Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Perbedaan. Show all posts
Showing posts with label Perbedaan. Show all posts

Beda Lambang Satu Tujuan


Apapun lambangnya, tujuan dari lembaga kemanusiaan adalah kemanusiaan itu sendiri.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

PANITIA kerja RUU Palang Merah Indonesia (PMI) DPR RI yang baru balik dari studi banding ke Denmark dan Turki berencana mengubah lambang PMI menjadi Bulan Sabit Merah. Entah atas dasar apa para anggota parlemen itu ingin mengganti lambang PMI yang akan berusia 67 tahun.

Palang Merah telah ada sejak masa Hindia Belanda. Pada 21 Oktober 1873 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Sekira tahun 1932, Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan mengusahakan untuk mendirikan palang merah nasional. Mereka berusaha membawa rancangan itu ke konferensi Nerkai pada 1940, tapi ditolak mentah-mentah. Saat pendudukan Jepang, mereka mencoba lagi, namun kembali gagal.

Baru pada 3 September 1945 Presiden Sukarno memerintahkan untuk membentuk badan palang merah nasional. Dua hari kemudian, Menteri Kesehatan Kabinet I, Boentaran Martoatmodjo membentuk Panitia Lima, terdiri dari: dr R. Mochtar (ketua), dr. Bahder Djohan (penulis); dan dr Djuhana, dr Marzuki, dr. Sitanala (anggota). Akhirnya, Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam makalahnya, “Paramita Abdurachman, Tunangan Tan Malaka?” yang disampaikan pada launching buku Bunga Angin Portugis di Nusantara karya Paramita “Jo” Abdurachman, 5 Maret 2008, kegiatan awal PMI adalah membantu korban perang dan proses pengembalian tawanan Sekutu dan Jepang. Pada dekade 1945-1954, peranan PMI yang menonjol adalah di bidang pertolongan pertama, pengungsian, dapur umum, pencarian dan pengurusan repatriasi, bekerjasama dengan ICRC (International Committee of the Red Cross) dan Palang Merah Belanda untuk Romusha, Heiho, Tionghoa; anak-anak Indo-Belanda dan 35 ribu tawanan sipil Belanda dan para Hoakiau yang kembali ke Republik Rakyat China.

Dalam peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan), PMI bekerjasama dengan ICRC melaksanakan pelayanan kesehatan yang dipimpin Bahder Djohan dan mengadakan rumah sakit terapung di Ambon. Pada dekade 1955-1964, akibat Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, markas besar PMI mengirimkan kapal-kapal PMI ke daerah tersebut untuk menjemput orang-orang asing di sana dan mengirimkan empat tim medis ke Sumatera dan enam tim ke Sulawesi Utara. Waktu Sukarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat pada 19 Desember 1961, PMI menyiapkan sukarelawan sebanyak 259 orang dan 770 orang sebagai cadangan.  

Pada 1 Maret 1950, Jo Abdurachman bersama Siti Dasimah membentuk dan memimpin Palang Merah Remaja (PMR). PMR kemudian menjadi organisasi siswa di sekolah dasar sampai menengah. Jo Abdurachman ikut mendirikan PMI, menjadi ketua bidang luar negeri, dan menjabat Sekretaris Jenderal selama satu dasawarsa (1954-1964). Menurut Asvi, ketika menghadiri pertemuan palang merah internasional, muncul penolakan terhadap kata dan lambang ‘Palang’ (cross) pada organisasi ini. Negara-negara yang mayoritas beragama Islam memilih nama Bulan Sabit Merah.

“Tetapi Jo Abdurachman berpendapat berbeda,” tulis Asvi, “menurutnya, kata dan logo ‘Palang’ dalam organisasi ini bukanlah representasi atau melambangkan salib yang merupakan ikon agama Kristiani. Oleh sebab itu, dia tetap menggunakan nama Palang Merah Indonesia.” Pada 1950, PMI diakui dan menjadi anggota Palang Merang Internasional   .

Sementara itu, Bulan Sabit Merah Indonesia dideklarasikan pada 8 Juni 2002 di Masjid Al-Azhar Jakarta. “Tidak jelas mengapa tanggal lahir mantan Presiden Soeharto yang dijadikan tanggal awal keberadaanya,” tulis Asvi.
Lambang Bulan Sabit Merah kali pertama digunakan oleh Turki pada 1868. Turki enggan menggunakan lambang Palang Merah yang diresmikan di Jenewa, Swiss pada 1863, karena dianggap lambang agama Kristen.

Untuk menampik tudingan Turki, pada 1906 ICRC secara resmi menyatakan bahwa bendera Palang Merah dibentuk dengan membalik warna bendera Swiss: palang putih dengan latarbelakang merah. Alasannya, sebagai penghormatan kepada Swiss, tempat pertama diselenggarakannya Konvensi Jenewa. Meski demikian, tidak ada catatan sejarah yang menghubungkan antara bendera Palang Merah dengan bendera Swiss. Turki kadung mengaitkan lambang Palang Merah dengan agama. Hingga saat ini, 33 negara yang mayoritas beragama Islam mengikuti jejaknya memakai lambang Bulan Sabit Merah.

Seperti halnya Turki, Israel pun ingin lambang sendiri. Pada 1930, seorang perawat Karen Tenenbaum mendirikan Magen David Adom (MDA), lembaga kemanusiaan yang memberikan bantuan medis, bencana alam, ambulan, dan bank darah. Sejak 1935, MDA menggunakan lambang Bintang David Merah (Red Star of David). Setelah membuka cabang di Yerusalem dan Haifa, MDA memberikan bantuan medis kepada masyarakat, tidak hanya orang Yahudi, tetapi orang-orang Arab (Islam, Druze, dan Kristen). Pada 12 Juli 1950, status MDA menjadi lembaga resmi pemerintah Israel.  

Karena lambang Kristen dan Islam diakui, Israel menuntut agar Bintang Merah David juga diakui sebagai lambang Yahudi. Selama bertahun-tahun, gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak permintaan Israel itu. Alasannya, lambang Palang Merah tidak dimaksudkan mewakili Kristen tetapi pembalikan warna bendera Swiss. Selain itu, jika Yahudi atau kelompok lain diberi lambang lain, maka kelompok agama atau lainnya bisa meminta lambangnya sendiri, sehingga tidak akan ada akhir. Tapi, pada 2005, untuk mengakomodasi permintaan Israel, lambang baru Kristal Merah (Red Crystal) ditetapkan dalam amandemen Konvensi Jenewa atau dikenal dengan Protokol III. Ketika MDA menjalankan misi kemanusiaan di luar Israel, ia harus memakai lambang Kristal Merah untuk mendapatkan perlindungan.

Tak bisa dipungkiri, sentimen keagamaan telah membuat badan kemanusiaan yang digagas oleh Jean Henry Dunant (1828-1910) ini memiliki tiga lambang: Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah. Meski demikian, tujuannya sama: kemanusiaan.

Isu-Isu Ikhtilaf Ahlus Sunnah dan Syiah


Tahrif Al-Quran.
Orang Syiah meyakini bahwa pendapat yang menyatakan adanya kemungkinan perubahan dalam Al-Quran adalah mengingkari Al-Quran dan jaminan Allah untuk menjaganya, berikut ini:



“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya kami benar- benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9).

Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa Al-Quran yang ada di tangan kaum Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Quran dan merupakan wahyu Allah yang turun kepada Muhammad Rasulullah. Misalnya, pandangan ahli tafsir Syiah, Al-Faidh Al-Kâsyâni terhadap kesucian Al-Quran tertera di mukadimah keenam tafsir Ash-Shâfi, Tafsir bil-Ma’tsûr (1/40-55). Selain itu, dalam kitab tafsir al-Ashfâ tentang tafsir ayat:
“… dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Beliau menafsirkannya, “... dari tahrif, perubahan, penambahan dan pengurangan.
Rujuk pula penegasan beliau dalam kitab Al- Wâfi (1/273-274).
Asal-muasal tuduhan tahrif terhadap Syiah diambil dari pandangan segelintir ulama Syiah dari kelompok akhbari.3 Munculnya klaim adanya tahrif di kalangan akhbari ini diprakarsai oleh Syaikh Ni’matullah Al-Jazâiri (1050-1112 H) dan dilanjutkan Syaikh Nuri (1254-1320 H) dalam kitab Fashlu Al-Khithâb.

Dalam klaim kedua tokoh akhbari ini, Al-Kulaini juga berpegang pada pandangan tahrif. Akibatnya, hadis-hadis yang dinukil Al-Kulaini yang berkenaan dengan tahrif seolah-olah menegaskan pandangannya tentang tahrif. Padahal, kita mengetahui kaidah naqilul kufri laysa bi kafir (penukil kekufuran tidaklah serta-merta kafir), sehingga baik Al-Kulaini maupun Al-Bukhari sama-sama tidak meyakini tahrif meski sama-sama memuat sejumlah hadis yang menyiratkan tentang tahrif. Untuk membuktikan hal ini, kita dapat merujuk mukadimah al-Kâfi yang beliau tulis. Perhatikan apa yang beliau katakan:
“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah boleh bagi seseorang membedakan dengan pendapatnya sendiri sesuatu yang datang dari para imam berupa riwayat-riwayat yang berselisih, kecuali didasarkan atas apa yang dinyatakan imam itu sendiri: ‘Sodorkan riwayat-riwayat itu kepada Kitabullah (Al- Quran). Apa yang sesuai dengan Kitabullah (Al-Quran), maka ambillah dan yang menyalahi Kitabullah (Al-Quran), maka tinggalkanlah!’ Dan perkataan beliau a.s.: ‘Jauhi (pandangan) kaum (pengikut para penguasa) itu karena kebenaran berada pada kebalikan dari (pandangan) mereka.’ Dan perkataan beliau a.s.: ‘Ambillah yang disepakati, sebab yang disepakati itu tidak mengandung keraguan.’ Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil, dan kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berhati-hati dan lebih diperbolehkan daripada mengembalikan semua itu kepada imam, dan menerima perkara itu berdasarkan perkataan beliau: ‘Maka dengan yang mana saja dari kedua riwayat itu kalian mengambilnya sebagai bukti kepatuhan, maka itu diperbolehkan.”4

Dalam kalimat mukadimah di atas tidak terdapat kalimat yang dapat dijadikan bukti bahwa beliau mensahihkan seluruh hadis yang beliau himpun dalam kitab Al-Kâfi. Sebab, apabila beliau meyakini kesahihan seluruh hadis Al-Kâfi, tentu beliau tidak akan menyebut-nyebut kaidah tarjîh hadis yang dibangun oleh para imam Ahlul Bait a.s. dalam menyikapi riwayat-riwayat yang muta’âridhah (saling bertentangan), yaitu dengan menyodorkannya kepada Al-Quran, dan mengambil hadis yang mujma’ ‘alaihi (disepakati).

Kalaupun kita anggap hadis-hadis yang diriwayatkan Al-Kulaini menunjukkan secara tegas makna tahrif, maka hadis-hadis itu bertentangan dengan banyak hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam Al-Kâfi-nya. Dalam kitab iniAl-Kulaini telah meriwayatkan banyak hadis yang membuktikan bahwa Al-Quran yang beredar di kalangan umat Islam adalah lengkap dan terjaga dari tahrif. Hadis-hadis itu tersebar di berbagai bab yang beliau tulis, di antaranya pada bab Keutamaan Pengemban Al-Quran, [i]Siapa yang Belajar Al-Quran dengan Susah PayahSiapa yang Menghafal Al-Quran Kemudian Ia Lupa, Pahala Membaca Al-Quran, Membaca Al-Quran dengan Melihat dalam Mushaf, Rumah- Rumah yang Al-Quran Dibaca di Dalamnya. Hadis- hadis tersebut jauh lebih kuat, lebih banyak, dan lebih jelas petunjuknya. Dengan demikian, berdasarkan kaidah tarjîh yang ditetapkan sendiri oleh Al-Kulaini, maka apabila ada dua hadis yang saling bertentangan dan tidak dapat diharmoniskan dengan pemaknaan yang tepat, maka keduanya harus disodorkan kepada Al-Quran, yang sesuai dengannya kita ambil dan yang bertentangan harus ditinggalkan (Untuk penjelasan lebih terperinci mengenai isu tahrif ini, silakan lihat Lampiran 4)[/i]

Syiah dan Hadis

Biasa dituduhkan bahwa Syiah mempercayai hadis-hadis yang berbeda dengan yang dipercayai Ahlus Sunnah. Hal ini sesungguhnya terbantah oleh sedikitnya tiga alasan. Pertama, meski diriwayatkan dengan rantai periwayatan yang berbeda, banyak sekali hadis Syiah yang memiliki kesamaan kandungan dengan hadis-hadis yang beredar di kalangan Ahlus Sunnah. Hal ini mudah dilihat bagi orang-orang yang terbiasa membaca buku-buku Syiah dan Ahlus Sunnah sekaligus. Kenyataan seperti ini juga pernah ditulis oleh Sayid Husayn Nasr, seorang intelektual-ulama terkemuka Syiah pada masa kini, dalam buku yang disuntingnya berjudul Anthology of IslamKedua, tak jarang penulis Syiah menggunakan hadis-hadis yang beredar di kalangan Ahlus Sunnah. 
Contoh yang menonjol dalam hal ini adalah 20 jilid buku Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran karya Allamah Muhammad Husayn Thabathaba’i, ataupun berbagai karya Ayatullah Murtadha Muthahhari yang terjemahannya banyak beredar di Indonesia. Ketiga, amat banyak Rijal Hadis di kalangan Syiah yang riwayatnya diterima di berbagai kitab sahih di kalangan Ahlus Sunnah. 
Di bawah ini adalah daftar sebagian di antaranya: (bukti ke-Syiah-an para rijal ini, terdapat dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah):
1. Aban ibn Taghlib
2. Ibrahim ibn Yazid ibn ‘Umar ibn Al-Aswad Al- Nakh‘i Al-Kufi
3. Ahmad ibn Al-Mufdil ibn Al-Kufi Al-Hafri
4. Isma’il ibn Abban Al-Azdi Al-Kufi Al-Warraq
5. Isma’il ibn Khalifah Al-Mulai Al-Kufi
6. Isma’il ibn Zakaria Al-Asadi Al-Khalqani Al-Kufi
7. Isma’il ibn ‘Abbad ibn Al-Abbas Al-Taleqani
8. Isma’il ibn ‘Abdul-Rahman ibn Abu Karimah Al- Kufi
9. Isma’il ibn Musa Al-Fazari Al-Kufi
10. Talid ibn Sulayman Al-Kufi, Al-A‘raj
11. Thabit ibn Dinar (Abu Hamzah Al-Thumali)
12. Thuwayr ibn Abu Fakhita (Abu Jahm Al-Kufi)
13. Jabir ibn Yazid ibn Al-Harith Al-Ju‘fi Al-Kufi
14. Jarir ibn ‘Abdul-Hamid Al-Dabi Al-Kufi
15. Ja‘far ibn Ziyad Al-Ahmar Al-Kufi
16. Ja‘far ibn Sulayman Al-Dab‘i Al-Basri (Abu Sulayman)
17. Jami‘ ibn ‘Umayrah ibn Tha‘labah Al-Kufi Al- Taymi (Taymullah)
18. Al-Harith ibn Hasirah Abul Nu‘man Al-Azdi Al- Kufi
19. Al-Harith ibn ‘Abdullah Al-Hamadani
20. Habib ibn Abu Thabit Al-Asadi Al-Kahili Al-Kufi
21. Al-Hasan ibn Hayy
22. Al-Hakam ibn ‘Utaybah Al-Kufi
23. Hammad ibn ‘Isa Al-Jahni
24. Hamran ibn ‘Ayinah
25. Khalid ibn Mukhlid Al-Qatwani
26. Dawud ibn Abu ‘Awf (Abul-Hijab)
27. Zubayd ibn al-Harith ibn ‘Abdul-Karim Al-Yami Al-Kufi
28. Zayd ibn Al-Habab, Abul-Hasan Al-Kufi Al- Tamimi
29. Salim ibn Abul Ja‘d Al-Ashja‘i Al-Kufi
30. Salim ibn Abu Hafsah Al-‘Ijli Al-Kufi
31. Sa‘d ibn Tarif Al-Iskafi Al-Hanzali Al-Kufi
32. Sa‘id ibn Ashwa‘
33. Sa‘id ibn Khaytham Al-Hilali
34. Salamah ibn Al-Fudayl Al-Abrash
35. Salamah ibn Kahil ibn Hasin ibn Kadih ibn Asad Al-Hadrami, Abu Yahya
36. Sulayman ibn Sa‘id Al-Khuza‘i Al-Kufi
37. Sulayman ibn Tarkhan Al-Taymi Al-Basri
38. Sulayman ibn Qarm ibn Ma‘ath
39. Sulayman ibn Mahran Al-Kahili Al-Kufi Al-Asla‘
40. Sharik ibn ‘Abdullah ibn Sinan Al-Nakh‘i Al-Kufi
41. Shu‘bah ibn Al-Hajjaj Abul-Ward Al-‘Atki Al- Wasiti (Abu Bastam)
42. Sa‘sa‘ah ibn Sawhan ibn Hajar ibn Al-Harith Al-‘Abdi
43. Thawus ibn Kisan Al-Khawlani Al-Hamadani Al-Yamani
44. Zalim ibn ‘Amr ibn Sufyan, Abul-Aswad Al-Du’ali
45. ‘Amr ibn Wa’ilah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umer Al- Laithi Al-Makki
46. ‘Abbad ibn Ya‘qub Al-Asadi Al-Ruwajni Al-Kufi
47. ‘Abdullah ibn Dawud
48. ‘Abdullah ibn Shaddad ibn Al-Had
49. ‘Abdullah ibn ‘Umer ibn Muhammad ibn Aban ibn Salih ibn ‘Umayr Al-Qarashi Al-Kufi
50. ‘Abdullah ibn Lahi‘ah ibn ‘Uqbah Al-Hadrami
51. ‘Abdullah ibn Maymun Al-Qaddah Al-Makki
52. ‘Abdul-Rahman ibn Salih Al-Azdi
53. ‘Abdul-Razzaq ibn Humam ibn Nafi‘ Al-Himyari Al-San‘ani
54. ‘Abdul-Malik ibn ‘Ayan
55. ‘Ubaydullah ibn Musa Al-‘Abasi Al-Kufi
56. ‘Utsman ibn ‘Umayr ‘Abdul-Yaqzan Al-Thaqafi Al-Kufi Al-Bijli
57. ‘Adi ibn Thabit Al-Kufi
58. ‘Atiyyah ibn Sa‘d ibn Janadah Al-‘Awfi
59. Al‘ala’ ibn Salih Al-Taymi Al-Kufi
60. ‘Alqamah ibn Qays ibn ‘Abdullah Al-Nakh‘i, Abu Shibil
61. ‘Ali ibn Badimah
62. ‘Ali ibn Al-Ja‘d
63. ‘Ali ibn Zaid
64. ‘Ali ibn Salih
65. ‘Ali ibn Ghurab Abu Yahya Al-Fazari Al-Kufi
66. ‘Ali ibn Qadim Abul-Hasan Al-Khuza‘i Al-Kufi
67. ‘Ali ibn Al-Munthir Al-Tara’ifi
68. ‘Ali ibn Al-Hashim ibn Al-Barid Abul-Hasan Al-Kufi Al-Khazzaz Al-‘Aithi
69. ‘Ammar ibn Zurayq Al-Kufi
70. ‘Ammar ibn Mu‘awiyah atau Ibn Abu Mu‘awiyah
71. ‘Amr ibn ‘Abdullah Abu Issaq Al-Subai‘i Al- Hamadani Al-Kufi
72. ‘Awf ibn Abu Jamila Al-Basri, Abu Sahl
73. Al-Fadl ibn Dakin
74. Fadil ibn Marzuq Al-Aghar Al-Ruwasi Al-Kufi, Abu ‘Abdul-Rahman
75. Fitr ibn Khalifah Al-Hannat Al-Kufi
76. Malik ibn Isma‘il ibn Ziyad ibn Dirham Abu Hasan Al-Kufi Al-Hindi
77. Muhammad ibn Khazim
78. Muhammad ibn ‘Abdullah Al-Dabi Al-Tahani Al-Nisaburi, Abu ‘Abdullah Al-Hakim
79. Muhammad ibn ‘Ubaydullah ibn Abu Rafi‘ Al- Madani
80. Muhammad ibn Fudayl ibn Ghazwan Abu ‘Abdul Rahman Al-Kufi
81. Muhammad ibn Muslim ibn Al-Ta‘ifi
82. Muhammad ibn Musa ibn ‘Abdullah Al-Qatari Al-Madani
83. Mu‘awiyah ibn ‘Ammar Al-Dihni Al-Bajli Al-Kufi
84. Ma‘ruf ibn Kharbuth Al-Karkhi
85. Mansur ibn Al-Mu‘tamir ibn ‘Abdullah ibn Rabi‘ah Al-Salami Al-Kufi
86. Al-Minhal ibn ‘Amr Al-Kufi
87. Musa ibn Qays Al-Hadrami, Abu Muhammad
88. Naif‘ ibn Al-Harith Abu Dawud Al-Nakh‘i Al-Kufi Al-Hamadani Al-Subay‘i
89. Nuh ibn Qays ibn Rabah Al-Hadani
90. Harun ibn Sa‘d Al-‘Ijli Al-Kufi
91. Hashim ibn Al-Barid ibn Zayd Abu ‘Ali Al-Kufi
92. Hubayrah ibn Maryam Al-Himyari
93. Hisham ibn Ziyad Abul Miqdam Al-Basri
94. Hisham ibn ‘Ammar ibn Nasr ibn Maysarah, Abu Al-Walid
95. Hashim ibn Bashir ibn Al-Qasim ibn Dinar Al-Wasiti, Abu Mu‘awiyah
96. Waki‘ ibn Al-Jarrah ibn Malih ibn ‘Adi
97. Yahya ibn Al-Jazzar Al-‘Arni Al-Kufi
98. Yahya ibn Sa‘id Al-Qattan
99. Yazid ibn Ziyad Al-Kufi, Abu ‘Abdullah
100. Abu ‘Abdullah Al-Jadali

Rukun Iman dan Rukun Islam.

Dikatakan bahwa Syiah memiliki Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda dengan yang dipercayai Ahlus Sunnah. Kenyataannya, rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda. Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlus Sunnah.

Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya, 1/30 Bab Al-Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:

Hadis Bukhari:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi Saw. muncul di hadapan orang- orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, dan engkau percaya kepada yang gaib.’”

Hadis Muslim:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi Saw. muncul di hadapan orang- orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya.’”

Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya mencakup beriman:
1. Kepada Allah,
2. Kepada para malaikat,
3. Kepada kitab-Nya,
4. Kepada perjumpaan dengan-Nya,
5. Kepada para Rasul,
6. Kepada Hari Kebangkitan.
 Tidak ada sebutan apa pun tentang kewajiban percaya kepada qadha’ dan qadar.

Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya, 1/35 Bab Al-Amru Bil Imân Billah wa rasûlihi, seperti di bawah ini:
“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”

Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
1. Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
2. Dan bersaksi Muhammad adalah Rasul Allah,
3. Menegakkan shalat,
4. Membayar zakat,
5. Berpuasa di bulan Ramadhan,
6. Membayar khumus.

Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak boleh difahami sebagai satu-satunya tolok ukur dalam keislaman dan keimanan seseorang.

Bagi yang berminat untuk mengetahui prinsip- prinsip keimanan dan keislaman Syiah kiranya dapat meneliti ulasan-ulasan mengenai hal ini yang ditulis oleh para ulama Syiah, baik klasik maupun kontemporer, antara lain kitab-kitab Syaikh Shadûq, Syaikh Mufid, Sayyid Al-Murtadha, Al-Karâjiki, Allamah Al-Hilli, Khawaja Syaikh Nashiruddîn Ath-Thusi, juga kitab-kitab Syaikh Muhammad Ridha Al-Mudhaffar, Syaikh Kasyif Al-Ghithâ’, Allamah Thabathabai, Syaikh Allamah Ja’far Subhâni, Syaikh Allamah Abdullah Jawadi Amuli, Sayyid Allamah Kamâl Al-Haidari, dan sebagainya.

Syahadat.

Teks syahadat adalah:
Asyhadualla ilahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah.

sesuai dengan ijma’ seluruh Muslim dari mazhab mana pun.

Syiah tidak mengakui adanya tambahan lain atas teks syahadat sebagaimana ijma’ muslimin di atas.

Tambahan teks “wa ‘Aliyyan waliyullah” sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku rujukan Syiah. Bahkan, penambahan teks tersebut, sebagaimana yang dituduhkan kepada Syiah dalam Azan, adalah bid‘ah menurut jumhur ulama Syiah.

Sebagian awam yang menambahkan kalimat sebagaimana yang dituduhkan di atas tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar, karena perilaku awam bukanlah sumber hukum ataupun otoritas yang dapat dipegang dalam menilai mazhab mana pun.

Di dalam Kitab Wasail Al-Syiah bab 19 tentang azan dan iqamah disebutkan larangan untuk menambah teks “wa ‘Aliyyan waliyullah” dalam azan. Bahkan, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dimasukkan dengan tidak sahih dalam kitab-kitab Syiah. Hal yang sama disebutkan dalam semua referensi Syiah lain. Kalaupun dibenarkan, hukum tambahan “wa ‘Aliyyan waliyullah” dalam azan adalah sama dengan hukum pendengar azan bershalawat ketika mendengar kata Muhammad disebutkan dalam syahadat (lihat Tahrir Al Wasilah Bab Azan dan Iqamah).

Sahabat.

Definisi Sahabat.

Syiah mendefinisikan sahabat seperti yang dikemukakan dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai berikut:

Kata as-shâhib dalam bentuk jamaknya (plural) ialah shahabashabshihab, dan shahabah.5 Kata al-shâhib berarti yang menemani (al-mu‘asyir)6 dan yang selalu menyertai ke mana pun (al-mulâzim)7 serta “tidak dikatakan kecuali kepada seseorang yang sering menyertai temannya”.8 “Dan persahabatan mensyaratkan adanya kebersamaan yang lama”.9

Persahabatan terjadi di antara dua orang. Dengan demikian, jelas bahwa kata as-shâhib (sahabat) dan pluralnya al-ash hab mesti disandarkan kepada sebuah nama ketika dalam percakapan. Seperti yang terdapat dalam Al-Quran, yaitu firman-Nya: Yashâhibayissijni (dua teman di penjara) dan “ashabu Musa” (para sahabat Musa). Pada masa Rasulullah Saw. dikatakan shahib Rasulullah dan ashabu Rasulullah, dengan disandarkan (mudhaf) kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana juga digunakan dalam ungkapan: ashabu bai‘ati al-syajarah (komunitas baiat di bawah pohon) dan ashabu shuffah (para sahabat yang tinggal di serambi masjid), yang di dalamnya kata ashabu tersebut dinisbatkan kepada selain Nabi. Kata shâhib dan ashab pada saat itu memang belum digunakan sebagai nama untuk para sahabat Rasulullah Saw., tetapi kaum Muslim terbiasa menamakan orang-orang Muslim (pengikut Rasul Saw.) dengan istilah shahabi dan ashab. Jadi, penamaan ini termasuk jenis penamaan yang dilakukan oleh kaum Muslim dan terminologi yang dibuat kemudian (mutasyarri‘).

Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah

Syiah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Dalam banyak ayat Al-Quran, terutama dalam Surat Al-Barâ’ah, Al-Nûr, dan Al-Munâfiqûn, Al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah orang Muslim yang hidup pada waktu hidup Nabi—dan, karena itu, dalam definisi umum yang berlaku, dapat disebut sebagai sahabat—dan mengecam mereka dengan keras. Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi yang melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah. Di bawah ini sekadar contohnya:
“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]: 101).
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]: 102)

Syiah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, bergantung pada amalnya, sesuai dengan prinsip Al-Quran yang menyatakan,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurât [49]: 13).

Maka, siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi, ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada Al-Quran sesudah wafatnya, Syiah mengakuinya dan mengkategorikannya sebagai orang salih.

Yang pertama kali harus disadari, berbeda dengan Mazhab Ahlus Sunnah, memang Syiah bermula dengan isu khilafah sepeninggal Nabi. Syiah percaya bahwa hak Ali tidak diberikan dalam hal ini. Belum lagi ada Perang Jamal dan Perang Shiffin, sebagai pemberontakan terhadap Khalifah Ali, yang melibatkan salah seorang istri Nabi (Siti ‘Aisyah) dan seorang sahabat Nabi (Mu‘awiyah). Belum lagi peristiwa Karbala, yang melibatkan pembunuhan sadis atas keluarga salah seorang cucu Nabi dan putra Ali, dan keluarganya. Jadi, sampai batas tertentu, kehadiran Syiah memang bersifat polemis. Karena itu, memang tak bisa diharapkan bahwa Syiah terbebas dari upaya-upaya mengevaluasi (baca: mengkritik) sebagian tindakan istri Nabi atau orang-orang yang diakui sebagai Sahabat.

Meskipun demikian, harus dibedakan antara menghujat dan bersikap kritis. Mengecam atau menghujat orang-orang yang dikategorikan sebagai sahabat, apalagi istri-istri Nabi, adalah suatu perbuatan yang terlarang. Namun, untuk keperluan ilmiah dan kesejarahan, sikap kritis diperlukan. Mengingat pribadi-pribadi tersebut, betapapun mulianya, diterima sebagai salah satu sumber ajaran agama Islam, termasuk juga sebagai perawi hadis-hadis dari Nabi Saw.

Para ulama Ahlus Sunnah, misalnya, tak ragu untuk mengakui penyesalan Siti ‘Aisyah atas pemberontakannya terhadap Khalifah Ali ibn Abu Thalib yang meletuskan Perang Jamal. Tak juga menahan diri dari mengisahkan kesedihan Nabi akibat perbuatan sebagian istri beliau. Pada kenyataannya, meski sebagai prinsip umum para ulama Ahlus Sunnah menyebut bahwa semua sahabat bersifat terlindungi dari kesalahan (‘udul), tak jarang dalam kenyataannya sebagian di antara mereka—berdasar hadis-hadis sahih—menyebutkan kesalahan sebagian orang yang termasuk dalam golongan sahabat. Memang, sikap kritis seperti ini diperlukan, antara lain, sebagai dasar perlakuan al-jarh wa al-ta'dil (mengkritik dan menegaskan keadilan) untuk menilai kekuatan atau kesahihan hadis yang mereka riwayatkan. Tentu saja kesemuanya ini harus dilakukan dengan tetap memelihara penghormatan kita terhadap pribadi-pribadi mulia ini.

Klasifikasi Sahabat.

Dalam mengklasifikasikan sahabat kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabi’in, yang mengikuti jalan para sahabat yang salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.

Syiah dan Rafidhah.

“Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awwalun, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah.” (QS. Al-Taubah [9]: 100).

Bukan tidak pada tempatnya di sini untuk menjernihkan makna dan asal-usul kata Rafidhah, yang sering disalahartikan sebagai Syiah.

Kata Rafidhah, berarti penolak, ditujukan kepada orang-orang yang menolak dua orang sahabat utama Nabi yang menjadi khalifah sepeninggal beliau, yakni Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar ibn Khaththab. Yang tidak banyak diketahui dan diungkapkan, sebenarnya kata ini diperkenalkan untuk pertama kalinya justru di kalangan kaum Syiah sendiri untuk mengecam orang-orang atau kelompok semacam ini. Persisnya, dalam catatan sejarah, kata “Rafidhah” dipergunakan pertama kalinya oleh Imam Zayd ibn Ali Zaynal Abidin—yakni yang diakui sebagai Imam kaum Syiah Zaydiyah. Menurut catatan yang tersebar luas di berbagai referensi Ahlus Sunnah, pernah datang sekelompok orang kepada beliau dan mendorong Imam Zayd untuk menolak kedua orang sahabat tersebut. Merespons hal ini, Imam Zayd mengusir mereka sambil berkata: “Sesungguhnya kalian adalah Rafidhi.” Tampak jelas di sini bahwa Imam Zayd, sebaliknya dari mendukung sikap Rafidhi ini, justru mengecam mereka.

Sayangnya, meski dapat diterapkan atas sebagian Syiah yang mengecam sahabat, belakangan ini kata Rafidhah menjadi diidentikkan dengan Syiah secara keseluruhan, bukan kepada sekelompok orang dalam mazhab ini yang bersikap demikian. Sebagai akibatnya, bukan saja ucapan para ulama yang mengecam kaum Rafidhi dimaknai sebagai kecaman terhadap kaum Syiah, tak jarang istilah ini dalam bahasa Indonesia, dan mungkin juga dalam bahasa-bahasa lain—secara sengaja atau tidak—diterjemahkan sebagai Syiah. Sudah tentu hal ini tak bisa diterima secara ilmiah.

Setelah semuanya itu, harus difahami bahwa tidak benar Syiah menolak umumnya sahabat dan hanya mengakui segelintir di antara mereka. Di bawah ini sekadar contoh nama-nama sahabat Nabi (disusun menurut abjad), di luar sahabat-sahabat besar, yang diterima periwayatannya oleh Syiah, yang terdapat dalam daftar nama sahabat di buku-buku standar Ahlus Sunnah:
1. Aban ibn Sa’id ibn Al-’Ash Al-Amawiy
2. ‘Abbas ibn Hatim Ath-Tha-iy
3. ‘Adiy ibn Hatim Ath-Tha-iy
4. ‘Abdullah ibn Abbâs
5. ‘Abdullah ibn ‘Abd Al-Madani Al-Haritsy
6. ‘Abdullah ibn Abi Rafi’
7. Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Al-Harits ibn ‘Abdul- Muthalib
8. ‘Abdullah ibn Badil Al-Khuza’iy
9. ‘Abdullah ibn Dabbab Al-Mid-hajiy
10. ‘Abdullah ibn Hanin ibn Asad ibn Hasyim
11. ‘Abdullah ibn Hawalah Al-Azdy
Disebutkan dalam buku ‘Amal al-‘Amil, jilid 1.
12. ‘Abdullah ibn Ja’far
13. ‘Abdullah ibn Ka’b Al-Haritsy
14. ‘Abdullah ibn Khabbab ibn Al-Aratt At-Tamimy
15. ‘Abdullah ibn Mas’ud Al-Hudzaliy
16. ‘Abdullah ibn Naufal ibn Al-Harits ibn ‘Abdul Muthalib
17. ‘Abdullah ibn Thufail Al-’Amiriy
18. ‘Abdullah ibn Sahl ibn Hunaif
19. ‘Abdullah ibn Salamah Al-Kindiy
20. ‘Abdullah ibn Warqa’ As-Saluliy
21. ‘Abdullah ibn Yaqthur
Dalam Al-Ishabah disebutkan namanya adalah Ibn Yaqazhah. Dia adalah saudara sepersusuan Al-Husain ibn Ali r.a. dan gugur dalam membelanya.
22. ‘Abdullah ibn ibn Jubair ibn ‘Abdul-Muthalib
23. ‘Abdurrahhman ibn Zubair ibn ‘Abdul-Muthalib
24. ‘Abdurrahhman ibn Abbâs ibn ‘Abdul-Muthalib
25. ‘Abdurrahhman ibn ‘Abd Rab Al-Anshariy
Disebutkan oleh Ibn ‘Uqbah dalam buku Al-Muwalah sebagai seorang di antara mereka yang mendengar nash Al-Ghadir, kemudian ikut bersaksi bagi Amir Al-Mukminin Ali ketika peristiwa “kesaksian di serambi masjid”. (Hal ini disebutkan dalam Al-Ishabah dan lainnya).
26. ‘Abdurrahhman ibn Abza Al-Khuza’iy
27. ‘Abdurrahhman ibn Badil Al-Khuzai’iy
28. ‘Abdurrahhman ibn Hasal Al-Jumahiy
29. ‘Abdurrahhman ibn Khirasy Al-Anshariy
30. ‘Abdurrahhman ibn As-Sa’ib Al-Makhzumiy
31. ‘Abu Fudhalah Al-Anshariy
Abu Fudhalah termasuk salah seorang pejuang Badar dan termasuk yang mendampingi Imam Ali r.a. dan terbunuh di Perang Shiffin.
32. Abu Laila Al-Ghiffariy
Di dalam al-Ishabah, beliau adalah salah seorang pengikut Imam Ali r.a.
33. Abu Mundzir
34. Abu Răfi’ Al-Anshary
35. ‘Alba’ ibn Haitsam ibn Jarir
36. ‘Ali ibn Abi Răfi’ Al-Qibthiy
37. ‘Amir (Abu Thufail) ibn Watsilah Al-Kinaniy
38. ‘Ammar ibn Abi Salamah Ad-Dalaniy
Dalam Al-Ishabah disebutkan bahwa dia gugur sebagai syahid bersama Al-Husain ibn Ali Yasir.
39. ‘Ammar (Abu Al-Yaqzhan) ibn Yasir
40. ‘Amr ibn Abi Salamah
Putra Ummu Salamah yang dipelihara oleh Nabi Saw.
41. ‘Amr ibn Anas Al-Anshariy
42. ‘Amr ibn Farwah ibn ‘Auf Al-Anshariy
43. ‘Amr ibn Al-Hamaq Al-Khuza’iy
44. ‘Amr ibn Hubair Al-Makhzumiy
45. ‘Amr ibn Muhshan
46. ‘Amr ibn Murrah An-Nahdiy
47. ‘Amr ibn Salamah Al-Muradiy
48. ‘Amr ibn Syarahil
49. ‘Amr ibn ‘Umais ibn Mas’ud
50. Anas ibn Al-Harts (atau Al-Harits ibn Nabih)
Di dalam Al-Ishabah disebutkan bahwa dia terbunuh di Karbala dan di dalam al-Isti’ab disebutkan bahwa dia terbunuh bersama Al-Husain di Karbala.
51. Anas ibn Mudrik Al-Khats’amiy Al-Aklabiy
52. ‘Antarah As-Salamiy Adz-Dzakwaniy
53. ‘Aqil ibn Abu Thalib
54. Aslam ibn Bujrah As-Sa’idiy
55. Aslam ibn Harits ibn Abdul-Muthalib Al-Hasyimiy (dia adalah saudara Naufal).
56. Aswad ibn ‘Abs ibn Asma’ At-Tamimiy
57. Barra’ ibn ‘Azib ibn Al-Harits Al-Anshariy
58. Barra’ ibn Malik
59. Barid Al-Islamiy
60. Barid Husaib Al-Aslamiy
61. Basyir (saudara Wada’ah) ibn Abu Zaid Al-Anshariy
62. Bilal ibn Rabah Al-Habasy
63. Dhahhak (Al-Ahnaf) ibn Qais At-Tamimiy. Seorang yang dijadikan perumpamaan dalam kesabaran dan kebijakan. Dia dilahirkan pada masa Nabi Saw. masih hidup, namun dia tidak berjumpa dengan beliau. Kendatipun demikian, beliau Saw. mendoakannya.
64. Daud (Abu Laila) ibn Bilal (ayah Abdurahman Al-Anshariy).
65. Fadhl ibn Abbâs ibn ‘Abdul-Muthalib
66. Fakih ibn Sa’d ibn Juba’ir Al-Anshariy
67. Farwah ibn ‘Amr ibn Wadaqah Al-Anshariy
68. Habib ibn Muzhahir ibn Ri’ab ibn Asytar Hajun.
Gugur bersama Al-Husain, seorang tabi’in. Ibn Hajar menyebutnya pada bagian III, Al-Ishabah.
69. Hajjaj ibn ’Amr ibn Ghuzayyah Al-Anshariy
70. Hakam ibn Mughffal ibn ’Auf Al-Ghamidiy (gugur sebagai syahid dalam peristiwa Nahrawan).
71. Hakim ibn Jabalah Al-’Abdiy (salah seorang yang turut serta dalam Perang Jamal bersama dengan Amir Al-Mukminin).
72. Halal ibn Abi Halah
73. Hani ibn Nayyar
74. Hani ibn ‘Urwah ibn Fadhalah ibn Nimran ibn ‘Abd Yaghuts Al-Muradi.
Syahid pada saat membela Muslim ibn Aqil, utusan Al-Husain ibn Ali r.a. Disebutkan di dalam Al-Ishabah, bagian III.
75. Hanzhalah ibn Nu’man ibn ‘Amir Al-Anshariy
76. Harb Al-Maziniy
77. Harits ibn Abbâs ibn ‘Abdul Muththalib
78. Harits ibn ‘Amr ibn Hizam Al-Khazrajiy
79. Harits (Abu Qatadah) ibn Rab’iy ibn Baldahah Al-Anshariy
80. Harits ibn Hatib ibn ‘Amr Al-Anshariy
81. Harits ibn Naufal ibn Harits ‘Abdul Muthalib
82. Harits ibn Zuhair Al-Azdiy
83. Hassan ibn Khauth (atau Khuth) ibn Mis’ar Asy-Syaibaniy (beliau gugur di Perang Jamal membela Imam Ali r.a.)
84. Hasyim Al-Miqtal ibn ‘Utbah ibn Abi Qaqqash Az-Zuhriy
85. Hazim ibn Abi Hazim Al-Ahmasiy
86. Hudzaifah ibn Al-Yaman Al-‘Absiy
87. Hujur ibn ‘Adiy Al-Kindiy
88. Jabalah ibn ‘Amr ibn Aus As-Sa‘idiy
89. Jabir ibn ‘Abdullah Al-Anshariy
90. Ja’dah ibn Hubairah Al-Makhzumiy (ibunya Ummu Hani saudara sekandung dengan Amir Al-Mukminin Ali r.a.)
91. Ja‘far ibn Abi Sufyan ibn Al-Harits ibn Abdul Muthalib Al-Hasyimiy
92. Jahjah ibn Sa‘id Al-Ghiffariy
93. Jarad ibn Malik ibn Nuwairah At-Tamimiy (terbunuh dalam peristiwa Al-Bi’thah bersama ayahnya).
94. Jarad ibn Thuhyah Al-Wahidiy (terbunuh bersama Al-Husain r.a. di Karbala).
95. Jariah ibn Qudamah As-Sa‘diy
96. Jarah ibn Zaid
97. Jubair ibn Al-Hubab Al-Anshariy
98. Jundab ibn Junadah (dikenal dengan nama Abu Dzarr Al-Ghiffariy).
99. Ka‘b ibn ‘Amr ibn ‘Abi ‘Abbad Al-Anshariy (juga dikenal dengan nama Abu Al-Yusr).
100. Khalid ibn Muammar As-Sadusiy
101. Khalid ibn Rabi‘ah Al-Jadaliy
102. Khalid ibn Sa‘id ibn Al-‘Ash Al-Amawiy
103. Khalid ibn Al-Walid Al-Anshariy
104. Khalid ibn Zaid (Abu Ayyub) Al-Anshariy
105. Khalifah ibn ‘Adiy Al-Bayadhiy
106. Kharsyah ibn Malik Al-Audiy
107. Khabbab ibn Al-Arrat At-Tamimiy (atau Al- Khuza‘i).
108. Khuwailid ibn ‘Amr Al-Anshariy
109. Khuzaimah ibn Tsabit Al-Anshariy
110. Malik dan Mutimun (keduanya putra Nuwairah)
111. Malik ibn At-Tayyihan
112. Mikhnaf ibn Sulaim (Datuk Abu Mikhnaf Al- Ghamidiy)
113. Miqdad ibn ‘Amr Al-Kindiy
114. Mirdas ibn Malik Al-Aslamiy
115. Miswar ibn Syaddad ibn ‘Umair Al-Qurasyiy
116. Mughirah ibn Naufal ibn Harits ibn ‘Abdul Muthalib
117. Muhajir ibn Khalid ibn Al-Walid Al-Makhzumiy (ibunya adalah putri dari Anas ibn Mudrik ibn Ka‘b).
118. Muhammad ibn Abu Bakar (Ash-Shiddiq) ibn Abu Quhafah At-Tamimiy
119. Musayyab ibn Najiyyah ibn Rabi‘ah Al-Fizariy (gugur dalam peperangan demi menuntut kematian Al-Husain ibn Ali r.a.).
120. Nua‘im ibn Mas‘ud ibn ‘Amir Al-Asyja‘iy
121. Nadhlah ibn ‘Ubaid Al-Aslamiy
122. Qais ibn Abi Qais
123. Qais ibn Kharsyah Al-Qaisiy
124. Qais ibn Makhsyuh Al-Bajaliy
125. Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah Al-Anshariy
126. Qardhah ibn Ka’b Al-Anshariy
127. Qutsam ibn Abbâs ibn ‘Abdul Muthalib
128. Rabi’ah ibn Qais Al-’Adwaniy
129. Rafi ibn Abi Rafi Al-Qibthiy
130. Sa’d ibn ‘Amr Al-Anshariy
131. Sa’d Harits ibn Shummah Al-Anshariy
132. Sa’d ibn Mas’ud Ats-Tsaqafiy (paman Al-Mukhtar).
133. Sa’d ibn Wahb Al-Khuyaniy
134. Sahl ibn Hunaif Al-Anshariy
135. Sa’id ibn Namran Al-Hamdaniy
136. Sa’id ibn Naufal ibn Harits ibn Abdul Muthalib
137. Sa’id ibn Sa’d ibn ‘Ubadah Al-Anshariy
138. Salamah ibn Abi Salamah (anak tiri dari Ummu Salamah).
139. Salman Al-Farisi
140. Salman ibn Tsumamah Al-Ja’fiy
141. Sammak ibn Kharsyah
142. Sa’nah ibn Uraidh At-Timawiy Shahib maula Ummu Salamah
143. Shaify Rab’iy Al-Ausiy
144. Shaleh Al-Anshariy As-Salimiy
145. Sha’sha’ah dan Shaihan (keduanya putra Shauhan)
146. Sinan ibn Syaf’alah Al-Ausiy
147. Suhail ibn ‘Amr Al-Anshariy
148. Sulaiman ibn Hasyim Al-Mirqal Az-Zuhri
149. Sulaiman ibn Shard Al-Khuza’iy
150. Sufyan ibn Hani ibn Jubair Al-Jaisyaniy
151. Suwaid ibn Gahflah Al-Ja’fiy
152. Syarahil ibn Murrah Al-Hamdaniy (yang meriwayatkan hadis, “Bergembiralah, wahai Ali; hidup dan matimu bersama-sama aku.” Seperti tercantum dalam Al-Ishabah).
153. Syuraih ibn Hani ibn Yazid Al-Haritsiy (bukan Qadhi Syuraih)
154. Tamam ibn Abbâs ibn Abdul Muthalib Al- Hasyimiy
155. Thahir ibn Abi Hallah At-Tamimiy
156. Tharif ibn Aban Al-Anmariy
157. Tsabit ibn Qais ibn Khuthaim Azh-Zhafariy
158. Tsabit ibn ‘Ubaid Al-Anshariy
159. Tsa’labah ibn Qaizhiy ibn Shakhr Al-Anshariy
160. ‘Ubadah ibn Shamit ibn Qais Al-Anshariy
161. ‘Ubaid ibn ‘Azib
162. ‘Ubaid ibn At-Tayyihan (disebut juga ‘Atik Al- Anshariy).
163. ‘Ubaidullah ibn Abbâs ibn ‘Abdul Muthalib
164. ‘Ubaidillah ibn ‘Amr As-Salmaniy
165. ‘Ubaidullah ibn Naufal ibn Harts ibn ‘Abdul Muthalib
166. ‘Ubaidullah ibn Suhail Al-Anshariy An-Nubaity
167. ‘Umarah ibn Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib
168. Ubay ibn Ka’b (penghulu para pembaca [qurra] Al-Quran).
169. ‘Umarah ibn Syihab Ats-Tsauriy
170. Umru Al-Qais ibn ‘Abis Al-Kindiy
171. ‘Uqbah ibn ‘Amr ibn Tsa’labah Al-Anshariy
172. ‘Urwah ibn Malik Al-Aslamiy
173. ‘Urwah ibn Syifaf ibn Syuraih Ath-Tha’iy
174. ‘Urwah ibn Zaid Al-Khalil
175. ‘Urwah ibn Nimran ibn Fadhalah ibn ‘Amr Al- Uradhiy Al-’Uthaifiy.
176. Usaid ibn Tsa’labah Al-Anshariy
177. ‘Utbah ibn Abi Lahab
178. ‘Utbah ibn Daghl Ats-Tsa’labiy
179. ‘Utsman ibn Hunaif Al-Anshariy
180. Uwais ibn ‘Amr Al-Qaraniy
181. Wa’da’ah ibn Abi Zaid Al-Anshariy
182. Wahb (Abu Juhaifah) ibn ‘Abdullah As-Siwa’iy
183. Walid ibn Jabir ibn Zhalim Ath-Tha’iy
184. Ya’la ibn Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib Al- Hasyimiy
185. Ya’la ibn ‘Umair An-Nahdiy
186. Yazid ibn Hautsarah Al-Anshariy
187. Yazid ibn Nuwairah Al-Anshariy
188. Yazid ibn Thu’mah Al-Anshariy
189. Zaid ibn Aslam Al-Balawiy
190. Zaid ibn Arqam Al-Khazrajiy
191. Zaid ibn Hubaisy Al-Asadiy
192. Zaid Hubaisy Al-Asadiy
193. Zaid (atau Yazid) ibn Syurahil Al-Anshariy
194. Zaid ibn Wahb Al-Juhaniy
195. Zhalim (Abu Al-Aswad) ibn ‘Amr Ad-Dualiy (Ibn Hajar menyebutnya dalam bagian III, dari bukunya Al-Ishabah).
196. Ziyad ibn Mathraf (Yang diambil riwayatnya oleh Al-Barudiy, Ibn Jarir Syahin, sebagaimana tersebut dalam Al-Ishabah).
197. Zuhair (Abu Zainab) ibn Harits ibn ‘Auf.
Perkawinan Mut’ah

Tak dapat dimungkiri bahwa institusi perkawinan mut’ah sering kali disalahfahami, baik oleh yang tidak dapat menerimanya, maupun oleh yang menerimanya. Khusus terkait dengan kelompok yang menerimanya, juga tak dapat dimungkiri adanya penyelewengan-penyelewangan dan praktik-praktik yang tak dapat dibenarkan. Namun, hal ini tentunya tak serta-merta membatalkan keabsahannya. Karena, sesungguhnya, bukan hanya mut’ah yang terbuka bagi penyelewengan, melainkan juga aturan-aturan syariat lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin institusi perkawinan biasa (permanen, da'im) tak jarang diwarnai oleh praktik yang bertentangan dengan syariat.

Semua Muslim sepakat bahwa pada periode pertama Islam, yakni di zaman Nabi Saw. perkawinan mut’ah dibolehkan. Juga disepakati di kalangan kaum Muslim bahwa Khalifah Kedua, selama periode kekhalifahannya, melarang perkawinan mut’ah. Khalifah Kedua, dalam kata-katanya yang termasyhur mengatakan, “Ada dua hal yang dibolehkan pada zaman Nabi, namun dengan ini saya larang pada hari ini, dan saya akan menghukum siapa pun yang melakukannya: nikah mut’ah dan mut’ah haji.”10 Meskipun demikian, Ahlus Sunnah percaya bahwa Nabi Saw. sendiri, di kemudian hari, melarang perkawinan mut’ah, sedangkan larangan Khalifah sesungguhnya merupakan kelanjutan dari larangan Nabi Saw. yang dilaksanakan oleh khalifah yang menggantikan Nabi Saw. Kalaupun pandangan ini memiliki kemungkinan benar, kaum Syiah memilih untuk mengambil dalil yang pasti bahwa mut’ah pernah dihalalkan oleh Nabi, dan bukan dalil pelarangannya oleh Nabi, yang masih bersifat kontroversial.

Dasar Qur’ani Perkawinan Mut’ah:
“Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidaklah mengapa atas hal lain yang kalian sepakati selain kewajiban (awal), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 24).

Dasar Hadis.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim, dia mendengar Abdullah ibn Mas’ud r.a. berkata: “Kami berperang ke luar kota bersama Rasulullah Saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?’, maka beliau melarang kami melakukannya, lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (maskawin) sebuah baju.”

Setelah itu, Abdullah membacakan ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 87)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata: “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah Saw., dia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka ber-mut’ah-lah kalian.’”11

Dan hadis-hadis lainnya.

Persamaan dan Perbedaan Perkawinan Permanen (Da’im) dan Perkawinan Mut’ah

Tidak seperti diembus-embuskan oleh sementara orang, kawin mut’ah sama sekali tak sama dengan pelacuran terselubung. Kawin mut’ah memiliki banyak persamaan dengan kawin permanen (da’im).

Persamaan

1. Status Anak

Anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan mut’ah sama sekali tidak ada bedanya dengan anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan permanen.

2. Mahar

Mahar adalah juga sebuah prasyarat dalam sebuah perkawinan permanen maupun dalam sebuah perkawinan mut’ah.

3. Mahram

Dalam perkawinan permanen, ibu dan anak perempuan istri, serta ayah dan anak laki-laki suami diharamkan (untuk perkawinan) dan mereka adalah mahram. Dalam perkawinan mut’ah, terkait hubungan di atas, kasusnya sama juga. Dalam kasus istri perkawinan permanen, seorang laki-laki tidak bisa, selama istri masih hidup, menikahi adik atau kakak perempuan istri tersebut. Dalam kasus perkawinan mut’ah, saudara perempuan si istri juga tidak dapat dinikahi pada waktu yang sama oleh laki-laki yang sama.

Di samping itu, sebagaimana melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen adalah haram hukumnya, maka begitu pula dengan melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah; karena berzina dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen membuat perempuan ini diharamkan bagi si pezina itu untuk selamanya, maka begitu pula kasusnya dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah;

4. Adanya ‘Iddah

Perbedaan Jangka Waktu

Salah satu elemen yang membedakan antara perkawinan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa dalam perkawinan yang jangka waktunya ditentukan, seorang perempuan dan seorang laki-laki mengambil keputusan bahwa mereka berdua akan menikah untuk jangka waktu yang ditentukan. Dan pada akhir waktu yang sudah ditentukan, jika mereka berdua cenderung untuk memperpanjang waktunya, mereka berdua bisa memperpanjangnya, dan jika mereka tidak mau, mereka bisa berpisah.

Mahar

Dalam perkawinan mut’ah, tidak adanya perincian jumlah mahar meniadakan atau membuat tidak sahnya perkawinan. Sedangkan dalam perkawinan permanen, hal ini tidak meniadakan atau membuat tidak sahnya (sebuah perkawinan). Konsekuensinya adalah kewajiban untuk membayar mahar standar (Mahr al-Mitsl).

Lingkup Kebebasan

Dalam perkawinan mut’ah, pasangan perkawinan memiliki kemerdekaan yang lebih besar dalam menetapkan syarat sesuai keinginan mereka. Sebagai contoh, dalam sebuah perkawinan permanen seorang laki-laki bertanggung jawab, entah dia suka atau tidak, untuk menutup biaya-biaya hidup harian, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan hidup lainnya, seperti pengobatan dan obat. Namun, dalam perkawinanmut’ah, pasangan nikah disatukan lewat akad merdeka yang disepakati bersama. Bisa saja si laki-laki tidak mau, atau tidak sanggup, memikul biaya-biaya ini, atau bahwa si perempuan tidak mau menggunakan uang si laki-laki.

Dalam perkawinan permanen, si istri, entah dia suka atau tidak, harus menerima si laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan melaksanakan apa yang dikatakan si laki-laki untuk kepentingan situasi keluarga. Namun dalam perkawinan mut’ah, segala sesuatunya bergantung pada syarat-syarat perjanjian yang dibuat bersama.

Pewarisan

Dalam perkawinan permanen, si istri dan si suami, entah mereka suka atau tidak, akan memiliki hak saling mewarisi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, tidak demikian kejadiannya.

Dengan demikian, perbedaan riil dan penting antara pernikahan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa perkawinan mut’ah, sejauh menyangkut batas dan syarat, adalah “bebas”. Artinya tergantung pilihan dan akad di antara kedua belah pihak, sesuai dengan prinsip kebebasan yang disinggung di atas.

Masa ‘Iddah

Periode ‘iddah bagi perempuan dalam perkawinan permanen adalah tiga periode menstruasi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, periode ‘iddah-nya adalah dua periode menstruasi atau empat puluh lima hari. (Lihat Tahrir Wasilah, Imam Khomeini, Bab Nikah). Berbeda dengan perkawinan permanen, di mana ‘iddah juga berfungsi sebagai masa tenggang untuk kepantasan dan penyesuaian psikologis, ‘iddah dalammut’ah selain berfungsi untuk memastikan bahwa perempuan yang baru selesai melakukan mut’ah, tidak mengalami kehamilan.

Taqiyyah

Taqiyyah diambil dari isim masdar (
), yakni penjagaan:
“Dikatakan: Seseorang ‘ittaqa syaian’ apabila dia menjadikan sesuatu sebagai penutup yang menjaganya dari bahaya.”
Taqiyyah juga didefinisikan sebagai berikut: “Sesungguhnya taqiyyah adalah penjagaan seseorang atas dirinya dengan menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ada dalam hatinya.

Taqiyyah dalam pandangan Syiah merupakan mafhum Qur’ani yang diambil dari surat Âli ‘Imrân ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari wilayah Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri (tattaqu) berasal dari akar kata yang sama dengan taqiyyah dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 28)

Ayat ini dengan tegas membolehkan seseorang ber-taqiyyah (menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran) demi menjaga dirinya dari gangguan kuffar.

Dari definisi di atas dapat ditegaskan bahwa taqiyyah berbeda dengan nifaq.

Nifaq juga merupakan istilah Qur’ani yang bermakna: menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Sementara taqiyyah adalah sebaliknya menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran demi keamanan atau tujuan baik lainnya.

Pembagian Taqiyyah: Makhafatiyah dan Mudaratiyah.

Ulama Syiah membagi taqiyyah ditinjau dari sisi tujuannya menjadi dua bagian, yaitu Taqiyyah makhafatiyahtaqiyyah karena takut bahaya dan Taqiyyah mudaratiyahtaqiyyah yang ditujukan untuk menjaga perasaan orang yang berbeda dengannya, demi terjalinnya hubungan baik antarkeluarga atau umat yang berbeda, untuk menghindarkan fitnah yang dapat meresahkan masyarakat atau demi terealisasinya persatuan umat Islam.

Perlu ditegaskan di sini bahwa taqiyyah merupakan istilah yang digunakan oleh para mufassirmuhaddist, dan fuqaha dari berbagai kalangan.

Taqiyyah bukan hanya istilah yang digunakan oleh orang Syiah. Bahkan, bisa dikatakan bahwa bolehnya taqiyyah merupakan ijma’ para ulama Muslim sebagaimana pernyataan ulama besar Ahlus Sunnah di bawah ini:

Ibnu Katsir

Ibnu Katsir meyakini ijma’ ulama bahwa taqiyyah diperbolehkan bagi “al-mukrah” (orang yang terpaksa).
Ibnu Katsir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa menyatakan kekufuran, diperbolehkan (menyatakan kekufuran) demi menjaga keselamatan dirinya, sebagaimana juga boleh menolaknya seperti sikap Bilal (r.a.).”

Fakhruddin Arrazi:
Setelah beliau menukil pendapat para ulama tentang taqiyyah, ketika beliau menafsirkan ayat di surat Ali Imran ayat 28 (kecuali demi menjaga diri mereka), beliau berkata, “Di riwayatkan dari Hasan (Al-Bashri) bahwa beliau berkata, ‘ Taqiyyah diperbolehkan bagi orang-orang mukmin hingga hari kiamat, pendapat ini lebih utama (kuat) karena mencegah bahaya atas diri sedapat mungkin hukumnya wajib.’”

Al-Ghazali:
Al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya menjaga darah orang Muslim adalah wajib, maka jika ada orang zalim yang bermaksud menumpahkan darah orang Muslim dan ia bersembunyi dari orang yang bermaksud membunuhnya, maka berdusta saat itu adalah wajib.”12

Ibnu Qudamah:
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak diperbolehkan shalat di belakang seorang ahli bid‘ah dan seorang fasiq di luar shalat Jumat dan hari raya yang mereka berdua melaksanakannya di satu tempat dalam satu kota. Apabila takut (terancam keamanannya) jika meninggalkan shalat di belakangnya, maka saat itu dia diperbolehkan shalat bermakmum di belakangnya (fasiq, ahli bid‘ah) dalam keadaan bertaqiyyah,kemudian dia mengulang shalatnya.”

Al-Qurtubi:
Al-Qurtubi berkata, “Taqiyyah tidak dihalalkan kecuali dikarenakan takut akan pembunuhan, penyiksaan, gangguan, atau bahaya yang besar. Dan tidak ada pendapat yang dinukil yang berlawanan dengan pendapat ini menurut apa yang kami ketahui, kecuali apa yang diriwayatkan dari Muadz ibn Jabal dari kalangan sahabat dan Mujahid dari kalangan tabi’in.

Dari pernyataan-pernyataan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa bolehnya taqiyyah merupakan sesuatu yang disepakati oleh jumhur ulama Muslimin, bukan hanya di kalangan ulama Syiah.

Taqiyyah lebih erat hubungannya dengan fiqih ketimbang akidah, dengan demikian para fuqaha memasukkan taqiyyah dalam Bab Al-Ikrah (keterpaksaan) dalam kitab-kitab fiqih mereka.

Perlu ditegaskan kembali di sini bahwa taqiyyah tidak pernah dipersoalkan oleh para ulama dari zaman Sahabat, Tabi’in, Mutaqaddimin, dan Mutaakhirin.

Mereka membolehkan praktik taqiyyah dan membahasnya dalam berbagai bidang ilmu dengan istilahnya masing masing, seperti:

1. Para ulama akhlak dan para filosof membahas taqiyyah dalam bahasan: apakah tujuan menghalalkan segala cara
?

2. Para fuqaha dengan judul: Berbagai Tujuan dan Sarana
3. Para ulama ushul dengan judul: Pertentangan antara yang lebih penting dengan yang penting
4. Atau, istilah-istilah lain yang digunakan dalam membahas praktik taqiyyah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa taqiyyah tidak mengganggu keimanan seseorang menurut kesaksian para ulama yang ditopang oleh dalil-dalil dari ayat Al- Quran dan Sunnah serta dalil-dalil rasional.

Sikap Syiah terhadap Sahabat, Istri-Istri Nabi, dan Ahlus Sunnah.

Para Khulafaur Rasyidin adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditolak kebenarannya dan mereka juga adalah sahabat Nabi Saw. yang mulia dan, faktanya, mereka pun memiliki banyak prestasi. Begitu juga, terkait dengan kemaslahatan umum Islam Imam Ali telah mengirim putra-putranya untuk turut serta dalam jihad dan berperang membela Islam dengan mereka dan para tentara Islam. Memang Syiah berpendapat bahwa Imam Ali lebih berhak atas khilafah sebagai penerus Rasulullah Saw. Meski demikian, hal ini tidak menghalangi para pengikut Syiah untuk memberikan apresiasi terhadap prestasi para khilafah ini dan memberikan penghormatan yang layak kepada mereka. Bahkan, dalam sebuah konferensi di London pada tahun 1985, Majma’ Taqrib Bayn Al-Madzahib—yang dipimpin oleh Ayatullah Mahdi Al-Hakim, menyatakan bahwa Syiah mengakui kekhalifahan tiga khalifah sebelum Imam Ali (secara de facto).

Sikap Syiah terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah

Pertama, beliau adalah istri Nabi Saw. sehingga beliau sangat layak untuk dihargai dan dihormati. Untuk membuktikan hal ini cukuplah kita merujuk kepada pemahaman Syiah terkait ayat Ifk yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim. Dalam hal ini para mufassir Syiah sangat menjaga kemuliaan kedudukan ‘Aisyah sebagai salah seorang istri Nabi Saw. dan Ummul Mukminin. Untuk keperluan ini, silakan rujuk buku-buku penulis biografi atau pendapat dari orang-orang yang mengatakan adanya fitnah Ifk ini, maka tidak akan ditemukan satu sumber pun yang sahih di kalangan Syiah yang membenarkan terjadinya peristiwa ini. Karena kedudukannya sebagai istri Nabi ini, kehormatan dan kemuliaan beliau harus kita jaga. Begitu juga, Syiah sepenuhnya mengikuti Imam Ali a.s. yang mengatakan: “Beliau telah menyucikan sandalnya, bagaimana mungkin beliau tidak menyucikan kehormatan istrinya.”

Selanjutnya, meski menolak sikap Ummul Mukminin yang memerangi Imam Ali a.s. sebagai khalifah yang sah, Syiah sangat memuliakan dan menghormati beliau. Syiah berpendapat, siapa saja yang menghina istri Nabi Saw. maka dia telah berlepas diri dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka belajar dari kenyataan bahwa, dalam Perang Jamal pun, Imam Ali a.s. telah mengingatkan secara khusus kewajiban memastikan keselamatan Ummul Mukminin ‘Aisyah dan bahkan mengirimkan sebanyak dua puluh orang pembantu kepada beliau untuk mengurusi segala kebutuhannya.13

Belakangan ini, sebuah fatwa yang tegas telah dikeluarkan oleh Ayatullah Ali Khamene’i, pemimpin spiritual (rahbar) Syiah di Iran berkenaan dengan masalah ini:

“Diharamkan menghina simbol-simbol (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, Ahlus Sunnah, berupa tuduhan terhadap istri Nabi Saw. dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya, bahkan tindakan ini diharamkan terhadap istri-istri para Nabi terutama penghulunya, yaitu Rasul termulia Saw.”

Demikian pula, Marja Besar Syiah Iran, Ayatullah Naser Makarim Shirazi, seraya menuduh orang-orang yang mengaku Syiah yang mengutuk sahabat yang dihormati Ahlus Sunnah dan juga istri-istri Nabi Saw. sebagai agen asing, menegaskan:

“Kami mengutuk segala bentuk penghinaan terhadap istri-istri Nabi Saw. Dan ulama perlu waspada dan berupaya menggagalkan konspirasi-konspirasi musuh Islam.”

Perlu pula diingat bahwa “Salah satu alasan utama Imam Khomeini menyebut Salman Rushdie sebagai orang murtad karena pada satu bagian penting buku Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses) yang dia tulis, menyandangkan hal-hal yang sangat buruk kepada istri-istri Nabi Saw.” Demikian ditegaskan Ayatullah Makarim Shirazi.

Sikap Syiah terhadap Ahlus Sunnah

Menurut nash-nash Syiah, keislaman Ahlus Sunnah adalah sah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syiah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.

Memang, pandangan mazhab Syiah mengenai hal ini sungguh amat jelas. Tak seorang pun dari Syiah—yang berpandangan adil dan moderat—meragukannya.

Al-Imam Abu Abdillah, Ja’far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan ibn As-Samath mengatakan: “Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni, kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”

Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama’ah: “Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw. Atas dasar itulah, nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim).”

Ada dua macam klasifikasi Muslim menurut Syiah:

1. Mukhalif adalah sekelompok kaum Muslim yang berbeda pandangan dengan Syiah.

2. Nashibi adalah sekelompok kaum Muslim yang mengibarkan bendera permusuhan terhadap para Imam Suci Ahlul Bait dengan cara melaknat dan mencaci-maki mereka.

Sikap Syiah terhadap yang pertama adalah tetap menganggap mereka Muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang Muslim yang harus dihormati jiwa, harta, dan kehormatannya. Adapun untuk kelompok yang kedua, Syiah menganggapnya sebagai kafir. Saat ini, kaum Syiah menganggap bahwa kelompok seperti ini tidak akan ditemui. Kalaupun disebut oleh para ulama, khususnya para fuqahadalam buku-buku fatwa mereka, itu tidak lebih dari sekadar informasi dan kepastian hukum yang tidak melazimkan keberadaan mereka saat ini.

Hubungan Baik di Antara Syiah dan Ahlus Sunnah dalam Hal Pernikahan, Waris, dan Lain-Lain

Al-Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir a.s. berkata, seperti tercantum dalam Sahih Hamran ibn A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu, mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”

Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya.

Karena itu pulalah, para ulama Syiah memfatwakan kebolehan pernikahan antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi di antara mereka, dan halalnya sembelihan mereka. Imam Khomeini menyebutkan hal itu secara tegas dalam kumpulan fatwanya, yakni Kitab Tahrir Al Wasilah sebagai berikut:

1. Dalam Bab Warisan, di saat menjelaskan kafir (non-Muslim) tidak berhak mendapatkan warisan dari seorang Muslim, pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Kaum Muslim saling mewarisi di antara mereka, walaupun mereka berbeda dalam mazhab….

2. Dalam Bab Nikah, di saat menjelaskan tentang kafir (non-Muslim) pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Tidak bermasalah seorang mukmin mengawini seorang perempuan yang berbeda (non-Syiah) yang bukan Nashibi, (yakni, yang tidak melaknat dan memusuhi para imam suci Ahlul Bait).

3. Dalam Bab Penyembelihan, masalah pertama, dinyatakan pula:
Disyaratkan kepada pelaku penyembelihan keharusan bahwa yang bersangkutan adalah seorang Muslim... “Maka halal sembelihan (penganut) seluruh kelompok Islam.”
Begitu juga Imam Ali Khamene’i memfatwakan secara tegas keabsahan bermakmum kepada Ahlus Sunnah .
(Fatwa-Fatwa, terbitan Al Huda, Jakarta).[]

Terkait Berita: