Andaikan aku mengetahui, wahai Tuanku, Tuhanku, Pelindungku, Apakah Engkau akan melemparkan ke neraka wajah-wajah yang tunduk rebah karena kebesaran-Mu, lidah-lidah yang dengan tulus mengucapkan keesaan-Mu dan dengan pujian mensyukuri nikmat-Mu, kalbu-kalbu yang dengan sepenuh hati mengakui ketuhanan-Mu, hati nurani yang dipenuhi dengan ilmu tentang Engkau sehingga bergetar ketakutan, tubuh-tubuh yang telah biasa tunduk untuk mengabdi-Mu dan dengan merendah memohon ampunan-Mu; tidak sedemikian itu persangkaan kami tentang-Mu, padahal telah diberitakan kepada kami tentang keutamaan-Mu. Wahai Pemberi karunia! Wahai Pemelihara!
Penafsiran Etimologis
Kata laita (andaikan) merupakan kata yang biasa digunakan untuk pengandaian dan pada umumnya digunakan untuk sesuatu yang telah berlalu, sebagaimana ungkapan syair ini:
Andaikan masa muda kembali sehari saja
Kan kuberitahukan yang dilakukan oleh ketuaan
Kata laita (andaikan pada syair ini merupakan penegasan untuk penafian atas sesuatu yang datang setelahnya, yakni ungkapan yang ada setelah kata itu mustahil akan terjadi. Sementara kata syi’r di sini memiliki arti pemahaman dan pemikiran.
Kata kharrat berasal dari kata kharra yang memiliki arti kehancuran sesuatu yang jatuh dari ketinggian, sebagaimana firman Allah: ... wa kharra Musa sha’iqa (dan Musa pun jatuh pingsan). (al-A’raf: 143)
Maka tatkala ia tersungkur (kharra), tahulah jin bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib, tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. (Saba’: 14)
Kata authan merupakan bentuk jamak dari wathan dan di sini memiliki arti tempat-tempat ibadah, tempat-tempat sujud, dan sebagainya.
Kata hakadza merupakan gabungan antara huruf ha’ tanbih dan huruf kaf khitab serta huruf dza isyarah, di mana kata ini merupakan bentuk penegasan atas kata yang datang setelahnya. Dan, lantaran kata ini didahului dengan huruf penafian, maka kata yang datang setelahnya mustahil akan terjadi.
Syarah dan Penjelasan
Berbagai kalimat yang ada pada bagian kurang lebih memiliki kemiripan dengan berbagai kalimat sebelumnya. Dan ini merupakan sebuah bentuk seni dan sastra dalam berbahasa. Selain menambah keindahan dalam berbahasa, ia juga merupakan keindahan dalam berdoa. Oleh karena itu, pengulangan dalam pengucapan beberapa kata dan kalimat dalam doa seperti: Wahai Tuhan (Ya Allah)! Wahai Pemelihara (Ya Rabb)! Wahai Pemberi karunia (Ya Karim)! Semuanya merupakan keindahan dan kelembutan tersendiri dan pengulangan kalimat-kalimat tersebut semakin menambah keindahan dan daya tarik khusus pada ungkapan itu.
Dalam doa ini, yang dipinta (mad’uw) adalah Allah Swt dan menggunakan lafadz Tuan, Tuhan, Pelindung, “Wahai Tuanku, Tuhanku, Pelindungku! Sedangkan yang digunakan sebagai sumpah dalam doa ini (mad’uwun bihi) adalah karunia dan ketuhanan Allah Swt, sebagaimana tertera dalam kalimat, “Wahai Pemberi Karunia, Wahai Pemelihara.” Dan permintaan untuk dijauhkan dan dihindarkan (mad’uwun lahu) adalah dijauhkan dan dibebaskan dari neraka.
Sang pendoa adalah hamba, yang lahir, batin, kalbu, dan seluruh anggota tubuhnya tunduk dan merunduk di hadapan Allah Swt. Ia menyibukkan diri dalam beribadah kepada Allah secara lahiriah dan batiniah. Oleh karena itu, seakan-akan ungkapan tersebut adalah seperti ini: “Aku adalah seorang hamba yang meyakini keesaan-Mu dan aku mengetahui dengan jelas bahwa hanya Allah-lah yang layak untuk disembah. Dan dengan lidah yang penuh syukur kepada-Mu, dan dengan istighfar yang muncul dari lubuk hati ini, aku memohon ampunan-Mu...”
Poin penting yang terdapat dalam pembahasan kita ini adalah bahwa mustahil Zat yang Maha Pemberi karunia dan Pemelihara akan menjerumuskan hamba-Nya yang telah bertobat, merunduk, merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mengakui berbagai dosa dan kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Peletakan ungkapan beliau di antara dua kalimat, yaitu kalimat wa laita syi’ri dan mahakadza dhannu bika adalah untuk menegaskan hujah di atas. Seakan-akan beliau berkata, “Wahai Kekasih-ku, Aku datang menghampiri-Mu dan aku memiliki hujah yang aku ungkapkan itu, yang merupakan hujah yang paling kuat, sehingga aku mengetahui bahwa mustahil Engkau mengingkari dan melanggar hujah yang telah aku nyatakan itu.”
Setelah semua ungkapan dan pernyataan ini ungkapan tobat dan kembali, muncullah ungakapa perindu kepada sang Kekasih. Ungkapan ini memberikan sebuah kenikmatan luar biasa bagi orang yang sedang merindu; kenikmatan yang sulit untuk disifati dan diceritakan. Mungkinkah penghuni dunia mampu mengetahui dan merasakan kertikmatan ini? Sama sekali tidak, mereka sama sekali tidak akan mampu untuk itu. Orang yang mampu merasakan nikmatnya pertemuan, dan berdialog dengan Allah Swt adalah sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat suci ini:
Lambung mereka jauh dari tempat tidur, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tiada seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (al-Sajdah: 16-17)
Bukan mustahil bahwa maksud dari firman Allah yang menyatakan bahwa tak seorang pun mengetahui kenikmatan dan kebahagiaan yang telah disediakan bagi mereka adalah bahwa mereka merasakan suatu kenikmatan yang tiada taranya, tatkala duduk bersimpuh menghadap Allah dengan berdoa dan bermunajat kepada-Nya, di waktu siang dan malam.
Oleh karena itu, arti kalimat yang diungkapkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam doanya ini, “Afaman kâna mukminan kaman kâna kâfiran lâyastawun (Maka apakah orang yang beriman sama dengan orang yang fasik (kafir); mereka tidak sama),” [15] adalah beliau, hendak mertegaskan bahwa sama sekali tidak sama antara mukmin dan fasik dalam merasakan kenikmatan ini. Inilah kenikmatan yang Maryam bin Imran merasakan kesenangan dan kepuaasannya, sehigga dengan kenikmatan itu turunlah kenikmatan surgawi ke dunia.
Itulah kenikmatan yang menjadikan kematian, pembantaian, dan luka menjadi sama sekali tidak berarti. Sebagaimana, yang dinukil dari sabda Imam Husain bahwa tatkala dibunuh beliau menyibukkan diri dengan bermunajat dan merasakan kesenangan dan kegembiraan.
Aku berasal dari dunia yang indah dan keindahan dunia berasal dari-Nya
Aku jatuh cinta kepada alam dan alam berasal dari-Nya
Aku rela meminum racuni demi menyaksikan Penuangnya
Aku rela menderita dan obat berasal dari-Nya
Oleh karena itu, pribadi semacam ini kehidupannya akan senantiasa kekal dan abadi sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (Âli ‘Imrân: 169)
Ya, untuk mencapai maqâm yang amat mulia itu seseorang harus “membunuh dirinya” di jalan Allah dan mengorbankan dirinya di jalan-Nya, sebagaimana yang telah dilakukan dan dipraktikkan secara langsung oleh para sahabat Rasulullah saww. Di antaranya adalah contoh di bahwa ini:
Seorang pemuda datang ke Madinah untuk berbagang. Tatkala bertemu dengan Rasulullah saww, ia merasa tertarik pada kepribadiaan beliau. Ketika sang pemuda tersebut kembali ke negerinya, maka kabilah dan kaumnya mengetahui perubahan yang terjadi pada dari sang pemuda ini. Mereka pun mengeluarkan berbagai ancaman dan bujukan agar sang pemuda kembali pada keadaannya semula (kekafiran), namun sang pemuda menolak dan tetap bertahan. Akhirnya, mereka mengutus seorang wanita muda untuk merayu pemuda meninggalkan ajaran Rasulullah saw tetapi pemuda tersebut berkata kepada wanita muda itu :
Jika kau tahu bahwa kenikmatan itu dengan meninggalkan kenikmatan
Maka kau akan tahu bahwa kenikmatan jasmani bukanlah kenikmatan
Kemudian ia berkata kepada wanita itu, “Apakah engkau mengetahui bahwa shalat merupakan sebuah kenikmatan mengingat dan menyebut nama Allah merupakan sebuah kenikmatan yang amat tinggi?” Akhirnya wanita muda itu meninggalkannya seraya berseru, “Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!” Kaum dan kabilah tersebut kemudian mengeluarkan sang pemuda dari rumahnya dalam keadaan telanjang.
Setelah peristiwa itu, ia pun senantiasa memohon kepada Rasulullah saw agar mendoakan dirinya mati di jalan Allah. Inilah maqâm yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang- orang yang suci dan bersih:
Sesungguhnya al-Quran ini adalah sangat mulia dalam kitab yang terpelihara (lauhul mahfudz ) tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (al-Wâqi’ah: 77-79)
Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan (diucapkan kepada mereka), “Keselamatan bagimu kerena kamu dari golongan kanan.” Dan adapun jika ia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka ia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu yang benar-benar diyakini maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Mahabenar. (al-Wâqi’ah: 90-96)
Ya, orang-orang yang suci adalah orang-orang yang hatinya disucikan oleh Allah dari rasa kebergantungan kepada selain-Nya. Oleh karena itu selain mereka mendapatkan berbagai kenikmatan surga mereka juga mendapatkan rauh dan raihân, yakni kebahagiaan ketenangan dan kedamaian mereka juga mendapatkan rezeki yang luas.
Jelas, bahwa kenikmatan orang-orang semacam ini bukan hanya sebatas kenikmatan jasmaniah saja, tetapi, sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah, mereka akan merasa nikmat senang dan bahagia manakala menyendiri berduaan dan duduk bersimpuh di hadapan-Nya. Rezeki yang mereka terima adalah salam sejahtera dari Allah: Salam sebagai ucapan selamat dari Tuhan yang Maha penyayang (salâmun qaulan min Rabbi al-Rahîm). [16]
Rezeki orang-orang golongan kanan adalah salam dari Rasulullah saww, “Keselamatan bagimu lantaran kamu dari golongan kanan.” Tetapi, rezeki orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah adalah salam sejahtera dari-Nya: maka ia akan memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Oleh karena itu, hidangan dan rezeki orang-orang semacam ini adalah berjumpa dengan Allah.
Rasulullah saww bersabda, “Jika sekiranya bukan karena setan-setan yang menutupi hati-hati bani Adam, maka mereka akan dapat menyaksikan kerajaan lagit dan bumi.”
Oleh karena itu, jika orang semacam ini diancam dengan pedang, ia tetap tidak akan melakukan perbuatan dosa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Jika saya menebas hidung seorang mukmin dengan pedang saya ini agar ia membenci saya, ia tidak aka membenci saya. Dan, jika saya curahkan semua isi dunia ini kepada orang munafik agar ia mencintai saya, ia tidak akan mencintai saya. Dan yang demikian itu lantaran telah ditetapkan maka menjadi tetaplah atas lisan nabi yang ummi bahwasanya ia bersabda, ‘Wahai Ali, orang mukminin tidak membenci Anda dan orang munafik tidak akan mencintai anda.’”
Dalam Bihâr al-Anwâr disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib memotong tangan seseorang (sebagai hukuman atas tindak kejahatannya,peny.). Orang tersebut kemudian mengambil potongan tangannya dengan tangannya yang lain. Ibnu Kawwa’, seorang Khawarij (pembenci Imam Ali,peny.), melihat kejadian tersebut dan bertanya kepada orang itu, “Siapakah orang yang memotong tanganmu?” Ia menjawab, “Tangan saya dipotong oleh penghulu para wasiy, penghulu wajah-wajah yang putih bersinar, orang yang paling berhak atas nyawa mukminin, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.” Ibnu Kawwa’ berkata kepadanya, “Ia telah memotong tanganmu dan sekarang Engkau justru memujinya?” Ia menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak memujinya, setelah kasih dan sayangnya menyatu dengandarah dan daging saya. Demi Allah, ia tidak memotong tangan saya, melainkan berdasarkan kebenaran yang datangnya dari sisi Allah.”
Alhasil, bagi seorang hamba yang memiliki rasa cinta kepada Allah Swt, berbicara dan berdialog dengan-Nya, berdoa dan bermunajat kepada-Nya, merupakan sebuah kenikmatan tiada bandingnya. Oleh karena itu, ia adalah seorang yang merasa senang dan rela atas berbagai keputusan Allah, dan Allah pun merasa ridha dan rela terhadapnya. Allah Swt berfirman:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam suga-Ku. (al-Fajr: 21-30)
Dalam ayat yang lam, Allah mengingatkan manusia agar tidak lupa dan lalai akan dirinya serta berbagai kenikmatan yang telah Dia curahkan kepadanya. Allah Swt berfirman:
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (al- Infithâr: 6-8)
Maksudnya, apakah yang telah menipu dirimu sehingga engkau berbuat semacam, itu terhadap Tuhanmu yang telah mencurahkan berbagai karunia-Nya dan menciptakanmu serta menyusun masing-masing anggota tubuhmu secara seimbang dan sempurna?!
Ayat di atas juga dapat ditafsirkan semacam itu. Tetapi penafsiran yang lebih rinci adalah bahwa Allah Swt menciptakan manusia dengan memberinya kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk dan menyusunnya dari sisi malakûti (non-materi) dan nâsûti (materi) serta menyeimbangkan pula antara keduanya.
Ringkasnya dengan ayat ini, Allah hendak mendoktrin manusia agar menyatakan, “Aku mengakui Pemeliharaan-Mu, Kemuliaan-Mu, penciptaanku yang berasal dari-Mu, serta pemeliharaan dan makanan yang berasal dari-Mu.”
Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam doanya, “Wahai yang mula- mula menciptakanku, menyebutku, dan mendidikku, memperlakukanku dengan baik, dan memberiku makan, berikanlah aku karunia-Mu karena Engkau telah mendahuluiku dengan kebaikan-Mu kepadaku.”
Beliau juga menyatakan, “Tidak sedemikian itu persangkaan kami tentang keutamaan-Mu, padahal telah diberitakan kepada kami tentang keutamaan-Mu. Wahai Pemberi Karunia! Wahai Pemelihara!”
Alhasil, pabila seseorang mampu memberikan jawaban atas firman Allah: Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah, dengan menyatakan, “Kemuliaan dan Pemeliharaan-Mu,” maka ini merupakan dalil dan argumen yang paling bagus. Orang yang mampu memberikan jawaban semacam itu di akhirat nanti adalah orang yang pada saat di dunia ini telah membiasakan diri berdoa dengan menggunakan kalimat tersebut Allah Swt berfirman:
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (Yâsîn: 65)
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (lagi) dan lebih tersesat. (al-Isrâ’:72)
Maksudnya siapa saja yang semasa hidupnya di dunia ini membangkang serta melanggar perintah dan larangan Allah, maka di hari kiamat nanti ia juga akan masih tetap dalam keadaan membangkang. Allah Swt berfirman:
(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka telah berfirman) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya (sumpah itu) ada gunanya. Ketaihuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. (al-Mujâdilah:18)
Penutup
Dari berbagai kalimat dalam doa ini dapat dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa api neraka akan membakar raga dan jiwa, sebagaimana membakar kulit dan tulang, sebagaimana membakar bagian luar dan bagian dalam. Oleh karena itu, beliau memohon kepada Allah agar lisan, hati, batin, dan seluruh anggota tubuhnya tidak dilalap oleh api neraka. Beliau juga memohon kepada-Nya agar mengasihani kelemahan tubuh, kelembutan kulit, dan kerapuhan tulangnya dengan ungakapan ini, “Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku, kelembutan kulitku, dan kerapuhan tulangku.” Dalam hal ini al-Quran juga menegaskan realitas yang akan terjadi:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan (pedihnya) azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (al-Nisâ’: 56)
Referensi:
15. Al-Sajdah : 18
16. Yâsîn : 58
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email