Dalam keadaan terkena malaria Diponegoro dibawa ke semarang dan kemudian dibawa ke Batavia dengan kapal Van der Capellen. Turut dengannya 18 orang lain termasuk istrinya, R. Ay. Retnoningsih, adik perempuannya, R. Ay. Dipowiyono dan iparnya Rd. Tumenggung Dipowiyono. Ia tinggal di Stadhuis (Balaikota) 8 April – 3 Mei 1830 bukan di penjara bawah tanah gedung itu tempat Kyai Mojo dan kelompoknya ditahan.
Kemudian ia dibawa ke pengasingan di Manado dan tinggal dalam benteng Amsterdam. Sekalipun menjadi tahanan, Diponegoro juga mendapat tunjangan per bulan sebesar 600 gulden. Dan kemudian dipindahkan ke Makassar pada Juli 1833.
Nah, para opsir Belanda yang membantunya mencatat bahwa Diponegoro amat keras kepala. Ia tidak peduli, atau bertanya apalagi memprotes saat uang tunjangannya dipotong menjadi 200 gulden per bulan. Ia sering cekcok dengan adik dan iparnya. Adik dan iparnya bahkan bilang, jika boleh memilih mereka lebih senang pulang ke Jawa terpisah dari sang pangeran.
Seorang tokoh Islam Manado Letnan Hasan Nur Latif menolak permintaan Sang Pangeran untuk melamar putrinya. Walau ditolak, ia tetap agresif dalam kehidupan seksualnya. Di pengasingan Manado dan Makassar, ia mempunyai lebih dari tujuh anak, sebagian dengan perempuan-perempuan Jawa di luar istrinya yang resmi.
Di pengasingan Makassar, Diponegoro tinggal di Benteng Fort Rotterdam sejak 11 Juli 1833. Ia tidak berniat lagi pulang ke Jawa sekalipun adik dan iparnya telah pulang ke Jawa demi menghindari konflik yang tiada usai dengan dirinya. Ia berhasrat naik haji ke Mekkah dengan uang tunjangan yang dia kumpulkan. Sayang, ia wafat karena usia tua pada Senin, 8 Januari 1855 setelah 25 tahun diasingkan. Keinginannya untuk naik haji tidak sempat terlaksana.
(Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855)
(Berbagai-Sumber-Sejarah/Memobee/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email