-habisnya ini, diilhami oleh kepercayaan bahwa 'ilm tidak lebih dari perwujudan tauhid: "memahami tanda-tanda Tuhan", dekat dengan-Nya, sepeni juga membangun sebuah peradaban, membutuhkan suatu pencarian pengetahuan yang komprehensif.

Sebagaimana diamati Rosenthal: "Sebuah peradaban Muslim tanpa hal itu akan tidak terbayangkan oleh. orang-orang Muslim Abad Pertengahan sendiri, lebih-lebih pada masa sebelumnya. Perubahan tidak diharapkan menggantikan ani sebenarnya. Karena, bagaimanapun, sebagai sebuahkonsep ia sangat penting, dan sekumpulan pemikiran yang luar biasa diberikan kepadanya pada setiap waktu dan pada setiap tingkat pendidikan."[1]

Tentu saja, perubahan tidak mengganti arti fundamental dari konsep itu. Definisi-definisi baru dari konsep ini tidak bermaksud mengubah aninya, tidak juga mengakibatkan penundukan diri kepada sebuah pandangan-dunia yang baru (dan sempit) ini.

Hal-hal yang disebutkan tadi merupakan upaya memahami konsep tersebut dari sudut pandang situasi yang baru, meluaskan batas-batasnya untuk memasukkan wilayah-wilayah yang sebelumnya terabaikan, dan menggali makna dan kepentingannya dari titik yang menguntungkan dalam masa depan yang harus berubah.

Namun demikian, ada suatu pengecualian dalam upaya ini: aliran pemikiran Sufi. Bagi para Sufi, definisi ‘ilm telah jelas: mereka mencoba untuk menjauhkan ilmu dari strukturnya yang menyeluruh dan membatasinya dengan cara pandang yang sempit.

Kebanyakan tokoh Sufi secara praktis menghindari penjelajahan intelektual terhadap konsep ini. Sebagai contoh, komentar berikut dari tokoh Sufi terbesar, Syaikh Muhyiddin Ibn Al-Arabi (wafat 543/1148) menunjukkan sikap Sufi terhadap 'ilm:
Pengetahuan merupakan sebuah konsep yang terlalu jelas untuk memperoleh penjelasan, namun pembaharu-pembaharu melakukan bid'ah dengan berkeinginan untuk menyulitkan (membuat kompleks) pengertian istilah "pengetahuan" dari konsep-konsep religius dan intelektual lain. Tujuannya ialah menyesatkan dan memberi kesan keliru kepada masyarakat bahwa tidak ada gagasan apa pun yang dapat diketahui. Namun, ini adalah pernyataan tanpa dasar dan cara berpikir yang dicari-cari (sophistry).[2]

Kritik langsung terhadap pengetahuan tersebut dibuat untuk mendukung argumen akan perlunya apa yang dinamakan pencarian pengetahuan yang introspektif, di mana konsep-konsep seperti syari'ah (hukum Islam), thariqah (jalan sufi), haqiqah (kenyataan), dan yaqin (keyakinan keimanan) terkait secara tidak kentara. Sementara keabsahan konsep-konsep ini sebagai gagasan tidak ditentang oleh definisi-definisi 'ilm yang baru, secara implisit mereka menolak reduksionisme sufistik.

Secara historis, pelembagaan pemikiran sufi telah dimulai pada masa yang sangat awal dalam sejarah Islam, namun ia tidak dapat menempatkan dirinya sebagai hambatan evolusi intelek Muslim pada tahap-tahap pembentukannya. Dengan demikian, jauh sebelum Ibn Al-Arabi, kita temukan banyak sekali definisi 'ilm, sebagai tambahan kepada intelek Muslim yang sedang tumbuh bebas yang menjadi ciri empat abad pertama sejarah Islam.

Rosenthal[3] berdalih bahwa "kecenderungan-kecenderungan mistis bergabung untuk memberikan definisi-definisi ini sebagai titik awal mereka". Namun demikian, ia terjebak dalam kontradiksi-diri dengan menyatakan kemudian bahwa: ". . . para Sufi, walaupun sering memiliki obsesi tentang konsep penge-tahuan, dalam banyak kesempatan menghindar dari penggunaannya sebagai sebuah istilah. teknis, tepatnya karena "pengetahuan" dalam kapasitas ini telah lebih dahulu dimiliki Islam secara umum."[4]

Hujjah kami ialah bahwa perkembangan definisi 'ilm bukanlah tujuan itu sendiri, tidak juga ia terpisah dari evolusi keseluruhan pemikiran Muslim. Dalam satu segi ia merupakan upaya Muslim yang lebih luas untuk mensintesiskan pengetahuan.

Dalam hal ini para Sufi hanya memberikan sumbangan kecil. Mereka adalah teoretisi-teoretisi pengetahuan mistis dan konsep-konsep 'ilm yang filosofis, spekulatif, atau intelektual tetap berada di luar wilayah akademis mereka.

Suatu tinjauan atas klasifikasi Rosenthal terhadap definisi-definisi Muslim tentang 'ilm menghasilkan klasifikasi sebagai berikut:
(1) Sebuah proses mengetahui yang identik dengan yang diketahui dan yang mengetahui.
(2) Suatu bentuk kognisi (ma'rifah).
(3) Sinonim dengan pernaharnan (ihathah).
(4) Suatu prosespersepsi mental.
(5) Suatu cara penjelasan, pernyataan dan keputusan.
(6) Suatu konsep atau aturan yang tunduk kepada keyakinan.
(7) Suatu atribut (shifah).
(8) Suatu agen memori atau imajinasi.
(9) Gerakan (motion).
(10) Suatu istilah yang relatif.
(11) Terbatas dalam kaitan dengan tindakan.
(12) Suatu produk introspeksi.

Sebagaimana dikatakannya, masih ada lagi definisi yang dapat ditemukan dan diklasifikasikan seperti itu. Dan, bertentangan dengan pendapat umum terdahulu, definisi-definisi ini dan definisi lainnya tidak terbatas pada apa yang dinarnakan pengetahuan religius saja. Bahkan jika kita mengikuti duabelas kategori di atas, sebagaimana digambarkan oleh Rosenthal, kita dapati“ bahwa definisi 'ilm ini melingkupi suatu spektrum pemikiran filosofis yang sangat luas.

Di situ ada kesadaran yang jelas terhadap dimensi subjektif maupun objektif pengetahuan “sekalipun ada kenyataan bahwa dari sebuah perspektif tertentu, sebuah cabang pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai "objektif", sementara dari perspektif lainnya cabang yang sama dapat dianggap agak "subjektif".

Namun demikian, upaya-upaya menggambarkan 'ilm tidak terbatas hanya pada pendefinisian konsep tersebut. Sementara praktek kritik internal secara setia diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dearn mendefinisikan 'ilm, mereka pun terus bergerak jauh ke luar dari praktek pendefmisian fundamental ini.

Ini tampak jelas dari kenyataan bahwa debar yang terus-menerus tentang definisi 'ilm tidak berakhir dalam lorong-iorong yang gelap; definisi- definisi yang operasional ditekankan dan terus-menerus dicari. Dorongan bagi operasionalisasi pengetahuan diberikan oleh tuntutan moral yang mau tak mau berkaitan dengan struktur 'ilm. Di sini, sekali lagi, pencarian dan penyebaran 'ilm adalah sekaligus suatu kewajiban moral.

Pembagian klasik dari pengetahuan sebagai sesuatu yang halal atau haram, dan peranan pengetahuan sebagai kewajiban individual (fardhu 'ayn) dan kolektif (fardhu kifayah) sudah terlalu banyak diketahui untuk diterangkan di sini. Cukuplah dikatakan bahwa amal (tindakan) dinyatakan sebagai bagian dari 'ilm dan 'ilm tanpa amal tidaklah dapat dipahami. Ini tentu saja merupakan strategi operasionalisasi untuk 'ilm dan ia dibimbing, dalam semangat dan isinya, oleh konsep sentral Islam: tawhid dan ketentuan-ketentuan moral yang dikandungnya. Sesungguhnya, tuntutan moral “fungsi yang dipenuhi oleh pengetahuan“ baik ia "objektif" maupun "subjektif", "halal" atau "haram" ditentukan oleh kriteria tunggal: nilai moralnya.

Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik sadar betul bahwa sementara sebuah cabang pengetahuan atau secercah informasi tertentu, mungkin mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, ia dapat juga mempunyai pengaruh yang merugikan bagi masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Pencarian kebenaran mensyaratkan bahwa ia dilakukan dalam batas-batas moral dan hasilnya harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Mereka sadar bahwa pencarian kebenaran dapat menjadi penjungkirbalikan; bahwa ketika proses pencarian itu sendiri menjadi sebuah obsesi, maka "kebenaran" kehilangan ani moralnya. Bahwa "kebenaran" dapat dibuat tampak "objektif"; bahwa di atas Kebenaran Mutlak, penilaian tentang kebenaran dapat bersifat relatif.

Penghargaan terhadap kompleksitas dan multidimensional 'ilm paling baik ditemukan dalam pemikiran Ibn Hazm Al-Qurthubi (wafat 456/1064). Ia adalah seorang ensiklopedik, penulis dari 400 karya terkenal dari kesusasteraan sampai filsafat dan kedokteran, seorang intelektual besar yang luar biasa. Ia merupakan bukti unik bagi kebesaran material dan intelektual Muslim Spanyol dan dapat melihat baik mereka yang ambruk di bawah tekanan politik yang picik maupun konflik-konflik sektarian. Tergerak oleh peristiwa-peristiwa ini dan terilhami untuk menarik masyarakat Andalusia ke jalan yang benar, ia memilih sebuah aktivitas yang sekaligus bersifat politis dan intelektual. Sayangnya, filsafat pembaruannya tidak mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat Muslim Spanyol yang sedang merosot; ia diasingkan dan dituntut; dan karya-karyanya sering dilarang.

Selama kurun waktu sebelum Ibn Hazm, perdebatan kaum Muslim tentang 'ilm telah mulai membeku secara bertahap. Apa pun yang ada pada akhir abad ke-3 H dianggap sebagai warisan yang berharga dan hanya sedikit bahan baru yang ditambahkan. Sebagaimana diamati Rosenthal: "Suatu saat akan ada seorang tokoh besar, seperti misalnya Al-Asyrafi (sekitar tahun 900 M) atau Al-Baqillani, (wafat 403/ 1013) yang memasukkan beberapa definisi khusus dalam ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya, dan kemudian namanya menjadi terkait kepada definisi tersebut dan memberinya label-label klasifikasi yang berguna yang selalu sangat dihargai oleh pembuat-pembuat sistem filosofis dan teologis."[5]

Dengan demikian, kreativitas individual telah merosot menjadi pemujaan terhadap "guru" yang tak masuk akal.

Yang lebih berbahaya dari praktek-praktek pemujaan dan perdukunan intelektual, adalah munculnya dikotomi konseptual. Misalnya, dalam batas-batas tertentu, sebagai akibat yang wajar dari ajaran-ajaran sufi, pendefinisian pengetahuan menjadi yang terpuji (mahmud) dan yang tercela (madzmum), tampak terlalu menekankan pengetahu. an keagamaan dengan mengorbankan cabang-cabang pengetahuan lainnya.

Ini merupakan suatu kontradiksi besar yang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi berbahaya pada periode terakhir itu dan meninggalkan bekas kultural yang tidak dapat dihilangkan pada masyarakat Muslim; yakni, kontradiksi antara semangat pandangan-dunia Islam pada satu sisi, dan pada sisi lainnya semangat epistemologi Muslim. Lebih dari itu, wilayah jangkauan tuntutan moral dibatasi pada pengetahuan religius, sementara menuntut ilmu-ilmu "sekular" diserahkan kepada kebijaksanaan individual dengan lubang-lubang besar yang memungkinkan lepasnya ketajaman moral. Ini adalah skisma intelektual dalam ukuran yang amat besar yang menciptakan kerancuan luar biasa pada tingkat peradaban.

Mungkin, dunia Muslim yang terhanyut ke arah kejahilan ini, masih sangat menderita dari keterkejuran awal tersebut di atas. Tidak diragukan lagi, pada parameter peradaban, ia mengejek dirinya sendiri dengan mengikuti secara kaku batasan-batasan palsu ini. Pokok persoalan yang harus diingat sederhana saja: pembagian-pembagian yang tampak pada kita tidaklah mutlak, tetapi sifatnya operasional; dan kedua-duanya mengemban kewajiban moral.

Seperti itulah lingkungan filosofis ketika Ibn Hazm muncul di kancah intelektual. Pada masa itu ada ilmuwan-ilmuwan agama yang melawan ilmuwan-ilmuwan sekular dengan menentang sekularisasi pengetahuan. Tampaknya tidak ada jalan tengah dan arbitrasi pun tidak mungkin. Namun demikian, Ibn Hazm berusaha memainkan peranan sebagai penengah dalam menjelaskan tentang epistemologi Islam.

Sebelum Ibn Hazm, pemikir Muslim, Al-Amiri (w. 309/922), telah merasakan panas yang diwariskan oleh sekularisasi 'ilm yang dinyatakan tanpa bukti dan mencoba berdalih demi keuntungan ilmu-ilmu pengetahuan "sekular" dengan menyatakan bahwa bidang-bidang pengetahu- an ini disesuaiakan dengan akal murni dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip "ilmu-llmu agama". Tetapi, tetap saja kejeniusan Ibn Hazmlah yang menjelaskan suatu teori pengetahuan dalam menghidupkan-kembali semangat awal epistemologi Islam.

Beberapa buah karya Ibn Hazm, seperti Maratib Al-'Ulum, Ihkam, Al-Fisal fi Al-Milal wa Al-Alwa wa Al-Nilal, dan Al-Taqrib li Hudud Al- Mathiq, dimaksudkan untuk membahas panjang lebar tentang konsep pengetahuan. Menurut Ibn Hazm, ada empat kebajikan utama pengetahuan, yakni keadilan ('adl), keberanian (najdah), pemahaman (fahm), dan kemurahan hati (jud). Ilmu pengetahuan, sebuah konsep yang memiliki banyak segi, merupakan sarana untuk memperoleh kebajikan-kebajikan di dunia dan akhirat.

Ia mengakui adanya perbedaan dalam hakikat iman dan nalar, tetapi berdalih bahwa keduanya ditujukan kepada satu tuean yang sama: memperoleh kebajikan (fadha'il). Dengan demikian, ia mengukuhkan kewajiban moral yang secara implisit ada dalam pencarian pengetahuan “ seperti dinyatakan oleh pemikir-pemikir Muslim terdahulu.

Dalam hal ini, pandangannya “ tidak seperti sebagian dari pendahulu-pendahulunya dan juga pemikir-pemikir pada zamannya “ tidaklah dikaburkan oleh pembagian-pembagian operasional 'ilm menjadi yang patut dipuji dan yang patut dicela. Misalnya, dalam klasifikasi ilmu pengetahuannya, ia mengeluarkan ilmu gaib, alkemi, dan astrologi, bukan karena pertirnbangan-pertimbangan religius tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa ilmu-ilmu itu tidak cocok dengan kriteria logika atau kriteria moral mana pun. Dengan begitu, ia menampakkan kecemerlangannya yang luar biasa dalam mempertahankan konseptualisasinya tentang 'ilm yang terpadu dan menghindari perangkap ortodoksi disipliner yang berbahaya.

Ibn Hazm menyatakan pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi: mencarinya merupakan suatu kewajiban, dan perintah moralnya merupakan tujuan. Dengan demikian, menurut dia, pengetahuan harus dicari sesuai dengan potensi penuh diri seseorang, tetapi ia tidak boleh dijadikan alat eksploitasi material dan eksploitasi moral.

"Pada esensinya pengetahuan terdiri atas memahami wahyu-wahyu Allah, melaksanakan kebajikan-kebajikan moral, dan mengetahui realitas di dunia ini. Tujuan pengetahuan ialah mencari ridha Allah, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan untuk memperoleh suatu tatanan dunia yang mencakup kemanusiaan secara umum."[6]

Di dalam klasifikasinya, Ibn Hazm memberikan status istimewa kepada "ilmu-ilmu agama", tetapi tetap menjelaskan pendapatnya dengan gamblang sehingga apa yang dinamakan ilmu-ilmu pengetahuan filosofis atau sekular juga tidak terpisah-pisah. Dengan demikian, ia menempatkan iman dan nalar pada posisi yang hampir sama. Secara luas, ia berdalih bahwa tidak semua orang siap untuk berurusan dengan seluk-beluk filosofis, dan karenanya seseorang dapat memperoleh ketenteraman dalam iman.

Di sisi lain, ia membela pengandalan parla nalar dengan menyatakan bahwa iman saja tidak dapat memberikan jawaban-jawaban yang dapat menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang muncul segera dan adalah merupakan peranan nalar untuk menghilangkan skeptisisme dan ketidakpastian sehingga kebingungan tentang iman itu sendiri dapat diselesaikan. Dalam pendekatan yang sedemikian pragmatisnya itu, Ibn Hazm tampak tidak membuat iman tunduk kepada nalar, dan tidak juga ia bermaksud mengatakan bahwa penegasan atau peringatan iman bergantung pada nalar.

Di bawah ini ia menjelaskan keseimbangan yang lembut antara iman dan nalar dalam kata-kata seperti ini:
Fakultas intelektual (quwwah al-'aql) adalah yang menolong jiwa yang tajam untuk membuat kemenengan keadilan, untuk memilih apa yang diperintahkan oleh pemahaman yang benar dan untuk menjadi yakin dengannya, dan untuk membuatnya jelas dengan pertolongan lidah dan gerakan-gerakan jasmaniah lainnya dalam tindakan.[7]

Dalam memberikan kedudukan yang demikian tingginya kepada 'aql, ia menolak klaim orang-orang yang mengakui "introspeksi" (metodologi sufi) atau "teknik guru" (taqlid) untuk menuntut 'ilm. Kemudian Ibn Hazm beralih ke deskripsi yang rinci tentang basis fisik untuk pemaduan data inderawi dan bagaimana 'aql mewujudkan dirinya sebagai tahap perkembangan akhir dari alat-alat kognitif.

Bagi Ibn Hazm, iman dan 'ilm berasal dan sumber yang sama dan ia menganggap keduanya sebagai pemberian (mawhibah) dari Allah. Ia tidak lupa menekankan bahwa diperlukan ketajaman pandangan untuk memelihara suatu keseimbangan di antara keduanya. Ketajaman pandangan itu terletak pada pengakuan iman sebagai agen utama dan penghargaan terhadap 'ilm sebagai bagian dari iman. Sekali lagi, argumennya mendapatkan kekuatan dari kenyataan bahwa keduanya ditujukan pada sasaran yang sama. Menurut pendapat kami, Ibn Hazm, melalui klasifikasinya yang tajam tentang 'ulum (ilmu-ilmu) dan pembahasannya tentang asal-usul dan tujuan bersama iman dan nalar, memberikan suatu contoh yang jelas tentang beberapa ciri umum pemikiran epistemologi Islam yang mencirikan sejarah awalnya.

Sebuah contoh operasionalisasi 'ilm ada pada sejarah evolusi sains dan teknologi pada masa-masa awal Muslim. Peradaban Islam tampil ke muka pada saat peradaban sebelumnya, seperti peradaban Roma, Byzantium, Mesir, Yunani atau India telah hancur dan warisan mereka telah runtuh. Kaum Muslim keluar dari batas-batas gurun pasir Arabia, dengan cepat mengambil alih warisan yang berharga tersebut dan melalui suatu jaringan penerjemahan yang luas menjaga sumber pengetahuan tersebut.

Amat wajar jika kita bertanya mengapa tidak seperti peradaban- peradaban penakluk sebelumnya, hanya peradaban Muslim yang menunjukkan penghormatan kepada pengetahuan dan pemeliharaan serta penyebarannya. Apa yang mengilhami kaum Muslim untuk melakukan hal itu? Apa yang memotivasi mereka untuk menuntut pengetahuan itu dengan cermat dan teliti sampai pada tingkat memberikan sumbangan-sumbangan pelopor?

Menurut pemahaman kami, hanya acta satu kekuatan di balik itu semua: kekuatan konsep 'ilm dan keinginan akan operasionalisasinya. Dengan demikian, tiga atau empat abad pertama kehidupan peradaban Muslim, kita menyaksikan suatu intelek yang berkembang dengan dahsyat dan tampak hasil suatu operasionalisasi 'ilm yang universal. Dengan pertanda yang sama, kita boleh berdalih bahwa peradaban Muslim menempatkan dirinya sendiri pada jalan kemerosotan dan degenerasi dengan menurunkan konsep 'ilm pada jalan yang sempit dan kontradiktif dengan dirinya sendiri.

Rosenthal telah membuat sebuah pengamatan ringkas dengan menyatakan bahwa "konsep-konsep dan fungsi-fungsi pinggiran suatu peradaban dapat mengalami perubahan-perubahan tanpa mendapat kerugian, namun ketika konsep sentralnya dihadapkan pada perubahan, maka hal ini berarti hilangnya identitas peradaban ini dan bahkan dapat menandai masa akhirnya."[8] Inilah tentunya yang terjadi dengan peradaban Muslim. Seperti telah kita tunjukkan sebelumnya, kemerosotan dalam peradaban Muslim secara langsung ditimpakan pada konsep 'ilm yang menyimpang.

Dengan berlalunya waktu, lalu perpecahan politis yang meningkat, pertentangan-pertentangan fraksi dan sektarian, dan kejumudan, maka degenerasi ini menjadi semakin cepat. Sehingga, pada akhir abad ke-17, kolonisasi Barat atas dunia Islam telah dimulai, dan pada awal abad ke-20, kekuatan simbolik terakhir dari kekuatan politik Muslim, yakni khilafah Utsmaniyyah, telah musnah.

Selagi kita berjalan menuju abad ke-21, kolonisasi fisik atas dunia Muslim Islam tampaknya telah berakhir, walaupun ia terus diganggu oleh hegemoni militer, politik, dan ekonomi kekuatan-kekuatan Barat yang telah tertanam. Tetapi yang lebih berbahaya dari itu, kolonisasi yang tidak keIihatan terhadap pemikiran Muslim terus berlanjut. Dunia Muslim masih tetap mengabdi kepada nilai-nilai Barat, pemikiran-pemikiran Barat, dan gagasan-gagasan Barat tentang kemajuan intelek- tual. Lembaga-lembaga akademis di seluruh dunia Islam hampir-hampir tidak menawarkan suaru suasana yang inovatif unruk mempelajari 'ilm dalam makna tradisional dan holistiknya. Hampir tidak terjadi suatu perubahan nyata pada tingkat konseprualyang diharapkan dapat mendefinisikan respons kaum Muslim terhadap tantangan-tantangan ini.

Suatu reorientasi pemikiran Muslim yang lengkap harus dinyatakan sebagai tanggung jawab bersama seluruh umat. facia jantung reorientasi ini harus ada pencarian 'ilm yang mirip dengan suatu obsesi. Tentu saja, sudah pernah ada perubahan bentuk yang besar sejak Ibn Hazm mengembuskan napas terakhirnya. Namun demikian, universalitas pandangan-dunia Islam belum berubah. Demikian pula, tuntutan moral atas 'ilm belum berubah. Yang sudah berubah ialah cara produksi dan sistem-sistem serta struktur-struktur yang membangun pengetahuan. Lebih dari waktu-waktu sebelumnya, karena adanya korupsi massal dalam upaya-upaya intelektual yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan picik sains dan teknologi Barat, tuntutan moral dari 'ilm kini dibutuhkan untuk keuntungan kemanusiaan.

Namun demikian, penyakit-penyakit kita tidak seluruhnya diciptakan oleh tangan-tangan asing. Sekali kita menjatuhkan pandangan-dunia Islam yang integratif, menyatu, dan universal, dan kita melibatkan diri dalam pencarian-pencarian sempit yang dimulai dengan pandangan-pandangan beku-jumud tentang ilmu-ilmu yang mahmud dan madhmum, berarti kita telah menempatkan seluruh umat pada usaha bunuh diri. Dengan demikian, pencarian jiwa kita tidak boleh tetap terbatas pada ketakutan-ketakutan terhadap hal-hal berbau asing yang ritual sifatnya, tetapi kita harus menempatkan jiwa dan tubuh kita ini di depan forum-forum penuntutan.

Reorientasi intelektual umat harus dimulai dengan suatu pemahaman yang segar dan kritis atas epistemologi Islam klasik dan suatu rumusan kontemporer tentang konsep 'ilm. Perubahan harus ditafsirkan dalam kerangka struktur fisik-luarnya, dan infrastruktur dari gagasan epistemologi Islam yang abadi harus dipulihkan dalam keseluruhannya. Kita telah melihat bahwa peradaban kita telah menunjukkan kemampuan intelek dan aksi yang terpadu pada tingkat konseptual maupun operasional. Kemampuan ini adalah hasil pencarian abadi kita akan operasionalisasi 'ilm dan sintesisnya dengan pengetahuan yang berasal dari peradaban-peradaban lain. Dengan demikian, sebuah reorientasi seharusnya tidak merupakan suatu pengalaman yang baru bagi kita. Tetapi sekadar sebuah proses memperoleh kembali warisan kita yang hilang.

Dengan demikian, sebuah reorientasi intelek Islam harus mulai dengan mendefinisikan kembali 'ilm dalam bentuk yang kontemporer. Perubahan kultural dan peradaban harus bertindak sebagai pendahuluan bagi proses redefinisi ini. Sekarang ini, pembahaman-pembahaman pendidikan di seluruh Junia Islam lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan terhadap tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber 'aql-nya sendiri. Kekhususan-kekhususan fisikal dan struktural mesti mengikuti konfigurasi-konfigurasi konseptual. Jika kita tidak mendefinisikan-kembali tingkat-tingkat konseptual yang sesuai dengan warisan klasik kita, sebagaimana juga mendefinisikan-kembali pandangan-dunia Islam, maka kita hanya akan menoreh luka-luka intelektual kita sebelumnya.

Selain merupakan sumber inkonsistensi internal dan kesalahan- kesalahan epistemologis lainnya, kita harus ingat bahwa sistem pembentukan pengetahuan Barat menambah-nambah dikotomi berlebih- lebihan sebelumnya antara yang "religius" dan yang "sekular". Jika kita meniru sistem ini secara membabi-buta tanpa membangun infra-struktur konseptual kita sendiri yang kukuh, maka secara tak langsung kita telah menjadi sahabat pemberontak-pemberontak intelektual Barat yang telah berusaha keras mencemarkan apa yang dinamakan pengetahuan "religius".

Dalam kasus ini, kita tidak dapat menyelamatkan muka kita hanya dengan menambahkan awalan yang tak berarti “Islamisasi“ terhadap seluruh batang-tubuh pengetahuan Barat;
Perjumpaan kita dengan apa yang dinamakan ilmu-ilmu pengetahuan "sekular" bukanlah hal yang baru. Di dalam sejarah, dahulu kita pernah menghadapi tantangan terbesar untuk membuat sintesis dari suatu batang-tubuh pengetahuan yang, tidak seperti sistem-sistem Barat, berdasar pada keragaman sistem-sistem nilai dan struktur-struktur kepercayaan.

Kita memiliki bukti historis yang kuat bahwa epistemologi Islam yang terpadu telah berhasil mencapai suatu sintesis dari dunia kenyataan yang beragam itu menjadi sebuah konsep dan struktur terpadu 'ilm. Ilmu-ilmu, seperti yang dikonseptualikan, yang didefinisikan dan dioperasionalkan di Barat, berada pada tingkat yang dangkal jika dibandingkan dengan gagasan 'ilm yang menyeluruh yang tetap menjadi tonggak peradaban awal Islam. Di dalam menjual 'ilm dengan "pengetahuan" (knowledge), kita juga harus ingat defisit intelektual terus menerus yang kita datangkan.

Di dalam batas-batas 'ilm, dua sifat berlaku sebagai garis petunjuk bagi operasionalisasinya: tindakan (amal) dan kebajikan (fadh'ail). Reorientasi kita harus berusaha memasukkan kedua konsep ini pada tingkat operasional. Jika konsep-konsep ini kita hirup dalam-dalam, kita akan menyadari bahwa pengetahuan yang dihasilkan di bawah skema konseptual ini merupakan agen dari manfaat-manfaat universal yang menyaltirkan perbendaharaan besar intelek manusia menuju penerapan universal, jauh dari hegemoni politik sejumlah kecil "rasionalis" atau "pemberontak-pemberontak intelektual". Umat Islam.

dengan menganut pandangan-dunia Islam, dalam hal ini memiliki dua tanggung jawab terhadap dirinya sendiri: untuk membuat atau menghasilkan dasar 'ilm-nya sendiri, sebuah sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi yang organis; dan suatu tanggung jawab moral terhadap umat manusia dan alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi kesejahteraan material dan spiritual yang terbaik. Ini adalah tanggung jawab individual yang dapat dinisbahkan kepada umat sebagai suatu keseluruhan organik dan tanggung-jawab bersama yang meluas hingga kemanusiaan seluruhnya.

*. Diterjemahkan oleh Monik Bey dari artikel Munawar Ahmad Anees, "Revitalizing 'Ilm", Afkar/Inquiry, Mei 1986.


Referensi:

1. "Muslim Definitions of Knowledge" dalam Carl Leiden (ed.), The Conflict of Traditionalism and Modernism in the Middle East, University of Texas Press, Austin, 1966, hal. 117.
2. Lihat komentarnya dalam Al-Jami' Al-Shahih dalam Imam Al-Tirmidzi, Aridat Al-Ahwadzi, Volume 10, hal. 114.
3. Op.cit., hal. 117.
4. Ibid., hal. 125.
5. Ibid., hal. 117-118.
6. Dikutip dalam A.G. Chajne, Ibn Hazm, Chicago, Kazi Publications, 1982, hal. 67.
7. A.G. Chejne, op.cit., hal. 69.
8. Rosenthal, op.cit., hal. 117.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: