Pesan Rahbar

Home » » Tanah Fadak Adalah Milik Fathimah Putri Nabi ataukah Milik Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan? Berikut Penjelasannya

Tanah Fadak Adalah Milik Fathimah Putri Nabi ataukah Milik Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 22:23:00


Sejarah singkat tanah Fadak

Fadak adalah sebuah desa kecil yang terletak di utara Madinah, yang berjarak dua atau tiga hari perjalanan dari kota tersebut.[1]

Pada tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah saw mengirim pasukannya untuk menyerang kaum Yahudi Khaibar. Setelah beberapa hari perjuangan, akhirnya Muslimin meraih kemenangannya. Alasan penyerangan itu, selain karena kaum Yahudi Khaibar memberikan perlindungan kepada orang-orang Yahudi yang terusir dari Madinah karena menebar fitnah dan megadu domba, mereka sendiri juga turut andil dalam memprovokasi berbagai kabilah Arab untuk melawan Islam. Setelah kemenangan Muslimin, meskipun saat itu nyawa dan harta penduduk Khaibar ada di tangan Rasulullah saw, namun karena kasih sayangnya beliau menerima permintaan penduduk setempat, dan mengembalikan separuh dari Khaibar kepada mereka dan memberikan separuh lainnya kepada Muslimin. Dengan demikian penduduk Yahudi setempat tetap tinggal di kampung halamannya masing-masing, namun setiap tahun mereka harus mengirimkan penghasilan kekayaan mereka ke Madinah. Dengan mendengar kekalahan Khaibar, kaum Yahudi Fadak ketakutan karena mereka mengaku sebagai sekongkol penduduk Yahudi Khaibar. Namun karena mereka juga mendengar kemurahan hati Rasulullah saw, mereka pun senang dan meminta sang nabi untuk berprilaku sama terhadap penduduk Fadak. Akhrinya sang nabi pun menerima permohonan mereka.[2]


Perbedaan tanah Fadak dan Khaibar

Secara sekilas memang Rasulullah saw memenangkan Khaibar beserta manfaat dan kekayaannya, dan juga Fadak. Namun hukum fikih antara pemanfaatan Khaibar dan Fadak berbeda. Begini ulasannya:

1. Tempat-tempat yang dimenangkan melalui peperangan, yang istilahnya disebut Maftuhul ‘Unwah, karena pasukan Islam berjasa dalam memenangkan peperangan tersebut maka mereka memiliki hak atasnya. Pemimpin Muslimin-lah yang berhak menentukan cara pembagian kekayaan atau pemanfaatannya.[3] Kawasan Khaibar, kecuali dua bentengnya yang bernama Wathih dan Salalim, dihukumi seperti ini.

2. Tempat-tempat yang diemenangkan melalui perdamaian, yakni penduduk setempat sendiri yang menyerahkan tanah dan kekuasaan mereka berdasarkan perjanjian perdamaian, maka Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa pemanfaatan tanah dan kekuasaan tersebut khusus hak Rasulullah saw, yang mana Muslimin tidak memiliki hak apapun atasnya sama sekali. Allah swt berfirman: “Dan apa saja harta ‘fai’ [yang didapatkan melalui perdamaian, bukan perang] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya [dari harta benda] mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan [tidak pula] seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta ‘fai’ yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, keluarga Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr [59] : 6)

Kesimpulannya, kekayaan dan harta rampasan perang ada dua macam. Yang pertama adalah rampasan yang didapat dengan peperangan dan harta yang didapatkan karena perdamaian. Dalam yang pertama, para pejuang memiliki hak untuk mendapatkan bagian, namun yang kedua mereka tidak memiliki hak apapun, melainkan hak harta dan kekayaan tersebut hanya milik Allah dan nabi-Nya.


Nilai dan Penghasilan tanah Fadak

Banyak pendapat tentang seberapa berharganya tanah Fadak. Dalam sebagian sumber-sumber Syiah disebutkan bahwa penghasilan tahunan tanah Fadak bisa mencapai 24,000 hingga 70,000 Dinar.[4] Ibnu Abil Hadid Mu’tazili mencatat bahwa nilai pepohonan kurma tanah Fadak saat itu sama dengan nilai pepohonan kurma kota Kufah pada abad ke-7 Hijriah.[5]

Selain itu kita juga bisa mengukur nilai tanah Fadak berdasarkan fakta sejarah yang tercatat. Dicatat bahwa pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, khalifah berkehendak untuk mengusir para penduduk Fadak dari Semenanjung Arabia. Oleh karena itu ia memerintahkan para pakar untuk menghitung berapa nilai separuh dari wilayah Fadak yang dimiliki penduduk Yahudi setempat. Setelah dihitung-hitung, mereka menyebut nilainya adalah sebesar 50,000 Dirham. Lalu dengan membayar sebesar nilai itu, Umar bin Khattab mengeluarkan penduduk Yahudi di Fadak dari Semenanjung Arabia.[6] Dengan demikian bisa diperkirakan bahwa nilai tanah Fadak di jaman nabi dan khalifah Abu Bakar kurang lebih mendekati nilai itu.


Klaim Fathimah Azzahra as atas Fadak

Dalam sumber-sumber Syiah dijelaskan bahwa untuk mengklaim tanah Fadak, Fathimah Azzahra as menggunakan dua cara:

Pertama, mengklaim Fadak sebagai pemberian untuknya

Kebanyakan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber-sumber Ahlu Sunah menjelaskan bahwa separuh dari wilayah Fadak yang menjadi milik nabi Muhammad saw pada tahun 7 Hijriah tersebut, berdasarkan ayat yang menyatakan “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya…” (QS. Al-Isra’ [17] : 26), maka Rasulullah saw pun menghadiahkan Fadak kepada Fathimah Azzahra as.[7]

Untuk mengklaim demikian, sepeninggal Rasulullah saw Fathimah Azzahra as menjadikan Ali bin Abi Talib as dan Ummu Aiman sebagai saksi. Khalifah saat itu tidak menerima klaim Fathimah Azzahra as, karena Ali bin Abi Thalib as dianggap memiliki kepentingan atas Fadak, dan kalaupun kesaksian Ali bin Abi Thalib diterima, kesaksian secara keseluruhan juga tidak bakal diterima, karena khalifah mensyaratkan kesaksian dua lelaki atau saatu lelaki dan dua perempuan.[8]


Kritip terhadap khalifah

Sikap khalifah tidak bisa dibenarkan karena beberapa alasan:

1. Di jaman itu Fadak ada di tangan Fathimah Azzahra; jadi yang seharusnya terjadi adalah pihak khalifah sendiri yang mengklaim tanah Fadak dan membawakan saksi atas klaimnya. Berdasarkan kaidah al-bayyinah alal mudda’i wal yamin ala man ankara (saksi untuk orang yang mengklaim dan sumpah untuk yang mengingkari), Fathimah Azzahra as tidak patut diminta untuk membawa saksi, justru sebaliknya: khalifah yang seharusnya membawa saksi dan Fathimah Azzahra as yang bersumpah bahwa orang lain tidak memiliki hak atas Fadak.

2. Berdasarkan ayat Tathir,[9] banyak ahli tafsir baik dari Syiah maupun Ahlu Sunah mengaku bahwa ayat itu berkenaan dengan Ahlul Bait nabi,[10] yang mana Fathimah Azzahra as termasuk Ahlul Bait beliau. Sebagaimana disebutkan dalam ayat itu bahwa Ahlul Bait suci dari noda dan dosa, tidak mungkin Fathimah Azzahra as mengaku atas sesuatu yang memang bukan hakknya.

3. Para ahli hadis baik dari Syiah maupun Ahlu Sunah bersepakat bahwa Rasulullah saw tentang putrinya pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah murka atas amarahnya dan ridha atas keridhaannya.”[11] Dengan demikian sosok Fathimah Azzahra as adalah seorang yang tidak mungkin sembarangan dalam bersikap, apa lagi dalam klaimnya tersebut.

4. Saksi lelaki yang merupakan sosok Ali bin Abi Thalib yang semua umat Islam memahami siapa beliau, bukanlah sembarangan saksi yang bisa dianggap remeh apalagi dituduh memiliki kepentingan pribadi atas tanah Fadak.

5. Dalam sejarah ada seseorang yang bernama Khuzaimah bin Tsabit yang sangat kuat imannya sehingga Rasulullah saw sendiri menyebutnya sebagai dzu syahadatain yakni orang yang memiliki dua kesaksian; maksudnya kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua saksi laki-laki biasa.[12] Lalu mengapa khalifah tidak menerima Ali bin Abi Thalib yang jelas jauh lebih unggul dari Khuzaimah?

6. Tak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah saw menyebut Ummu Aiman sebagai wanita surga.[13] Orang yang memiliki predikat seperti itu tidak mungkin memberikan kesaksian palsu sehingga kesaksiannya harus diragukan.

Sampai sini timbullah pertanyaan serius: jika memang benar-benar tanah Fadak diberikan nabi kepada Fathimah Azzahra as, lalu mengapa ia tidak bisa membawakan saksi lebih banyak lagi? Padahal Fadak cukup lama ada di tangannya, yakni kurang lebih selama empat tahun (7-11 Hijriah).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikatakan:

1. Justru apa yang kita lihat menunjukkan bahwa pemberian tanah Fadak kepada Fathimah Azzahra as bersifat kekeluargaan, yang manan nabi sendiri tidak ingin mengumumkannya ke semua orang. Rasulullah saw hanya menjadikan beberapa orang sebagai saksi. Beliau pun tidak melihat maslahat untuk menjadikan orang-orang seperti Abbas paman nabi juga istri-istrinya sebagai saksi pemberian itu. Mungkin alasannya bisa jadi dikhawatirkannya timbul hasud antar anggota keluarga dan lain sebagainya.

2. Mungkin banyak orang yang tidak memiliki keberanian dalam memberikan kesaksian untuk Fathimah Azzahra di hadapan khalifah. Sebagaimana banyak orang saat itu juga tidak berani menyinggung pesan nabi di Ghadir Khum tentang siapa penerus sepeninggal beliau karena entah bagaimana pesan tersebut telah diingkari dengan keberadaan kekhalifahan yang tak didasari oleh kehendak nabi.

3. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa di masa Rasulullah saw masih hidup, meskipun Fadak telah diberikan kepada purinya, karena maslahat tertentu Rasulullah saw sendiri yang mengurus pemanfaatan Fadak sebagai wakil Fathimah Azzahra as. Lalu akhirnya fenomena tersebut menciptakan dugaan di benak umum bahwa pemanfaatan tahan Fadak oleh Rasulullah saw dilakukan atas wewenangnya sebagai pemimpin umat Islam, bukan sebagai sosok pribadi.[14]


Kedua, mengklaim Fadak sebagai warisan dari nabi

Cara kedua ini bukan berarti tak ada hubungannya dengan yang pertama sehingga Fathimah Azzahra bisa disebut plin-plan dalam mengklaim Fadak; namun karena cara yang pertama tidak membawakan hasil, beliau menggunakan cara yang kedua.

Jadi dengan cara ini, Fathimah Azzahra as menuntut tanah Fadak yang diambil oleh khalifah karena itu adalah warisan dari ayahnya.[15] Fathimah Azzahra as membacakan ayat tentang warisan yang berbunyi: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’ [4] : 11)

Secara sekilas, hukum mewarisi dalam ayat itu mencakup nabi maupun selain nabi. Khalifah Abu Bakar berdalih dan mengatakan bahwa para nabi tidak meninggalkan warisan. Akhirnya Fathimah Azzahra as membacakan ayat-ayat Qur’an lainnya seperti ayat-ayat di bawah ini:

“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam [19] : 5-6)

Dalam ayat tersebut nabi Zakaria memohon kepada Allah swt agar dikaruniai seorang anak sehingga menjadi ahli waris baginya.

Begitu juga ayat:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” (QS. An-Naml [27] : 16).

Dengan ayat itu Fathimah Azzahra membuktikan bahwa nabi Sulaiman as mendapatkan warisan dari nabi Daud as. Lalu bagaimana Rasulullah saw tidak meninggalkan warisan baginya?

Lalu di sini kembali timbul pertanyaan serius pula: Jika Fathimah Azzahra as ingin menuntut Fadak dari Khalifah sebagai warisan untukknya, ia seharusnya tahu bahwa yang berhak mendapatkan warisan bukan hanya dia sendiri, namun juga ada istri-istri nabi. Lalu mengapa ia meminta khalifah Abu Bakar untuk memberikan Fadak keseluruhan kepadanya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa dijelaskan begini:

1. Fathimah Azzahra as meminta Fadak dari khalifah secara keseluruhan untuknya, karena baginya Fadak adalah miliknya sendiri. Ia menggunakan cara kedua karena ia tidak berhasil menuntut haknya dengan cara pertama. Seandainya dengan cara pertama berhasil, Fathimah Azzahra tidak perlu menggunakan cara kedua ini sehingga harus timbul pertanyaan sedemikian rupa.

2. Meskipun istri-istri nabi berhak atas tanah Fadak, namun jatah yang didapat oleh mereka tidak seberapa dibanding hak Fathimah Azzahra as atas tanah Fadak. Oleh karena itu wajar jika Fathimah Azzahra as menuntut haknya sedemikian rupa.


Dalih yang diutarakan khalifah

Sang khalifah berdalih dengan dua alasan untuk tidak menyerahkan Fadak kepada Fathimah Azzahra as:

Pertama, menganggap Fadak adalah sedekah

Yakni Rasulullah saw tidak memberikan Fadak kepada siapapun; beliau memanfaatkan Fadak untuk memenuhi kebutuhan beliau sendiri, Fathimah Azzahra as dan anggota Bani Hasyim yang lainnya, yang selebihnya beliau sedekahkan di jalan Tuhan. Dengan demikian Rasulullah saw menganggap Fadak sebagai sedekah jariah (amal jariah).[16] Abu Bakar yang menanggap dirinya sebagai khalifah yang sah merasa berhak atas tanah Fadak untuk kepentingan umat Islam.

Namun dalih tersebut tidak bisa dibenarkan karena:

1. Sebagaimana yang termaktub jelas dalam ayat 7 surah Al-Hasyr, tanah sebagaimana tanah Fadak adalah hak milik Allah dan nabi-Nya.

2. Banyak riwayat baik dari Syiah maupun Ahlu Sunah yang menjelaskan bahwa ketika turun ayat “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya…” (QS. Al-Isra’ [17] : 26) Rasulullah saw memberikan tanah Fadak kepada putrinya. Menariknya lagi, dalam ayat suci tersebut, nabi diperintahkan untuk memberikan sesuatu kepada keluarga dekatnya sebagai hak yang layak didapatkan olehnya.[17]

3. Meskipun kelihatannya perilaku nabi tidak menunjukkan bahwa tanah Fadak adalah milik pribadinya dan telah diberikan kepada anaknya, tapi ketika seseorang seperti Fathimah Azzahra as putri nabi, Ali bin Abi Thalib as menantu nabi dan juga Ummu Aiman memberikan kesaksian bahwa tanah Fadak milik Fathimah Azzahra as, seharusnya kesaksian itu lebih diutamakan daripada pemahaman umum yang didapat secara sekilas dari perilaku nabi dalam memanfaatkan Fadak.

4. Anggap saja Fadak memang sedekah, yang mana di jaman nabi, beliau sendiri yang berwewenang atasnya. Tapi apakah itu berarti sepeninggal beliau khalifah Abu Bakar juga berhak atas Fadak? Karena bisa saja nabi menjadikannya sebagai sedekah khusus atau wakaf khusus yang pengurus-pengurusnya adalah orang-orang dari keluarga beliau sendiri. Ada juga riwayat-riwayat di sumber-sumber Ahlu Sunah yang menjelaskan bahwa pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, khalifah mengembalikan Fadak kepada Ali bin Abi Thalib as dan Abbas supaya Fadak diperlakukan sebagaimana nabi memperlakukannya.[18]

5. Anggap pula kita menerima bahwa pemanfaatan Rasulullah saw atas tanah Fadak ada dalam lingkup peran beliau sebagai pemimpin Muslimin. Namun karena Ahlul Bait dan Syiahnya sejak awal memang tidak melihat keabsahan dalam kekhalifahan, dengan sendirinya Ahlul Bait juga tidak bisa menganggap sah pemanfaatan Fadak oleh pihak khalifah.


Kedua, hadis tentang bahwa nabi tidak meninggalkan warisan

Maksud dari hadis ini adalah riwayat yang dinukil oleh khalifah Abu Bakar dari nabi yang berbunyi: “Kami para nabi tidak meninggalkan warisan; apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”[19]

Ada beberapa poin yang perlu dicamkan terkait riwayat di atas:

1. Hingga saat itu tidak ada yang pernah mendengar hadis tersebut selain Abu Bakar sendiri. Kebanyakan ahli hadis pun berpandangan sama, mereka mengaku bahwa satu-satunya perawi hadis itu hanyalah Abu Bakar. Namun lama kelamaan mulai banyak orang yang memberikan dukungan dan membenarkan hadis tersebut, seperti Malik bin Aus, Umar bin Khattab, Aisyah, Thalhah dan Zubair.[20]

2. Abu Bakar hanya seorang diri, yang jika dibandingkan dengan tiga orang: Fathimah Azzahra as, Ali bin Abi Thalib as dan Ummu Aiman, dengan pengakuan yang mereka nyatakan serta pujian nabi terhadap mereka, seharusnya pengakuan lawan dari pihak Khalifah yang bisa dibenarkan.

3. Hadis tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menceritakan bahwa para nabi juga meninggalkan warisan. Jelas satu hadis dengan satu perawi tidak bisa didahulukan dari ayat-ayat Al-Qur’an.[21]


Referensi:
[1] Mu’jam Al-Buldan, Yaqut Hamumi, jil. 5/6, hal. 417
[2] Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 302; Futuhul Buldan, Abul Hasan Baladzari, hal. 42
[3] Al-Ahkam Al-Sulthaniah, Abul Hasan Marawi, hal. 139
[4] Biharul Anwar, jil. 29, hal. 123
[5] Syarah Nahjul Balaghah, jil. 16, hal. 236
[6] Al-Saqifah wal Fadak, hal. 98
[7] Syarah Nahjul Balaghah, jil. 16, hal. 268.
[8] Ibid, hal. 214 dan 210; Futuhul Buldan, hal. 44.
[9] QS. Al-Ahzab [33] : 33.
[10] Fadak fil Tarikh, Syahid Sayidm Muhammad Baqir Shadr, hal. 189.
[11] Berbagai referensi dari kitab-kitab Ahlu Sunah telah disebutkan dalam buku Fadak fil Tarikh, hal. 187.
[12] Syarah Nahjul Balaghah, jil. 16, hal. 273.
[13] Al-Ihtijaj Thabrasi, jil. 1, hal. 121.
[14] Syahid Shadr mengutarakan beberapa kemungkinan, termasuk jauhnya Fadak dari Madinah, ketidaktahuan kebanyakan orang Madinah atau orang-orang takut dibunuh jika menjadi saksi. (Fadak fil Tarikh, hal. 187).
[15] Syarah Nahjul Balaghah, jil. 16, hal. 217.
[16] Syarah Nahjul Balaghah, jil. 16, hal. 217.
[17] Ibid, hal. 286.
[18] Ibid, hal. 223.
[19] Ibid, hal. 218.
[20] Ibid, hal. 221-227.
[21] Fadak fil Tarikh.

(Azha/Hauzah-Maya/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: