Pesan Rahbar

Home » » Jaksa Masuk Desa, Bukan Sekadar Cari Perkara

Jaksa Masuk Desa, Bukan Sekadar Cari Perkara

Written By Unknown on Sunday 13 March 2016 | 12:56:00

Pos Pelayanan Hukum Terpadu di Singosari, Malang, Jawa Timur. (Foto: Repro buku: Penegakan Hukum di Negara Pancasila karya Sukarton Marmosudjono).

Program pemerintah era 1980-an. Hukum disampaikan dari pintu ke pintu, dari hati ke hati. Dilakukan di desa maupun kota, di darat maupun laut.

KETIKA hendak diangkat menjadi jaksa agung, Ismail Saleh sempat menolak. Dia merasa bukan orang yang cocok. Namun Presiden Soeharto mengatakan ini adalah penugasan, lebih tepatnya perintah. “Suara Pak Harto berubah ketika ia mengucapkan itu. Saya segera tahu diri,” ujarnya, dikutip buku Warisan (daripada) Soeharto. Jadilah Ismail Saleh menjadi jaksa agung periode 1981-1984, yang dipuji banyak kalangan sebagai jaksa agung terbaik di zaman Orde Baru.

Begitu diangkat, dia segera bekerja. Selain memikirkan kesejahteraan para jaksa, dia membenahi dan menertibkan administrasi hingga birokrasi kejaksaan. Dia tak segan memecat jaksa yang nakal. Dia rajin bikin inspeksi mendadak atau sidak. Ke luar, dia memerangi korupsi. “Siapapun tidak bisa menghentikan saya kecuali Tuhan dan presiden,” ujarnya.

Dia tak segan mengingatkan fungsi jaksa pada jajarannya. Dalam rapat kerja Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum, dia menguraikan kata “jaksa”, yang berasal dari bahasa Sanskrit, dhyaksa, memiliki empat macam ciri: candra, tirta, sari dan cakra; candra berarti bulan, yang mampu menerangi rakyat; tirta berarti air, menghanyutkan yang kotor; sari berarti bunga yang harum; serta cakra, menumpas yang salah.

“Dulu, jika rakyat punya masalah, maka ia akan datang ke jaksa dan hanya mengucap satu kalimat nyuwun adil, menyerahkan segala persoalan. Rakyat itu tidak macam-macam,” ujarnya, dikutip dalam Kompas 20 Mei 1981.

Ismail Saleh juga berusaha menanggalkan citra negatif korps kejaksaan. Dia sempat tersengat ketika pada 27 Juli 1981, seorang jaksa di Kraksaan, Jawa Timur, menembak seorang tersangka dan pembelanya. Padahal, sekira tiga bulan sebelumnya, dalam rapat kerja pimpinan teras Kejaksaan Agung dengan Kejaksaan Tinggi se-Indonesia, dia sudah menetapkan tahun 1981 sebagai tahun pembinaan.

Pada penutupan rapat kerja itu, seperti dimuat Kompas 30 Maret 1981, Ismail Saleh mengatakan: “Jadikanlah hari Bhakti Adhyaksa mendatang kembali ke desa.”


Bukan Cari Perkara

Tak sampai menunggu momentum Hari Bhakti Adhyaksa pada 22 Juli, Ismail Saleh meluncurkan program Jaksa Masuk Desa. Program ini bertujuan memeratakan kesempatan memperoleh keadilan melalui kegiatan pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum terutama bagi golongan yang kurang mampu. Dalam pelaksanaannya, Ismail Saleh selalu menandaskan: “Jaksa Masuk Desa bukan untuk menampung perkara apalagi mencari-cari perkara. Jika ada yang datang membawa perkara, supaya dijelaskan bagaimana dan ke mana perkara tersebut,” ujar Ismail Saleh seperti dimuat dalam Pembinaan.

Sebagai petunjuk pelaksanaan, Ismail Saleh mengeluarkan Surat Jaksa Agung RI No B-075/A-6 A/1981 tertanggal 23 April 1981. Setelah itu, dia mengeluarkan beberapa surat edaran mengenai pelaksanaan program tersebut, termasuk bahwa program ini tak mutlak dijalankan jika situasi dan kondisi tak memungkinkan. Karenanya, selama 1981, program ini dilaksanakan secara insidental dan tanpa anggaran khusus.

Setahun kemudian dia mengeluarkan instruksi perihal Program Penyuluhan Hukum dengan sasaran masyarakat pedesaan –kelak, dikembangkan untuk masyarakat perkotaan. “Hukum bukan semata-mata untuk menindak saja melainkan benar-benar hukum itu oleh masyarakat dirasakan sebagai pelindung dan pengayom dirinya,” tulis Ismail Saleh dalam instruksinya No Ins-006/J.A/5/1982. Bagi Ismail Saleh, penegakan hukum harus dibarengi pula dengan peningkatan kesadaran hukum.

Untuk memuluskan program JMD, Kejaksaan menggandeng kerjasama dengan kampus-kampus negeri dan swasta. “Para mahasiswa yang melakukan KKN di desa-desa biasanya meminta kami (jaksa penyuluh) untuk turut memberikan penyuluhan hukum di desa tempat lokasi KKN mereka,” ujar Setyo Untung Ari Muladi, yang saat ini menjadi kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, kepada Historia.

Namun Ismail Saleh menyadari melakukan peyuluhan hukum tidaklah mudah, dan hasilnya baru dapat dilihat dalam jangka panjang. Selain itu, bukan hal mudah pula memberikan pemahaman hukum yang bisa diterima masyarakat desa. “Segala sesuatu yang kering, sulit masuknya,” guraunya di depan Parlemen tahun 1982, seperti dikutip Pembinaan. Namun, dia menambahkan, “Meski terlihat formal, namun inti dari hukum adalah sentuhan kemanusiaan”.

Pada awal kemunculannya, Jaksa Masuk Desa dilaksanakan tanpa anggaran memadai. “Sekarang ini Jaksa Masuk Desa masih jual jamu,” ujar Ismail Saleh. Di tahun-tahun berikutnya, catat Ismail Saleh dalam Pembinaan, terhitung 9.000 desa sudah tersentuh program ini.

Guna memudahkan pelaksanaan di lapangan, satu tahun kegiatan penyuluhan dibagi menjadi empat tahap atau per triwulan. Pada triwulan pertama (April-Juni), biasanya para jaksa terjun melakukan pencarian data. Triwulan kedua (Juli-September) mulai penyuluhan dan identifikasi masalah. Triwulan ketiga (Oktober-Desember) tindak lanjut penyuluhan serta triwulan terakhir (Januari-Maret) disusun laporan kegiatan.

“Kegiatan penyuluhan hukum dilakukan oleh 6 orang petugas selama 7 hari berturut-turut,” tulis Ismail Saleh dikutip dalam bukunya Pembinaan.

Penyuluhan hukum mengggunakan beberapa metode seperti kunjungan dari rumah ke rumah, bertatap muka, metode PEKA (persuasif, edukatif, komunikatif, dan akomodatif), serta getok tular atau dari mulut ke mulut. Media pun dimanfaatkan dengan menjalin kerjasama dengan program Koran Masuk Desa dari Kementerian Penerangan. Koran yang menjadi bagian dari program Koran Masuk Desa memuat kegiatan atau materi penyuluhan hukum.

Dalam penyuluhan, ada beberapa materi yang disampaikan para jaksa: hukum pidana, perdata, hukum agraria, UU Perkawinan, narkotika, perkoperasian, penelantaran anak, serta transmigrasi. Supaya penyuluhan tak terkesan kering, atraksi hiburan pun dihadirkan.

Pihak Kejaksaan Agung membantah bahwa program JMD adalah program latah atau ikut-ikutan. “Program ini memiliki juklak tersendiri, didukung anggaran APBN, dan pada gilirannya mampu bersinergi dengan program ‘masuk desa’ lain seperti ABRI Masuk Desa, Koran Masuk Desa, Listrik Masuk Desa,” seperti dikutip Instruksi Jaksa Agung RI No: INS-003/J.A/5/1983.

Dari evaluasi setelah pelaksanaan program, setidaknya terdapat empat masalah yang selalu ditanyakan masyarakat: tanah, nikah, pencurian, dan pembunuhan. Dalam soal tanah, misalnya, Ismail Saleh menjelaskan kepada para jaksa yang melaksanakan program Jaksa Masuk Desa bahwa bukan rahasia lagi kalau orang kota yang banyak uang berburu tanah di pedesaan. Tentu saja mereka menghendaki tanah luas dengan harga murah. “Seandainya masyarakat desa tidak mengetahui soal hukum agraria dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, mereka mudah ditipu orang kota, apalagi jika main gertak dan main backing,” tegas Ismail Saleh.

Ismail Saleh menjabat jaksa agung hingga 1984. Dia kemudian menjadi menteri kehakiman dan menjalankan program yang mirip bernama Desa Sadar Hukum dan Hakim Masuk Desa (yang kemudian diganti jadi Keluarga Sadar Hukum).


Kehilangan Gaung

Penggantinya, Hari Suharto, meneruskan program ini. Hari Suharto bahkan bikin kegiatan Jaksa Masuk Laut, yang mulai berjalan sejak 1985. Kegiatan ini dilaksanakan di tujuh provinsi: Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Tujuannya: meningkatkan keamanan dan penegakan hukum di laut. Sasaran penyuluhan adalah nahkoda dan anak buah kapal patroli TNI Angkatan Laut serta aparat penegak hukum yang bertugas di laut seperti petugas patroli Bea dan Cukai dan polisi perairan.

Di masa Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, yang mulai bekerja pada 1988, muncul kegiatan baru bernama Pos Penyuluhan/Penerangan Hukum Terpadu (Poskumdu) yang bekerjasama dengan lembaga lain macam Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Kantor Dinas Agama.

Menurut Sukarton, dengan Poskumdu, Kejaksaan mampu membongkar beberapa perkara di masyarakat. “Melalui partisipasi masyarakat, kejaksaan mampu mengungkap penyelundupan rotan senilai satu milyar di Ujung Pandang dan manipulasi di Perumtel Bandung,” tulis Sukarton Marmosudjono dalam bukunya Penegakan Hukum di Negara Pancasila. Sukarton hanya bertugas selama setahun, kemudian digantikan oleh Singgih (1990-1998).

Menurut laporan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), sejak Repelita V (1989-1994), kegiatan penyuluhan hukum dilakukan melalui kunjungan dari rumah ke rumah, ceramah, pameran, pentas panggung, tatap muka, serta temu wicara. Pemerintah juga mengandalkan RRI dan TVRI untuk menyiarkan wawancara dan sandiwara atau sinetron yang bertemakan kesadaran hukum.

Total, catat Bappenas, selama Pembangunan Jangka Panjang I atau PJP I (1969-1994), kegiatan pemberian bantuan hukum sudah dilakukan di 27 provinsi yang mencakup 40.021 desa dan menyelesaikan 9.560 perkara, baik pidana maupun perdata. Sementara kasus yang ditangani dalam kegiatan konsultasi hukum, berkat kerjasama dengan 30 fakultas hukum perguruan tinggi negeri dan swasta, berjumlah 63.460 kasus selama PJP I.

Pada masa reformasi, program Jaksa Masuk Desa tak terdengar gaungnya. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, dikutip situs hukumonline 18 oktober 2011, tugas dan kewenangan jaksa sudah terlalu banyak. Dia menilai program penyadaran hukum bagi masyarakat perlu dihilangkan karena mubazir. “Sejauh mana keberhasilannya,” ujarnya. “Maka, kewenangan itu harus dihilangkan dari Kejaksaan. “Terlalu berat jika jaksa harus masuk ke desa. Menurut saya fokus saja ke penuntutan.”

Toh, hingga kini program itu masih berjalan di bawah Jaksa Agung Basrief Arief, dengan nama Pembinaan Masyarakat Taat Hukum (Binmatkum). Ketika disinggung kenapa gaungnya tak sebesar Jaksa Masuk Desa, Kapuspenkum Setyo Untung menjawab berdiplomatis: “Ini hanya soal sosialisasi di media. Binmatkum tetap jalan terus. tentu masih dengan semangat Jaksa Masuk Desa seperti dulu.”

Betapapun gencarnya, penyuluhan dan penerangan hukum tak akan berhasil apabila tak dilakukan dengan kesungguhan hati. Seperti tertulis dalam surat Ismail Saleh 30 tahun lalu: “Kesadaran hukum tidak akan tumbuh jika berangkat dari paksaan atau intimidasi".

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: