Pesan Rahbar

Home » » Surat Untuk Mamah Dedeh Tentang Hadis Penguburan Sayyidah Fathimah

Surat Untuk Mamah Dedeh Tentang Hadis Penguburan Sayyidah Fathimah

Written By Unknown on Wednesday 12 October 2016 | 03:13:00


Dalam salah satu edisi acara yang berjudul Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Mamah Dedeh agak kelewatan. Ini di antara yang meresahkan kami:

(1) MENGENAI riwayat bahwa Amru bin Ash (yang ikut dalam penguburan isteri Sayyidina Ali bin Abithalib bersama anak-anak beliau, Hasan dan Husain), bicara dengan tanah di saat pemakaman jenazah Siti Fatimah (ra), putri Nabi saw.

Kata Mamah Dedeh di situ, Amr bin Ash bertanya kepada tanah, “Wahai Tanah, tahukah engkau siapa jenazah yang aku masukkan ke dalam perutmu? Ini adalah Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah saw,” kata Amr bin Ash. Lalu tanah menjawab: “Buatku tiada bedanya siapa pun dia; yang beda cuma ketaqwaannya.”

Cerita itu mesti dikoreksi sebagai berikut:

Pertama, dari mana sumbernya kisah itu? Apakah itu ada dalam kitab Hadis Sohih? Bukankah hadis adalah perkataan dan perbuatan Nabi saw, bukan sahabat? Sejak kapan manusia bicara dengan tanah? Baru tahu ada orang bisa bicara dengan tanah, dan seolah-olah tanah lebih alim dari sahabat. Begitu hebatkah Amr bin Ash, sehingga ia mirip dengan Nabi Sulaiman, bicara dengan tanah atau hewan?

Kedua, tahukah Mamah Dedeh tentang siapa Amru bin Ash itu? Dia adalah musuh Sayidina Ali. Seorang sahabat yang kemudian bersekongkol dengan Muawiyah (pendiri dinasti Bani Umayyah yang kejam dan belakangan menyuruh orang membunuh Sayidina Ali saat solat di masjid). Bacalah sejarah Mamah Dedeh, sejarah yang ditulis oleh ulama yang netral, bukan yang membenci keluarga Nabi saw seperti Sayidina Ali dan Siti Fatimah (ra). Bacalah buku “Khilafah dan Kerajaan”, dan “Tauhid dan Syirik” (karya Jafar Subhani). Juga silakan lihat di sini. (http://www.alhassanain.com/indonesian/book/book/holy_prophet_and_ahlul_bayt_library/imam_ali/imam_ali/019.html)

*****
Imam Ali bin Abi Thalib bersama Qasithin (pasukan Shiffin)


Persiapan Muawiyah untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib

Pemindahan ibu kota pemerintahan Islam oleh Imam Ali bin Abi Thalib ke Kufah sangat menggusarkan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hal itu dikarenakan ia melihat bahwa pemindahan itu dengan maksud menyatukan negara Islam dan membangun kebudayaan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunah Nabi saw. Reaksi pertama yang dilakukannya adalah meminta bantuan Amr bin Ash sebagai konsultannya karena ia terkenal dengan tipu muslihatnya dan yang paling penting adalah adanya kesamaan dalam membenci Islam dan Imam Ali bin Abi Thalib. Amr bin Ash tidak menunggu lama setelah menerima surat Muawiyah. Selama ini yang menjadi tujuannya adalah ketamakannya kepada dunia. Ia tidak menganggap penting agama sekalipun dapat menjaminnya masuk surga sekalipun.

Sesaat ketika Amr bin Ash tiba di Syam ia langsung mempraktekkan rencana awalnya membohongi masyarakat dengan menangis tersedu-sedu seperti biasanya seorang wanita menangisi keluarga terdekatnya yang meninggal. Setelah menyusun rencana tipu muslihat, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash kemudian tawar menawar harga apa yang bakal didapat. Amr bin Ash memberikan syarat bahwa bila rencananya berhasil dalam menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib ia meminta menjadi gubernur di kota Mesir. Muawiyah bin Abu Sufyan menerima syarat tersebut dan langsung surat perjanjian ditulis olehnya.

Setelah sepakat keduanya mulai menyiapkan rencana bagaimana caranya menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib dan menjatuhkannya. Dan rencana yang akan dijalankan tidak jauh dari tipu muslihat. Karena tanpa tipu muslihat mereka tidak akan mencapai tujuannya menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib selaku pewaris sahih kekhalifahan sekaligus pembawa bendera kebenaran dan keadilan. Mereka sepakat menjadikan pakaian Usman bin Affan yang sebelumnya sengaja meninggalkannya sehingga terbunuh. Baju Usman dipakai untuk menggerakkan emosi dan akal masyarakat yang tidak sadar. Mereka berdua mengangkat baju Usman bin Affan di atas mimbar setelah dibawa ke Syam oleh Nu'man bin Basyir. Ketika orang-orang melihat baju Usman bin Affan yang dipakainya ketika ia dibunuh, serentak mereka menangis tersedu-sedu. Tanpa mereka sadari, rasa kebencian menguat menghunjam di dalam hati mereka. Mereka seakan-akan buta dengan petunjuk dan kebenaran.

Muawiyah bin Abu Sufyan membutuhkan dukungan yang lebih kuat dan solid dari masyarakat. Untuk itu, Amr bin Ash mempergunakan cara lain lagi selain baju Usman bin Affan. Ia memanfaatkan Syarahbil bin Samth Al-Kindi sebagai penggerak awal. Syarahbil dikenal sebagai orang yang banyak ibadah dan ditokohkan oleh kabilah-kabilah Syam. Syarahbil membenci Jarir selaku utusan Imam Ali bin Abi Thalib yang datang ke Syam menemui Muawiyah bin Abu Sufyan. Satu sisi dari sifat Syarahbil yang membuatnya mudah dimanfaatkan oleh Amr bin Ash karena ia tidak mengambil informasi dari sumber-sumber aslinya. Tipu muslihat ini sempurna karena Syarahbil ternyata menuntut Muawiyah bin Abu Sufyan untuk membalas dendam terbunuhnya Usman bin Affan. Tanpa sadar ia telah menjadi alat propaganda gratis dari pihak Muawiyah untuk mempengaruhi masyarakat untuk memerangi Ali bin Abi Thalib.


Menguasai sungai Furat

Setelah mobilisasi masyarakat Syam untuk berperang, Muawiyah meminta baiat dari masyarakat dan menulis surat kepada Imam Ali bin Abi Thalib menantangnya berperang yang dibawa oleh Jarir yang tunduk dan taat kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian dengan cepat Muawiyah membawa pasukannya bergerak ke daerah yang lebih tinggi dari sungai Furat di lembah yang bernama Shiffin. Ia sengaja menduduki tempat itu untuk mencegah Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya memanfaatkan air sungai Furat. Dalam siasat perangnya, Muawiyah menganggap menguasai daerah sungai Furat adalah kemenangan pertamanya. Benar saja, keterlambatan Imam Ali bin Abi Thalib menuju daerah tersebut memaksanya meminta kepada Muawiyah bin Abu Sufyan untuk memberikan kesempatan kepada pasukannya meminum air sungai Furat. Permintaan Imam Ali bin Abi Thalib itu ditolak mentah-mentah oleh Muawiyah. Rasa haus yang melanda pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang sebagian besar terdiri dari orang Irak semakin mempersulit dirinya karena mereka menuntut untuk tidak perlu lagi memblokade pasukan Muawiyah. Akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib memberi izin kepada pasukannya untuk menyerang pasukan Muawiyah yang bertahan di pinggiran sungai. Serangan itu membuahkan hasil dan kekuatan Muawiyah berhasil diusir dari daerah itu.

Setelah menguasai tepi sungai Furat ternyata Imam Ali bin Abi Thalib tidak melakukan pembalasan dendam dengan melakukan hal yang sama dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan izin kepada pasukan Muawiyah untuk ikut memanfaatkan air sungai Furat.


Usaha damai

Sekalipun Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk tetap mengirim surat untuk melakukan komunikasi agar mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bahkan Imam Ali bin Abi Thalib telah membuka beberapa kanal yang dapat menampung pandangan Muawiyah bin Abu Sufyan agar ia dapat tetap pada baiatnya, namun Muawiyah tetap bersikeras untuk memeranginya. Ia sudah mantap dengan niatnya untuk menghancurkan Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dengan segala cara. Melihat itu Imam Ali bin Abi Thalib belum merasa putus asa untuk tercapainya perdamaian antar kedua pasukan. Imam Ali AS. setelah menguasai daerah tepian sungai Furat mengusulkan untuk diadakan gencatan senjata sementara yang dipergunakannya dengan mengirim utusan kepada Muawiyah bin Sufyan. Mereka yang diutus adalah Basyir bin Muhsin Al-Anshari, Said bin Qais Al-Hamadani dan Syibts bin Rub'i At-Tamimi. Imam Ali bin Abi Thalib menasihati mereka, 'Temui orang itu (muawiyah) dan ajaklah ia kepada Allah, ketaatan dan jama'ah (persatuan)'.

Jawaban yang diberikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan adalah tetap dan sama yaitu pedang dan perang. Ia berkata kepada utusan Imam Ali bin Abi Thalib, 'Enyahlah kalian dari sisiku. Antara kita tidak ada yang lain kecuali pedang (perang)'.


Perang setelah gencatan senjata

Terjadi peperangan kecil-kecilan antara kedua pasukan namun belum meletup menjadi peperangan besar. Namun, setelah itu kedua pasukan keluar dengan kekuatan penuh saling berhadap-hadapan dan perang pun dimulai. Peperangan terhenti ketika memasuki bulan Muharam tahun 37 H dan terjadi gencatan senjata untuk kedua kalinya. Dalam masa gencatan senjata ini Imam Ali bin Abi Thalib memanfaatkannya untuk mencapai perdamaian dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ide Imam Ali bin Abi Thalib adalah mengajak untuk berdamai, menyatukan kalimat dan tidak menumpahkan darah sesama muslim. Sementara Muawiyah bin Abu Sufyan mengajak pengikut Imam Ali bin Abi Thalib untuk meninggalkan baiat kepadanya sekaligus menuntut darah Usman bin Affan. Gencatan senjata berjalan hingga satu bulan penuh. Perang kecil-kecilan yang terjadi cukup lama mengakibatkan kedua pasukan sama-sama mengalami kelelahan. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyiapkan pasukannya untuk peperangan besar, hal yang sama dilakukan juga oleh Muawiyah. Kedua pasukan kemudian bertemu dan memulai peperangan yang sangat hebat dan mencekam. Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa mewasiatkan pasukannya dengan ucapannya, 'Jangan kalian membunuh musuh sebelum mereka melakukannya terlebih dahulu. Alhamdulillah kalian berada dalam kebenaran'. Kemudian beliau melanjutkan, 'Bila mereka memerangi kalian pasti kalian akan dapat mengalahkan mereka. Jangan membunuh pemimpin, orang yang terluka, jangan membuka aurat dan jangan berpura-pura mati'.

Peperangan terus berlanjut. Ada yang melarikan diri dari medan pertempuran sebagaimana masih banyak yang tinggal dan bertempur. Jumlah yang mati dan terluka dari kedua belah pihak sangat banyak mencapai angka puluhan ibu.


Kematian Ammar bin Yasir

Diriwayatkan bahwa Ammar bin Yasir keluar dari barisan pasukan dan berkata, 'Sesungguhnya aku melihat wajah-wajah orang yang senantiasa saling membunuh sehingga mereka penopang kebatilan mulai ragu. Demi Allah! Seandainya kami berhasil mengalahkan musuh sehingga mereka bagaikan orang-orang yang berpenyakit kurap yang ditelantarkan. Kami melakukan perang atas dasar kebenaran sementara mereka dengan landasan kebatilan'. Setelah itu ia kemudian maju menyerang ke depan menghadapi pasukan Muawiyah sambil mengucapkan syair:

Sebelumnya kami memerangi mereka karena tanzil (turunnya wahyu)

Sekarang kami memerangi mereka karena ta'wil (tafsiran wahyu)

Perang yang melenyapkan angan-angan dari orangnya

Yang menghilangkan kecintaan dari sang pecinta

Atau kebenaran kembali pada jalannya

Ammar bin Yasir yang terkenal dengan kebenaran dan keikhlasan serta keberaniannya maju terus ke depan menerobos pertahanan musuh. Anak-anak panah telah menghunjam di badannya bahkan Abu Adiyah dan Ibnu Jun As-Siksiki menikamnya sehingga menemui ajalnya. Mereka berdua berselisih paham dalam masalah kepala Ammar bin Yasir, siapa yang akan memenggalnya dan mengirimkannya kepada Muawiyah bin Abu Sufyan sementara Abdullah bin Amr bin Ash sedang duduk di situ. Ia berkata, 'Hendaknya kalian berdua memiliki perangai yang baik kepada tuannya. Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada Ammar bin Yasir, 'Wahai Ammar sekelompok orang yang zalim akan membunuhmu'.

Imam Ali bin Abi Thalib hatinya sangat galau ketika Ammar bin Yasir muncul untuk berperang. Ia tidak berhenti menanyakan tentang Ammar bin Yasir sehingga pada akhirnya diberitahukan kepadanya akan kesahidannya. Mendengar itu Imam Ali bin Abi Thalib langsung menyampaikan dirinya di tempat terbunuhnya Ammar bin Sufyan. Imam Ali bin Abi Thalib benar-benar sedih menitikkan air matanya. Telah berpisah darinya seorang penolong, pemberi nasihat dan saudara yang tepercaya. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyalati dan kemudian mengebumikannya.

Berita kematian Ammar bin Yasir tersebar di kedua belah pihak. Mendengar kabar itu, pasukan Muawiyah mulai gentar karena tahu siapa Ammar bin Yasir dan hadis Rasulullah saw tentangnya. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama karena lagi-lagi tipu muslihat yang dilancarkan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan mampu meredam gejolak yang sempat terjadi. Itu dipermudah dengan kesederhanaan pasukannya. Muawiyah menyebarkan berita bahwa yang membunuh Ammar bin Yasir adalah mereka yang membawanya ke medan perang. Lucunya adalah orang-orang Syam yang sederhana kemudian mempercayainya.

Diriwayatkan bahwa kabar tipu muslihat yang diberitakan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan akhirnya sampai ke telinga Imam Ali bin Abi Thalib dan akhirnya beliau berkata, 'Kami juga yang membunuh Hamzah karena mengajaknya ikut perang di Uhud?


Muslihat pengangkatan Mushaf

Peperangan berlanjut berhari-hari. Kesabaran pasukan Imam Ali bin Abi Thalib masih terlihat dan itu dikarenakan tujuan mereka adalah memenangkan kebenaran. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berdiri dan berpidato memeberi semangat kepada pasukannya untuk tetap bersemangat berjihad di jalan Allah. Ia berkata, 'Wahai para sahabatku! Kalian telah sampai pada apa yang menjadi tujuan kalian dan musuh kalian seperti yang kalian lihat. Yang tersisa dari mereka adalah nafas terakhir. Urusan perang ini bila berbalik maka yang akhir akan berubah menjadi awal. Mereka telah bersabar melakukan peperangan menghadapi kita padahal tidak berlandaskan agama. Sementara kita telah sampai dari mereka apa yang telah kita lakukan. Sementara keesokan hari, pagi-pagi sekali, aku akan menghakimi mereka kepada Allah swt'.

Kabar tentang pidato Imam Ali bin Abi Thalib sampai ke Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia melihat kekalahan sudah di depan mata pasukannya. Cepat-cepat ia memanggil Amr bin Ash sebagai konsultannya agar memberikan jalan keluar untuk peperangan keesokan hari. Ia berkata kepada Amr, 'Sekarang adalah malam bila menjelang esok kita belum memiliki rencana apa-apa maka Ali akan mengalahkan kita. Apa pendapat dan rencanamu?

Amr bin Ash berkata, 'Menurut evaluasiku anak buahmu sudah tidak tampak seperti anak buah Ali bin Abi Thalib dan engkau juga bukan dia. Ali bin Abi Thalib akan memerangimu karena kebenaran sementara engkau memeranginya karena hal lain. Engkau berperang untuk tetap hidup tetapi dia berperang agar cepat mati. Orang-orang Irak takut padamu bila engkau memenangkan peperangan ini. Sementara penduduk Syam tidak takut bila Ali bin Abi Thalib yang memenangkan peperangan ini. Sekarang, lontarkan sebuah ide yang bila pasukan Ali bin Abi Thalib menerimanya niscaya mereka akan saling berselisih satu dengan lainnya dan bila mereka menolaknya hasilnya juga sama, mereka akan berselisih. Ajak mereka untuk menjadikan Al-Quran sebagai penentu dan hakim antara engkau dan mereka'.

Muawiyah bin Abu Sufyan kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengangkat mushaf Al-Quran ke atas dengan ditancapkan di ujung tombak. Orang-orang Syam kemudian berteriak memanggil seterunya dari Irak, 'Wahai orang-orang Irak! Ini adalah Kitab Allah berada di antara kami dan kalian, lengkap dari awal hingga akhirnya. Siapa yang berada di dalam lobang orang-orang Syam setelah mereka dan siapa yang berada di lobang orang-orang Irak setelah mereka?

Seruan yang penuh dengan tipu muslihat ini bagaikan petir yang menyambar kepala pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Keadaan mulai tidak tenang, timbul bisik-bisik di sana sini. Akhirnya mereka terpengaruh juga dengan seruan tersebut dan berkata, 'Kami akan menjawab seruan itu dan mengikutinya. Kami akan kembali kepada Al-Quran'. Dari anggota pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang paling getol mengampanyekan seruan tesebut salah satu dari komandan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang bernama Al-Asy'ats bin Qais.

Melihat keadaan yang semakin kacau dan tidak terkendali Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada mereka, 'Wahai hamba-hamba Allah! Lanjutkan rencana kalian yang telah menjadi hak kalian yang berada di atas kebenaran dan perangi musuh-musuh kalian. Muawiyah bin Abu Sufyan, Amr bin Ash, Ibnu Abi Mu'ith, Habib bin Abi Maslamah dan Ibnu Abi Sarh serta Ad-Dhahhak bukanlah orang berpegangan teguh dengan agama dan Al-Quran. Aku lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Aku telah mengenal mereka semenjak kecil hingga besar dan tua. Mereka sejak dari kecilnya adalah orang orang-orang yang tidak baik. Aku perlu mengingatkan kalian, demi Allah, tujuan mereka mengangkat Al-Quran hanya untuk menipu dan melemahkan kalian. Kalimat yang mereka ucapkan memang benar namun tujuan yang diinginkan adalah kebatilan'.

Mayoritas mereka berkata kepadanya dengan memanggil namanya, 'Wahai Ali! Kabulkan yang mereka inginkan sesuai dengan Kitab Allah swt bila engkau diajak untuk berpegangan dengannya. Seandainya engkau menolak untuk menerima seruan tersebut niscaya kami akan meninggalkanmu seorang diri berperang dengan mereka atau kami akan melakukan sebagaimana yang dilakukan terhadap Usman bin Affan!

Imam Ali bin Abi Thalib AS. tidak dapat berbuat apa-apa di depan pasukannya yang telah termakan tipu muslihat pasukan musuh. Akhirnya ia berkata, 'Bila kalian masih menaati aku maka mari kita pergi berperang, namun bila kalian ingin membangkang dari perintahku maka lakukanlah apa yang kalian suka'.

Di medan pertempuran Malik Al-Asytar maju dengan gagah berani dan dengan penuh keyakinan. Ia berhasil merangsek ke depan memukul mundur barisan musuh sehingga hampir sampai di tempat Muawiyah berada. Orang-orang, pasukan Imam Ali, yang melihat kejadian tersebut berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib, 'Perintahkan orang untuk menemui Malik agar kembali! Akan tetapi Malik Al-Asytar tidak menggubris semua itu dan tetap melanjutkan peperangan. Ia tahu benar bahwa pengangkatan mushaf Al-Quran hanya tipu daya Muawiyah bin Abu Sufyan. Namun mereka kemudian tidak diam karena langsung mengancam untuk membunuh Imam Ali bin Abi Thalib. Melihat kenyataan itu Malik Al-Asytar kembali dan langsung menuding mereka dan berkata, 'Demi Allah! Kalian telah termakan tipu muslihat mereka. Kalian diharap untuk tidak melanjutkan peperangan dan itu kalian terima. Wahai orang-orang yang dahinya hitam! Bukankah kita menganggap salat kalian adalah tameng dari godaan dunia dan menambah kecintaan untuk menemui Allah? Apa yang aku lihat hanyalah pelarian kalian dari kematian menuju dunia'.

Mereka ke depan dan menjawab bahwa Imam Ali bin Abi Thalib AS. setuju dengan seruan Muawiyah padahal Imam Ali hanya terdiam tidak berkata satu kata apapun sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan sedih. Pasukannya benar-benar telah termakan oleh tipu daya dan perang urat syaraf yang dilancarkan oleh pasukan musuh dan pada gilirannya mereka kemudian menjadi pembangkang. Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu berbuat apa-apa. Beliau kemudian mengucapkan apa yang mengganjal di hatinya, 'Bila kemarin aku adalah pemimpin kalian sementara sekarang aku menjadi rakyat yang dipimpin. Dan bila kemarin aku melarang kalian untuk berbuat sesuatu sekarang aku yang kalian larang'.


Penghakiman (tahkim) dan rekonsiliasi

Ternyata ujian yang menimpa Imam Ali bin Abi Thalib tidak berhenti pada pasukannya yang terperdaya. Karena sangat mungkin sekali setelah itu pasukan musuh bakal mendapatkan raihan politis lewat perundingan yang akan diadakan sebagai konsekuensi menerima seruan sebelumnya. Peluang tersebut akan semakin terbuka bila mereka yang membangkang dari perintahnya mau mengikuti permainan yang sedang dijalankan musuh dengan memilih seorang juru bicara dalam proses rekonsiliasi tersebut. Bila itu sampai terjadi Imam Ali bin Abi Thalib sudah mempersiapkan kandidatnya untuk dikirim berunding dengan pihak Muawiyah. Orang tersebut adalah Abdullah bin Abbas atau Malik Al-Asytar karena Imam Ali bin Abi Thalib mengetahui keikhlasan dan mawas diri keduanya. Namun pada saat yang sama mereka yang telah terbius dengan provokasi Muawiyah bersikeras agar Abu Musa Al-Asy'ari yang menjadi utusan dari mereka. Imam Ali bin Abi Thalib langsung angkat bicara, 'Kalian telah membangkang dari perintahku pada awalnya, maka sekarang jangan kalian membangkang lagi. Mengapa aku tidak memilih Abu Musa karena ia orang yang tidak bisa dipercaya. Ia telah memisahkan dirinya dari aku dan menjauhkan orang-orang dariku, di Kufah ketika hendak berperang dengan pasukan Aisyah, kemudian ia lari dari ku kemudian aku memberikan jaminan keamanan kepadanya setelah beberapa bulan setelah kejadian tersebut'.

Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash mampu memorak-porandakan barisan Imam Ali bin Abi Thalib karena dibantu dari dalam oleh Al-Asy'ats bin Qais yang memainkan peran musuh dalam selimut.

Amr bin Ash secara aklamasi dipilih menjadi perwakilan dari kubu Muawiyah untuk merumuskan poin-poin kesepakatan bersama Abu Musa Al-Asy'ari. Amr bin Ash tidak menyetujui penulisan kata 'Amir mukminin' di kertas perjanjian. Imam langsung teringat dan berkata, 'Ini adalah hari yang sama pada perjanjian damai Hudaibiyah ketika Suhail bin Umar berkata kepada Nabi, 'Engkau bukan utusan Allah'. Kemudian Rasulullah saw berkata kepadaku, 'Apa yang terjadi padaku akan menimpamu juga. Engkau terpaksa menerimanya karena waktu itu kondisimu tertekan'.

Poin penting dalam perjanjian rekonsiliasi itu adalah gencatan senjata dan penghentian perang, kedua pihak harus kembali kepada Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelaksanaan kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak diundur hingga bulan Ramadhan tahun 37 H. Perjanjian itu sendiri ditulis pada bulan Safar pada tahun yang sama. Yang aneh adalah masalah menuntut balas atas pembunuhan Usman bin Affan sama sekali tidak dimasukkan walaupun hanya sekedar sinyal saja padahal masalah ini yang sebelumnya menjadi sebab orang-orang seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan kroniknya, orang-orang yang diberi amnesti setelah pembebasan kota Mekkah. Dan kesepakatan tempat pertemuan dua utusan untuk penghakiman akan diadakan di Daumatul Jandal.


Sikap cerdas Malik Al-Asytar

Diriwayatkan bahwa Malik Al-Asytar diminta untuk menjadi saksi perjanjian rekonsiliasi tersebut dan hendaknya membubuhkan tanda tangannya di situ. Malik Al-Asytar berkata, 'Tangan kanan dan kiriku tidak dapat membantuku untuk menuliskan nama di atas kertas perjanjian ini. Bukankah ini akan menjadi bukti di hadapan Tuhanku terhadap sikapku dalam menghadapi musuh? Dan bukankah kalian telah melihat kemenangan di hadapan mata?

Mereka mencoba mengadukan sikap Malik Al-Asytar kepada Imam Ali bin Abi Thalib bahwa ia tetap tidak setuju dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Yang diinginkan adalah terus berperang mengalahkan musuh.

Imam Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Demi Allah! Aku sendiri tidak rela dan belum memberikan jawaban atas apa yang telah kalian lakukan'. Kemudian oleh beliau ditambahkan, 'Aku sangat berharap bila saja aku memiliki dua orang seperti Malik Al-Asytar di antara kalian. Andai saja ada seorang saja dari kalian yang sepertinya bagaimana ia memandang musuh sebagaimana aku memandang. Ia pasti meringankan bebanku akan kalian. Aku sangat berharap ada sebagian yang tetap bertahan untuk tetap berperang dan itu akan membuatku menyenangi kalian. Aku telah melarang namun kalian tetap saja membangkang dari laranganku. Demi Allah! Kalian telah melakukan perbuatan yang menghancurkan kekuatan kita, meruntuhkan kenikmatan serta mewariskan kelemahan dan kehinaan.


Kembalinya Imam Ali bin Abi Thalib dan pemisahan diri Khawarij

Imam Ali bin Abi Thalib AS. kembali ke Kufah dengan berat hati, perasan yang berkecamuk dan dengan kesedihan yang mendalam. Ia melihat kebatilan yang diusung oleh Muawiyah bin Sbu Sufyan mulai menguat dan hampir sempurna sementara ia melihat pasukannya yang telah menjadi pembangkang tidak lagi taat dengan perintahnya.

Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah dan melihat penduduk kota sedih meratapi mereka yang terbunuh di medan perang. Sementara itu, ada sekelompok orang dari pasukannya yang berjumlah dua belas ribu memisahkan diri dari induk pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak ikut dengan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah mereka melintasi daerah Bahrwara'. Kelompok ini kemudian mengangkat komandan perang dari mereka sendiri yang bernama Syabts bin Rub'i. Sementara untuk imam salat mereka mengangkat Abdullah bin Kawai Al-Yasykari. Setelah itu bersama-sama meninggalkan baiat mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib yang kemudian, oleh mereka, diserahkan dalam pemilihan oleh kaum muslimin sendiri. Sikap mereka ini dimulai setelah penulisan perjanjian damai antara Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya. Hal yang sungguh aneh karena mereka tidak setuju dengan semboyan 'tidak ada hukum selain Allah' padahal merekalah yang mendesak Imam Ali bin Abi Thalib untuk menerima penghakiman (tahkim).

Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk memperbaiki cara pandang mereka dengan mencoba menasihati. Imam Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas sebagai utusannya dan mewanti-wantinya agar tidak terburu-buru berpolemik dengan mereka karena itu bisa membangkitkan kebencian dan rasa permusuhan mereka. Kemudian Imam Ali bin Abi Thalib menyusul Abdullah bin Abbas dan berbicara, berargumentasi dan meruntuhkan klaim mereka. Kelompok sempalan ini kemudian menerima apa yang diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan ikut dengan bersama-sama memasuki kota Kufah.


Pertemuan dua wakil 

Tiba waktunya kedua wakil dari Imam Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan untuk bertemu. Imam Ali bin Abi Thalib mengutus empat ratus orang dan sebagai pemimpinnya adalah Syuraih bin Hani. Abdullah bin Abbas diperintahkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk menyertai mereka dan menjadi imam salat berjamaah dan mengatur urusan mereka. Abu Musa Al-Asy'ari juga bersama-sama rombongan. Muawiyah bin Abu Sufyan mengutus empat ratus orang yang dikepalai oleh Amr bin Ash. Kedua kelompok ini kemudian bertemu di Daumatul Jandal.

Cepat-cepat beberapa orang dari sahabat tepercaya Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pengarahan dan nasihat kepada Abu Musa Al-Asy'ari. Mereka berusaha sekuat tenaga menunjukinya agar memahami dengan tepat bagaimana mengambil keputusan. Mereka sangat khawatir dengan tipu muslihat Amr bin Ash.


Keputusan penghakiman (tahkim)

Bertemu kedua wakil dari kedua belah pihak; Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash. Abu Musa adalah seorang yang buta masalah-masalah politik, lemah secara akidah dan kurang dalam meyakini dan mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib. Sementara Amr bin Ash terkenal sebagai ahli diplomasi, cerdik, ahli dalam masalah tipu muslihat dan senang melihat Ahli Bayt AS. enyah dari medan politik. Semua itu ditambah dengan ketamakannya akan kekuasaan dan didukung oleh partnernya Muawiyah bin Abu Sufyan.

Tidak berapa lama bertemu, Amr bin Ash sudah dapat mengetahui titik-titik lemah Abu Musa Al-Asy'ari dan bagaimana caranya menguasainya sehingga melakukan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu di ruang tertutup guna melepaskan kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Kemudian keduanya mengusulkan memilih Abdullah bin Umar bin Khatthab untuk menjadi khalifah.

Ibnu Abbas memperingatkan Abu Musa Al-Asy'ari agar berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam permaian Amr bin Ash. Ibnu Abbas berkata, 'Berhati-hatilah! Demi Allah, Aku punya firasat bahwa Amr bin Ash telah menipumu dan kalian berdua telah bersepakat untuk satu hal yang tidak engkau katakan. Ingat! Aku mengusulkan kepadamu agar memberikan Amr bin Ash kesempatan lebih dahulu untuk berbicara setelah itu bagianmu untuk berbicara. Amr bin Ash adalah seorang yang cerdik dan penuh tipu muslihat. Aku tidak merasa tenang bahwa ia akan memberikan engkau kesempatan yang membuatmu dan ia rela dan setuju bersama-sama. Bila engkau berdiri di hadapan manusia, ia akan membelakangimu dan tidak akan menyetujui sikapmu'.

Abu Musa Al-Asy'ari kemudian berdiri dan berbicara di hadapan manusia. Ia kemudian melepaskan dan menurunkan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Setelah itu Amr bin Ash berdiri dan berpidato serta menegaskan kembali tentang penurunan Ali bin Abi Thalib dari kekhalifahan. Setelah itu ia menetapkan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah.

Dengan tipu muslihat itulah Muawiyah bin Abu Sufyan memenangkan pertarungannya dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Orang-orang Syam kemudian mengucapkan selamat kepadanya sebagai pemimpin kaum muslimin. Sementara itu di sisi lain, orang-orang Irak tenggelam dalam fitnah dan yakin akan kesalahan apa yang telah mereka lakukan selam ini. Abu Musa Al-Asy'ari setelah peristiwa itu langsung lari menuju kota Mekkah. Ibnu Abbas dan Syuraih kembali ke Kufah menemui Imam Ali bin Abi Thalib.

*****

Ketiga, ada pun Siti Fatimah (ra) adalah salah seorang yang dijamin surga. Salah seorang Ahlul Bait Nabi saw (yang bersama Sayidina Ali, dan kedua putranya, Hasan dan Husain) dituliskan dalam Al-Quran.

Mamah Dedeh, bacalah lagi Qur’an Surat 33 (Al-Ahzab) ayat 33 serta Surat 42 (As-Syu’araa) ayat 23, dan tafsirnya, tapi jangan dari orang/ulama pembenci keluarga Nabi. Bacalah tafsir Al-Quran dari ulama yang netral atau sekelas Prof. Quraisy Shihab, atau Mahmud Syaltut Mesir. Menurut Al-Qur’an, kita semua pengikut Nabi saw harus mencintai Ahlil Bait Nabi saw, sebagai semacam ‘upah’ atas jasa Nabi saw yang membawa kita kepada agam Tauhid.

Keempat, belum lagi mengenai Sayidina Ali dan anak-anak-nya Hasan dan Husain, yang kata Mamah Dedeh ikut dalam penguburan itu. Tahukah Mamah Dedeh bahwa Sayidina Ali (juga kedua putranya ) adalah orang-orang yang dijamin surga oleh Nabi saw? Jika ada Nabi setelah Muhammad, maka dia adalah Ali bin Abithalib. Apa perlunya Amr bin Ash (yang merupakan kaki tangan Muawiyah dan musuh dengan Sayidina Ali) bicara begitu (kalau benar ia bisa biacra dengan tanah)? Sementara di sampingnya ada orang sealim dan ilmu agamanya setinggi Ali?

Dari cerita itu, terkesan seolah-olah bahwa Amr bin Ash lebih hebat dan lebih soleh dari Ali bin Abithalib, seorang khalifah (ke-4), yang bahkan Sayidina Abubakar (khalifah I) dan Sayyidna Umar (khalifah ke-2) pun hormat dan sering bertanya kepada beliau?

Kelima, di kalangan orang Arab, apalagi pada jaman sahabat Rasul saw, adalah sebuah hal yang tidak lazim ada orang lain yang bukan muhrim berpidato di pemakaman seorang wanita; apakah ini bukan untuk merendahkan putri Nabi dan suaminya (Ali), dan meninggikan sahabat yang lain? Naudzubillah. Hati-hati Mamah Dedeh. Jangan sampai Anda kualat pada keluarga Nabi saw yang dihormati luar biasa oleh semua pengikut Islam di dunia.

(2) SELANJUTNYA, mengenai tidak perlu memperdalam “rawi dan ratib”. Mamah bilang, yang perlu itu memperdalam Al-Quran. Setuju sih, tentu nomor satu adalah Al-Qur’an dan kemudian membaca Solawat; tetapi apakah Mamah tahu apa yang dibaca dalam rawi dan ratib? Bukankah itu isinya juga membaca solawat, doa-doa dan menyebutkan asma’ul husna? Janganlah semua dilarang oleh Mamah.

Bila suatu perbuatan (di luar ibadah mah-dhah) itu baik, janganlah orang dipatahkan dari kebiasaannya. Sampaikan saja bahwa hal itu oke; selama yang dibaca adalah menyebut nama Allah, dzikir, istighfar dan solawat – seperti ratib dan tahlil, dsb – tak perlu dipertentangkan. Kalau ingin menasihati untuk sering membaca Al-Qur’an, tentu saja itu boleh, dan bahkan harus diutamakan.

Namun, dalam hidup 24 jam itu seseorang tidak melulu ngaji terus. Ada saat solat, ngaji (hizb) Qur’an, ada saatnya baca wirid lain, ada saatnya bergaul dengan orang lain. Jangan buat seolah Islam itu kaku, dan menyeramkan, sehingga semuanya tidak boleh.

Mamah lihat donk orang yang masih banyak melakukan hal yang tidak perlu seperti bergunjing, gosip, jalan-jalan ke mall tanpa tujuan, atau malah banyak anak muda yang clubbing dengan mereka yang bukan muhrimnya. Jadi kalau ada yang wiridan, baca rawi, ratib dan tahlil (untuk yang meninggal), itu semua kan menyebut nama Allah,dan banyak menyebut nama Nabi saw dalam solawat.

Kesimpulannya: saya jadi ingin bertanya, apa Mamah Dedeh sudah jadi anggota Islam “garis keras dan galak” Wahhabi-Salafi- Takfiri yang membid’ahkan semua hal, dan membenci keluarga (Ahlul Bait) Nabi saw?

Lalu, jika Indosiar terbawa oleh kelompok garis keras, yang membid’ahan semua hal, dan mengkafirkan orang Muslim lain (yang beda aliran), maka berarti Indosiar sudah mendorong terpecahbelahnya warga kita. Kalau sesama Muslim saja sudah diperlakukan begitu (oleh kelompok garis keras Salafi-Takfiri), maka jangan heran bila nantinya umat agama lain (yang non Muslim) akan diserang oleh mereka. Kita tak ingin Indonesia terkoyak-koyak. Indonesia milik semua, baik mayoritas atau pun minoritas.

Mohon surat ini dibacakan kepada Mamah Dedeh.

Terima kasih.


CATATAN:

Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca MISYKAT dan dengan berbagai pertimbangan, nama dan akun pengirim tidak kami cantumkan. Bagi yang memiliki jaringan informasi dengan pihak televisi yang menayangkan acara Mamah Dedeh atau langsung dengan Ustadah Mamah Dedeh, mohon untuk menyampaikan surat ini.

(Miskat/Syiah-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: