Pesan Rahbar

Home » » Rahmat Shigeru Ono, Samurai Jepang Yang Pilih Berjuang Demi Indonesia

Rahmat Shigeru Ono, Samurai Jepang Yang Pilih Berjuang Demi Indonesia

Written By Unknown on Thursday, 2 March 2017 | 14:16:00

Bom nuklir di Jepang menjadi titik balik Ono untuk membantu berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Rahmat Shigeru Ono (Foto: Merdeka.com)

Ketika banyak tentara Jepang memilih menindas rakyat Indonesia saat masa penjajahan, ada seorang samurai asal Negeri Sakura yang justru angkat senjata berada di pihak yang terjajah. Dialah Rahmat Shigeru Ono, mantan samurai Jepang yang memilih membela Indonesia ketimbang negaranya sendiri, Jepang.

Kala itu, pria yang masih bernama Sakari Ono datang ke Indonesia sebagai anggota tentara Batalyon 153 Angkatan Darat. Saat itu Ono muda begitu terkesan dengan keramahan penduduk di Cilacap, Jawa Tengah, ia disambut baik di Pulau Jawa.

Namun sayangnya, Ono lebih banyak kecewa melihat sikap para kawan-kawannya yang seenak-enaknya di tanah air orang lain. Hingga pada 15 Agustus 1945, ketika Hiroshima dan Nagasaki di Bom Nuklir oleh tentara Sekutu menjadi titik balik Ono untuk menepati janji untuk membantu rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut lagi oleh Belanda.

Maka Ono dan dua kawannya akhirnya lari dari kesatuan militer Jepang. Mereka berusaha menghindari patroli tentara Inggris di Bandung. Lewat petualangan yang mendebarkan, keduanya bisa bergabung dengan pasukan Republik Indonesia.

Oleh komandan polisi militer, mereka disuruh mengganti seragam Jepang dengan sarung dan kopiah. Ono merasa lucu memakai sarung dan kopiah yang tidak pernah dia pakai sebelumnya. Selanjutnya ia diberi nama Indonesia menjadi Rahmat dan kedua temannya, Karman dan Adam.

Ono pun mengubah namanya menjadi Shigeru. Sehingga para veteran Jepang mengenalnya sebagai Rahmat Shigeru Ono. Dalam bukunya Mereka Yang Terlupakan, Memoar Rahmat Shigeru Ono, dia mengenang banyak tentara Jepang yang ikut bergabung dengan RI.

Lucunya wajah mereka sering diolesi lumpur biar tak terlalu putih. Sambutan dari warga Indonesia sangat baik. Rahmat Shigeru Ono kemudian berjuang bersama para pemuda. Dia melatih dan memimpin gerilyawan Indonesia berperang melawan Belanda.

Rahmat Shigeru Ono (Foto: Merdeka.com)

Marahi pemuda yang ciut nyali

Sebagai seorang mantan samurai, dalam pikiran Ono sudah tertanam keberanian dan tidak takut mati. Namun berbeda dengan para pemuda Indonesia yang kala itu baru pertama kali melakukan perang gerilya.

Saat itu tanggal 17 Juni 1947, Letnan Ono mengintai posisi markas tentara Belanda di Mojokerto. Pasukannya berada dalam kondisi siap tempur membidik pasukan musuh. Begitu ia memberikan komando menyerang, suara tembakan gencar memecah kesunyian.

Tentara Belanda pun tidak tinggal diam. Rentetan suara senapan otomatis menderu dari markas musuh. Namun alangkah terkejutnya Ono, di tengah desingan peluru, tidak ada satupun suara tembakan dari pasukan Indonesia.

Benar saja, ketia ia menengok ke arah belakang, betapa kagetnya mantan sersan Jepang ini melihat seluruh pasukan Indonesia yang dipimpinnya bersembunyi ketakutan di dalam lubang persembunyian. Rahmat Ono yang murka pun berteriak marah di tengah desingan peluru Belanda.

"Ayo dengar suara tembakan dengan baik. Jika suaranya pyuu pyuu itu suara tembakan ke atas, masih aman. Jika suaranya buzt buzt itu tembakan ke depan. Berlindung, jangan keluar dari lubang persembunyian," teriak Ono.

Akhirnya dengan kata-kata itu, ia berhasil mengusir ketakutan para pemuda. Pelan-pelan anak buahnya mulai berani memberi tembakan balasan. Pertarungan pun berlangsung seru. Lalu tiba-tiba terdengar suara menggelegar, pohon di belakang Ono roboh ternyata Belanda memiliki artileri.

Serangan meriam Belanda itu kemudian menghantam lubang perlindungan sahabat Rahmat Ono, Abdul Majid Yamano. Rahmat sempat panik. Dia pun memanggil temannya itu yang cuma terlihat mata dan mulutnya saja. Untungnya Yamano masih hidup saat terkena meriam.

Ternyata pertempuran belum selesai, pasukan Indonesia yang masih memiliki jukikanju atau senapan mesin berat itu punya harapan. Tetapi lagi-lagi senjata tersebut macet dan pasukan terpaksa mundur.

Rahmat berpesan agar Jukikanju beserta kakinya dibawa mundur, jangan sampai ditinggal. Namun betapa marahnya dia saat mengetahui kaki jukikanju itu tertinggal. Dia marah besar. Tanpa kaki penyangga, senapan mesin berat itu tak bisa digunakan lagi.

"Kalau tidak menghargai senjata seperti ini, pasti Indonesia tidak akan bisa merdeka. Saya akan mengambil kaki senjata ini, karena tidak boleh jatuh ke tangan tentara Belanda," kata Rahmat pada pasukannya.

Saat Rahmat hendak berangkat seorang diri, Abdul Majid Yamano mau ikut. Rahmat terharu karena itu misi bunuh diri. Untuk apa dua orang mati. Tetapi Yamano tak mau mundur. Lewat perjuangan keduanya berhasil membawa pulang kaki senapan mesin tersebut.

"Ini bentuk kesetiakawanan antar tentara. Tuhan membantu kita dan kita bisa selamat membawa kaki senjata itu," kata Rahmat mengenang penuh haru.

Tetapi dia juga mengenang kejadian itu sebagai sesuatu yang lucu. "Saking marahnya saya waktu kaki juki tertinggal, saya marah-marah pakai bahasa Jepang. Coba di antara para pemuda itu, siapa yang mengerti bahasa Jepang," ucap Rahmat Ono geli.

Kini kisah perjuangan samurai Jepang itu akan terus abadi dalam buku hariannya tersebut. Prajurit terakhir Jepang yang pernah tinggal dan membela Indonesia itu sudah tenang berada tempat peristirahatan terakhir di Batu, Malang, Jawa Timur.

(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI