Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kajian Riwayat. Show all posts
Showing posts with label Kajian Riwayat. Show all posts

Ucapan Yang Tidak Layak Kepada Saudara Sesama Muslim


Tulisan ini dibuat sebagai penjelasan terhadap tulisan sebelumnya yang ternyata mengundang keributan yang makin lama menjadi semakin aneh. Inti dari tulisan ini adalah soal akhlak seorang muslim dalam ucapannya yang ditujukan kepada saudaranya sesama Muslim. Terdapat beberapa jenis ucapan yang harus dijaga dengan hati-hati oleh seorang Muslim agar mereka tidak sembarangan melontarkannya kepada saudaranya sesama Muslim karena ucapan tersebut memiliki konsekuensi yang berat.

حدثني زهير بن حرب حدثنا عبدالصمد بن عبدالوارث حدثنا أبي حدثنا حسين المعلم عن ابن بريدة عن يحيى بن يعمر أن أبا الأسود حدثه عن أبي ذر أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليس من رجل ادعي لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر ومن ادعى ما ليس له فليس منا وليتبوأ مقعده من النار ومن دعا رجلا بالكفر أو قال عدو الله وليس كذلك إلا حار عليه

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdus Shamad bin ‘Abdul Waarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain Al Mu’allimi dari Ibnu Buraidah dari Yahya bin Ya’mar bahwa Abul Aswad menceritakan kepadanya dari Abi Dzar yang mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Tidaklah seseorang mengakui orang lain sebagai ayahnya padahal ia mengetahui [bahwa ia bukan ayahnya] kecuali ia kafir. Barang siapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami dan hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya di neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang dengan “kafir” atau berkata “musuh Allah” padahal tidak demikian maka perkataan itu berbalik kepadanya [Shahih Muslim 1/79 no 61]

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Al Husain dari ‘Abdullah bin Buraidah yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ya’mar bahwa Abul Aswad Ad Diyaliy telah menceritakan kepadanya dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu yang mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Tidaklah seseorang melempar [ucapan] kepada orang lain Fasiq dan tidaklah ia melempar [ucapan] kafir kecuali perkataan itu kembali kepadanya jika ternyata sahabatnya itu bukan demikian” [Shahih Bukhari 8/15 no 6045].

Hadis Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas menyebutkan bahwa seorang muslim harus berhati-hati dalam melontarkan ucapan “kafir” ucapan “fasik” atau ucapan “musuh Allah” kepada saudaranya sesama Muslim. Karena konsekuensi dari ucapan ini adalah berat yaitu jika ternyata orang tersebut bukanlah demikian maka ucapan itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.

Disini yang ditekankan adalah akhlak seorang muslim dalam menjaga lisannya. Tidak boleh karena ia merasa seseorang melakukan dosa besar atau bermaksiat atau melanggar syariat maka ia melontarkan ucapan “kafir” atau ucapan “fasik” atau ucapan “musuh Allah”. Dikhawatirkan ternyata orang tersebut tidak demikian, bisa jadi berita yang sampai kepada kita tentangnya adalah fitnah atau bisa jadi ia telah bertaubat atas hal itu sehingga Allah SWT mengampuni dosanya maka perkataan seperti itu akan berbalik kepada diri kita sendiri.

Tidak benar jika dikatakan bahwa hadis Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas itu hanya terkait dengan kekafiran. Sehingga ada yang mengatakan kalau lafaz “musuh Allah” disana maksudnya “musuh Allah” dalam hal kekafiran saja. Ini namanya membuat batasan sendiri. Jika kita memperhatikan kedua hadis Bukhari dan Muslim di atas maka kita dapat melihat kedua hadis itu memiliki sanad yang sama dan matannya saling menjelaskan. Di hadis Muslim disebutkan ucapan “kafir” dan ucapan “musuh Allah” sedangkan di hadis Bukhari disebutkan ucapan “kafir” dan ucapan “fasik”. Maka disini dapat dilihat bahwa perkataan “musuh Allah” disana juga termasuk musuh Allah dalam hal kefasiqan tidak hanya kekafiran. Sebagaimana telah ma’ruf kalau fasiq itu berbeda dengan kafir.

Jadi jika ada orang yang menuduh orang lain melakukan suatu pelanggaran syariat atau dosa besar kemudian ia berucap pada orang tersebut “wahai Musuh Allah” maka ia sudah terkena ke dalam hadis Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas. Lantas bagaimana jika hal seperti itu terjadi, bukankah salah seorang dari kedua orang tersebut adalah musuh Allah?. Tentu kalau kita mengandalkan silogisme [penarikan kesimpulan dua premis] maka pertanyaan seperti itu adalah hal yang wajar. Tetapi patut diingat bahwa bukanlah tugas atau hak seorang muslim untuk menetapkan seseorang itu sebagai Musuh Allah atau bukan. Jadi kami pribadi menganggap bahwa penetapan seperti itu adalah mutlak milik Allah SWT.

حدثنا سويد بن سعيد عن معتمر بن سليمان عن أبيه حدثنا أبو عمران الجوني عن جندب أن رسول الله صلى الله عليه و سلم حدث أن رجلا قال والله لا يغفر الله لفلان وإن الله تعالى قال من ذا الذي يتألى علي أن أغفر لفلان فإني قد غفرت لفلان وأحبطت عملك أو كما قال

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dari Mu’tamar bin Sulaiman dari Ayahnya yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Imran Al Jawniy dari Jundab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] menceritakan bahwa ada seorang laki-laki berkata “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan” dan Allah SWT berfirman “Siapakah yang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni fulan, sungguh Aku telah mengampuni fulan dan menghapuskan amalmu” atau seperti yang dikatakan [Shahih Muslim 4/2023 no 2621].

Larangan dalam berucap yang lain, adalah mengatasnamakan Allah SWT atau bersumpah dengan nama Allah SWT untuk perkara yang sebenarnya mutlak milik Allah SWT. Perkara Allah SWT mengampuni atau tidak adalah mutlak milik Allah SWT maka tidak boleh seseorang muslim mengeluarkan ucapan seperti itu kepada seorang muslim lainnya. Kalau ada orang yang berkata atau berdalih bisa saja sebenarnya orang tersebut cuma keceplosan bicara dan ia sendiri tidak bermaksud demikian. Bisa jadi ucapan itu karena ia kesal atau marah dengan saudaranya yang suka berlaku maksiat atau dosa besar sehingga dalam kontkes ini bisa dimaklumi. Intinya akan ada saja orang yang mengatakan harus dilihat konteksnya. Mari perhatikan hadis berikut

حدثنا محمد بن الصباح بن سفيان ثنا علي بن ثابت عن عكرمة بن عمار قال حدثني ضمضم بن جوس قال قال أبو هريرة سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ” كان رجلان في بني إسرائيل متواخيين فكان أحدهما يذنب والآخر مجتهد في العبادة فكان لا يزال المجتهد يرى الآخر على الذنب فيقول أقصر فوجده يوما على ذنب فقال له أقصر فقال خلني وربي أبعثت علي رقيبا ؟ فقال والله لا يغفر الله لك أو لا يدخلك الله الجنة فقبض أرواحهما فاجتمعا عند رب العالمين فقال لهذا المجتهد أكنت بي عالما ؟ أو كنت على ما في يدي قادرا ؟ وقال للمذنب اذهب فادخل الجنة برحمتي وقال للآخر اذهبوا به إلى النار قال أبو هريرة والذي نفسي بيده لتكلم بكلمة أوبقت ( أهلكت ) دنياه وآخرته

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabbaah bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Tsabit dari Ikrimah bin ‘Ammar yang berkata telah menceritakan kepadaku Dhamdham bin Jaus yang berkata Abu Hurairah berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “ada dua laki-laki dari bani Israil yang bersaudara, salah satu dari keduanya suka berbuat dosa dan yang satunya suka beribadah [ahli ibadah]. Suatu ketika ahli ibadah itu melihat saudaranya berbuat dosa maka ia mengatakan kepadanya “berhentilah” kemudian di saat lain ahli ibadah itu mendapati saudaranya berbuat dosa, maka ia berkata “berhentilah”. Saudaranya berkata “biarkanlah ini antara aku dan Rabb-ku, apakah engkau diutus sebagai penjaga?”. Ahli ibadah itu berkata “demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau Allah tidak akan memasukkanmu kedalam surga. Kemudian keduanya meninggal dan berkumpul di sisi Rabb semesta Alam. Allah SWT berfirman kepada ahli ibadah “Apakah kamu mengetahui tentang Aku? Atau apakah kamu berkuasa atas apa yang ada di TanganKu?. Allah SWT berfirman kepada saudaranya yang berbuat dosa “masuklah ke dalam surga dengan RahmatKu” dan Allah SWT berfirman kepada saudaranya”masuklah ke dalam neraka”. Abu Hurairah berkata “demi yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh dia telah mengucapkan kalimat [ucapan] yang membinasakan dunia dan akhiratnya [Sunan Abu Dawud 2/693 no 4901 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Tentu seorang hamba yang menyembah Allah SWT dan mengabdi kepada Allah SWT seperti ahli ibadah itu mungkin tidak bermaksud menganggap dirinya lebih mengetahui dari Allah SWT dan mungkin tidak pula ia bermaksud atau menganggap dirinya memiliki kuasa atas ketetapan Allah SWT. Tetapi ucapan atau kalimat yang keluar dari lisannya itu membuatnya jatuh dalam kebinasaan yaitu masuk ke dalam neraka. Mungkin saja si ahli ibadah itu tidak tahu atau tidak menyangka bahwa ucapannya itu dapat membuatnya jatuh ke dalam neraka, jika ia tahu pasti ia tidak akan mengucapkannya. Terlepas dalam konteks apa ia mengucapkannya, ucapan atau kalimat itu adalah kalimat bathil yang dapat menjerumuskan ke dalam neraka.

حدثنا محمد بن بشار حدثنا ابن أبي عدي عن محمد بن إسحق حدثني محمد بن إبراهيم عن عيسى بن طلحة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الرجل ليتكلم بالكلمة لا يرى لها بأسا يهوي بها سبعين خريفا في النار

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adiy dari Muhammad bin Ishaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “bahwa seorang laki-laki mengatakan kalimat [ucapan] yang ia anggap tidak apa-apa tetapi dengan sebab ucapan itu ia terjerumus kedalam neraka selama tujuh puluh tahun [Sunan Tirmidzi 4/557 no 2314 dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy].

وحدثناه محمد بن أبي عمر المكي حدثنا عبدالعزيز الدراوردي عن يزيد بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن عيسى بن طلحة عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين ما فيها يهوي بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abi Umar Al Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz Ad Darawardiy dari Yazid bin Al Haad dari Muhammad bin Ibrahim dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bahwa seorang hamba mengucapkan kalimat [ucapan] dimana ia tidak mengetahui dengan jelas apa yang ada dalam kalimat itu dan karena kalimat itu ia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh antara timur dan barat” [Shahih Muslim 4/2290 no 2988].

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa seorang muslim harus benar-benar menjaga lisannya terhadap saudaranya sesama Muslim dan jangan menetapkan sesuatu yang sebenarnya adalah mutlak milik Allah SWT. Terlepas apapun konteksnya dan terkadang ia tidak mengetahui kalau kalimat itu bathil yang ia pikir tidak apa-apa [mungkin karena tidak tahu atau bercanda] ternyata kalimat itu dapat menjerumuskannya kedalam neraka.

Bagaimana kalau orang tersebut hanya sekedar bercanda atau main-main terhadap saudaranya sesama muslim?. Tetap tidak boleh, tidak ada penjelasan atau pembatasan dalam hadis di atas apakah ucapan itu bersifat serius atau main-main. Terdapat dalil yang menunjukkan kalau terkadang perkataan yang dianggap bercanda atau tidak serius bisa berakibat fatal. Diantaranya dalil yang jelas telah melarang untuk bermain-main tentang Allah dan Rasul-Nya atau tentang ayat-ayat Allah SWT.

حدثني يونس قال أخبرنا ابن وهب قال حدثني هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عبد الله بن عمر قال : قال رجل في غزوة تبوك في مجلس : ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء ، أرغبَ بطونًا ، ولا أكذبَ ألسنًا ، ولا أجبن عند اللقاء! فقال رجل في المجلس : كذبتَ ، ولكنك منافق ! لأخبرن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر : فأنا رأيته متعلقًا بحَقَب ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم تَنْكُبه الحجارة ، وهو يقول : ” يا رسول الله ، إنما كنا نخوض ونلعب! ” ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : (أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم)

Telah menceritakan kepada kami Yunus yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah menceritakan kepadaku Hisyaam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam dari ‘Abdullah bin Umar yang berkata “seorang laki-laki berkata dalam suatu majelis saat perang Tabuk “aku belum pernah melihat orang yang seperti para qari [pembaca Al Qur’an] kami, mereka suka makan suka berdusta dan pengecut saat bertemu musuh”. Salah seorang dalam majelis berkata “engkau berdusta akan tetapi engkau seorang munafik, sungguh aku akan memberitahukan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka hal itu sampai kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan turunlah Al Qur’an. ‘Abdullah bin Umar berkata “aku melihat orang itu bergantung pada sabuk unta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hingga tersandung batu dan berdarah, sedangkan ia berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Apakah terhadap Allah dan ayat-ayatNya serta kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kalian berolok-olok? Tidak usah meminta maaf, sungguh kalian telah kafir sesudah kalian beriman” [Tafsir Ath Thabari 14/333-334 no 16912 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan ia menshahihkannya]

ذَكَرَهُ أَبِي، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيِّ، ثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَنْقَرِيُّ، ثنا خَلادٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ”وَأَمَرَ بِالْغَزْوِ إِلَى تَبُوكَ، قَالَ: وَنَزَلَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَانِبٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: وَاللَّهِ إِنَّ أَرْغَبَنَا بُطُونًا، وَأَجَبْنَا عِنْدَ اللِّقَاءِ وَأَضْعَفَنَا، لَقُرَّاؤُنَا، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّارًا، فَقَالَ: اذْهَبْ إِلَى هَؤُلاءِ الرَّهْطِ فَقُلْ لَهُمْ: مَا قُلْتُمْ ؟” ” وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ “

Ayahku menyebutkan dari ‘Abdullah bin Umar bin Aban Al Kufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Muhammad Al ‘Anqaariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid dari ‘Abdullah bin Isaa dari Abdul Hamid bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar pada apanas yang terik menuju perang Tabuk. [Ka’ab] berkata “ikut dalam rombongan itu sekelompok sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain “demi Allah, para qari [pembaca Qur’an] kami orang yang sangat suka makan, lemah dan pengecut saat perang”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil ‘Ammar dan berkata “pergilah kepada orang-orang itu dan katakan kepada mereka “apa yang kalian katakan? Dan jika kamu tanyakan kepada mereka tentu mereka akan menjawab sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok [Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1829 no 10046].

Riwayat Ibnu Abi Hatim di atas berasal dari ayahnya [Abu Hatim] dimana keduanya telah dikenal sebagai ulama yang terpercaya sedangkan sisa perawi lainnya adalah tsiqat.
  • ‘Abdullah bin Umar bin Aban adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i dlam Khasa’is. Telah meriwayatkan darinya Muslim, Abu Zur’ah dan Abu Hatim [dimana mereka hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat]. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 5 no 568]. Ibnu Hajar berkata “shaduq ddan tasyayyu’ [At Taqrib 1/516]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2874]
  • ‘Amru bin Muhammad Al Anqariy adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 158]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/745]
  • Khalid bin Isa Ash Shaffaar adalah perawi Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in terkadang menyatakan ia tsiqat terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “hadisnya mendekati”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 330]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Taqrib 1/276]
  • ‘Abdullah bin Isa bin Abdurrahman adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Hakim berkata “ia lebih terpercaya dari Abu Laila”. [At Tahdzib juz 5 no 604]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan bertasyayyu’ [At Taqrib 1/521]
  • Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik adalah tabiian perawi kutubus sittah. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 515]. Ibnu Hajar menyatakan ia tabiin yang tsiqat [At Taqrib 1/588]
Riwayat Ibnu Abi Hatim di atas jelas shahih dan dikuatkan oleh riwayat Ath Thabari sebelumnya. Kedua riwayat ini menyebutkan bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang mengucapkan kalimat bathil dengan tujuan bersenda gurau atau bermain-main. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepada mereka firman Allah SWT yang turun berkenaan soal ini bahwa tidak boleh bersenda gurau tentang Allah dan ayat-ayat Allah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sahabat Nabi di atas dinyatakan sebagai “orang yang kafir setelah mereka beriman”. Ini adalah konsekeuensi yang sangat berat.

Mungkin akan ada yang berdalih kalau orang yang dimaksud dalam kedua riwayat di atas adalah kaum munafik. Pernyataan ini tidak tepat dengan alasan riwayat Ibnu Abi Hatim jelas menyebutkan itu sahabat. Kemudian Allah SWT dan Rasulnya menyatakan kepada mereka yang dimaksud dengan kalimat “kalian telah kafir sesudah kalian beriman”. Apakah orang munafik itu dikatakan sebagai orang yang beriman?. Jelas tidak mereka kaum munafik tidak pernah mengimani Allah dan Rasul-Nya. Mereka selalu menunjukkan pengingkaran [kekafiran] dalam hatinya tetapi menampakkan keislaman di hadapan kaum muslimin lainnya.

Bukankah sudah jelas terdapat hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menunjukkan larangan ucapan “kafir” atau ucapan “musuh Allah” atau ucapan “fasik” kepada saudara sesama muslim. Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengeluarkan ucapan tersebut walaupun dengan tujuan bersenda-gurau atau olok-olok. Jangan jadikan syariat baik Al Qur’an atau Hadis sebagai bahan permainan atau candaan atau senda-gurau, konsekuensinya sangat berat.

Konsekuensi yang berat untuk berbagai ucapan di atas hendaknya jangan dijadikan ajang untuk memvonis tetapi dijadikan tameng bagi seorang muslim untuk senantiasa berhati-hati dalam ucapannya kepada sesama Muslim. Soal konsekuensi kita serahkan semuanya kepada Allah SWT. Kami mengajak diri kami sendiri dan pembaca sekalian untuk senantiasa menjaga lisan terhadap saudara kita sesama muslim. Semoga Allah SWT mengampuni dosa kami dan menjaga kami agar selalu berada di atas jalan yang lurus.  

Salam Damai

Penjelasan Ulama Tentang Hadits Kullu Bid’atin Dholalah

Oleh: Ustadz Abu Hilya

Dalam memahami hadits kullu bid’atin dholalah biasa terjadi perbedaan tajam. Tak jarang dari hadits kullu bid’atin dholalah umat Islam jadi korban fitnah dari kesalahan memahami hadits kullu bid’atin dholalah ini. Untuk memahami hadits kullu bid’atin dholalah, sebaiknya kita merujuk kepada pendapat para ulama yang berkompeten, jangan sampai kita sok tahu dengan manfsiri hadits kullu ini seenak udel sendiri.

Berikut ini adalah PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG Hadits Kullu Bid’atin Dholalah  : كل بدعة ضلالة ,dijelaskan oleh Al Imam Al Hafidz An Nawawi dalam Syarah Muslim, Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqolani dalam Fathul Bari, Al ‘Allamah Muhammad Abdur Rouf al Manawi dalam Faidhul Qodir, dan dilanjutkan penjelasannya oleh para ulama Ahlus Sunnah yang lainnya.

Al Imam Al Hafidz An Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan:

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ هَذَا عَامٌ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ

Adapun Sabda Rosululloh shollallahualaihi wasallam; “wa kullu bid’atin dholalah“ ini adalah dalil ‘Am Makhsush (redaksi umum dengan makna terbatas), dan yang dikehendaki adalah kebanyakan bid’ah “ (Syarah muslim, vol.6, hlm. 154)
Selanjutnya beliau berkata :

وَقَدْ أَوْضَحْتُ الْمَسْأَلَةَ بِأَدِلَّتِهَا الْمَبْسُوْطَةِ فِي تَهْذِيْبِ الْأَسْمَاءِ وَالُّلغَاتِ فَإِذَا عُرِفَ مَا ذَكَرْتُهُ عُلِمَ أَنَّ الْحَدِيْثَ مِنَ الْعَامِ الْمَخْصُوْصِ وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِنَ الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ, وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيْثِ عَامًّا مَخْصُوْصًا

Dan sungguh telah aku jelaskan masalah ini (Bid’ah) berikut dalil-dalinya yang luas dalam kitabTahdzibul Asma Wal Lughot, ketika telah diketahui apa yang telah kusampaikan, maka sesungguhnyahadits ini adalah hadits “al ‘Am al makhsush“ (umum yang dibatasi), begitu juga dengan hadits-hadits lain yang serupa. Dan apa yang dikatakan Umar bin khotthob –rodhiyallohu ‘anhu-, dalam masalah tarowih, yakni Ni’matil Bid’ah, menguatkan pernyataanku dan sama sekali tidak mencegah dari keberadaan hadits (Kullu Bid’atin) sebagai hadits ‘Am Makhsush (dalil umum yang dibatasi). (Syarah Nawawi ala Muslim, vol.6, hlm. 155).

Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqolani dalam Fathul Bari :

وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ مَا أُحْدِثَ وَلَا دَلِيْلَ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِطَرِيْقٍ خَاصٍّ وَلَا عَامٍّ

Dan yang dikehendaki dengan Hadits Kullu Bid’atin Dholalah adalah perkara yang diadakan dan baginya tidak terdapat dalil (yang bersumber) dari syara’, baik dengan jalan Khusus maupun dalil umum.(Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori, vol. 13, hlm. 254).

Al ‘Allamah Muhammad Abdur Rouf al Manawi dalam Faidhul Qodir :

وَقَوْلُهُ – وَكُلُّ… إِلَى آخِرِهِ – عَامٌ مَخْصُوْصٌ

Dan adapun Sabda Rosul “Wa Kullu”‘ dst.. adalah ‘Am Makhsush  (Faidhul Qodir syarah Al Jami’us Shoghir, vol. 2, hlm. 217, Shameela)  (artikel 16).

PEMBAGIAN BID’AH
Para Ulama terutama dari kalangan Syafi’iyyah membagi bid’ah sebagai berikut:
Imam Syafi’iy dalam Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi :

اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ:مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًااَوْسُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَااُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئًامِنْ ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة

Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yangmenyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dholalah(tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnahatau atsar atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”(Al-Baihaqi, dalam  Manaqib as-Syafi’i, 1/469).

Al Imam Al Hafidz An Nawawi dalam Tahdzibul Asma wal lughot :

هِيَ أي ألْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلىَ حَسَنَةٍ وَ قَبِيْحَةٍ (تهذيب الاسماء واللغات)

Bid’ah terbagi menjadi dua ; Bid’ah Hasanah (baik) dan Bid’ah Qobihah (buruk). (Tahdzibul Asma wal lughot, vol. 3, hlm. 22).

Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqolani dalam Fathul Bari :

وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِي مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحِسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلَّا فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ

Bid’ah, makna asalnya adalah : sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya.Dalam syara’ bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ahhasanah (baik). Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan terkadang bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima (hukum). (Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori, vol. 4, hlm. 235).

Pendapat ini disetujui pula oleh Al Imam Muhammad bin Ali as Syaukani, salah satu Ulama Syi’ah Zaidiyyah yang dikagumi kaum Wahabi, dalam kitabnya Nailul Author 3/25.

Al Imam Badruddin Al ‘Ain dalam Umdatul Qori Syarah Shohih Bukhori :

وَالْبِدْعَةُ لُغَةً كُلُّ شَيْئٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَشَرْعًا إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَهِيَ عَلَى قِسْمَيْنِ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ وَهِيَ الَّتِي ذَكَرْنَا وَبِدْعَةٍ حَسَنَةٍ وَهِيَ مَا رَآهُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَسَنًا وَلَا يَكُوْنُ مُخَالِفًا لِلْكِتَابِ أَوِ السُّنَّةِ أَوِ الْأَثَرِ أَوِ الْإِجْمَاعِ وَالْمُرَادُ هُنَا اَلْبِدْعَةُ الضَّلَالَةُ

Bid’ah, secara bahasa adalah setiap sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dan dalam syara’ adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada asal (sumber) pada masa Rosululloh. Bid’ah terbagi menjadi dua; Bid’ah Dholalah (sesat) yaitu apa yang telah kami jelaskan, dan Bid’ah Hasanah (baik) yaitu apa yang dipandang ummat Islam baik dan tidak menyalahi Kitab atau Sunnah atau Atsar atau Ijma’. Dan yang dikehendaki disini adalah Bid’ah Dholalah. (Umdatul Qori Syarah Shohih Al Bukhori, vol. 8, hlm. 396).

Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsami (w. 974 H) :

وَالْحَاصِلُ:أَنَّ الْبِدَعَ الْحَسَنَةَ مُتَّفَقٌ عَلَى نَدْبِهَا,وَهِيَ:مَاوَافَقَ شَيْأً مِمَّامَرَّ وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْ فِعْلِهِ مَحْذُوْرٌ شَرْعِيٌّ,وَمِنْهَامَا هُوَفَرْضُ كِفَايَةٍ,كَتَصْنِيْفِ الْعُلُوْمِ وَنَحْوِهَامِمَّامَرَّ.

Kesimpulan : Sesungguhnya bid’ah-bid’ah hasanah adalah sesuatu yang telah disepakati atas ke-sunnahannya, dia adalah perkara yang sesuai dengan sesuatu dari apa yang telah lewat (al qur’an, as sunnah, ijma’, atau atsar) dan untuk mengerjakannya tidak berkaitan dengan apa yang dicegah oleh syara’.Sebagian ada yang fardu kifayah, seperti mengarang ilmu dan semisalnya. (Fathul Mubin Syarah Arba’in, hal 223-224).

Selanjutnya beliau berkata :

وَأَنَّ الْبِدَعَ السَّيِّئَةَ – وَهِيَ:مَا خَالَفَ شَيْأً مِنْ ذَلِكَ صَرِيْحًا أَوْ إِلْتِزَامًا– قَدْ تَنْتَهِي اِلَى مَا يُوْجِبُ التَّحْرِيْمَ تَارَةً , وَالْكَرَاهَةَ أُخْرَى , وَاِلَى مَا يُظَنُّ اَنَّهُ طَاعَةٌ وَقُرْبَةٌ

Dan sesungguhnya bid’ah-bid’ah sayyi’ah (buruk) adalah apa-apa yang menyelisihi sesuatu dari semua (al qur’an, as sunnah, ijma’, atau atsar) baik secara langsung ataupun tidak langsung. Bid’ah macam ini kadang berujung pada perkara yang menyebabkan haram dan atau makruh, kadang pula berujung pada persangkaan bahwa ia adalah tho’at dan ibadah (mahdho). (Fathul Mubin Syarah Arba’in,  hlm. 224).

As Sayyid Abdulloh bin As Siddiq Al Ghimari Al Husaini ( w. 1413 H )

وَأَنَّ الْبِدْعَةَ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ نَوْعَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ 

Dan sesungguhnya bid’ah dalam pengertian syara’ ada dua macam ; Mahmudah (terpuji) dan Madzmumah (tercela). (Itqonus Shun’ah Fi Tahqiqi Ma’nal Bid’ah).

Syaikh Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Taymiyyah Al Harroni

وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلَالُ مَنْ ابْتَدَعَ طَرِيقًا أَوْ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ الْإِيمَانَ لَا يَتِمُّ إلَّا بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُولَ لَمْ يَذْكُرْهُ وَمَا خَالَفَ النُّصُوصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لَا يُسَمَّى بِدْعَةً قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللهُ – : الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلَالَةٍ . وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُونُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ : نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلَامُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ البيهقي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ فِي الْمَدْخَلِ

Dari sisni dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rosululloh, tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasar-kan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. As Syafi’i berkata : “ Bid’ah itu ada dua ; Bid’ah yang menyalahi al qur’an, sunnah, ijma’, dan atsar sebagian sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, maka ini disebut Bid’ah Dholalah. Dan Bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut, ini terkadang disebut Bid’ah Hasanah, berdasarkan perkataan Umar : “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan As Syafi’i ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang sohih dalam kitab al Madkhol.(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, vol. 20, hlm. 163).

Al Imam al Hafizh Ibnu Rojab yang bermadzhab Hanbali sebagaimana disebutkan dalam Itqonus Shun’ah:

قَالَ الْحَافِظُ اِبْنُ رَجَب فِي شَرْحِهِ: “وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيْعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا، وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً” اهـ.

Berkata al Hafizh Ibnu Rojab : “ Yang dikehendaki dengan bid’ah adalah perkara yang diadakan yang sama sekali tidak memiliki asal (dalil) dalam syari’at yang menunjukkan atas (kebolehan)nya. Adapun perkara yang memiliki asal (dalil) dari syara’ yang menunjukkan atasnya maka ia bukanlah bid’ah menurut syara’, meskipun bid’ah menurut bahasa.

THALHA KURANG AJAR MELIRIK DAN MENGINGINI ISTRI RASUL SAW


Oleh: Ahirah Aisyah

- ﻗﺎﻝ ﺇﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﺎﺗﻢ ، ﺣﺪﺛﻨﺎ : ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ، ﺣﺪﺛﻨﺎ : ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﻤﺎﺩ ،
ﺣﺪﺛﻨﺎ : ﻣﻬﺮﺍﻥ ، ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ، ﻋﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﻦ ﻫﻨﺪ ، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ ، ﻋﻦ ﺇﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻓﻲ

ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻜﻢ ﺃﻥ ﺗﺆﺫﻭﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ : ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ ﺭﺟﻞ ﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﺰﻭﺝ
ﺑﻌﺾ ﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﻨﺒﻲ ( ﺹ ) ﺑﻌﺪﻩ ، ﻗﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻟﺴﻔﻴﺎﻥ ﺃﻫﻲ ﻋﺎﺋﺸﺔ ؟ ، ﻗﺎﻝ : ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻭﺍ
ﺫﻟﻚ ﻭﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ : ﻣﻘﺎﺗﻞ ﺑﻦ ﺣﻴﺎﻥ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﻭﺫﻛﺮ ﺑﺴﻨﺪﻩ ، ﻋﻦ
ﺍﻟﺴﺪﻱ ﺃﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺰﻡ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ( ﺭ ) ﺣﺘﻰ ﻧﺰﻝ ﺍﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻢ
ﺫﻟﻚ
ﺇﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ - ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺇﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ - ﺍﻟﺠﺰﺀ : ( 3 ) - ﺭﻗﻢ ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ : ( 513

Ibnu Abi Hatim mengatakan kepada kami, Ali bin Al Hussein mengatakan kepada kami, Muhammad bin Abi Hammad, mengatakan kepada kami, dari Mahran, dari, Sufyan, dari Daud bin Hind, dari 'Ikrimah, dari Putra 'Abbas yang berkata:
"...DAN TIDAK BOLEH KAMU MENYAKITI (HATI) RASULULLAH..." (QS.33:53).

Turun berkenaan dengan SEORANG LELAKI YANG INGIN MENIKAHI SEORANG ISTERI NABI SAW.
Seorang pria bertanya kepada Sufyan: "Apakah 'Aisyah?"
Dia mengatakan: "Dia menyebutkan itu".
Berkata Muqatil bin Hayyan dan 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menyebutkan dengan sanadnya dari Sadii bahwa yang berkeinginan (MENIKAHI 'AISYAH) adalah THALHA BIN 'UBAIDILLAH hingga datang peringatan larangan seperti itu."
[Ibn Katsir-Tafsir Ibn Katsir, Jilid 3,Hlm 513].

"...dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah". (QS.33:53).

Dari riwayat di atas, munculllah gelaran ummu mukminin yang dinisbahkan pada Aisyah.

Diperbaruhi oleh AHLUL BAIT NABI SAW

Ada Saja Wahabi Membuat Kedustaan, Syaikh Khalid Al Wushabiy Dan Imam Mahdi Dalam Mazhab Syi’ah


Ada video menarik mengenai diskusi antara Syaikh Khalid Al Wushabiy [Sunni] dan Syauqiy Ahmad [Syi’ah] mengenai Imam Mahdiy. Para pembaca yang berminat dapat melihat penggalan video tersebut disini.

Video Ini Tidak Aktifkan karena mode keamanan/telah dihapus (Mengandung Kebohongan) sbb:




Lihat link Kedustaaan Wahabi Sbb:
http://antimajos.com/2014/11/06/saksi-mata-kelahiran-mahdi-adalah-sosok-fiktif/

Saksi Mata Kelahiran Mahdi Adalah Sosok Fiktif


Hakima, bibinya Imam Syiah ke-11 adalah sumber riwayat kelahiran Mahdi Syiah. Ternyata setelah diselidiki, ulama Syiah sendiri tidak percaya dia ada & yang percaya pun masih meragukan kebenarannya dan melarang riwayat dijadikan rujukan.


___________________________

*****
Hal menarik yang ingin dibahas disini adalah ketika Syaikh Khalid Al Wushabiy mempermasalahkan riwayat kelahiran Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah. Syaikh Khalid Al Wushabiy menunjukkan bahwa semua riwayat [dalam mazhab Syi’ah] yang menerangkan lahirnya Imam Mahdiy berasal dari kesaksian Hakiimah binti Muhammad Al Jawaad. Dan menurut penelitian Syaikh Khalid ternyata Hakiimah ini fiktif atau mitos belaka dan seandainya pun Hakiimah benar ada maka ia majhul bukan orang yang bisa dipercaya.

Sampai disini perkara tersebut tidak menjadi masalah tetapi Syaikh Khalid kemudian menyatakan bahwa keyakinan Imam Mahdi dalam mazhab Syi’ah ternyata bersumber dari tokoh fiktif atau majhul. Ini merupakan lompatan kesimpulan yang mengagumkan. Maksudnya mungkin akan membuat kagum orang-orang awam [tertama dari kalangan pengikut Syaikh Khalid] tetapi bagi para pencari kebenaran hal ini nampak sebagai usaha menyesatkan orang-orang awam untuk merendahkan mazhab Syi’ah.

Secara kritis kalau kita ingin berbicara mengenai keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah maka cara yang benar adalah mengumpulkan semua riwayat dalam kitab Syi’ah yang berbicara tentang Imam Mahdiy. Kemudian dianalisis riwayat-riwayat tersebut baru ditarik kesimpulan. Kelahiran Imam Mahdiy hanya salah satu bagian dari kumpulan riwayat Imam Mahdiy dalam kitab Syi’ah. Seandainya pun tidak ada riwayat shahih mengenai kelahiran Al Mahdiy maka bukan berarti Al Mahdiy tersebut tidak pernah lahir sehingga runtuhlah keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.
 
Kelahiran Imam Mahdiy adalah bagian parsial dari eksistensi Imam Mahdiy. Seseorang bisa saja tidak diketahui kapan lahirnya tetapi orang tersebut ya memang ada bukan fiktif. Hanya logika sesat yang menyatakan bahwa jika tidak ada bukti shahih kelahiran Imam Mahdiy maka runtuhlah eksistensi Imam Mahdiy [dalam mazhab Syi’ah]. Misalkan jika dalam mazhab Ahlus Sunnah tidak ditemukan riwayat-riwayat shahih mengenai kelahiran Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], para Nabi dan para sahabat. Apakah hal itu menjadi dasar untuk menyatakan runtuhnya keyakinan tentang mereka?. Tentu saja tidak bahkan logika sesat seperti ini terkesan menggelikan.

Eksistensi Imam Mahdiy Dalam Mazhab Syi’ah
Jika kita memang berniat mencari kebenaran meneliti hakikat Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah maka terdapat riwayat-riwayat shahih dalam kitab Syi’ah yang membuktikan eksistensinya.

محمد بن يحيى، عن أحمد بن إسحاق، عن أبي هاشم الجعفري قال: قلت لأبي محمد عليه السلام: جلالتك تمنعني من مسألتك، فتأذن لي أن أسألك؟ فقال: سل، قلت يا سيدي هل لك ولد؟ فقال: نعم، فقلت: فإن بك حدث فأين أسأل عنه؟ فقال بالمدينة

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Ishaaq dari Abi Haasyim Al Ja’fariy yang berkata aku berkata kepada Abu Muhammad [‘alaihis salaam] “kemuliaanmu membuatku segan untuk bertanya kepadamu, maka izinkanlah aku untuk bertanya kepadamu?”. Beliau berkata “tanyakanlah”. Aku berkata “wahai tuanku apakah engkau memiliki anak?”. Beliau berkata “benar” aku berkata “maka jika terjadi sesuatu padamu kemana aku akan bertanya kepadanya”. Beliau berkata “di Madinah” [Al Kafiy Al Kulainiy 1/328].

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan kitab Rijal Syi’ah:
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Ishaaq bin Sa’d Al Asy’ariy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 397]
  3. Abu Haasyim Al Ja’fariy adalah Dawud bin Qaasim seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 399]
Abu Muhammad [‘alaihis salaam] yang dimaksud adalah Imam Hasan Al Askariy [‘alaihis salaam] karena Abi Haasyim Al Ja’fariy termasuk sahabat Imam Hasan Al Askariy dan Beliau dikenal dengan kuniyah Abu Muhammad. Ath Thuusiy menyebutkan dalam kitabnya judul bab “para sahabat Abu Muhammad Hasan bin Aliy bin Muhammad bin Aliy Ar Ridha [‘alaihimus salaam]” [Rijal Ath Thuusiy hal 395].

Riwayat shahih di atas membuktikan bahwa Imam Hasan Al Askariy memang memiliki seorang anak. Anak Imam Hasan Al Askariy inilah yang dikenal sebagai imam kedua belas atau imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

محمد بن يعقوب الكليني عن محمد بن جعفر الأسدي قال حدثنا أحمد بن إبراهيم قال دخلت على خديحة بنت محمد بن علي عليهما السلام سنة اثنين وستين ومائتين ، فكلمتها من وراء حجاب ، وسألتها عن دينها ، فسمت لي من تأتمَّ بهم ، ثم قالت فلان بن الحسن وسمته ، فقلت لها جعلت فداك معاينة أو خبراً ؟ قالت خبراً عن أبي محمد (عليه السلام) كتب إلى إمه

Muhammad bin Ya’qub Al Kulainiy dari Muhammad bin Ja’far Al Asadiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim yang berkata aku menemui Khadiijah binti Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihimas salaam] pada tahun 262 H, maka aku berbicara dengannya dari balik tabir, aku bertanya kepadanya tentang agamanya, maka ia menyebutkan kepadaku orang yang ia ikuti kemudian berkata Fulan putra Hasan dan ia menyebutkannya, maka aku berkata kepadanya “aku menjadi tebusanmu, apakah engkau melihatnya sendiri atau mendapatkan kabar?”. Beliau berkata “kabar dari Abu Muhammad [‘alaihis salaam] yaitu surat kepada ibunya…” [Al Ghaibah Syaikh Ath Thuusiy hal 143].

Riwayat di atas memiliki sanad yang hasan berdasarkan keterangan para perawinya dalam kitab Rijal Syi’ah
  1. Muhammad bin Ya’qub Al Kulainiy dia adalah orang yang paling tsiqat dalam hadis dan paling tsabit diantara mereka [Rijal An Najasyiy hal 377 no 1026]
  2. Muhammad bin Ja’far Al Asadiy adalah Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Aun seorang yang tsiqat shahih al hadiits, hanya saja ia meriwayatkan dari para perawi dhaif [Rijal An Najasyiy hal 373 no 1020]
  3. Ahmad bin Ibrahiim Abu Haamid Al Maraaghiy seorang yang mamduh, agung kedudukannya [Rijal Ibnu Dawud hal 23 no 55]. Al Majlisiy juga menyatakan ia mamduh [Al Wajiizah no 62]
  4. Khadiijah binti Muhammad bin Aliy Ar Ridhaa saudara perempuan imam Aliy Al Hadiy, ia seorang yang arif jalil dan alim dalam khabar [A’yaan Asy Syi’ah Sayyid Muhsin Amin 6/313]
Sanad riwayat di atas dikatakan hasan karena terdapat dua perawi yang berpredikat mamduh [terpuji] yaitu Ahmad bin Ibrahim Al Maraaghiy dan Khadiijah binti Muhammad bin ‘Aliy Ar Ridhaa.

Matan riwayat menyebutkan kalau Khadiijah binti Muhammad bin Aliy Ar Ridhaa mengakui keberadaan putra Imam Hasan Al Askariy berdasarkan kabar dari surat Imam Hasan Al Askariy [Abu Muhammad] kepada ibunya.

محمد بن عبد الله ومحمد بن يحيى جميعا، عن عبد الله بن جعفر الحميري قال اجتمعت أنا والشيخ أبو عمرو رحمه الله عند أحمد بن إسحاق فغمزني أحمد بن إسحاق أن أسأله عن الخلف فقلت له: يا أبا عمرو إني أريد أن أسألك عن شئ وما أنا بشاك فيما أريد أن أسألك عنه، فإن اعتقادي وديني أن الأرض لا تخلو من حجة إلا إذا كان قبل يوم القيامة بأربعين يوما، فإذا كان ذلك رفعت الحجة وأغلق باب التوبة فلم يك ينفع نفسا إيمانها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرا، فأولئك أشرار من خلق الله عز و جل وهم الذين تقوم عليهم القيامة ولكني أحببت أن أزداد يقينا وإن إبراهيم عليه السلام سأل ربه عز وجل أن يريه كيف يحيي الموتى، قال: أو لم تؤمن قال: بلى ولكن ليطمئن قلبي، وقد أخبرني أبو علي أحمد بن إسحاق، عن أبي الحسن عليه السلام قال سألته وقلت من أعامل أو عمن آخذ، وقول من أقبل؟ فقال له: العمري ثقتي فما أدى إليك عني فعني يؤدي وما قال لك عني فعني يقول، فاسمع له وأطع، فإنه الثقة المأمون، وأخبرني أبو علي أنه سأل أبا محمد عليه السلام عن مثل ذلك، فقال له: العمري وابنه ثقتان، فما أديا إليك عني فعني يؤديان وما قالا لك فعني يقولان، فاسمع لهما وأطعمها فإنهما الثقتان المأمونان، فهذا قول إمامين قد مضيا فيك قال: فخر أبو عمرو ساجدا وبكى ثم قال: سل حاجتك فقلت له: أنت رأيت الخلف من بعد أبي محمد عليه السلام؟ فقال: إي والله ورقبته مثل ذا – وأومأ بيده – فقلت له: فبقيت واحدة فقال لي: هات، قلت: فالاسم؟ قال: محرم عليكم أن تسألوا عن ذلك، ولا أقول هذا من عندي، فليس لي أن أحلل ولا أحرم، ولكن عنه عليه السلام، فإن الامر عند السلطان، أن أبا محمد مضى ولم يخلف ولدا وقسم ميراثه وأخذه من لا حق له فيه وهوذا، عياله يجولون ليس أحد يجسر أن يتعرف إليهم أو ينيلهم شيئا، وإذا وقع الاسم وقع الطلب، فاتقوا الله وأمسكوا عن ذلك

Muhammad bin ‘Abdullah dan Muhammad bin Yahya [keduanya] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy yang berkata telah berkumpul aku dan Syaikh Abu ‘Amru [rahimahullaah] di sisi Ahmad bin Ishaaq, maka Ahmad bin Ishaaq memberi isyarat kepadaku untuk bertanya kepadanya [Abu ‘Amru] mengenai pengganti [imam]. Maka aku berkata kepadanya “wahai Abu ‘Amru aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu dan tidaklah aku meragukan mengenai hal yang ingin aku tanyakan, karena dalam keyakinanku dan agamaku sesungguhnya bumi tidak akan kosong dari hujjah kecuali 40 hari sebelum hari kiamat dan pada masa itu hujjah diangkat dan pintu taubat ditutup, tidaklah bermanfaat iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia [belum] mengusahakan kebaikan dalam masa imannya, maka mereka orang-orang saat itu adalah makhluk Allah ‘azza wajalla yang paling buruk dan merekalah yang akan mengalami hari kiamat. Akan tetapi aku ingin menambah keyakinanku sebagaimana Ibrahim [‘alaihis salaam] bertanya kepada Rabb-nya ‘azza wajalla agar diperlihatkan kepadanya bagaimana menghidupkan orang-orang mati maka [Allah berfirman] Belum yakinkah kamu? Ibrahim menjawab “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap”. Dan sungguh telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Aliy Ahmad bin Ishaaq dari Abu Hasan [‘alaihis salaam], aku bertanya kepadanya, aku berkata “siapakah yang akan kuikuti atau dari siapa aku mengambil dan perkataan siapa yang harus aku terima”. Maka Beliau [Abu Hasan] menjawab “Al ‘Amiriy ia adalah kepercayaanku, maka apa yang ia berikan kepadamu dariku maka itu adalah pemberianku dan apa yang ia katakan kepadamu dariku maka itu adalah perkataanku, dengarlah dan taatlah sesuangguhnya ia seorang yang tsiqat ma’mun. Dan telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Aliy bahwa ia bertanya kepada Abu Muhammad [‘alaihis salaam] perkara yang sama, maka Beliau [Abu Muhammad] berkata “Al ‘Amiriy dan anaknya keduanya tsiqat, apa yang keduanya berikan kepadamu dariku maka itu adalah pemberianku dan apa yang keduanya katakan kepadamu dariku maka itu adalah perkataanku, dengarkanlah dan taatlah pada mereka berdua sesungguhnya keduanya tsiqat ma’mun. Inilah perkataan kedua Imam tentang dirimu. [Abdullah bin Ja’far Al Himyariy] berkata maka Abu ‘Amru bersujud dan menangis, kemudian berkata “tanyakanlah keperluanmu”. Maka aku berkata kepadanya “apakah engkau pernah melihat pengganti [imam] setelah Abu Muhammad [‘alaihis salaam]?”. Ia menjawab “ya, demi Allah dan lehernya seperti ini [ia mengisyaratkan dengan tangannya]”. Aku berkata kepadanya “tinggal satu pertanyaan lagi”. Ia berkata “tanyakanlah”. Aku berkata “siapakah namanya”. Ia menjawab “haram atas kalian menanyakan hal itu, dan tidaklah perkataan ini berasal dariku, bukan diriku yang menyatakan halal atau haram, tetapi hal itu berasal darinya [‘alaihis salaam]. Karena perkara ini di sisi sultan adalah Abu Muhammad wafat dan tidak meninggalkan anak, warisannya dibagi dan diambil oleh orang-orang yang tidak memiliki hak terhadapnya, sedangkan ahli warisnya bertebaran dan tidak seorangpun berani untuk mengungkapkan diri kepada mereka atau mengambil kembali dari mereka, jika nama [tersebut] dimunculkan maka akan dilakukan pencarian, maka takutlah kepada Allah dan diamlah terhadap perkara ini [Al Kafiy Al Kulainiy 1/329-330].

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
  3. Ahmad bin Ishaaq bin Sa’d Al Asy’ariy yaitu Abu ‘Aliy Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 397]
  4. Abu ‘Amru yang dimaksud di atas adalah Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy termasuk salah satu wakil Imam, seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 401] dan disebutkan dalam atsar di atas bahwa Abu ‘Amru telah dinyatakan tsiqat oleh Imam Abu Hasan Aliy Al Hadiy [‘alaihis salaam] dan Imam Abu Muhammad Hasan Al Askariy [‘alaihis salaam]
Matan riwayat di atas menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berkumpul dengan Abu ‘Amru Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy di sisi Abu ‘Aliy Ahmad bin Ishaaq, dan Abdullah bin Ja’far menyebutkan dari Abu ‘Aliy dari kedua imam yaitu Abu Hasan [‘alaihis salaam] dan Abu Muhammad [‘alaihis salaam] bahwa Abu ‘Amru Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy seorang yang tsiqat ma’mun. Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada Abu ‘Amru apakah ia pernah melihat pengganti Imam Hasan Al Askariy yaitu Imam Mahdiy maka Abu ‘Amru Al ‘Amiriy menyatakan bahwa ia sudah pernah melihatnya. Riwayat shahih ini dengan jelas membuktikan eksistensi Imam Mahdiy di sisi mazhab Syi’ah.

حدثنا محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه قال حدثنا عبد الله بن جعفر الحميري قال سألت محمد بن عثمان العمري رضي الله عنه فقلت له أرأيت صاحب هذا الامر؟ فقال نعم وآخر عهدي به عند بيت الله الحرام وهو يقول  اللهم أنجز لي ما وعدتني

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muusa bin Al Mutawakil [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy yang berkata aku bertanya kepada Muhammad bin ‘Utsman Al ‘Amiriy radiallahu ‘anhu, maka aku berkata kepadanya “apakah engkau pernah melihat pemilik urusan ini [Al Mahdiy]?”. Beliau berkata “benar, dan terakhir aku melihatnya di sisi Baitullah dan ia berkata “Ya Allah penuhilah untukku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku” [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 440].

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah
  1. Muhammad bin Musa bin Al Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
  3. Muhammad bin ‘Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy adalah salah satu dari wakil Imam, seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiist no 549]
Matan riwayat shahih di atas menyebutkan bahwa Muhammad bin ‘Utsman bin Sa’iid Al Amiriy seorang yang tsiqat ma’mun [sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan Al Askariy] telah melihat Al Mahdiy di Baitullah. Riwayat shahih ini telah membuktikan eksistensi Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

Keghaiban Imam Mahdiy Dalam Mazhab Syi’ah
Dalam mazhab Syi’ah terdapat keyakinan bahwa Imam Mahdiy akan ghaib hingga waktu yang telah Allah ‘azza wajalla tetapkan baru kemudian muncul kembali. Tidak benar anggapan bahwa keyakinan ini dalam mazhab Syi’ah hanya bersumber dari kesaksian orang yang tidak dikenal. Justru keyakinan ini telah tsabit dalam berbagai riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah.

حدثنا محمد بن الحسن رضي الله عنه قال حدثنا سعد بن عبد الله قال حدثنا أبو جعفر محمد بن أحمد العلوي عن أبي هاشم داود بن القاسم الجعفري قال سمعت أبا الحسن صاحب العسكر عليه السلام يقول الخلف من بعدي ابني الحسن فكيف لكم بالخلف من بعد الخلف فقلت ولم جعلني الله فداك فقال لأنكم لا ترون شخصه ولا يحل لكم ذكره باسمه قلت فكيف نذكره قال قولوا الحجة من آل محمد صلى الله عليه وآله وسلم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad Al ‘Alawiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku mendengar Abul Hasan shahib Al Askar [‘alaihis salaam] mengatakan “pengganti setelahku adalah anakku Hasan maka bagaimana kalian terhadap pengganti dari penggantiku?”. Aku berkata “aku menjadi tebusanmu, mengapa?”. Beliau berkata “karena kalian tidak akan melihat dirinya secara fisik dan tidak dibolehkan bagi kalian menyebutnya dengan namanya”. Aku berkata “maka bagaimana menyebutnya?”. Beliau berkata “kalian katakanlah hujjah dari keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 381].

Riwayat di atas sanadnya hasan, para perawinya tsiqat dan hasan berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah:
  1. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad Al ‘Alawiy tidak tsabit tautsiq terhadapnya hanya saja ia hasan [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 497].
  4. Abu Haasyim Al Ja’fariy adalah Dawud bin Qaasim seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 399]
Imam Aliy Al Hadiy menyebutkan bahwa pengganti dari anaknya Abu Muhammad Imam Hasan Al Askariy tidak dapat dilihat oleh sebagian pengikutnya dan tidak diperbolehkan menyebutkan namanya. Hal ini adalah isyarat akan adanya keghaiban pengganti Imam Hasan Al Askariy yaitu Imam Mahdiy.

حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال: حدثنا علي ابن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن أبي أحمد محمد بن زياد الأزدي قال: سألت سيدي موسى بن جعفر عليهما السلام عن قول الله عز وجل: ” وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة ”  فقال عليه السلام: النعمة الظاهرة الامام الظاهر، والباطنة الامام الغائب، فقلت له: و يكون في الأئمة من يغيب؟ قال: نعم يغيب عن أبصار الناس شخصه، ولا يغيب عن قلوب المؤمنين ذكره، وهو الثاني عشر منا، يسهل الله له كل عسير، ويذلل له كل صعب، ويظهر له كنوز الأرض، ويقرب له كل بعيد، ويبير به كل جبار عنيد ويهلك على يده كل شيطان مريد، ذلك ابن سيدة الإماء الذي تخفى على الناس ولادته، ولا يحل لهم تسميته حتى يظهره الله عز وجل فيملأ الأرض قسطا وعدلا كما ملئت جورا وظلما

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya dari Abi Ahmad Muhammad bin Ziyaad Al Azdiy yang berkata aku bertanya kepada tuanku Muusa bin Ja’far [‘alaihimas salaam] tentang firman Allah ta’ala “menyempurnakan atas kalian nikmat-Nya lahir dan bathin”. Maka Beliau [‘alaihis salaam] berkata “nikmat lahir adalah imam yang nampak dan [nikmat] bathin adalah imam yang ghaib”. Maka aku berkata kepada Beliau “apakah diantara imam-imam ada yang ghaib?”. Beliau berkata “benar, dirinya [fisiknya] akan ghaib dari penglihatan orang-orang tetapi sebutannya tidak ghaib di hati orang-orang mukmin. Dia adalah yang keduabelas dari kami. Allah memudahkan baginya semua kesulitan, membantunya mengatasi semua kemalangan, menampakkan baginya harta-harta di bumi, mendekatkan baginya semua yang jauh, menghancurkan dengannya semua orang yang bertindak sewenang-wenang lagi keras kepala dan menghancurkan dengan tangannya semua pengikut setan. Dia adalah anak dari sayyidah budak wanita, ia disembunyikan kelahirannya dari orang-orang dan tidak dibolehkan bagi mereka menyebutkan namanya sampai Allah ‘azza wajalla memunculkannya dan memenuhi bumi dengan  keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan penindasan dan kezaliman [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 328-329].

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah:
  1. Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy, ia seorang yang tsiqat fadhl sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Shaduq [Kamal Ad Diin Syaikh Shaduq hal 329]
  2. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  4. Abu Ahmad Muhammad bin Ziyaad Al Azdiy adalah Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
Matan riwayat sangat jelas menyebutkan bahwa Imam kedua belas dari kalangan ahlul bait yaitu Imam Mahdiy akan mengalami keghaiban.

حدثنا أبي، ومحمد بن الحسن، ومحمد بن موسى المتوكل رضي الله عنهم قالوا حدثنا سعد بن عبد الله، وعبد الله بن جعفر الحميري، ومحمد بن يحيى العطار جميعا قالوا: حدثنا أحمد بن محمد بن عيسى، وإبراهيم بن هاشم، وأحمد بن أبي عبد الله البرقي، ومحمد بن الحسين بن أبي الخطاب جميعا: قالوا: حدثنا أبو علي الحسن ابن محبوب السراد، عن داود بن الحصين، عن أبي بصير، عن الصادق جعفر بن محمد عن آبائه عليهم السلام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: المهدي من ولدي، اسمه اسمي، وكنيته كنيتي، أشبه الناس بي خلقا وخلقا، تكون له غيبة وحيرة حتى تضل الخلق عن أديانهم، فعند ذلك يقبل كالشهاب الثاقب فيملأها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا

Telah menceritakan kepada kami Ayahku, Muhammad bin Hasan dan Muhammad bin Muusa Al Mutawakil [radiallahu ‘anhum], mereka berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Aththaar, mereka berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ahmad bin Muhammad bin Iisa, Ibrahim bin Haasyim, Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy dan Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab, mereka berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan Ibnu Mahbuub As Saraad dari Dawud bin Hushain dari Abi Bashiir dari Ash Shaadiq Ja’far bin Muhammad dari Ayah-ayahnya [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Al Mahdiy dari keturunanku, namanya sama dengan namaku, kuniyah-nya sama dengan kuniyahku, dia adalah orang yang paling menyerupaiku dalam fisik dan akhlak, dia akan mengalami keghaiban dan terjadi kebingungan hingga orang-orang tersesat dari agama mereka, maka pada masa itu ia akan datang seperti bintang yang menyala, dia akan memenuhinya [bumi] dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman dan penindasan [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 287].

Para perawi hadis di atas adalah para perawi tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah
  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]. Muhammad bin Musa bin Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  3. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]. Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy atau Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy seorang yang pada dasarnya tsiqat, meriwayatkan dari para perawi dhaif dan berpegang dengan riwayat mursal [Rijal An Najasyiy hal 76 no 182]. Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang yang mulia, agung kedudukannya, banyak memiliki riwayat, tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897]
  4. Abu ‘Aliy Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  5. Dawud bin Hushain meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] dan Abu Hasan [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 159 no 421].
  6. Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]
Sebagian ulama Syi’ah menetapkan hadis ini sebagai hadis shahih tetapi penilaian ini perlu ditinjau kembali karena Dawud bin Hushain memang seorang yang tsiqat tetapi dikatakan kalau ia bermazhab waqifiy.
Allamah Al Hilliy menukil dari Ath Thuusiy dan Ibnu Uqdah bahwa Dawud bin Hushain bermazhab waqifiy, dan Allamah Al Hilliy berkata “yang kuat di sisiku adalah bertawaqquf terhadap riwayatnya” [Khulashah Al Aqwaal 345 no 1366].

Berdasarkan kaidah ilmu hadis mazhab Syi’ah perawi tsiqat dengan bermazhab menyimpang seperti waqifiy tidak dinyatakan sebagai shahih hadisnya tetapi turun derajatnya menjadi muwatstsaq. Dan kedudukan hadis muwatstsaq bisa dijadikan hujjah jika tidak bertentangan dengan hadis shahih lainnya dalam mazhab Syi’ah. Hadis di atas sangat bersesuaian dengan  kedua hadis sebelumnya maka bisa dijadikan hujjah.
.
Kesimpulan:
Kami membuat tulisan ini bukan sebagai pembelaan terhadap lawan diskusi Syaikh Khalid Al Wushabiy tetapi sebagai suatu usaha untuk meluruskan distorsi atau kedustaan terhadap mazhab Syi’ah. Ada dua hal dari Syaikh Khalid Al Wushabiy yang menurut kami benar:
  1. Perkara kredibilitas Hakiimah binti Muhammad bin Aliy itu adalah benar, kami belum menemukan riwayat shahih yang menyebutkan tentangnya.
  2. Perkara hadis kelahiran Al Mahdiy yang tidak tsabit hal itu juga benar karena kami [sejauh ini] juga belum menemukan riwayat shahih yang menyebutkan kisah kelahirannya.
Tetapi jika dengan kedua poin ini dinyatakan kalau keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah menjadi runtuh karena hanya berdasarkan kesaksian orang yang tidak dikenal maka itu tidak lain adalah distorsi atas kebenaran atau merupakan kedustaan terhadap Syi’ah. Banyak hadis-hadis shahih dalam mazhab Syi’ah yang membuktikan keberadaan Imam Mahdiy mazhab Syi’ah dan banyak pula hadis-hadis shahih dalam kitab Syi’ah tentang keyakinan keghaiban Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

Tentu saja bagi Ahlus Sunnah [dan juga bagi kami] riwayat-riwayat Syi’ah di atas tidak menjadi hujjah tetapi bukan itu inti masalahnya. Inti masalahnya adalah adanya ulama Ahlus Sunnah yang mengklaim bahwa fondasi keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah itu sangat lemah dalam kitab-kitab Syi’ah. Nah inilah yang dibahas dalam tulisan di atas. Kita boleh saja berbeda keyakinan dengan Syi’ah tetapi jika ingin berbicara tentang Syi’ah maka berbicaralah dengan kejujuran dan kebenaran bukan dengan kedustaan yang dibuat seolah-olah ilmiah. Dengan kata lain siapapun orangnya entah ia ulama atau orang awam perkataannya harus selalu ditimbang dengan standar kebenaran.

Selanjutnya Baca disini:

Dikutip dari Scondprince dan diperbaruhi oleh  AHLUL BAIT NABI SAW

Pemalsuan Kitab Hasyiyah ash-Shawi Oleh Wahabi

Hasyiyah Tafsir al-Jalalain Karya ash-Shawi Dirusak Oleh Wahhabi Karena Sejarah Hitam Mereka Telah Dibongkar.

Bismillah, Wa al Hamdu Lillah, ash Shalat Wa as Salam Ala Rasulillah,

Saudaraku, silahkan anda lihat dengan mata kepala sendiri.....!!!
Di antara kitab Ahlussunnah adalah Hasyiyah ash-Shawi Ala Tafsir al Jalalain karya Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H).
Kitab Tafsir ini telah direduksi kaum Wahhabi oleh karena penulisnya telah membongkar sejarah hitam mereka. Perhatikan berikut ini !!

1. Scan Kitab Asli yang diterbitkan oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi.


Perhatikan isi naskah aslinya:


Terjemah tulisan yang ditandai dengan warna adalah sebagai berikut:

Menurut satu pendapat; ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur'an dan Sunnah, yang untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-hata mereka. Kenyataan ini sebagaimana terbukti di masa sekarang, sebuah kelompok yang sama persis dengan kaum Khawarij tersebut; mereka adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz, mereka dinamakan dengan kelompok Wahhabiyyah, mereka menganggap diri mereka di atas kebenaran, padahal sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta. Mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi, kita minta kepada Allah semoga Allah menghancurkan mereka.
lalu, silahkan anda lihat..... naskah kitab yang diterbitkan oleh wahabi.

2. Scan Kitab yang dipalsukan oleh Wahabi diterbitkan oleh Dar al Kutub al Ilmiyyah;




Terjemah tulisan yang ditandai dengan warna adalah sebagai berikut:

“Menurut satu pendapat; ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur’an dan Sunnah, yang untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-hata mereka.

[[[[[[[ .........teks di sini hilang entah kemana digerogoti oleh Wahabi........... ]]]]]]]]]

Mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi”.

Hasbunallah…………………….!!!!!

Referensi:
[1] http://www.facebook.com/note.php?note_id=153873444629573

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas Bagian 2

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (4)

Sebagaimana mereka menyeru Allah Swt siang dan malam. Kemudian di antara mereka ada yang menyeru para malaikat karena kedekatan mereka di sisi Allah agar memintakan maghfiraah/ampunan untuknya. Atau menyeru seorang hamba shaleh, seperti Lata, atau seorang nabi seperti Isa as., dan Anda mengetahui bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka atas dasar kesyirikan ini dan mengajak mereka untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah Swt semata. Sebagaimana Allah Swt berfirman:


فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

Maka janganlah kalian seru seseorang selaian Allah.” (Al-Jin: 18)

Dan firman-Nya yang lain,

لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَ الَّذينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ

Dia memiliki seruan yang benar, dan mereka yang menyeru selain Allah maka mereka tidak akan pernah dikabulkan permohonannya sedikitpun.(Ar-Ra’d: 14)

Dan jika telah terbukti bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan dan semua jenis dan macam ibadah hanya untuk-Nya.
Dan Anda telah mengetahui bahwa pengakuan mereka terhadap tauhid Rububiyah (keesaan sang pencipta) tidak memasukkan mereka kepada Islam, dan tujuan mereka dari para malaikat, para Nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka. Dengan demikian Anda mengetahui bahwa tauhid merupakan hal yang diseru oleh para nabi dan yang enggan diikrarkan oleh kaum musyrikin.
__________
Catatan 4:
Ini adalah upaya lain Syeikh dalam menggabarkan keindahan daan kebaikan prilaku kaum Musyrik.
Saya tidak habis pikir, bagaimana Syeikh mengatakan bahwa kaum Musyrikun itu “menyeru Allah SWT siang dan malam” ! Dalam ayat Al-Qur’an yang mana Allah menyebutkan bahwa kaum Musyrikun itu selalu, siang dan malam memanjatkan doa dan menyeru Allah SWT. Bukankaah yang mereka seru adalah arca dan berhala Hubal, Lâta, Uzza dan Manât. Andai mereka itu seperti yang digambarkan Syeikh Pendiri sekte Wahhâbi itu mengapakah Allah melarang Nabi-Nya untuk menyeru apa yang mereka seru?!
Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنِّي نُهيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لا أَتَّبِعُ أَهْواءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذاً وَ ما أَنَا مِنَ الْمُهْتَدينَ

“Katakanlah: ”Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan- tuhan yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah( pula )aku termasuk orang- orang yang mendapat petunjuk.”(QS. Al An’am;56)
Dan Allah berfirman menjelaskan kondisi kaum Musyrikun di saat menjelang maut:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآياتِهِ أُولئِكَ يَنالُهُمْ نَصيبُهُمْ مِنَ الْكِتابِ حَتَّى إِذا جاءَتْهُمْ رُسُلُنا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قالُوا أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَ شَهِدُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كانُوا كافِرينَ

“Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat- ayat- Nya Orang- orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfûz); hingga bila datang kepada mereka utusan- utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya:” Di mana (berhala- berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah” Orang- orang musyrik itu menjawab:” Berhala- berhala itu semuanya telah lenyap dari kami,” dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah orang- orang yang kafir.” (QS. Al A’râf;37)

إِنَّ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبادٌ أَمْثالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صادِقينَ

“Sesungguhnya berhala- berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk ( yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala- berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang- orang yang benar.” (QS. Al A’râf;194).

Dan juga tentang kaum kafir:

وَ إِذا رَأَى الَّذينَ أَشْرَكُوا شُرَكاءَهُمْ قالُوا رَبَّنا هؤُلاءِ شُرَكاؤُنَا الَّذينَ كُنَّا نَدْعُوا مِنْ دُونِكَ فَأَلْقَوْا إِلَيْهِمُ الْقَوْلَ إِنَّكُمْ لَكاذِبُونَ

“Dan apabila orang- orang yang mempersekutukan (Allah ) melihat sekutu- sekutu mereka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami mereka inilah sekutu- sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau.” Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya kamu benar- benar orang- orang yang dusta.”(QS. An Nahl;86).

Dan banyak lainnya, sengaja tidak kami sebutkan di sini. Bukankah ayat-ayat tersebut mengabarkan kepada kita gambaran yang bertolak belakang dengan gambaran yaang disajikan Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab difirmankan Allah bahwa seruan kaum Musyrikun itu dialamatkan untuk arca dan berhala-berhala mereka persekutukan dengan Allah. Jadi di manakah kita dapat menemukan bukti bahwa kaum Musyrikun itu menyeru Allah siang dan malam?.
Semua gambaran itu diperindah oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dengan tujuan membangun opini adanya kesamaan antara kaum Musyrikun dan umat Islam di masanya bahkan hendak meyakinkan bahwa kaum Musyrikun lebih unggul di banding umat Islam, kemudian atas dasar ini ia membangun vonis pengafiran atas umat Islam tersebut!

Di sini, perlu ditegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad saw. memerangi kaum Kuffâr Quraisy dan selainya dikarenakan banyak sebab, yang paling mendasar adalah: Kemusyrikan, syirk akbar, mendeportasi umat Islam daari rumah-rumah dan kampung halaman mereka, mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan berbagai kezaliman yang mereka lakukan terhadap kaum Musslimin.

Apa yang disebutkan Syeikh sebagai sebab diperanginya kaum Kuffâr adalah tidak lengkap dan cenderung menyebutkan sebab sepeleh yang kurang akurat dengan tujuan memberikan peluang baginya untuk mengambil kesimpulan sepihak.

Lagi pula, dalam ayat Al Qur’an yang mana kita dapat menemukan keterangan bahwa Nabi saw. Memerangi kaum Kuffâr “agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan hanya untuk-Nya.”!!

Di sini Syeikh hanya menyebutkan sebab yang samar, atau justru ia sengaja mengelabui pengikutnya. Apa yang ia sebutkan tidak akan pernah ditemukan dalam nash-nash keislaman dan tidak pasti apakah ia sebab yang karenanya Nabi saw. memerangi mereka?! Sementara itu ia menutup mata dari menyebut sebab yang pasti yang disepakati seluruh umat Islam dan telah ditegaskan Al Qur’an dalam berbagai ayatnya.

Dari sikap mengedepankan “yang belum pasti dan meninggalkan yang pasti” seperti inilah para “Ekstrimisme Islam” mendasarkan kegilaan sikapnya dalam menghalalkan darah-darah sesama kaum Muslimin dari golongan lain!!

Jadi anggapannya bahwa “tujuan mereka dari para malaikat, para nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka.” Adalah kepalsuan belaka daan kebohongan atas nama Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya yang menhalalkan darah-darah mereka adalah karena mereka telah merusak agama Ibrahim as., mengingkarii kenabian Nabi Muhammd saw. setelah tegas dan nyata bukti dan mu’jizat di hadapan mereka, serta penyembahan terhadap arca-arca dan berhala-berhala. Bukan sekedar memohon syafa’at dari para malaikat atau tawassul mereka dengan kaum Shâlihin.

Dari sini dapat dipastikan bahwa bangunan pemikiran yang ditegakkan Syeikh telah runtuh daari pondasinya dan dengannya dapat dipastikan pula bahwa penafsiran Kalimatut Tauhid yang ditandaskan Nabi Muhammad saw. dengan apa yang ia pahami adalah rapuh dan fâsid. Karena pengertian Kalimatut Tauhid tidak semata bahwa kata Ilâh maknanya ialah Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi Rizki dan Maha Pengatur dan darinya ia menyimpulkan bahwa beristighatsah dan memohon syafa’at kepada Allah dengan bantuan hamba-hamba pilihan-Nya adalah sama dengan menjadikan mereka sebagai âlihah (jamak ilâh) dan itu artinya menyembah mereka. Anggapan seperti itu akan Anda ketahui di bawah ini adalah jelas-jelas keliru dan menyimpang! Dan menyamakan kaum Muslimin yang bertawassul dan beristighatsah dengan para penyembah bintang-bintang, penyembah Isa dan Maryam as., penyembah malaikat adalah kejahilan belaka atau penentangan terhadap bukti nyata!

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (5), (6), (7) dan (8)

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (5).

Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.
_____________________
Catatan 5:
Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!

Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbutki bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata:

أبوبكر سيِّدُنَا أعتَقَ بِلاَلا سيِّدَنَا

“Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”

Lebih dari itu Al Qur’an juga telah menggunakan kata tersebut untuk seorang Rasul utusan-Nya. Allah SWT berfriman:

فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ

“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)

Ketika menafsirkan kata سَيِّداً dalam ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip berbagai komentar para mufassir Salaf yang semuanya mengarah kepada makna adanya kemulian dan keistimewaan di sisi Allah SWT.

Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-” [1]

Dan dalam sepenjang penggunaannya oleh kaum Muslimin, kata Sayyid tidak pernah dipergunakan untuk makna yang menyalai kemurnian Tauhid dan penghambaan. Kata itu dipergunakan kaum Muslimin untuk seseorang yang diyakini memiliki kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah SWT. dengannya ia diisitimewakan dari orang lain dan karena kedudukan dan keistimewaannya itu maka permohonannya untuk seorang yang menjadikannya perantara dalam pengabulan doa dan permohonan diperkenankan Allah SWT. Jadi apa yang diyakin kaum Muslimin adalah apa yang telah ditetapka Allah SWT.
Adapun kaum Wahhâbiyah, mereka menafikan kedudukan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hamba pilihan-Nya dan menisbahkan kepada kaum Muslimin sesuatu yang tidak mereka yakini, dan kemudian menyebut kaum Muslimin dengan sebutan kaum Musyrikin. Apa yang mereka lakukan mirip dengan apa yang dilakukan kaum kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya kemudian menisbahkan kepada para Rasul dan pengikut setia mereka apa-apa yang tidak mereka yakini dan mereka perbuat!

Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid. Dan tentunya perlu diyakini bahwa tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengunakannya untuk makna yang menyalai kemurnian penghambaan.

Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq.
Kemudian adalah tidak berdasar ucapan Syeikh bahwa kaum Musyrikun di zaman Nabi saw. seluruhnya telah mengatahui bahwa “Allah-lah Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki dan Maha pengatur alam semesta” sebab yang mengetahuinya hanya sebagian dari mereka saja, sementara sebagian lainnya adalah kaum dahriyyûn, yang tidak percaya akan ketiga prinsip itu dan tidak mempercayai adanya hari kebangkitan.
Allah SWT berfirman menceritakan mereka:

وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ.

“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24)
________________________

[1] Tafsir Ibnu Katsir,1/361.

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (6).

Maka Nabi saw. datang menyeru mereka kepada Kalimat Tauhid, La ilaha Illallah. Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya. Orang-orang kafir yang dungu mengetahui bahwa maksud Nabi dari kalimat ini adalah meng-esakan Allah dengan hanya bergantung kepada-Nya dan mengingkari sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya, hal itu terungkap saat mereka diminta untuk mengucapkannya kalimat Lailaha Illallah, mereka menjawab:


أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَيْءٌ عُجابٌ

Apakah tuhan-tuhan dapat dijadikan menjadi tuhan yang satu? Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS.Shad: 5)
_______________________
Catatan 6:

Pertama-tama, perlu kami tegaskan di sini bahwa Nabi Muhammad saw. menerima dan memberlakukan hukum dzahir Islam atas sesiapa yang melafadzkan Kalimah Tauhid sekalipun ia berpura-pura dan tidak tulus dalam mengucapkannya. Dengannya, seseorang dapat dibentengi dari dikafirkan dan dicucurkan darahnya. Sementara, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb mengabaikan ketetapan itu, ia tidak segan-segan menghukum kafir dan halal darah-darah kaum Muslimin yang hidup sezaman dengannya, padahal mereka mengucapkannya dengan penuh ketulusan.

Kaum Munafiqin yang hidup di zaman Nabi saw. mengucapkan dua kalimah Syahâdatain dengan lisan mereka, tanpa meyakininya, dan Nabi saw. pun mengetahui hal itu, namun demikian beliau tidak menghukumi mereka secara dzahir dengan hukum kaum kafir dan menghalalkan darah-darah mereka. Adapun kaum Muslimin yaang hidup se zaman dengan “Syeikh” (Ibnu Abdul Wahab), darah-darah dan harta mereka tidak dihormati…. kalimah Syahâdatain yang mereka ucapkan tidak digubris oleh Syeikh… rukun-rukun Islam yang mereka tegakkan belum dianggap cukup untuk mencegah jiwa dan harta untuk dihalalkan!

Kedua, Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sedang berboros-boros kata-kata untuk sesuatu yang tidak perlu diperpanjang. Sebab tidak ada relefansinya apa yang ia katakan dengan klaim awalnya yang mengatakan bahwa kau Muslimin telah menyekutukan Allah dengaan sesembahan lainnya!
Kaum Muslimin memahami dengan baik bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah mengesakan Allah dalam penghambaan dan penyembahan. Tidak ada seorang pun dari umat Islam yang tidak memahami inti dasar seruan beliau itu! Hanya saja Syeikh ingin memperlebar cakupan makna penghambaan sehingga mencakup banyak hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan penghambaan, namun Syeikh beranggapan bahwa hal-hal tersebut adalah bagian inti dari penghambaan, kemudian atas dasar anggapan dan pahamannya yang menyimpang dan tidak berdasar itu ia menuduh umat Islam telah menyembah selain Allah SWT.

Ketiga, Semua mengetahui bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah menerima dengan sepenuh jiwa Kalimah Tauhid, tidak hanya sekedar mengucapkannya. Lalu apa maksudnya Syeikh mengatakan: “Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya” kalau bukan hendak menuduh bahwa kaum Muslimin di zaman beliau telah menyekutukan Allah SWT dalam penyembahan, dan mereka tidak mengerti dari konsekuensi Kalimah Tauhid itu selain mengucapkannya belaka! Mereka tidak mengerti bahwa makna Kalimah Tauhid yang diminta untuk diimani dan dijalankan adalah: “Tiada sesembahan, ma’bûd yang berhak disembah melainkan Allah.” Sementara itu, kaum Musyrikun yang jahiliyah itu justru telah memahaminya! Seperti ia tegaskan dalam paragrap di bawah ini.

Jika Anda mengetahui bahwa orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr itu memahami hal tersebut, maka yang sangat menherankan adalah ketidaktahuan orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim terhadap tafsir dari kalimat ini yang dapat dipahami oleh orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr. Bahkan ia (yang mengaku Muslim itu) beranggapan bahwa makna Kalimah itu hanya sekedar pengucapannya tanpa dibarengi oleh keyakinan hati nurani terhadap maknanya.
______________________
Catatan 7:

Apa yang dikatakan Syeikh di sini adalah murni kebohongan. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin, serendah apapun pendidikannya berpendapat bahwa makna Kalimah Tauhid sekedar mengucapkannya saja tanpa harus diyakini dalam jiwa dan diwujudkan konsekuensinya dalam tindakan!
Umat Islam tanpa terkecuali, baik awam apalagi para ulama meyakini bahwa Kalimah Syahâdatain itu tidak cukup sekedar diucapkan dengan lisan tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa. Dan mereka tidak ragu barang sedikitpun bahwa sekedar mengucapkannya tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa adalah kemunafikan yaang mereka kecam! Umat Islam sepakat mengecam sesiapa yang ucapannya bertentangan dengan keyakinan hatinya. Bahkan kaum kafir sakali pun mengecam hal itu!

Lalu bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya berpendapat bahwa dengan sekedar mengucapkan Kalimat Tauhid saja tanpa dibarengi dengan meyakininya itu sudah cukup menjamin kebahagian dunia dan akhirat!

Bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya membolehkan untuk kita, misalnya untuk mengatakan: Lâ Ilâha Illa Allah, sementara pada waktu yang sama kita menyembah selain Allah… kita mengatakan: “Muhammad Rasulullah” dan pada waktu yang sama kita mengingkari kenabian dan kerasulannya?!

Apakah Syeikh mengangap mereka senaif dan sedungu itu?! Atau jangan-jangan itu hanya khayalan Syeikh belaka, atau bisikan dari qarîn-nya!
Jika praktik tabarruk, tawassul, tasyaffu’ dan istightsah yang dilakukan umat Islam sejak zaman Salaf Shaleh; para sahabat dan tabi’în yang dimaksud oleh Syeikh sebagai penyembahan dan penghambaan kepada selain Allah SWT dan itu dalam hemat Syeikh artinya umat Islam membolehkan menyembah selain Allah, maka anggapan itu sangat keliru. Sebab, paling tidak, dia harus menyadari bahwa umat Islam; para ulama dan awamnya yang melakukan praktik-praktik tersebut di atas memiliki banyak bukti yang membenarkan dan melegalkannya! Atau paling tidak, dalam hemat mereka praktik-praktik itu tidak menyalai prinsip Tauhid. Buku-buku yang mereka tulis untuk membuktikan di-syari’at-kannya apa yang mereka praktikan dipenuhi dengan dalil-dalil akurat dan kuat… Dan sekalipun Syeikh tidak menyetujuinya dan tidak menganggapnya dalil yang berarti, maka paling tidak hal itu dapat diangap sebagai syubhat dan ta’wil dalam melegalkan praktik mereka yang tentunya, jika diuji kualitas, ia tidak kalah kuat dengan syubhat dan alasan-alasan Syeikh dan kaum Wahhabiyah dalam mengafirkan kaum Muslimin! dan menggolongkan mereka lebih kafir dari kaum kafir Quraisy!
Tetapi, sulit rasanya beribicara dengan orang yang berani mengada-ngada kebohongan atas nama kaum Muslimin!

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (7).

Yang cerdas dari mereka (yang mengaku Muslim dari kalangan ulama Islam) menyangka bahwa maknanya adalah: “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.

_______________
Catatan 8:
Telah lewat kami jawab, bahwa tidak seorang pun dari ulama Islam, baik di zaman Syeikh maupun sebelumnya yang menafsirkan Kalimah Syahâdatain dengan apa yang disebutkan oleh Syeikh!

Entah dari mana Syeikh mengambil penafsiran itu?! Yang pasti di sepanjang sejarah umat Islam tidak pernah ada seorang ulama yang mengatakan bahwa tafsir Kalimah: Lailaha Illallah adalah “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Apalagi disertai dengan anggapan bahwa boleh saja seorang hamba mengalamatkan penghambaan dan penyembahannya kepada selain Allah SWT! Kami yakin tidak ada orang waras mengatakan seperti itu! Jika Syeikh menuduhnya demikian maka, ia wajib membuktikannya! Jika tidak, berarrti ia mengada-ngada kebohongan kemudian ia nisbahkan kepada ulama Islam!

Dan yang mengherankan dari Syeikh ialah tidak cukup mengada-ngada kepalsuan, ia menambahkan arogansinya dengan mengatakan, “Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.”!!!

Ini adalah bukti baru bahwa Syeikh lebih mengutamakan kaum Musyrikun atas kaum Muslimin! Dan menganggap kaum jahil dari kalangan kaum Kuffâr telah memahami dengan baik makna Kalimah Lailaha Illallah sementara itu ulama Islam gagal dalamm memaknainya!!

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (8).

Jika Anda memahami apa yang saya sampaikan dengan sebenar-benarnya dan Anda memahami bahwa menyekutukan Allah yang disebut sebagai dosa yang tak dapat terampuni.

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ ما دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa’: 48).

Dan memahami bahwa agama Allah yang dibawa oleh para Rasul dari yang pertama hingga yang terakhir, agama yang tidak diterima oleh-Nya selain agama itu, dan Anda mengetahui bahwa betapa banyak orang-orang yang bodoh terhadap hal ini. Maka ada dua poin yang dapat diberikan,

pertama, bahagia terhadap anugerah dan rahmat Allah, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah:” Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS.Yunus: 58).

Dan poin selanjutnya (kedua) adalah ketakutan yang hebat.

Karena jika Anda memahami bahwa seseorang menjadi kafir karena ucapan yang dikeluarkan dari mulutnya dan dia tidak tahu, maka kebodohan/ketidaktahuannya tidak dapat dijadikan alasan. Dan terkadang dia mengatakan sesuatu yang dianggapnya dapat mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dikhayalkan oleh kaum musyrikin, terlebih jika Anda menyimak saat Allah mengisahkan cerita kaum Musa a.s. yang dengan ilmu dan keutamaan yang mereka miliki, mereka mendatangi Musa seraya berkata:

اجْعَلْ لَنا إِلهاً كَما لَهُمْ آلِهَةٌ

“Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Al-A’raf: 138)
Dengan demikian makin besarlah ketakutan Anda dan makin besar pula keinginan untuk memurnikan diri dari hal tersebut dan semisalnya.
________________
Cacatan 9:
Dalam pernyataannya di atas, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menvonis kafir seseorang karena perkataan yang ia katakan padahal ia mengatakannya dalam keadaan tidak mengetahui bahwa yang ia ucapkan itu berkonsekuensi kekafiran! Kajahilan itu tidak menjadi uzur untuk dielakkannya status kafir atasnya!

Jika Anda mengetahui bahwa memanggil Nabi Muhammad saw. dengan ucapan, “Ya Rasulullah, isyfa’ lî ‘indallahi/Wahai Rasulullah mohonkan untukku syafa’at dari Allah” itu digolongkan syirik, maka dapat dipastikan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, dihukumi kafir, walaupun ia tidak mengerti di mana letak kemusyrikan dari kata-kata yang ia ucapkan itu, andai benar anggapan Ibnu Abdil Wahhâb tentangnya!!

Ketegasan kata-kata Ibnu Abdil Wahhâb dalam vonis kafirnya atas pengucap kata-kata kekufuran walaupun tidak mengetahui apa yang ia ucapkan itu telah membuat para juru dakwah Sekte Wahhâbiyah belakangan ini agak kerepotan. Pasalnya pandangan demikian itu terbilang dangkal, menyimpang dan memilih sisi ekstrim dalam memamahi agama! Karenanya Syeikh al-Utsaimin –Khalifah Abdul Aziz ibn Bâz, Mufti Tertinggi sekte Wahhâbiyah di masanya- terpaksa berpanjang-panjang dalam memberikan arahan.
Dan sikap keras Syeikh dalam masalah ini seperti sikap kerasnya dalam masalah-masalah lain. Takfîr adalah senjata andalannya.

Al Jahl, Ketidak-tahuan Adalah Uzur Dihindarkannya Status Kafir Dari Seseorang!
Para ulama menyebutkan bahwa bisa jadi perbuatan tertentu atau meninggalkan sebuah perbuatan tertentu itu adalah merupakaan kekafiran, dan pelakunya adalah dijatuhi hukuman sebagai kafir. Akan tetapi ketika akan dijatuhkan atas pekalu tertentu (mu’ayyan), maka harus dilakukan prosedur panjang. Di antaranya:
A) Adakah bukti kuat yaang membenarkan ditetapkannya hukum itu atas orang tersebut? Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan muqtadhi.
B) Tidak adanya penghalang untuk diterapkannya hukuman itu. Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan tidak adanya mâni’.
Apabila terbukti bahwa muqtadhi belum lengkap atau tidak cukup… atau terdapat mâni’ tertentu maka ketetapan status hukuman itu tidak dapat ditetapkan.

Di antara mawâni’ (bentuk jamak kata mâni’) yang akan menghalangi ditetapkannya status kafir tersebut atas seseorang adalah kejahilan/ketidak-tahuan. Bahkan al jahl adalah mâni’ terpenting yang harus selalu diperhatikan sebelum menjatuhkan vonis kafir tersebut.

Hendaknya orang yang akan divonis itu mengetahui dengan pasti pelanggarannya. Allah berfirman:

وَ مَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبيلِ الْمُؤْمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلَّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ ساءَتْ مَصيراً.

“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk- buruk tempat kembali.” ( QS. An Nisâ’ [4];115).

Dalam ayat di atas ditegaskan, ditetapkannya siksa neraka bagi yaang menentang Allah dan Rasul-Nya itu setelah jelas baginya petunjuk. Itu artinya kejahilan telah terangkat darinya.

Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas sebagai berikut, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya” barang siapa menempuh selain jalan Syari’at yang dibawa Rasulullah saw. dan menjadi berada din sisi sementara Syari’at di sisi lain dengan kesengajaan setelah tampak dan jelas serta gamblang baginya al haq, kebenaran…. ” [1]

Dalam hal ini, al-Utsaimin berseberangaan dengan pendiri Sekte Wahhâbiyah. Setelah panjang lebar memberikan arahan agar imamnya tidak terlihat menyimpang, ia berkata menyimpulkan, “Al hasil, seorang yang jahil punya uzur tentang apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kekafiran, sebagaimana ia diberi uzur atas apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kefasikan. Hal itu berdasarkan dalil Al Qur’an dan Sunnah serta i’tibâr dan pendapat para ulama.” [2] Semoga fatwa ini adalah bentuk perlunakan doktrin ekstrim Wahhâbiyah!

Selain kejahilan, ta’wîl atau syubhat dalam memahami nash agama juga menjadi mâni’. Sebagai contoh, para ulama menyebutkan kasus kaum Khawârij, di mana seperti kita ketahui bersama bahwa mereka telah mengafirkan banyak sahabat besar seperti Sayyidina Ali ra., menghalalkan darah-darah kelompok Muslimin selain mereka, menghalalkan harta mereka… namun demikin mereka tidak divonis kafir oleh para ulama, sebab dalam hemat mereka, kaum Khawârij itu berpendapat dan bersikap demikian karena syubhat ta’wil dalam memahami nash-nash agama, walaupun jelas-jelas salah fatal!

Bahaya Mengafirkan Tanpa Dasar dan Bukti.
Mengapa begitu serius masalah pengafiran person, mu’ayyan atau bahkan yang bersifat umum? Karena hukum awal bagi kaum Muslimin adalah dihormatinya status keislaman mereka, dan kita harus senantiasa menetapkan bagi mereka status tersebut sehingga ada bukti nyata dan pasti bahwa statsu itu telah gugur. Di sini, dalam hal ini, kita tidak boleh semberono dan gegabah dalam menvonis kafir seseorang. Sebab dalam pengafiran itu terdapat dua bahaya yang bisa menghadang.

Pertama, Mengada-ngada atas nama Allah SWT dalam menetapkan hukum/status.
Hal ini jelas, karena kita telah menetapkan status atas seseorang yang tidak ditetapkan oleh Allah SWT. Kita mengafirkan seseoraang yang tidak dihukum kafir oleh Allah SWT. Tindakan itu sama dengan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah SWT., atau sebaliknya… .
Kedua, Mengada-ngada dalam penetapan status atas orang yang divonis.

Hal itu juga berbahaya, mengingat menetapkan status kafir atas seorang Muslim itu artinya kita menetapkan status yang berlawanan dengan status yang sebenarnya sedang ia sandang. Seorang Muslim kita sebut ia sebagai Kafir! Jika ada orang yang mengafirkan orang lain yang tidak berhak ia kafirkan maka vonis itu akan kembali kepadanya, seperti ditegaskan dalam banyak hadis shahih.
Imam Muslim meriwayatkaan dari Abdullah ibn Amr, ia berkata, “Nabi saw. bersabda, ‘Jika seorang mengafirkan orang lain, maka ia (status kafir itu) telah tetap bagi salah satunya.” [3]

Dalam redaksi lain disebutkan, “ Jika memang seperti yang ia katakan (ya tidak masalah), tetapi jika tidak, maka ia akan kembali kepadanya.” [4]
Karenanya perlu berhati-hati dalam menetapkan vonis kafir atas mu’ayyan, atau bahkan atas keyakinan tertentu atau pekerjaan tertentu yang dipraktikan kaum Muslimin, generasi demi generasi dan didasarkan atas dalil-dalil yang diyakini kesahihannya. Sebab boleh jadi menvonis secara gegabah praktik tertentu sebagai kemusyrikan atau kekafiran termasuk mengada-ngada atas nama Allah dan Rasul-Nya.

*****
___________________
Rujuk:
[1] Tafsir Ibnu Katsir,1/554-555.
[2] Syarah Kasyfu asy Syubuhât:38.
[3] Muslim, Kitab al Imân:60.
[4] Ibid.

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9), (10), dan (11)

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9)

Dan ketahuilah sesungguhnya termasuk dari hikmah Allah Swt adalah Dia tidak mengutus seorang nabi dengan tauhid ini kecuali dia telah menjadikan musuh-musuh baginya, sebagaimana firmannya:

وَ كَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطينَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ يُوحي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap- tiap nabi itu musuh, yaitu setan- setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan- perkataan yang indah- indah untuk menipu (manusia). (Al-An’am: 112).

Dan terkadang para musuh-musuh tauhid memiliki ilmu yang begitu banyak, buku-buku dan berbagai argumentasi, sebagaimana firman Allah Swt:

فَلَمَّا جاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّناتِ فَرِحُوا بِما عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul- rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan- keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka… (Al-Ghafir: 83).

Jika Anda mengetahui hal tersebut dan mengetahui bahwa jalan menuju Allah Swt senantiasa dipenuhi oleh musuh-musuh yang merintangi; mereka Ahli-Ahli bahasa (fasih), pemilik ilmu dan argumentasi, maka wajib bagi Anda untuk mempelajari agama yang dapat anda gunakan sebagai senjata untuk memerangi mereka; para setan yang pemimpin dan senior mereka telah berkata kepada Allah Swt:


لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِراطَكَ الْمُسْتَقيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْديهِمْ وَ مِنْ خَلْفِهِمْ وَ عَنْ أَيْمانِهِمْ وَ عَنْ شَمائِلِهِمْ وَ لا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شاكِرينَ

Saya benar-benar akan (menghalang- halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur ( taat ). (Al-A’raf: 16-17).

Akan tetapi jika Anda menghadap kepada Allah dan mendengarkan hujjah-hujjah dan penjelasan-Nya maka janganlah merasa takut dan bersedih.

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطانِ كانَ ضَعيفاً

“sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (An-Nisa’: 76).
________________
Catatan 10:
Dari keterangan Syeikh di atas terlihat jelas bahwa sebenarnya pertentangannya adalah dengan para ulama, -bukan dengan kaum awam-, yang memiliki kefasihan dalam berbahasa, banyak ilmu pengetahuan dan hujjahnya. Pernyataan ini adalah sebuah pengakuan bahwa ia sedang mengalamatkan pembicaraan dan dakwahnya kepada para ulama di wilayah Najd, Hijaz, dan Syam…. namun anehnya, beberapa lembar sebelum ini ia mengatakan bahwa mereka itu tidak memiliki pengetahuan tentang makna Kalimah Tauhid; Lâ ilâha Illa Allah!!

Jika dalam banyak kesempatan ia menyebut kaum Muslimin sebagai Musyrikûn yang menyekutukan Allah SWT, maka kali ini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menyebut para ulama Islam yang bertentangan dengannya sebagai musuh-musuh para Rasul… mereka adalah setan-setan dan pengikut setia Iblis… kerja mereka hanya menghalang-halangi umat manusia dari mengenal dan tunduk kepada Allah SWT.

Dalam banyak kesempatannya, Syeikh juga selalu menyebut bahwa sesiapa yang menentang dakwahnya berarti menentang ajaran Tauhid murni yang dibawa para Rasul….

Mungkin Anda beranggapan bahwa yang dimaksud olehnya adalah kaum Kuffâr; Yahudi, Nashrani, Ateis dll. Merekalah musuh-musuh para Rasul….
merekalah setan-setan itu! Akan tetepi anggapan itu segera terbukti naif, setelah Anda mengetahui bahwa di sepanjang aktifitas dakwahnya, Syeikh tidak pernah berdakwah selain kepada kaum Muslimin sendiri… hanya mereka yang menjadi fokus garapannya…
semua kegiatannya hanya dialamatkan kepada kaum Muslimin (yang tentunya ia vonis musyrik)….
sebagaimana peperangan dan jihadnya juga hanya melawan sesama kaum Muslimin !!

Jadi jelaslah bahwa yang ia maksud adalah ulama Islam! Merekalah dalam pandangan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai musuh-muusuh para Rasul dan setan, bala tentara Iblis!! Seperti akan ia pertegas dalam lembar-lembar berikutnya bahwa “setan-setan, musuh-musuh Tauhid, dan ulama Musyirikûn” itu berhujjah dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. dalam menetapkan keyakinan mereka akan kebenaran konsep Syafa’at, Istighâtsah dll. Adakah yang berhujjah dalam masalah tersebut di atas dengan Al Qur’an selain ulama Islam?! Jadi jelaslah bagi kita bahwa yang di maksud dengan Musyrikûn dan setan-setan bala tentara Iiblis adalah ulama Islam!!

Setelah ia menasihati para pengikutnya agar mempersenjatai diri dengan ilmu dan memperhatikan hujjah-hujjah Allah, ia berusaha mayakinkan mereka (dan juga kita semua) bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti mampu mengalahkan seribu ulama Islam yaang ia sebut sebagai ulama kaum Musyrikin!

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (10).

Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu (1000) dari orang musyrik. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَ إِنَّ جُنْدَنا لَهُمُ الْغالِبُونَ

Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (As-Shaffat: 176).

Maka tentara-tentara Allah itu menang dengan hujjah dan argumentasi sebagaimana (lawan-lawan) mereka menang dengan pedang. Akan tetapi ketakutan itu hanya dirasakan oleh seorang Ahli tauhid yang menapaki jalan tanpa senjata.

Allah Swt telah menganugerahkan kepada kami sebuah kitab yang dijadikannya sebagai:

تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدىً وَ رَحْمَةً وَ بُشْرى لِلْمُسْلِمينَ

Untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang berserah diri. (An-Nahl: 89).

Maka tidak ada Ahli batil yang mendatangkan hujjahnya kecuali al-Qur’an telah membantah dan merusaknya.


وَ لا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَ أَحْسَنَ تَفْسيراً

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 33).

Sebagian Ahli tafsir berkata bahwa ayat ini umum mencakup setiap hujjah yang diajukan oleh Ahli batil pada hari kiamat.
_________________
Catatan 11:
Pernyataan di atas tegas-tegas memuat pengafiran jumlah yang tidak sedikti dari ulama Islam. Adalah mustahil dalam kebiasaan terdapat 1000 ilmuan kafir seperti yang ia sebut dalam satu kota, misalnya. Ini adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengalamatkan vonisnya kepada ulama Islam yang tidak sependapat dengnnya.

Sementara itu yang selalu kita dengar dari Syeikh sendiri maupun para pengikutnya mereka mebela diri dengan mengtakan, “Ma’âdzallah, kami berlindung kepada Allah dari mengafirkan kaum Muslimin!”. Ini adalah ucapan bersifat umum. Akan tetapi permasalahannya terletak pada, siapa sejatinya “Muslim” dalam pandangan kaum Wahhâbiyah?. “Muslim” dalam pandangan mereka berbeda dengan “Muslim” dalam pandangan para ulama Islam lainnya.

Dalam pandangan Syeikh dan para pengikutnya, “Muslim” itu harus memenuhi banyak syarat yang tidak pernah disyaratkan oleh para ulama Islam di sepanjang masa….
mengucapkan Syahâdatain/dua kalimah Syahadat belum cukup untuk mengeluarkan seseorang dari kekafiran…
Mengetahui sebagian syarat saja sementara syarat-syarat lain tidak diketahuinya juga tidak menyelamatkannya dari vonis kafir! Kemudian dalam pemahaman terhadap makna sebagian syarat diharuskan menuruti pemahaman Syeikh…
maka dengan demikain hampir tidak ada yang terjaring ke dalam kelompok “Ahli Tauhid” (yang mengesakan Allah SWT) selain Syeikh dan pengikutnya.

Al hasil, di sini Syeikh menjamin bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti akan mampu mengalahkan seribu ulama kaum Musyrikîn (baca Muslimin)! Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu dari orang musyrik. Sebab para pengikutnya adalah “Tentara Allah” yang dijamin kemenangannya baik dalam hujjah dan argumentasi maupun dalam peperangan…
demikian, Syeikh menanamkan kepercayaan diri dalam jiwa-jiwa pengikutnya…
dan sekaligus mempersiapkan mental mereka agar bersemangat dalam memerangi kaum Muslimin yang telah diperkenalkan kepada para pengikutnya (yang dewasa itu kebanyakan dari kalangan awam dan arab-arab Baduwi yang jauh dari pemahaman agama yang cukup).
Setelah itu, Syeikh mulai mengurai argumentasi yang dianggapnya mampu mempersenjati para pengikutnya.

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (11).

Saya akan menyebutkan untuk Anda hal-hal yang disebut oleh Allah Swt di dalam kitab-Nya yang merupakan jawaban dari sanggahan kaum musyrikin di zaman kami yang ditujukan kepada kami.
Kami dapat menjawab sanggahan Ahli batil itu melalui dua bentuk: secara global dan secara terperinci. Yang global itu merupakan hal yang dapat memberi faedah besar bagi mereka yang memahaminya. Allah berfirman:

هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَ أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ فَأَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ

Dia- lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat- ayat yang muhkamaat itulah pokok- pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang- orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat- ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari- cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. (Al-Imran: 7).

Telah disebutkan sebuah hadis sahih bahwa jika kalian melihat sekelompok orang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari al-Quran, maka mereka adalah orang-orang yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang patut diwaspadai.

Sebuah contoh: jika sebagian orang musyrikin berkata kepada Anda:

أَلا إِنَّ أَوْلِياءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ( pula )mereka bersedih hati. (Yunus: 62)
Dan syafaat adalah sebuah kebenaran dan para nabi memiliki posisi di sisi Allah atau si musyrik membawakan sabda-sabda nabi sebagai dalil atas kebatilan pendapatnya, sedang Anda tidak memahami arti ungkapan yang disebutnya maka jawablah: “sesungguhnya mereka yang di hatinya ada kemunafikan maka mereka meninggalkan yang muhkam dan mengikuti yang muthasyabih.”

Dan apa yang saya sebutkan kepada Anda bahwa Allah Swt menyebut orang-orang musyrikin sebagai orang-orang yang mengakui tauhid rububiyah dan kekafiran mereka akibat hubungan mereka dengan para malaikat, para nabi dan para wali:

هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ

” Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. (Yunus: 18).

Hal ini merupakan hal yang muhkam dan jelas yang tidak bisa diubah artinya oleh siapapun.
______________

Catatan 12:
Wahai pembaca, siapa gerangan yang Ibnu Abdil Wahhâb maksud dengan: “kaum musyrikin dan “sebagian orang musyrikin” dalam kalimat yang ia tulis di atas, yang mana mereka menyelami dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw. dan memiliki kefashihan, ilmu dan hujjah-hujjah?! Bukankah mereka itu adalah ulama Islam yang sedang ia selisihi dalam klaim kekafiran dan kemusyrikan?

Siapakah yang meyakini adanya hak syafa’at bagi para nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. dan mereka memohonnya dari beliau saw. dengan mengatakan misalnya, ‘wahai Rasulullah, berilah aku syafa’at’ (yang oleh Ibnu Abdil Wahhâb dituduh sebagai telah menyekutukan Allah SWT.)
Siapa sebenarnya yang sedang berhadap-hadapan dengan kaum Wahhâbi dan sedang dihadapi kaum Wahhâbi? Sejarah tidak pernah mencatat bahwa kaum Wahhâbi di masa awal kemunculannya hingga sekarang berhadapan dengan selain kaum Muslimin dalam persengketaan seputar masalah syafa’at, tawassul, istighâtsah dll?!

Tidak syak lagi bahwa stitmen di atas adalah sebuah bukti nyata pengafiran terang-terangan terhadap umat Islam selain kaum Wahhâbi yang selalu mereka tuduh sebagai a’dâ’u al Islâl, a’dâ’u at Tauhîd dan khushûm ad da’wah/musuh-musuh Islam, musuh-musuh Tauhid dan lawan-lawan da’wah.
Kenyaatan ini harus diakui sebagai sebuah kezaliman, sebab, seperti telah disinggug bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam seluruh kegiatannya hanya sedang membantah arugumentasi kuam Muslimin dan tidak sedang membantah kaum kafir atau kaum Musyrik. Jika Anda ragu akan hal itu, bacalah surat-surat yang dilayangkan atau buku-buku yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, Anda tidak akan menemukan satupun dari nama orang kafir (Yahudi dan atau Nashrani) atau seorang Musyrik (penyembah acra, matahari, atau sesembahan lainnya). Yang akan Anda temukan hanya nama-nama ulama Islam di masanya, seperti:
· Muhammad ibnu Fairûz al Ahsâ’i (seorang ulama dari suku bani Tamîm, suku yang sama dengan suku Syeikh, dan beliau hijrah ke kota Bashrah meninggalkan al Ahsâ’ setelah kota tersebut jatuh ke tangan kaum Wahhâbiyah).
· Marbad ibn Ahmad at Tamîmi (mufti pengikut mazhab Syafi’i di Madinah al Munawarah, beliaulah yang menceritakan apa adanya akidah Syeikh kepada al Amîr ash Shan’âni yang kemudian berbalik menghujat Syeikh karena sikap takfîr-nya yang melampaui batas, Syeikh Marbad dibunuh kaum Wahhâbiyah di kota Raghbah tahun 1171 H.).
· Abdullah ibn Sahîm (seorang faqih kota Qashîm, seorang qadhi bermazhab Hanbali untuk daerah Sudair).
· Sulaiman ibn Sahîm al Hanbali (ulama dan faqih penduduk kota Riyâdh, ia hijrah ke kota az Zubair meninggalkan kota Sudair setelah kaum Wahhâbiyah mendudukinya. Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb telah mengafirkannya dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama Islam).
· Abdullah ibn Abdul Lathîf (salah seorang guru Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang sangat menentang seruannya).
· Muhammad ibn Sulaiman al Madani, Abdullah ibn Daud al Zubairi (seorang ulama Ahlusunnah asal Iraq).
· Sayyid Alawi ibn Ahmad al Haddâd al Hadhrami (seorang ulama besar Ahlusunnah dari Hadhramaut).
· Sulaiman ibn Abdil Wahhâb (saudaranya sendiri).
· Muhammad ibn Abdur Rahman ibn ‘Afâliq al Hanbali al Najdi (seorang ulama kota al Ahsâ’).
· Al Qâdhi Thâlib al Humaishi.
· Syeikh Ahmad ibn Yahya.
· Syeikh Shaleh ibn Abdullah ash Shâigh (seorang ahli fikih dan qadhi kota ‘Unaizah) .
dan puluhan lainnya yang disebut oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai “Kaum Musyrikûn di zaman kita” !!

Dan sebagai bukti kesetiaan kaum Wahhâbiyah terhadap Doktrin Takfîr imam mereka, hingga sekarang mereka menapak-tilasi jalan Ibnu Abdil Wahhâb dalam mencoreng kaum Muslimin, awam dan ulama dengan tuduhan musyrik, kafir atau paling ringan tuduhan bid’ah yang hampir mencapai batas kafir (!), seperti yang mereka lakukan terhadap banyak ulama di antaranya, Ibnu Sallûm, Utsman ibn Sanad, Ibnu Manshûr, Ibnu Humaid, Syeikh Ahmad Zaini Dahlân (mufit mazhab Syafi’i di kota suci Makkah), Daud ibn Jirjîs dkk.

Dan sekarang di Abad ke- 14 dan 15 Hijriyah kegemaraan mengafirkan dan atau menuduh sebagai pembid’ah yang sesat itu masih sering kita dengar dan kita baca, seperti vonis mereka atas al Kautsari, Abu Ghuddah, Sayyid Muhammad Alawi al Maliki (guru besar para ulama dan Kyai Ahlusunnah Indonesia), ad Dajûri, Syeikh Syaltût (Rektor Universitas Al Azhar), Abu Zuhrah, Syeikh Muhammad Ghazzali, Syeikh Yusuf al Qardhâwi, Syeikh Sa’îd Ramadhan al Bûthi, Abdullah al Ghimâri dan Ahmad al Ghimâri, Sayyid Hasan ibn Ali as Seqaf (seorang ulama keturunan Sayyid yang tinggal di Yordania), Habîbur Rahman al A’dzumi dan masih banyak lannya dan mungkin, karena tulisan ini, nama Abu Salafy juga akan mereka sandingkan dengan nama-nama para ulama “Ahli Bid’ah” di atas!

Dan seperti telah saya singggung, -dan hal ini sangat disayangkan- bahwa kaum Wahhâbiyah tak menghentikan “aksi teror pengafiran” itu kecuali ketika mereka dalam kondisi lemah karena jumlah mereka sedikit atau ketika ada kekuatan pemerintahan yang mencegah mereka melakukan “aksi teror pengafiran” itu. Andai bukan karena dua sebab itu, pastilah tidak ada seorang pun yang selamat dari “aksi teror pengafiran” mereka!!

Ibnu Abdil Wahhab Mempersenjatai Pengikutnya Dengan Senjata Kebodohan.
Seperti diketahui semua orang, bahwa pada awal kemunculan ajakannya, Ibnu Abdil Wahhab telah ditentang keras para ulama Islam, sementara kaum awam menyambut dan menerima ajakan dan seruannya. Sementara itu, seperti ia janjikan (dan telah kami sebeutkan sebelumnya, bahwa satu dari pengikutnya yang awam saja pasti mampu mengalahkan seribu ulama kaum Musyrikun -Muslimun maksudnya-), maka di sini ia perlu mempersenjatai para pengikutnya yan rata-rata awam itu dengan senjata yang dengannya pasti mereka menang dalam menghadapi siapa saja yang menentangnya dan menyalahkan akidah dan pandangannya dan dalam situasi apapun.

Apa senjata yaang dipersiapkan Ibnu Abdil Wahhab untuk para pengikutnya?
Karena Ibnu Ibnu Abdil Wahhab itu adalah seorang pemimpi yang “bijak” maka ia pasti akan memberikan senjata yan tepat untuk mereka. Ia mengerti benar kadar ilmu para pengikutnya yang awam, karenanya ia mempersenjatai mereka dengan senjata: asal inkar dan menggolonkkan dalil apapun yang dibawa lawan ajakan tauhidnya sebagai hal yangg mutasyâbih!

Apapun bukti yang akan diajukan lawan-lawan kalian, yang tidak kalian menerti, maka jabablah dengan:
  • Senjata Inkar: “Dan apa yang Anda sebut wahai musyrik dari al-Quran dan sabda Nabi saw. tidak saya mengerti artinya.” (Kasyfu asy Syubuhât:48).
  • Senjata Dalil Kamu Mutasyabih: Jika sebagian orang musyrikin berkata kepada Anda: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati. (Yunus: 62) Dan sesungguhnya syafa’at adalah itu haq (pasti adanya) dan para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah atau si musyrik itu membawakan sabda-sabda Nabi saw. sebagai dalil atas kebatilan pendapatnya (tentangg syafa’at), sedang Anda tidak memahami arti ucapan yang ia sebutkan maka jawablah dengan: “Sesungguhnya Allah menyebutkan dalam Kitab-Nya bahwa mereka yang di hatinya ada kecenderungan kepada kebatilan maka mereka meninggalkan yang muhkam (tegas dan pasti maknanya) dan mengikuti yang muthasyabih (saram).” (Kasyfu asy Syubuhât:46).
Sungguh luar biasa senjata akal-akalan Imam Wahhabi yang satu ini…. ia mempersenjati para pengikutnya dengan senjata kebodohan, setiap kali ulama atau seorang awam kaum Muslimin membawakan dalil tantang syafa’at, misalnya, bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki hak memberikan syafa’at untuk umatnya, dan kami memohon dari beliau agar memberikan syafa’at untuk kami, maka di sini Ibnu Abdil Wahhab mendoktrin pengikutnya dengan: “Katakan bahwa masalah itu adalah tergolongg mutasyâbih dalil yan kamu bawakan juga mutasyâbih, dan kegemaran orang yang sesat dan menyimpang hanya mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbih!” dan “Ayat dan sabda Nabi saw. yang kamu uraikan itu saya tidak mengerti, tapi yang pasti bukan begitu!”

Demi Allah yang menciptakan akal sehat dan memberi hidayah para pencarinya, adakah senjata kebodohan dan sikap akal-akalan yang mengunguli apa yang didoktrinkan Imam Wahhabi ini?!
  • Ayat-ayat Syafa’at Bukan Mutasyâbih.
Seperti pernah saya jelaskan bahwa untuk mengolonkan sebuah ayat itu mutasyâbih atau muhkam, tidak dapat ditetapkan oleh selera kita dan atau asal-asalan. Kesamaran makna yang menyebabkan sebuah ayat digolongkan mutasyâbih itu harus ada sebabnya. Sementara kata-perkata dan kalimat perkalimat dalam ayat syafa’at itu sangat gamblang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Lalu mengapakah Syeikh Ibnu Abdil Wahhab menggolongkannya sebagai ayat mutasyâbihât? Sisi mana dari, misalnya:
A) Para awliya’ Allah tidak ada khawf/rasa takut dan tidak sedih,
B) Para awliya’ Allah memiliki kedudukan di sisi Allah SWT,

yang menggandung unsur kemutasyâbihan?

Demikianlah doktrin untuk mengatakan kepada lawan-lawan da’wah Wahhabiyah bahwa “faham/dalil yan kamu sebutkan itu mutasyâbih sedang yang kami yakini adalah muhkam (pasti/tegas), maka tidak benar meningalkan yang muhkam demi mengikuti yang mutasyâbih atau melawan yang muhkan dengan dalil yang mutasyâbih” diajarkan kepada para pengikutnya, akan tetapi ini adalah metode keliru dalam mengajarkan cara berdiskusi atau berdabat, dan semua orang bisa mempersenjatai diri dengan senjata seperti itu setiap kali terpojokkan. Kemutasyâbihan itu tidak dapat ditetapkan dengan sekendak kaum awam Wahhabi, ada aturan dan kaidahnya yang dihabas panjang lebar oleh para ulama.

Jadi adalah aneh, kebanggaan yang dipampakkan Imam Wahhabi setelah mengajarkan dalil dan cara berdebat di atas: Hal ini merupakan hal yang muhkam dan jelas yang tidak bisa diubah artinya oleh siapapun. ….
Akan tetapi jawaban ini tidak mungkin dipahami kecuali oleh orang yang telah diberi taufik oleh Allah.

Bersambung .....

Terkait Berita: