Alexei Navalny is arrested at a rally in Moscow.
Sekitar 7.000 hingga 8.000 orang berunjuk rasa di Jalan Tverskaya, Moskwa dan daerah sekitarnya pada Minggu (26/3) , untuk memprotes praktik korupsi di lingkaran pemerintahan dan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Dmitry Medvedev, seperti dilaporkan Reuters.
Unjuk rasa, yang diklaim sebagai yang terbesar sejak gelombang demonstrasi anti-Kremlin pada tahun 2011/2012, terjadi setahun sebelum pemilihan presiden.
Presiden Vladimir Putin berhasrat besar untuk maju lagi dalam ajang Pilpres Rusia tahun depan untuk masa jabatan keempatnya, demikian Reuters melaporkan, Senin (27/3).
Namun, Navalny dan para pendukungnya berharap bisa menyuarakan ketidakpuasan publik atas praktik korupsi yang merajalela demi menarik lebih banyak dukungan warga.
Polisi Rusia menangkap ratusan pengunjuk rasa di seluruh negara itu, termasuk pemimpin oposisi Alexei Navalny, Minggu (26/3).
Reporter Reuters menyaksikan langsung bagaimana polisi menangkap Navalny, tokoh yang diharapkan bisa menyaingi Putin, ketika dia berada di Jalan Tverskaya, pusat kota Moskwa.
Jajak pendapat menunjukkan, partai oposisi liberal yang diwakili Navalny memiliki peluang yang sangat kecil dan tidak mudah menyaingi Putin yang berada di peringkat teratas.
Kremlin sebelumnya mengatakan, semua rencana aksi protes di pusat kota Moskwa, yang tidak diizinkan oleh pemerintah kota, dianggap provokasi liar.
Grigory Okhotin, salah satu pendiri OVD Info, organisasi hak asai manusia yang memantau kasus-kasus penangkapan dan penahanan, mengatakan, sekitar 600 orang ditangkap oleh Moskwa, Minggu (26/3).
Amerika Serikat mengecam tindakan pemerintahan Putin karena melakukan penangkapan dan “pemenjaraan” terhadap kebebasan berekspresi dan mengingkari nilai-nilai demokrasi.
"Kami menyerukan kepada pemerintah Rusia untuk segera melepas semua pengunjuk rasa damai itu,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Mark Toner, dalam sebuah pernyataan.
Washington juga menambahkan bahwa sungguh sangat disayangkan dan mempermasalahkan penangkapan Navalny.
(Reuters/Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email