Foto: aguskhaidir.files.wordpress.com
Selama rezim Orde Baru berkuasa, sejarah disajikan dalam bahasa yang otoritatif, menentukan apa yang dianggap layak, atau kategori apa yang dianggap benar, serta bagaimana menimpakan hukuman pada mereka yang menyimpang.
Meminjam istilah Judith Butler bahwa setiap kata menimbulkan suatu “agency”, pernyataan tersebut merujuk pada hubungan antara aksi “illocutioinary” (suatu tindakan perkataan) dan aksi “perlocutionary” (suatu tindakan melalui perkataan tertentu, seperti “menamakan seseorang”). Makna suatu bahasa selalu tidak stabil, dan itu merupakan alasan mengapa politik kekuasaan selalu muncul di antara pembicaranya, dan melibatkan indikasi seperti ras, gender dan kelas sosial. Kondisi inilah yang disebut oleh Butler sebagai “linguistic vulnerability”, bahasa yang rentan. Dan dengan bahasa seperti inilah, Orde Baru menyajikan sejarah Indonesia.
Sampai detik ini, warisan cacat rezim otoriter Soeharto itu masih berdiri angkuh dalam buku-buku sejarah. Mereka yang tersunyikan dan terbisukan. Dan para eksil juga sastrawan Lekra, hanyalah bagian kecil yang mencoba menyuarakan kebisuan dan kesunyian itu. Seperti karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer, Zubir.A.A., Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T. Iskandar A.S., A. Kembara. Salah satu yang layak dicermati secara mendalam adalah catatan tentang pergerakan PKI yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan antek-anteknya pada 12 Desember 1926. Ini menjadi tonggak penting dalam kesejarahan perjuangan Indonesia melawan imperialisme bahkan sebelum munculnya Sumpah Pemuda 1928. Dalam konteks inilah, catatan Agam Wispi dalam cerpen “Rapat yang Penghabisan” layak mendapat apresiasi serius.
Greenblatt dalam “The Touch of the Real” menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal yang kita huni ini. Sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah periode yang sama karena sastra menjadi bagian di dalamnya. Hal ini demikian karena sastra berkaitan erat dengan jaringan praktik material.
Keputusan Prambanan 25 Desember 1925
25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Raya Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah: “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini”. Sardjono yang merupakan mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926.
Setelah itu, perlawananpun digelar secara spartan. Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pasca peristiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email