Pesan Rahbar

Home » » Ceritera - Ceritera Hikmah: Bab III: Jangan Kau Hancurkan, Aku Takkan Mengucapkan!

Ceritera - Ceritera Hikmah: Bab III: Jangan Kau Hancurkan, Aku Takkan Mengucapkan!

Written By Unknown on Tuesday, 4 October 2016 | 18:49:00

Ilustrasi: Jalan Yang Lurus

Seorang ulama bercerita bahwa sewaktu masih belajar, dirinya punya seorang teman yang memiliki sebuah jam tangan. Temannya itu amat menyukai jam tersebut. Ia selalu menjaga dan memperhatikannya agar tidak sampai hilang atau rusak. Suatu hari, ia sakit. Karena, penyakitnya itu, kondisinya terus bertambah parah. Sampai suatu ketika, ia sekarat dan menanti datangnya ajal. Saat itu, seorang alim hadir di sana dan menuntunnya mengucapkan, “Lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah).” Namun ia malah mengucapkan, “Jangan kau hacurkan, aku tak akan mengucapkan!” Ulama yang menceritakan kisah ini, (kebetulan hadir juga di sana) heran mengapa bukannya ia mengucapkan, “Lâ ilahâ illallâh,” melainkan justru mengatakan, “Jangan kau hancurkan, aku tak akan mengucapkan.” Teka-teki ini terus membayang di benaknya. Sewaktu kondisi temannya itu membaik, ia bertanya kepadanya, “Apa yang telah menimpamu, sehingga ketika dituntun mengucapkan kalimat tahlîl, engkau justru mengatakan, ‘Jangan kau hancurkan, aku tak akan mengucapkan.’”

Ia menjawab, “Pertama-tama, bawalah kemari jam tanganku untuk kuhancurkan.” Ia lalu menghancurkannya dan berkata, “Saya punya keterikatan hati dengan jam ini: Tatkala berada di ambang kematian dan dituntun mengucapkan kalimat tahlîl, saya melihat seorang (setan) yang di tangan kirinya memegang jam tangan saya sementara tangan kanannya menggenggam martil yang hendak dipukulkannya ke jam tanganku. Ia berkata, ‘Kalau engkau mengucapkan, lâ ilahâ illallâh, aku akan menghancurkan jam ini.’ Karena sangat menyukai jam itu, saya pun menjawab, “Jangan kau hancurkan (jam itu), saya tak akan mengucapkan (lâ ilahâ illallâh)!”


Rasulullah saww dan Seorang Pemuda di Ambang Maut

Rasulullah saww mendengar kabar bahwa seorang pemuda muslim tengah menghadapi sakaratulmaut. Segera beliau saww menemuinya dan berdiri di sampingnya. Beliau saww menuntun pemuda itu untuk mengucapkan, “lâ ilahâ illallâh”. Namun lidahnya kelu sehingga tak mampu megucapkan kalimat tahlîl itu. Kemudian Rasulullah saww bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah pemuda ini masih memiliki ibu?”

Seorang wanita yang hadir di situ menjawab, “Ya, aku ibunya.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah engkau ridha terhadap anakmu?”

Sang ibu menjawab, “Ya, kurang lebih selama enam tahun aku tidak lagi bertegur sapa dengannya.” Rasulullah saww kembali bertanya, “Apakah sekarang engkau telah ridha terhadap anakmu?” Sang ibu menjawab, “Allah merasa ridha atas keridhaanmu, wahai Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah saww bersabda kepada pemuda itu “Ucapkanlah, ‘Lâ ilahâ illallâh.’” Pemuda itu mengucapkannya dengan lancar. Rasulullah saww bertanya, “Apa yang sedang engkau lihat?” Sang pemuda menjawab, “Saya melihat di atas kepala saya seorang lelaki hitam berwajah buruk mengenakan pakaian berbau busuk yang amat menyengat hidung sehingga membuat saya sulit bernafas dan leher saya terasa dicekik.” Rasulullah saww bersabda “Ucapkanlah, ‘Wahai Yang menerima yang sedikit dan memaafkan yang banyak, terimalah yang sedikit dariku, dan maafkanlah aku yang banyak, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yâ Man yaqbalu al-yasîr wa ya’ fu’ an al-katsîr, iqbal minnî al-yatsîr wa’ fu’ annî al-katsîr, innaka Anta al-Ghafûr al-Rahîm).

Sang pemuda membaca doa ini. Lalu Rasulullah saww bertanya, “Sekarang apa yang engkau lihat?” Sang pemuda menjawab, “Saya melihat lelaki hitam dan berbau busuk itu telah pergi dan seorang yang tampan berbau harum dan mengenakan pakaian nan indah datang dan berada di samping bantal saya.”

Rasulullah saww besabda, “Ulangilah membaca doa itu (Yâ Man yaqbalu al-yasîr....).” Lalu si pemuda mengulang kembali bacaan doa itu. Setelahnya, Rasulullah saww bertanya, “Apa yang sedang engkau lihat?” Sang pemuda menjawab, “Saya melihat pemuda tampan itu siap merawat saya.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia pun menghembuskan nafas yang terakhir.


Sistem Kerajaan, Bengis dan Kejam

Catherine, ratu Rusia, adalah seorang wanita bengis dan kejam. Suatu hari, seorang penukar uang asing bernama Sunderland menghadiahkan sang ratu seekor anjing. Catherine menerima hadiah itu. Dikarenakan pemberi hadiah itu bernama Sunderland, ia pun menamakan anjingnya dengan Sunderland. Catherine amat menyukai anjing itu. Begitu juga anak-anaknya. Selang beberapa waktu, anjing itu sakit. Catherine mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengobatinya. Para dokter hewan telah berusaha keras menyembuhkan anjing itu. Namun mereka tidak berhasil. Akhirnya, anjing itu pun mati.

Catherine amat bersedih atas kematian anjing kesayangannya itu. Ia lalu mengeluarkan perintah kepada kepala polisi Moskow, “Kulitilah Sunderland dan isilah kulit tersebut dengan kulit gandum, agar ia selalu berada diantara kita serta menenangkan hati kita.”

Kepala polisi Moskow mengira yang dimaksud sang ratu adalah Sunderland si penukar uang asing (bukan anjing mati yang bernama Sunderland). Demi melaksanakan perintah sang Ratu, ia mendatangi rumah Sunderland si penukar uang asing.
Kepala polisi, “Saya ditugasi sesuatu yang amat tidak menyenangkanmu.”
Sunderland, “Apakah Ratu marah kepadaku?”
Kepala polisi, “Andaikan hnya itu.”
Sunderland, “Apakah Ratu mengeluarkan perintah penahananku?”
Kepala polisi, “Andaikan hanya itu, namun lebih dari itu.”
Sunderland, “Apakah ia menetapkan hukuman mati atasku?”
Kepala polisi, “Saya sangat menyesal! Lebih dari itu.”

Sunderland, “Apa perintahnya?”

Kepala polisi, “Ratu memerintahkanku mengulitimu, lalu mengisinya dengan kulit gandum. Sungguh aku merasa menyesal harus melaksanakan tugas ini (Anda dapat menyaksikan bagaimana kejamnya sistem kerajaan, di mana kepala polisi tanpa menanyakan [kepada sang Ratu] perihal mengapa, langsung melaksanakan tugas dan perintah yang diberikannya).”

Sunderland heran atas sikap ratu. Ia berguman dalam hati, “Kejahatan apa yang telah aku perbuat sehingga aku layak dibunuh dan disiksa semacam itu?” Memanfaatkan tenggang waktu yang diberikan kepadanya, ia menulis surat kepada Ratu. Surat itu dititipkan kepada seseorang untuk segera disampaikan kepada Ratu. Isinya adalah permohonan maaf, ampunan, serta pembebasan dirinya dari hukuman.

Ketika membaca suratnya, sang Ratu menyadari bahwa kepala polisi keliru memahami perintah yang dikeluarkannya. Sunderland yang dimaksudnya adalah anjing yang mati, bukan si penukar uang asing.
Kemudian Ratu memanggil kepala polisi dan berkata, “Maksud saya adalah Sunderland si anjing mati, bukan penukar uang asing.”

Inilah sistem kerajaan dan pemerintahan diktator Rusia yang dipenuhi orang-orang bengis, kejam, dan tidak berperikmanusiaan. Coba Anda perhatikan bagaimana dalam sistem yang jauh dari ajaran para nabi dan pemimpin Ilahi ini, mayoritas masyarakat dijadikan sasaran pelampiasan kebengisan dan kekejaman para penguasanya yang diktator dan kaki tangannya yang anti-tuhan!


Pembelaan Ayatullah Burujurdi terhadap Ayatullah Kasyani

Almarhum Ayatullah Sayyid Abulqasim Kasyani merupakan seorang ulama terkemuka, sekaligus pejuang gagah berani yang senantiasa berdiri tegak melawan pemerintahan zalim Irak dan Iran. Di sisi inilah beliau senantiasa berada di pengasingan dan penjara. Beliau lahir di Teheran tahun 1303 Hijriah Qamariah dan wafat juga di Teheran pada 1381 Hijriah Qamariah. Kubur beliau terletak di salah satu ruangan di sekitar makam Abdul Azhim di kota Rayy (Teheran selatan).

Semasa kerajaan Muhammad Reza Pahlevi, para aktivis Fadaiyan-e Islam (Organisasi Sukarelawan Islam) yang memiliki hubungan dengan Ayatullah Kasyani, bergerak sesuai fatwa Ayatullah Kasyani. Akhirnya, Ayatullah Kasyani ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Mereka hendak mengadili Ayatullah Kasyani. Sebab, beliau mengaku bahwa Fadaiyan-e Islam telah membunuh Razm Ara (perdana menteri saat itu) berdasarkan perintahnya.

Ayatullah Burujurdi, seorang faqih yang adil, melarang penjatuhan hukuman atas sosok Ayatullah Kasyani. Tatkala Ayatullah Kasyani diadili di pengadilan Syah, mereka mengatakan, “Kami akan mengadilinya, tapi tak akan dijatuhi hukuman (mati).” Namun Ayatullah Burujurdi tetap tidak setuju.

Berkat kegigihan usahanya, Ayatullah Kasyani pun dibebaskan. Mengetahui bahwa dirinya bebas berkat bantuan Ayatullah Burujurdi, beliau lalu mengirim telegram kepada Ayatullah Burujurdi guna mengucapkan terimakasih.

Almarhum Ayatullah Kasyani di akhir kehidupannya mengalami kesulitan yang amat berat. Di satu sisi beliau menghadapi perlawanan dari orang-orang organisasi Jebhe-e Melli dan para pendukung Dr. Moshadeq. Sementara di sisi lain beliau menghadapi tekanan Rezim Pahlevi. Beliau benar-benar terkucil. Saat itu beliau meminjam dana sebesar 120 ribu rial (mata uang Iran) lantaran para pendukung Dr. Moshadeq memutuskan untuk mengosongkan rumah beliau.

Beliau sendiri menceritakan, “Pada suatu hari, tatkala saya sedang memikirkan bagaimana cara mengembalikan pinjaman saya dan saya kebingungan, menjelang maghrib, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Saya segera membuka pintu. Ternyata yang mengetuk adalah Haji Ahmad suruhan Ayatullah Burujurdi. Ia membawa sebuah bungkusan. Saya segera menerima bungkusan itu. Setelah dibuka, isinya ternyata uang sebesar 12.500 rial yang disertai surat yang dibubuhi stempel Ayatullah Burujurdi.

Saya berkata kepada Haji Ahmad, ‘Bagaimana kejadiannya?’ Ia menjawab, ‘Saat Ayatullah Burujurdi berwudu di tepi kolam, beliau memerintahkan mengambil sejumlah uang. Lalu saya segera mengambil uang sebanyak 12 ribu rial dari dana umum dan 500 rial dari uang pribadi beliau. Setelah itu beliau berkata serahkan dana ini kepada Ayatullah Kasyani.’”


Mengharap Rahmat Allah, Takut Dosa Menjelang Ajal

Seorang muslim jatuh sakit dan terbaring di tempat tidur. Rasulullah saww menanyakan keadaannya. Mereka menjawab bahwa ia sakit dan terbaring di tempat tidur. Rasulullah saww mengunjunginya. Tatkala berada di samping peraduannya, beliau saww melihatnya sedang di ambang kematian. Rasulullah saww bertanya, “ Bagaimana keadaanmu?” Orang sakit itu menjawab, “Saya dalam keadaan mengharap rahmat Allah dan merasa takut akan dosa-dosa yang pernah saya kerjakan.”

Rasulullah saww bersabda, “Berkumpulnya dua sifat khauf (khawatir) dan rajâ’ (pengharapan) dalam hati seorang mukmin pada saat kematian merupakan pertanda bahwa Allah akan memenuhi harapannya dan menjaganya dari apa-apa yang ia khawatirkan.”


Jiwa Besar Bibi Nabi saww

Setelah Sayyidina Hamzah, paman Nabi saww, gugur sebagai syahid dalam perang Uhud, para musuh mencincang tubuh beliau; memotong sebagian telinga, hidung, dan ujung jari beliau, juga merobek perut beliau dan mengluarkan hatinya....

Rasulullah saww berada di sisi jenazah Sayyidina Hamzah yang sudah tercincang. Tiba-tiba beliau melihat Shafiyyah, saudari Sayyidina Hamzah berjalan ke arah beliau saww. Lalu Rasulullah saww memerintahkan Zubair bin ‘Awam (anak Shafiyyah), “Pergilah, dan jangan engkau biarkan Shafiyyah datang kemari, suruhlah ia kembali sehingga ia tidak menyaksikan tubuh saudaranya dalam keadaan semacam ini. Sebab ini amat berat.”

Zubair segera berlari menghampiri ibunya dan menyampaikan perintah Rasullah saww yang memintanya kembali.

Shafiyyah menjawab, “Mengapa engkau menyuruhku kembali? Benar saya mendapat kabar bahwa saudara saya dicincang, dan dalam hal ini kalian berusaha agar aku tidak melihat jasad saudaraku. Kejadian itu di sisi Allah adalah kecil dan saya merasa ridha atas apa yang terjadi. Saya serahkan kepada Allah dan saya akan bersabar.”

Tatkala mengetahui kebesaran jiwanya, Rasulullah saww bersabda kepada Zubair, “Biarkan ia lewat.”


Wanita Sabar dan Tegar

Dalam perang Uhud, sebagian besar pejuang Islam, termasuk Sayyidina Hamzah, gugur sebagai syahid. Tersebar berita, Rasulullah saww juga syahid.

Setelah perang usai, para wanita Madinah berangkat menuju Uhud. Kedatangan mereka disambut Rasulullah saww.

Saat itu, Zainab saudari Abdullah bin Jahsy menemui Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda kepadanya, “Sabar dan tegarlah!” Ia bertanya, “Atas apa?” Rasulullah saww bersabda, “Atas kesyahidan saudaramu, Abdullah.” Zainab menjawab, “Kesyahidan baginya adalah menyenangkan.”

Rasulullah saww bersabda, “Bersabarlah!' Zaihab menjawab, “Atas apa?” Rasulullah saww bersabda, “Atas kesyahidan pamanmu Hamzah.” Zainab menjawab, “Kita semua berasal dari-Nya dan kepada-Nyalah akan kembali. Selamat atas maqam syahadah yang telah diraihnya.” Kemudian Rasulullah saww bersabda, “Sabar dan kuatkanlah dirimu!” Zainab menjawab, “Atas apa?” Rasulullah saww bersabda, “Atas kesyahidan suamimu Mash’ab bin ‘Umair.” Tatkala mendengar jawaban ini, Zainab langsung menangis dengan keras dan memilukan. Rasulullah saww bersabda, “Kedudukan suami di sisi isteri sedemikian tinggi, sehingga tak seorang pun yang mampu menyamainya.”

Namun Zainab menjawab mereka yang menanyakan, “Mengapa berkenaan dangan suamimu engkau menangis sedemikian rupa,” dengan jawaban, “Tangisanku bukan karena suamiku, yang sesungguhnya telah berhasil mendapatkan anugerah kesyahidan dan keridhaan Rasulullah saww. Tangisanku dikarenakan anak-anak yatimnya; apa yang harus ku katakan kepada mereka tatkala mereka mencari ayahnya?”


Jawaban Imam Ali kepada Uskup

Semasa kekhalifahan Abubakar, serombongan orang Nasrani yang dipimpin uskup dan ulama tingginya, datang ke Madinah. Mereka hendak bertemu khalifah (pengganti) Rasulullah saww. Masyarakat Madinah membawa mereka menemui Abubakar. Lalu mereka mengajukan berbagai pertanyaan kepada Abubakar. Namun Abubakar membawa mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib agar mendapatkan jawaban yang benar. Mereka menemui Imam Ali dan mengungkapakan berbagai pertanyaannya. Di antaranya, “Di manakah Allah?”

Imam Ali bin Abi Thalib menyalakan api lalu bertanya kepada mereka, “Manakah bagian depan (wajah) api ini?” Cendekiawan Nasrani menjawab, “Seluruh sisi api ini dapat dianggap sebagai bagian depan (wajah)nya. Tak ada depan dan belakang.”

Imam Ali berkata, “Tatkala bagi api―yang merupakan ciptaan Allah―tidak memiliki bagian depan khusus, maka Penciptanya sama sekali tak memiliki keserupaan dengannya. Lebih dari itu, depan dan belakang, barat dan timur, semata mata berasal dari Allah. Kemana saja engkau menghadapkan wajahmu, itulah wajah Allah, dan tak satupun yang tersembunyi dari-Nya.”


Bermacam-macam Hukuman bagi Wanita Pezina

Masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Dalam sebuah pengadilan terdapat lima orang yang telah ditetapkan melakukan perbuatan melanggar kesucian (zina). Umar menjatuh-kan hukuman kepada kelimanya dengan hukuman yang sama.

Imam All bin Abi Thalib hadir di pengadilan itu. Beliau menolak bentuk hukuman yang dijatuhkan Umar dengan berkata, “Keadaan lima orang lelaki yang telah berbuat zina itu harus diperiksa lebih teliti; kalau keadaan mereka berbeda, maka mereka juga akan mendapat hukuman yang berbeda-beda pula.”

Berdasarkan keputusan Umar, keadaan masing-masing dari kelima laki-laki yang berzina itu diperiksa dengan seksama. Kemudian Imam Ali berkata, “Orang yang pertama harus dihukum pancung; yang kedua dihukum rajam; yang ketiga dicambuk sebanyak seratus kali; yang keempat cambuk sebanyak empat puluh kali; dan yang kelima harus diberi pelajaran.”

Umar bin Khathab heran menginginkan Imam Ali menjelaskan perbedaan hukuman yang ada.
Imam Ali menjawab, “Orang pertama adalah seorang kafir dzimmî (Yahudi atau Nasrani). Ia patut dihormati pabila masih menghormati hukum-hukum dzimmah (Islam). Namun bila melanggar, hukumannya adalah dibunuh. Pancunglah ia sebagai balasan atas kejahatan yang telah dilakukannya.”

“Orang kedua harus dihukum rajam, karena melakukan zina muhshanah, yakni telah memiliki isteri dan berzina.”

“Orang ketiga harns dicambuk seratus kali karena dirinya adalah seorang pemuda yang tidak beristeri (bukan muhshanah) dan berbuat zina.”

“Orang keempat, dikarenakan dirinya seorang budak, maka mendapatkan hukuman setengah dari hukuman orang merdeka yang bukan muhshanah.”

“Orang kelima itu orang gila dan harus diberi peringatan dan pelajaran.”

Mendengar penuturan Imam Ali perihal menjatuhkan hukuman tersebut, Umar langsung berkata kepada beliau, “Aku tak akan hidup di suatu umat yang tidak ada engkau di dalamnya, wahai Abu al-Hasan.”


Penimbun Harus Menjual Barangnya

Di masa Rasulullah saww, seluruh negeri Hijaz mengalami musim paceklik dan kekurangan pangan. Gandum sulit ditemukan di pasar-pasar. Sebagian muslimin menemui Rasulullah saww dan mengeluhkan, “Wahai Rasulullah saww, makanan sudah sulit didapatkan. Gandum tak ada lagi di pasar-pasar. Hanya di tempat si fulan saja dapat ditemukan sejumlah gandum.”

Kemudian Rasulullah saww mengumpulkan masyarakat dan berkhutbah di hadapan mereka. Dalam kesempatan itu, Rasulullah saww menyeru orang yang dilaporkan masyarakat tersebut, “Hai fulan! Muslimin mengatakan bahwa engkau menyimpan sejumlah gandum. Keluarkanlah bahan makanan itu dari rumahmu dan juallah kepada masyarakat, dan janganlah engkau menimbunnya.”

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Menimbun (bahan makanan) di masa berlimpah ruah dan makmur adalah selama 40 hari, dan di saat sulit dan kekurangan hanya tiga hari. Pabila ada yang menimbun lebih dari itu adalah orang terkutuk.”


Makan Sama Seperti Masyarakat

Kota Madinah mengalami masa paceklik. Harga bahan makanan membumbung tinggi. Sebagian orang yang tidak mampu, mencampur adonan roti makanannya dengan gandum berkualitas rendah (sya’îr). Imam Ja’far al-Shadiq sejak awal tahun telah menyimpan gandum berkualitas baik untuk keperluan sehari-hari. Tatkala beliau menyaksikan bahwa di pertengahan tahun masyarakat menghadapi kesulitan menemukan makanan, beliau berkata kepada budaknya, “Belilah gandum berkualitas rendah dan campurlah dengan gandum kita atau juallah gandum kita sehingga makanan kita sama dengan makanan yang dimakan umumnya masyarakat. Sesunguhnya kami tidak senang makan makanan enak sementara masyarakat memakan makanan tidak enak.”


Hidup Hemat

Mu’attab, seorang budak Imam Ja’far al-Shadiq, menceritakan bahwa pada suatu hari, beliau berkata kepadanya, “Harga bahan makanan di Madinah telah melambung tinggi. Berapa banyakkah bahan makanan yang masih kita miliki?” Ia menjawab, “Masih cukup untuk memenuhi kebutupan kita selama beberapa bulan.” Beliau berkata, “Keluarkan bahan makanan dan juallah kepada masyarakat (agar barang di pasaran menjadi banyak jumlahnya sehingga harganya turun).”

Kemudian ia membawa bahan makanan itu dan dijual kepada masyarakat. Setelah itu, Imam Ja’far al-Shadiq berkata kepadanya, “Belilah bahan makanan bersama masyarakat (secara mengantri dalam sebuah barisan) dan belilah makanan setiap hari (jangan membeli bahan makanan dalam satu hari untuk keperluan beberapa hari, karena akan menimbulkan kelangkaan bahan makanan di pasar dan menyebabkan melambungnya harga).”

Kemudian beliau berkata, “Hai Mu’attab, buatlah makanan keluargaku dari adonan setengah gandum berkualitas baik dan setengahnya lagi berkualitas rendah. Karena Allah tahu bahwa saya mampu memberi makanan keluargaku dengan gandum berkualitas baik, namun Allah lebih menyukai melihatku berhemat dalam hal pengeluaran hidup (berhemat sesuai situasi dan kondisi yang ada).”


Dukungan Rasul saww atas Keputusan Imam Ali

Di akhir kehidupannya, Rasulullah saww mengutus Imam Ali ke negeri Yaman guna memberi petunjuk kepada masyarakat dan pemerintah, serta menegakkan keadilan ditengah mereka. Saat itu terjadi peristiwa berikut:
Sekelompok orang yang sedang berburu harimau, menggali sebuah lubang yang cukup dalam. Seekor harimau terjebak di dalamnya. Mereka mengepungnya dan mendirikan sebuah pos di sana. Tiba-tiba kaki salah seorang dari mereka terpeleset. Ia pun terjatuh ke lubang itu. Demi menyelamatkan diri, ia menarik tangan orang kedua. Orang kedua menarik tangan orang ketiga. Dan orang ketiga menarik tangan orang keempat. Akhirnya, keempat-empatnya terjatuh kedalam labung. Tak pelak keempatnya pun diterkam harimau, hingga terluka parah dan tewas.

Kemudian terjadilah perselisihan di antara sanak keluarga mereka perihal siapa yang wajib membayar pengganti darah dan nyawa mereka. Akhirnya, mereka saling menghunuskan pedang. Nyaris saja terjadi pembunuhan

Tatkala mengetahui peristiwa yang terjadi, Imam Ali langsung bertolak menemui mereka dan berkata, “Saya akan menjadi penengah kalian. Kalau kalian tidak rela aku menjadi penengah kalian, temuilah Rasulullah saww, agar beliau saww sendiri yang akan menghakimi.”

Kemudian Imam Ali berkata, “Orang pertama yang dimakan harimau tidak mendapatkan pengganti (diyah) dan tak seorang pun diharuskan memberi pengganti (diyah) kepadanya. Tetapi sanak keluarga orang pertama harus memberi sepertiga diyah seorang manusia (misalnya dari 100 unta diberikan 33 unta) kepada wali orang kedua. Dan keluarga orang kedua memberi dua pertiga dari diyah kepada wali orang ketiga. Dan keluarga orang ketiga memberi diyah secara sempurna (misalnya saja l00 unta) kepada wali orang keempat.”

Namun mereka tidak menerima keputusun Imam Ali. Maka berangkatlah mereka menuju Madinah guna menemui Rasulullah saww. Setelah berjumpa dengan Rasulullah saww, mereka mengutarakan peristiwa yang terjadi. Lalu Rasulullah saww bersabda, “Keputusannya adalah sebagaimana yang telah diputuskan Ali.”

Perlu diperhatikan, sesuai keputusan ini, harga darah (nyawa) orang keempat beliau bagi secara rata kepada ketiga keluarga terbunuh sebelumnya. Karena keluarga orang pertama memberikan sepertiga (diyah) kepada wali orang kedua, dan keluarga orang kedua memberi dua pertiga (diyah) (sepertiganya berasal dan diri mereka sendiri) kepada wali orang ketiga, dan keluarga orang ketiga memberi diyah secara penuh (dua pertignya dari orang lain dan sepertiganya dari mereka sendiri) kepada wali orang keempat.


Keberanian Imam Khomeini

Seorang guru menceritakan bahwa semasa mudanya, Imam Khomeini datang ke Qum untuk belajar dan mengajar. Beliau masih belum menjadi marja’. Suatu hari, seseorang yang tak bermoral masuk ke Madrasah Faidhiyyah dan memaki pelajar yang jumlahnya masih sedikit. Orang itu tahu bahwa Reza Khan amat mendukung orang-orang yang anti-ulama dan pelajar agama.

Saat itu, para pelajar berupaya menghindar darinya. Sang guru (yang menceritakan kisah ini―peny.) melihat Imam Khomeini berjalan mendekati orang tersebut. Beliau membentak dan menamparnya hingga matanya berkunang-kunang. Ia merasa malu dan segera keluar dari madrasah dengan kepala tertunduk.
Ya, Imam Khomeini semasa mudanya sudah memiliki keberanian untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang congkak.


Kebijakan Mengeluarkan Fatwa

Pada masa Ayatullah Husain Burujurdi, berkaitan dengan masalah pernikahan dengan wanita Ahlulkitab (Yahudi, Nasrani, Majusi), beliau mengeluarkan fatwa (berbeda dengan yang masyhur didengar) bahwa seorang muslim dibolehkan menikahi wanita Ahlulkitab―baik permanen (dâ’im) maupun temporal (mu’aqqad).

Syah Muhammad Reza Pahlevi (yang digulingkan Imam Khomeini) berencana menikah dengan seorang wanita Italia. Orang-orang Syah mondar-mandir, keluar masuk kantor Ayatullah Burujurdi untuk menanyakan masalah itu. Mereka tidak menyebutkan tujuan mereka sewaktu menanyakan masalahnya.
Ayatullah Burujurdi mengetahui tujuan mereka serta menyadari maksud pihak rezim mennyakan fatwa itu; agar memperoleh legitimasi hukum bagi pernikahannya.

Ayatullah Burujurdi menelaah kembali berbagai riwayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun beliau tetap berpendapat bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahlulkitab dibenarkan syariat. Namun beliau melihat bahwa pernikahan seorang raja dengan seorang wanita non-muslimah tidak menguntungkan masyarakat Islam. Beliau dapat merasakan adanya dampak negatif dari pernikahan itu. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, beliau menyatakan, “Yang masyhur (umum) di antara fuqaha imamiah, seorang muslim diharamkan menikah dengan wanita Ahlulkitab (Nasrani, Yahudi, Majusi).

Dengan demikian, marja’ agung ini, dengan memperhatikan konteks sosial, politik, serta situasi dan kondisinya, sekaligus kebijakan dalam mengeluarkan fatwa, memberi jawaban sedemikian rupa sehingga para pemimpin zalim tak dapat menyalahgunakan fatwa tersebut, sehingga tidak membahayakan kepentingan masyarakat.


Marah terhadap Pujian dan Sanjungan

Seorang ulama yang mahir dalam menafsirkan mimpi, menemui Ayatullah Husain Burujurdi. Ia berkata, “Saya bermimpi melihat seluruh lembaran al-Quran hilang dan hanya satu yang tersisa. Saya menafsirkan lembaran yang satu itu adalah Anda!”

Tatkala mendengar tafsiran tersebut, Ayatullah Burujurdi menjadi marah. Beliau berbicara dengan nada keras kepada orang itu, “Mengapa Anda berbicara semacam itu?”


Amir Kabir, Muslim Penuntut Kemerdekaan dan Anti-Kolonialisme

Sekalipun kerajaan Nayiruddin Syah (Raja dinasti Qajar) kental diwarnai perbudakan dan penindasan, namun di dalamnya masih ada seorang muslim yang bertakwa, yaitu Mirza Muhammad Taqi Khan Amir Kabir. Di masa awal kekuasaan Nasyiruddin Syah, ia menduduki posisi perdana menteri dan menikahi saudari Nasyiruddin Syah bernama Izzah al-Daulah.

Di tangan, perdana menteri ini, terjadilah berbagai perubahan besar dalam kerajaan. Ia berusaha keras menciptakaan kemerdekaan ekonomi dan politik Iran. Karena itu, ia menghadapi banyak musuh, baik dari luar maupun dalam. Negara-negara kolonialis seperti, Inggris dan Rusia, menjadi musuh besarnya. Hingga akhirnya para kolonialis itu memaksa Nasyruddin Syah mencopotnya dari posisi perdana menteri. Pada 20 Muharram 1268, ia dicopot dari jabatan. Dan lima hari kemudian, ia dibebastugaskan secara penuh dan diasingkan ke Kasyan. Akhirnya, pada 19 Dei 1230 Hijriah Syamsiah (1851 Masehi), ia dibunuh oleh Haji Ali Khan di kamar mandi umum.

Inilah kisah yang berkaitan dengan usahanya dalam menuntut kebebasan dan kemerdekaan:
Diplomat/konsul Rusia selama sebulan menulis dan mengirim banyak surat kepada Amir Kabir. Tetapi ia tidak mendapat satupun jawaban darinya. Ia pun amat gusar dan meminta waktu untuk bertemu dengannya. Amir Kabir menjawab, “Setiap hari, di tempat kerja saya, saya meluangkan beberapa jam untuk menerima kedatangan para tamu. Jika Anda menghendaki, silakan datang kemari.” Diplomat Rusia bertambah gusar lantaran Amir Kabir tidak menyediakan waktu khusus baginya.

Ia lalu menemui Amir Kabir. Tatkala masuk ke ruangan Ainir Kabir, ia melihat Amir tengah duduk dan sibuk menulis, seraya memerintahkan bawahannya, “Ambilkan sebuah kursi untuk Tuan Diplomat!” Sang Diplomat berdiri menunggu dibawakan kursi, sementara Amir Kabir tetap duduk. Karuan saja ini membuat sang Diplomat bertambah geram. Akhirnya kursi yang ditunggu-tunggu itu datang. Sang Diplomat duduk. Setelah sedikit berbasa-basi, ia melontarkan kritikan kepada Amir Kabir, “Mengapa Perdana Menteri tidak menjawab surat-surat kedutaan. Ini akan menjadikan buruk hubungan kedua negara!”

Amir Kabir menjawab dengan tegas, “Saya sungguh heran terhadap seorang politikus yang handal, yang menyatakan bahwa sayalah yang menyebabkan memburuknya hubungan kedua negara, menuduh saya dengan tuduhan yang tidak pantas!” Sang Diplomat bertanya, “Lalu mengapa Anda tidak menjawab surat-surat kedutaan? Siapakah yang bertanggung jawab?” Amir Kabir menjawab, “Diplomat sendirilah yang harus mengetahui tentang aturan surat-menyurat secara resmi. Negara kami memiliki departemen luar negeri dan menteri luar negeri. Dalam berbagai urusan, seharusnya Anda berhubungan dengan departemen luar negeri.”

Mendengar jawaba ini, sang Diplomat merasa malu dan bersalah. Kemudian Amir Kabir memerintahkan menteri luar negerinya untuk membawa kotak surat ke kantornya. Setelah dibuka, ternyata di dalamnya terdapat enam belas surat dari kedutaan Rusia yang masih tertutup amplop. Saat itu pula Amir Kabir menyerahkan surat-surat tersebut kepada menteri luar negerinya, seraya berkata, “Jawablah surat-surat ini.”

Dengan demikian, Amir Kabir telah menjaga dan mempertahankan kemulian Islam dan Iran di hadapan diplomat Rusia yang congkak. Selain itu, ia tidak menjadikan hukum dan undang-undang negara berada di bawah kemauan diplomat asing.


Pemakaman Jenazah Hafiz Syirazi

Khajah Hafiz Syirazi hidup sederhana; layaknya fakir miskin. Ia tidak merasa dirinya memiliki posisi dan kedudukan yang istimewa. Tatkala dirinya meninggal dunia, orang-orang besar enggan menghadiri pemakamannya, malah cenderung merendahkannya.

Alkhisah, mereka mengumpulkan syair-syairnya yang tertulis di berbagai kepingan keramik (mozaik). Lalu mreka menyuruh seorang anak untuk memungut salah satu kepingan keramik itu (semacam mengundi) untuk mengetahui syair apa yang dipungutnya.

Kemudian anak itu mengambil salah satu kepingan yang ada. Lalu mereka melihat syair yang tertulis di kepingan keramik itu yang bertuliskan:
Jangan enggan melangkahkan kaki untuh jenazah Hafiz
Sekalipun tenggelam dalam dosa, ia akan menuju surga 

Setelah kejadian itu, para pembesar pun menghadiri acara pemakamannya. Dengan penuh rasa hormat, mereka menyalati jenazahnya, dan memakamkannya. Lantaran itu, Khajah Hafiz dijuluki sebagai lisân al-ghâib (lisan gaib).


Aisyah Terbunuh atas Perintah Muawiyah

Saat berkuasa di Syam pada tahun 57 Hijriah, Muawiyah bertolak ke Hijaz untuk mengambil baiat dari masyarakat bagi putera mahkotnya, Yazid.

Aisyah (isteri Rasulullah saww) mengirim surat yang berisikan ancaman keras terhadap Muawiyah yang menyatakan, “Engkau telah membunuh saudaraku Muhammad bin Abubakar. Sekarang engkau hendak mengambil baiat untuk Yazid. Sikap semacam itu mustahil diterima....”

Amr bin Ash berkata kepada Muawiyah, “Jika Aisyah tidak engkau bungkam, kemungkinan besar ia akan memprovokasi masyarakat untuk melawanmu.”

Dalam upaya membungkam Aisyah, pertama-tama Muawiyah mengutus Abu Hurairah dan Syarahbil menemui Aisyah dengan membawa berbagai hadiah. Harapannya, Aisyah akan menghentikan sikap permusuhannya. Selain itu, ia juga memberi Abdurrahman, saudara Aisyah, kedudukan yang tinggi. Ini dipandangnya sebagai sejenis ganti rugi dan upaya membungkam Aisyah.

Namun, semua itu tak kunjung memupus kebencian Aisyah terhadap Muawiyah. Kali ini Muawiyah memutuskan untuk membunuh Aisyah secara diam-diam. Ia memerintahkan menggali sumur dan memenuhinya dengan batu kapur. Di atasnya diletakkan permadani yang mahal dengan sebuah kursi. Menjelang isya, Muawiyah memanggil Aisyah menemuinya dan berjanji akan memberinya hadiah sebesar beberapa ribu dirham (tampaknya peristiwa ini terjadi di Madinah).

Aisyah bersama budak (India)-nya keluar dari rumah dengan menunggang keledai Mesirnya. Setelah sampai di tempat yang dimaksud, Muawiyah memberi penghormatan yang luar biasa. Ia mempersilahkan Aisyah duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Sewaktu duduk, ia pun langsung terjatuh ke lubang sumur beserta permadani dan kursinya. Saat itu Muawiyah memerintahkan membunuh keledai dan budak Aisyah, lalu memasukkannya ke dalam sumur yang langsung ditimbuni tanah.

Sejak saat itu, Aisyah menghilang dan tidak diketahui rimbanya. Terjadilah kehebohan di tengah masyarakat. Sebagian mengatakan bahwa Aisyah pergi ke Mekah. Sebagian lagi mengatakan pergi ke Yaman. Imam Husain mengetahui peristiwa itu. Beliau lalu memberikan harta Aisysh kepada ahli warisnya.[3]

Perlu dicatat, terdapat peristiwa penting yang menyangkut Aisyah semasa kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib. Sekalipun Aisyah sendiri yang menyebabkan pecahnya perang Jamal dan tertumpahnya darah ribuan muslimin, namun ia tetap diperlakukan Imam Ali dengan hormat. Setelah peperangan usai; Imam Ali bin Abi Thalib mengembalikan Aisyah ke Madinah dengan diiringi para pengawal yang jujur (yang secara lahiriah mereka nampak sebagai laki-laki padahal mereka adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian lelaki). Siasat ini beliau lakukan demi menjaga kehormatan Rasulullah saww. Namun, Anda dapat menyaksikan sendiri bagaimana Muawiyah memperlakukannya.

Dengan membandingkan kedua perlakuan ini, kita semakin mengetahui kehinaan Muawiyah serta kemuliaan dan kejantanan Imam Ali bin Abi Thalib.


Nama Ali untuk Anak-anak al-Husain

Semasa pemerintahan Muawiyah, Marwan bin Hakam menduduki jabatan gubernur Madinah. Pada kesempatan ini, ia mengerahkan seluruh upayanya untuk menebarkan permusuhan terhadap Ali bin Abi Thalib dan para keturunannya.

Suatu hari, ia (Marwan) bertemu dengan Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad dan bertanya, “Siapa namamu?”
Imam al-Sajjad menjawab, “Namaku Ali.”

Marwan, “Siapa nama saudaramu?”

Imam, “Juga Ali.”

Marwan, “Oh! Ali lagi. Ada apa dengan Ali? Tampaknya ayahmu hendak menamakan semua anak-anaknya dengan Ali.”

Imam al-Sajjad berkata, “Kemudian saya menemui ayahku Imam Husain dan menceritakan kepada beliau ucapan Marwan.”

Imam Husain berkata, “Celakalah Marwan! Anak wanita bermata ungu, yang kerjanya membersihkan kulit binatang. Seandainya aku melahirkan seratus anak lelaki, niscaya semunya akan kuberi nama Ali.”


Karunia Khusus Imam Zaman

Di salah satu desa di kota Kasyan, seorang wanita dari keluarga sayyid yang taat menjalankan ajaran agama, tertimpa penyakit yang amat parah. Tangan dan kakinya lumpuh. Ia dibawa kerumah sakit. Sekalipun berada di bawah pengobatan sejumlah dokter, namun ia tak kunjung sembuh. Ia lalu dibawa kembali ke desa dalam keadaan terbaring di tempat tidur lantaran tak mampu bergerak.

Wanita bertakwa ini, baik sebelum maupun sesudah sakit, senantiasa beribadah dan bertawasul kepada Ahlul Bait. Ia bertawasul kepada putera imam suci Ahlul Bait bernama Abdullah bin Ali yang dimakamkan di desa itu, agar Allah menyembuhkan dirinya.

Pada hari kamis (22 Dzulqa’dah 1411) pukul 13.30, sekalipun tidak terbiasa tidur siang, saat itu ia tiba-tiba tertidur dalam sekejap. Dalam mimpinya, ia melihat Imam Zaman (Imam Mahdi) mendekat ke samping bantalnya dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Kepala saya pusing, leher saya seperti tercekik, sehingga saya sulit berbicara.” Imam Mahdi mengusap kepala dan keningnya. Berkat karunia dan kemurahan ini, penyakitnya hilang dan kondisinya kembali normal. Tatkala terbangun dari tidur, wanita alawiyah ini mendapati dirinya telah sembuh. Tangan dan kakinya dapat digerakkan, dan tidak merasakan kelumpuhan.

Peristiwa ini diceritakan kepada sanak saudaranya. Mereka meneteskan air mata karena gembira. Ia bangun dari tempat tidurunya dan berjalan menuju halaman rumah untuk berwudu di kolam. Sanak keluarganya yang masih dipenuhi rasa takjub saling berguman, “Mari kita iringi ia, jangan sampai terjatuh.” Namun mereka menyaksikan bahwa ia tidak terjatuh dan mampu berwudu sendirian tanpa bantuan orang lain. Setelah itu, ia kembali ke kamar menunaikan shalat dua rakaat, kemudian pergi ke maka Abdullah bin Ali.

Seiring peristiwa menakjubkan ini, saudarinya melihat dalam mimpinya. Abdullah bin Ali menghampirinya dan berkata, “Saudarimu telah sembuh, kemarilah dan bawalah potongan kain hijau yang ada di atas kuburku ini, dan ikatkanlah lengan saudarimu.” Wanita itupun melaksanakannya.

Masyarakat mengatahui peristiwa yang terjadi. Terompet di makam putera imam Ahlul Bait tersebut dibunyikan. Mukminin pun berbondong-bondong mendatangi makam putera imam Ahlul Bait tersebut dan memberi selamat kepada wanita yang telah mendapat kesembuhan itu serta kepada keluarganya.


Imam Ali dijuluki “Qudham”

Pada perang Uhud, Thalhah bin Abi Thalhah, orang yang bertubuh tegap dan kekar yang mengusung panji musuh, maju ke medan laga. Imam Ali menghampirinya dan terjadilah perkelahian sengit. Akhirnya Thalhah terbunuh di tangan Imam Ali. Tatkala berhadapan dengan Imam Ali, Thalhah berterik, “Hai Qudham.” (Dalam riwayat lain berkata, “Hai Qadhim.”)

Dalam hal ini, seseorang bertanya kepada Imam Ja’far al-Shadiq soal mengapa musuh memanggil beliau, dengan julukan Qudham? Imam Ja’far al-Shadiq menjawab, “Rada masa awal Rasulullah diutus menjadi Rasul, orang-orang musyrik Mekah mengganggu dan menyakiti beliau saww. Namun selama Abu Thalib berada di samping beliau, orang-orang musyrik sama sekali tidak berani menghina dan menyakitinya. Lalu orang-orang musyrik memerintahkan anak-anak untuk melempari Rasullah saww dengan batu. Tatkala Rasulullah saww keluar rumah, anak-anak langsung melemparkan bebatuan dan gumpalan tanah ke arah beliau. Perbuatan ini membuat Rasulullah merasa tersiksa (karena harus berhadapan dengan anak-anak). Lalu beliau saww mengadukan kejadian itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib (yang saat itu masih berusia 13 tahun). Imam Ali menjawab, ‘Ayah dan ibuku rela kukorbankan untukmu, wahai Rasulullah. Jika Anda hendak keluar, ajaklah saya.’”

“Rasulullah saww keluar dari rumah dengan ditemani Imam Ali bin Abi Thalib. Seperti biasa, anak-anak kaum musyrik melempari beliau dengan batu. Kemudian Imam Ali mengejar mereka. Sewaktu berhasil menangkap salah seorang dari mereka, Imam Ali segera meremas telinga, hidung, dan pipinya. Anak itu menangis karena kesakitan. Akhirnya, mereka kembali ke rumah masing-masing. Ayah mereka bertanya, ‘Mengapa kalian menangis.’ Mereka menjawab, ‘Qadhamna Aliyyun, qadhamna Aliyyun.’ Sejak itu, Imam Ali mendapat julukan ‘Qudham’ (peremas telinga).”

“Dan pembawa panji musuh dalam perang Uhud itu teringat masa muda Imam Ali bin Abi Thalib. Ia lalu memanggil beliau dengan panggilan ‘Qudham’.”


Ikan yang Lolos dari Paruh Burung Gagak

Seekor burung gagak berada di tengah padang pasir. Beberapa hari itu, ia kelaparan. Ia lalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari makan, namun tak kunjung didapatkannya. Akhirnya, demi memperoleh makanan, ia berhenti di tepi sungai kecil di padang pasir itu dan berusaha menangkap ikan yang ada dalam air. Saat itu tampak seekor ikan kecil melintas di tepi sungai. Seketika, ia pun mematuknya.

Ikan kecil itu menangis dan berkata, “Tubuhku kecil dengan menyantapku, enghau tak akan kenyang. Aku berjanji, setiap hari akan mengajak dua ekor ikan besar untuk melintas di dekatmu, sehingga engkau mudah mematuknya satu persatu dan menikmati dagingnya.” Sang gagak berkata, “Katakanlah demi Tuhan.” Tatkala mengucapkan kata-kata itu, seketika itu pula paruhnya terbuka. Ikan kecil itupun terlepas dari jepitan paruhnya dan langsung menyelam ke dalam air.

Mereka yang berada di bawah tekanan dan tindasan, selayaknya merumuskan sebuah taktik agar terlepas darinya; sebagaimana dilakukan ikan kecil cerdik ini.


Awal Pemerintahan sebagai Dasar Pananggalan

Setip umat memiliki dasar penanggalan, seperti tahun Masehi yang didasarkan pada hari kelahiran Nabi Isa al-Masih as dan lain-lain.

Orang-orang Arab sebelum Islam menjadikan peristiwa penyerangan burung-burung Ababil yang menggunakan batu kerikil terhadap pasukan gajah yang hendak menghancurkan Kabah―empat puluh tahun sebelum Rasulullah saww diangkat menjadi rasul―sebagai dasar penanggalan.

Setelah munculnya Islam, sampai tahun ketiga pemerintahan Umar bin Khattab, muslimin masih belum memiliki dasar penanggalan. Karenanya, dalam berbagai surat menyurat dan transaksi, mereka tidak menentukan tanggal dan bulan dikarenakan tak punya sistem penanggalan. Ini menimbulkan banyak kesalahan. Sebab, surat-surat itu tidak diketahui pada tahun berapa ditulisnya.

Semasa pemerintahannya, Umar bin Khathab mengumpulkan para sahabatnya. Ia lalu meminta pendapat mereka untuk menentukan penanggalan Islam.

Sebagian berkata, “Kita jadikan momen kelahiran rasulullah sebagai awal penanggalan.”

Sebagian lain berkata, “Bagaimana kalau hari pengangkatan Rasulullah saww (sebagai rasul).”
Imam Ali juga hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, “Sejak hari hijrah Rasulullah dan meninggalkan bumi syirik.” Ya, beliau menghendaki dasar penanggalan ditentukan sejak Rasulullah saww berhijrah dari Mekah dan meninggalkan negeri syirik).


Ali bin Abi Thalib di Samping Rasulullah saww di Gua Hira’

Gua Hira’ berada di puncak sebuah gunung tinggi di kota Mekah. Sekarang gunung itu dinamakan dengan al-Nur (jabal al-Nûr). Di gua ini terjadi salah satu keajaiban dalam sejarah Islam. Sebelum diangkat sebagai rasul, tiap tahun selama sebulan Rasulullah saww pergi ke gua Hira’. Siang malam beliau saww berada di sana demi menunaikan ibadah. Setelah sebulan, beliau turun dari gunung dan langsung menuju Kabah dan mengelilinginya (tawaf) sebanyak tujuh kali. Lalu beliau kembali ke rumah. Rasulullah saww diangkat sebagai rasul dan menerima wahyu di bulan-bulan beliau biasa beribadah setiap tahun di gua Hira’ .

Yang lebih menakjubkan dari kisah ini, sesuai karena berbagai hadis nabawi dan riwayat, pada saat itu, Ali bin Abi Thalib (yang masih berusia kurang dari sepuluh tahun) selalu menemui Rasulullah saww di gua Hira’ dan sibuk beribadah di samping beiau. Ini sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Ali dalam Nahj al-Balâghah, “Setiap tahun beliau pergi menyendiri ke gua Hira’, di mana saya melihat beliau tetapi tak seorangpun yang melihat beliau.”[4]


Merujuk Bukan pada Ahlinya

Seorang lelaki yang menderita sakit mata cukup parah, bukannya pergi berobat ke dokter spesialis mata, melainkan ke dokter hewan. Dokter hawan pun memberinya obat tetes mata yang biasa digunakan untuk mengobati mata binatang. Setelah ditetesi obat, matanya kontan menjadi buta. Ia lalu menuntut tindakan dokter hewan itu dan mengajaknya ke pengadilan. Sesampainya di pengadilan, ia menceritakan peristiwa yang telah terjadi kepada hakim.

Hakim berkata, “Dokter hewan tidak bersalah. Kalau ia bukan seekor keledai, mustahil akan berobat kepadanya.”
Jangan kan bebani seorang cerdik pandai
Dengan pekerja yang mendatangkan bahaya
Ahli penganyam tikar sekalipun ia adalah penganyam
Jangan dibawa ke pabrik penenunan sutera


Sedikit Makan dan Kecantikan

Rasulullah saww bercerita, “Pada suatu hari suadaraku Isa as tengah mengadakan perjalanan. Sampailah ia di sebuah kota. Di situ ia melihat sepasang suami isteri yang sedang bertengkar. Ia datang menghampiri kedua orang itu dan bertanya, ‘Apa yang kalian pertengkarkan?’ Suami menjawab, ‘Wanita ini isteriku, seorang wanita mulia dan tidak bersalah apapun. Namun saya merasa senang jika ia berpisah dariku (dengan perceraian).’”

“Isa as menjawab, ‘Alhasil, katakanlah kepadaku rahasia yang engkau pendam, tentang mengapa setelah engkau mengetahui dirinya seorang wanita mulia namun engkau ingin menceraikannya?’”
“Sang suami menjawab, ‘Rahasianya adalah sekalipun ia belum tua, wajahnya sudah keriput dan kecantikannya telah hilang.’”

“Isa as berkata kepada si wanita, ‘Apakah engkau ingin kecantikan wajahmu pulih kembali?’”
“Wanita menjawab, ‘Ya tentu.’”

“Isa as berkata, ‘Tatkala engkau makan, berhentilah makan sebelum engkau merasa kenyang. Sebab perut yang dipenuhi makanan dan melebihi kapasitasnya akan menyebabkan lenyapnya kecantikan wajah.’”

“Wanita tersebut menjalankan anjuran Isa as. Sejak itu, ia makan tidak sampai kenyang dan kecantikan wajahnya pun pulih kembali.”


Kenangan tentang Imam Ali al-Hadi

Imam Ahlul Bait kesepuluh, Ali al-Hadi, dilahirkan di Madinah pada 15 Dzulhijjah 212 Hijriah (masa kepemimpinan [imâmah] beliau pada 220-254 Hijriah). Pada 3 Rajab 254 Hijriah, dalam usia 42 tahun, beliau syahid di kota Samurra’ (Irak) akibat diracun Mu’tamad Abbasi atas perintah Mu’taz (khalifah Abbasiah ke-13). Makam suci beliau terletak di kota Sammura’.

Salah seorang pemimpin zalim pada masa imâmah beliau bernama Watsiq (khaIifah Abbasiah ke-9). Orang-orang Watsiq datang ke Madinah dengan dipimpin seseorang berkebangsaan Turki. Mereka datang guna menumpas para pemberontak di Hijaz.

Abu Hasyim Ja’fari berkata, “Imam Ali al-Hadi berkata kepada kami―yang ada di hadapan beliau, ‘Marilah kita bangkit dan menyaksikan dari dekat persiapan dan persenjataan yang dibawa Panglima Turki itu.’ Kami pun keluar dari rumah dan berangkat menuju tempat berkumpulnya pasukan yang dibawa Panglima Turki itu. Kami berdiri tidak begitu jauh dari pasukan itu dan menyaksikan mereka.”

“Tiba-tiba, Panglima Turki itu naik ke punggung kudanya dan menghampiri kami. Setelah dekat, Imam Ali al-Hadi berbicara dengannya dalam beberapa kalimat bahasa Turki. Ia merasa amat ketakutan lantaran menghadapi keagungan maknawiah Imam Ali al- Hadi. Ia segera turun dari kudanya dan mencium kaki kuda yang ditunggangi Imam Ali al-Hadi. Saya lalu bertanya kepada Panglima itu, ‘Mengapa engkau begitu ketakutan sewaktu berhadapan dengan beliau (padahal engkau tidak mengenahnya)?’

Panglima itu balik bertanya, ‘Apakah orang itu (sambil menunjuk Imam al-Hadi) seorang nabi?’ Saya menjawab, ‘Bukan.’ Panglima berkata, ‘Ia telah memanggilku dengan nama kecilku semasa aku berada di Turkistan, padahal sampai detik ini tak seorang pun yang tahu bahwa aku punya nama itu?’”


Balasan di Dunia atas Perbuatan Kejam

Seorang lelaki yang kedua tangan dan kakinya terputus serta kedua matanya buta, menyeru, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari api neraka.” Saat itu seseorang melihatnya dan berkata, “Tampaknya engkau tidak layak mendapatkan siksaan lagi. Lalu mengapa engkau berdoa agar dibebaskan dari api neraka?”

Ia menjawab, “Saya berada di Karbala tatkala al-Husain terbunuh. Saya melihat beliau mengenakan ikat pinggang dan celana yang cukup berharga. Ketika saya tahu bahwa seluruh pakaian beliau telah dicuri dan yang tersisa hanya itu saja, keserakahan saya tehadap dunia pun mendorong saya untuk melepas ikat pinggang dan celana berharga itu. Lalu saya mendekati jasad al-Husain. Tatkala hendak melepas ikat pinggang itu, saya melihat beliau mengangkat tangan kanannya dan memegang kuat ikat pinggang itu. Saya tak dapat melepas tangan beliau dari ikat pinggang itu. Lalu saya memotongnya. Sewaktu hendak melepas ikat pinggang itu, beliau mengangkat tangan kirinya dan memegang erat ikat pinggangnya. Saya berusaha keras melepas tangan beliau dari ikat pinggang itu. Namun beliau menggenggamnya dengan kuat. Saya pun memotongnya. Saya masih ingin berusaha melepas ikat pinggang itu. Tapi tiba-tiba terdengar suara yang amat menakutkan diiringi dengan gempa. Saya amat ketakutan dan meninggalkan tubuh beliau. Malam itu saya tidur di tempat tersebut, di samping tubuh para syuhada yang tercincang.”

“Dalam mimpi, saya melihat Muhammad saww bersama Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, puteri Rasulullah datang memeluk kepala al-Husain. Fathimah mencium kepala itu, seraya berkata, ‘Anakku mereka telah membunuhmu, semoga Allah membunuh mereka yang telah melakukan ini terhadapmu.’ Saya mendengar al-Husain menjawab, ‘Syimr telah membunuhku dan orang yang tengah tidur di situ yang memotong kedua tanganku.’ Lalu Fathimah menoleh kepadaku dan berkata, ‘Semoga Allah memotong kaki dan tanganmu, membutakan kedua matamu, dan memasukkanmu ke neraka.”’

“Lalu saya terbangun dan menyadari bahwa kedua mata saya buta, tangan dan kaki saya terputus; tiga doa Fathimah telah terkabul, dan sekarang masih tersisa doa keempat (yakni masuk ke neraka). Karena itulah, maka saya memohon, ‘Ya Allah, selamatkanlah aku dari api neraka.’”


Putusan Ali bin Abi Thalib atas Sengketa Rasulullah saww dan Arab badui

Ibnu Abbas menceritakan bahwa pada sautu hari Rasulullah saww membeli seekor unta dari seorang Arab badui sebesar 400 dirham. Tatkala beliau saww menyerahkan uang itu, orang Arab badui tersebut berteriak, “Unta dan uangnya milik saya.”

Saat itu Abubakar lewat. Lalu Rasulullah saww bersabda kepadanya, “Adililah kami. Saya telah menyerahkan sejumlah uang, namun orang Arab badui ini menyatakan bahwa unta dan uangnya adalah miliknya.”

Abubakar berkata, “Wahai Rasulullah, masalahnya jelas. Anda harus mendatangkan dua bayyinah (dua orang saksi yang adil) yang menyaksikan bahwa uang itu milik anda.”

Kebetulan Umar juga lewat. Ia pun memberi keputusan yang sama.
Tak lama, tampak Imam Ali bin Abi Thalib berjalan ke arah mereka. Rasulullah saww pun bertanya kepada orang Arab badui itu “Apakah engkau setuju terhadap keputusan pemuda itu?” Orang Arab badui menjawab, “Ya, saya setuju.” Tatkala Ali bin Abi Thalib sampai di sisi Rasulullah, orang Arab badui itu berkata, “Unta ini adalah milik saya dan dirham-dirham ini juga milik saya. Jika Muhammad memiliki tuduhan, ia harus mendatangkan dua orang saksi yang adil (bayyinah).”

Imam Ali berkata sampai tiga kali kepada orang Arab badui itu, “Lepaskanlah unta itu, agar Rasulullah membawanya (karena beliau telah membelinya darimu).” Namun orang Arab badui itu tidak mengikuti perintah Imam. Lalu beliau memegang orang Arab badui itu dan memukulnya dengan keras. Orang-orang lantas berkumpul. Masing-masing melontarkan pendapat yang berbeda-beda. Saat itu Imam Ali berkata kepada Rasulullah saww, “Kami memperkayai Anda atas wahyu (yang Anda bawa), lalu dengan alasan apa kami tidak mempercayai Anda atas 400 dirham?”


Jawaban Ali bin Abi Thalib atas Pertanyaan-pertanyaan Kaisar Romawi

Semasa pemerintahan Abubakar, Kaisar Romawi mengirim utusannya kepada Abubakar guna mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaan. Utusan itu menemui Abubakar dan mengajukan pertanyaan sebagai berikut; ada seorang lelaki yang,
1. Tidak mengharapkan surga dan tidak pula takut pada neraka.
2. Tidak takut kepada Allah.
3. Tidak rukuk dan tidak pula sujud.
4. Memakan bangkai dan darah.
5. Menyukai fitnah.
6. Memberi kesaksian atas sesuatu yang tidak pernah disaksikannya.
7. Memusuhi kebenaran dan menolaknya.

Umar bin Khathab yang hadir di situ berkata, “Perbuatan orang ini tak lain hnya menambah kekufurannya.”
Lalu mereka menkaritakan pertanyaan kaisar romawi kepada Imam Ali. Beliau berkata, “Lelaki yang memiliki sifat-sifat itu adalah seorang kekasih (walî) Allah;
(1)dan (2), ia tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka tetapi harapannya adalah Allah dan hanya takut kepada Allah tapi tidak merasa takut (khawatir) akan kezaliman Allah (karena Allah tidak zalim) melainkan justru takut terhadap keadilan Allah.
(3) Dalam shalat jenazah tidak terdapat rukuk dan sujud.
(4) Memakan belalang dan ikan (yang halal di makan tanpa disembelih) serta hati yang terbuat dari darah.
(5) Menyukai harta dan anak, dan itu adalah fitnah (bahan ujian) sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran (al-Taghâbun: 15): Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
(6) Ia tidak menyaksikan neraka tetapi bersaksi terhadap keberadaannya.
(7) Dan kematian sekalipun hal itu adalah benar (nyata) ia membenci dan menolaknya.”


Mukhtar dalam Majelis Ibnu Ziyad

Keluarga syuhada Karbala bersama kepala-kepala yang terpisah dari tubuhnya digiring menuju Kufah. Setelah menempuh perjalanan jauh, mereka pun sampai di majelis Ubdillah Ibnu Ziyad.

Ibnu Ziyad ingin membuat sedih hati Mukhthar (sosok mana yang dalam peristiwa pembantaian Muslim bin Aqil, ditangkap dan dijebloskan ke penjara). Ia lalu memerintahkan pengawalnya untuk mengeluarkan Mukhtar dari penjara dan menghadirkannya ke majelis itu. Orang-orang Ibnu Ziyad menyeret Mukhtar dengan penuh hina ke hadapan majelis. Tatkala memasuki majelis, Mukhtar menyadari bahwa Imam Husain telah terbunuh dan keluargnya dijadikan tawanan. Di tengah majelis itu, kepala suci Imam Husain diletakkan di sebuah bejana. Mukhtar amat bersedih hingga tak sadarkan diri. Setelah kembali tersadar, dengan penuh keberanian, ia berteriak kepada Ibnu Ziyad, “Hai anak haram! Aku akan segera memusnahkan kalian! Aku akan membunuh kalian! Aku akan membunuh 380 ribu orang Bani Umayyah.”

Ibnu Ziyad gusar. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuhnya. Namun para hadirin melihat bahwa dengan membunuh Mukhtar, akan timbul persoalan baru. Karena itu mereka berkata kepada Ibnu Ziyad, “Dengan membunuh Mukhtar akan timbul fitnah yang besar. Tindakan ini tidak tepat.” Ibnu Ziyad membatalkan niatnya. Ia memerintahkan untuk mengembalikannya ke penjara.


Kepala Ibnu Ziyad

Saat Mukhtar bangkit menuntut balas atas kematian syuhada Karbala, pada tahun 66-67 Hijriah, Ibrahim putera Malik al-Asytar, menjadi panglima pasukan tentara Mukhtar. Ia bertempur melawan tentara pimpinan Ibnu Ziyad dan Hashin bin Numair. Dalam peperangan itu, banyak pemimpin musuh yang terbunuh. Di antarnya adalah Ibnu Ziyad. Ia dibunuh Ibrahim putera Malik al-Asytar.

Ibrahim mengirim kepala Ibnu Ziyad, termasuk beberapa kepala pemimpin musuh lainnya kepada Mukhtar. Saat itu Mukhtar sedang makan. Mereka meletakkan kepala para musuh itu di samping tempat duduknya.
Mukhtar berkata, “Alhamdulillah kepala suci Imam Husain diantarkan kepada Ibnu Ziyad saat ia sedang makan dan sekarang mereka membawa kepala Ibnu Ziyad kepadaku saat aku tengah makan.”

Sekonyong-konyong, mereka melihat seekor ular putih merayap di antara kepala-kepala itu dan musuk ke lubang hidung Ibnu Ziyad, lalu keluar dari lubang telingnya, masuk lagi ke lubang telingnya, dan akhirnya keluar dari lubang hidungnya. Kejadian ini berlangsung berkali-kali.

Setelah selesai makan, Mukhtar berdir. Dengan sepatu yang masih melekat di kakinya ia menginjak wajah Ibnu Ziyad. Kemudian ia memberikan sepatu itu kepada budaknya dan berkata, “Cucilah sepatu ini kerena telah aku letakkan di wajah seorang kafir dan najis.”

Kemudian Mukhtar mengirim kepala-kepala musuh itu kepada Muhammad bin Hanafiah di Hijaz. Lalu Muhammad bin Hanafiah mengirim kepala Ibnu Ziyad kepada Imam Ali al-Sajjad. Mereka datang menemui Imam Ali al-Sajjad, dengan membawa kepala. Saat itu Imam Ali al-Sajjad tengah makan. Beliau berkata, “Suatu hari, kepala suci ayahku dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad, dan ia tengah makan. Waktu itu aku berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau mengambil nyawaku sebelum aku menyaksikan kepala Ibnu Ziyad berada di sebelahku tatkala aku tengah makan.’ Alhamdulillah sekarang ini doaku terkabul.” ,

Poin yang perlu diperhatikan adalah sebagaimana ditulis almarhum Syaikh Abbas al-Qummi, “Ular itu berulangkali masuk ke lubang hidung Ibnu Ziyad dan keluar dari lubang telinganya, dan orang-orang yang melihat berkata, ‘Ular datang lagi, ular datang lagi.’”

Beliau juga menulis. “Dalam majelis dimana IbnuZiyad memukul-mukul bibir dan gigi Imam Husain dengan sepotong kayu, kemungkinan besar karena adanya tajjasum al-a’mâl (per-wujudan amal perbuatan). Kayu itu berubah wujud menjadi ular dan berkali-kali masuk lewat lubang hidung dan keluar lewat lubang telinga. Karenanya, di dunia ini, manusia dapat menyaksikan langsung balasan atas perbuatan butuknya, agar dijadikan pelajaran.”

Janganlah melalaikan balasan amal perbuatan
Gandum dari gandum dan jagung dari jagung


Imam Khomeini dan Shalat

Seorang dokter dari Qum menceritakan bahwa tatkala mereka (para dokter) memberitakan bahwa Imam Khomeini mengalami sakit jantung, ia langsung menemui beliau dan me-ngecek tekanan darahnya.
“Tekanan darah beliau menunjukkan angka lima, yang dalam istilah kedokteran berarti amat kritis. Saya melakukan pertolongan pertama. Setelah dua jam, kondisi beliau sedikit membaik. Namun beliau masih belum mampu dan belum dibolehkan bergerak. Tiba- tiba beliau bergerak dan hendak beranjak dari tempat tidur. Saya pun bertanya kepada beliau, ‘Mengapa Anda hendak bengun?’ Beliau menjawab, ‘Shalat.’ Saya berkata, ‘Anda mujtahid di bidang fikih dan saya di bidang kedokteran; menurut fatwa kedokteran, gerakan Anda adalah haram. Anda mesti melaksanakannya dengan berbaring.’ Kemudian beliau menuruti saya dan melaksanakan shalat sambil berbaring.”


Kerendahan Hati dan Kemuliaan Imam Khomeini

Putera almarhum Ayatullah Isfahani (syahid mihrab keempat) menceritakan kisah dirinya sekitar 40 taahun lalu. Waktu itu ia masih berusia sekitar 14 tahun.

“Suatu hari, tatkala berada di Qum, saya pergi ke kamar mandi umum. Begitu masuk ke ruangan hangat, saya melihat seseorang sedang menyabuni kepalanya. Dikarenakan mukanya penuh busa sabun, tangannya meraba-raba mencari ember berisi air. Saat itu pula saya mengambil sebuah ember di dekat saya lalu saya penuhi air. Saya bawa ke dekat beliau. Saya menyirami kepalanya sebanyak dua gayung.”

“Orang itu wajahnya bercahaya, dan memandang saya seraya mengucapkan terimakasih dan bertanya, ‘Apakah Anda telah membasuh kepala Anda?’ Saya berkata, ‘belum, saya baru masuk ke kamar mandi.’”
“Kemudian saya pergi ke tempat lain dan menyabuni kepala dan muka saya. Sebelum saya menyiramkan air ke kepala dan muka, tiba-tiba saya disiram dengan dua gayung air. Lalu saya membuka mata. Saya melihat orang agung itu berkhidmat kepada saya dengan penuh kemurahan hati.”

“Setelah pulang ke rumah, saya menceritakan kisah itu kepada ayah saya. Tapi dikarenakan tidak mengenalnya, saya tak dapat mengenalkan siapa orang itu sebenarnya.”

“Selang beberapa lama, pada hari raya sewaktu saya bersama ayah pergi mengunjungi rumah ulama, tiba-tiba saya melihat orang yang wajahnya bersinar-sinar itu, yang saya temui di kamar mandi umum. Lalu saya menunjuk orang itu kepada ayah saya. Ayah saya berkata, ‘Beliau adalah Sayyid Ruhullah al-Khomeini.’


Nasihat Orang Bijak

Seorang bijak memberi nasihat kepada murid-muridnya sebagai berikut, “Hai murid-muridku! Manusia itu terdiri dari empat kelompok;
1. Mereka yang pandai dan mengetahui dirinya pandai; belajarlah kalian kepada mereka.
2. Mereka yang pandai, namun tidak mengetahui dirinya pandai, mereka adalah orang-orang lalai; ingatkanlah mereka.
3. Mereka yang bodoh dan tahu dirinya bodoh; ajarilah mereka.
4. Mereka yang bodoh dan tidak tahu bahwa dirinya bodoh; jauhilah mereka.”


Pentingnya Wilâyah dan Mengakui Kepemimpinan para Imam Ahlul Bait

Abdulhamid Abi al-‘Alâ, biasa dipanggil Abu Muhammad, adalah seorang pengikut (Syiah) AhlulBait yang setia. Ia menceritakan bahwa pada suatu hari, tatkala berada di Mekah, tepatnya di samping Kabah, ia melihat seorang budak Imam Ja’far al-Shadiq. Ia lalu menghampirinya demi menanyakan keadaan Imam al-Shadiq. Sebelum bertanya kepadanya, ia melihat Imam al-Shadiq sedang bersujud di Masjidil Haram. Ia menunggu agak jauh dari tempat beliau, sampai beliau mengangkat kepalnya dari bersujud. Namun beliau bersujud cukup lama. Lalu saya pun berdiri dan menunaikan shalat beberapa rakaat. Sampai saat itu, saya masih melihat beliau bersujud. Saya bertanya kepada budak beliau, “Sejak kapan Imam bersujud.” Ia menjawab, “Sebelum kita datang kemari.” Imam Ja’far al-Shadiq mendengar ucapan kami berdua.

Lalu beliau mengangkat kepalnya kepada saya, “Hai Abu Muhammad, kemarilah.”

Saya menghampiri beliau dan memberi salam. Beliau menjawab salam saya. Saat itu terdengar gemuruh suara yang berasal dari belakang beliau bertanya “Suara siapakah itu?” Mereka menjawab, “Suara orang-orang Murji’ah, Qadariyah, dan Mu’tazilah (tiga kelompok Ahlusunah).”

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Mereka ingin bertemu denganku. Marilah kita pergi dari sini.” Kelompok orang-orang itu menghampiri Imam al-Shadiq. Imam berkata kepada mereka, “Menjauhlah dariku! Jangan kalian menyakitiku! Saya bukan pemberi fatwa kalian.” Kemudian beliau memegang tangan saya dan meninggalkan mereka. Bersama-sama kami keluar dari Masjidil Haram.

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Hai Abu Muhammad! Demi Allah, setelah iblis membangkang perintah Allah dan enggan bersujud kepada Adam as, lalu sepanjang umur dunia ini ia bersujud untuk Allah, sama sekali tidak memberikan manfaat bagi dirinya, dan Allah sama sekali tidak menerima sujudnya itu. Kecuali ia bersujud kepada Adam as. Begitu pula dengan umat pendosa, pembangkang, dan lalai ini, yang meninggalkan pemimpin (yakni Imam Ali bin Abi Thalib) yang telah diangkat Rasulullah saww sebagai pengganti beliau saww; apapun ibadah dan amal baik yang mereka kerjakan, Allah tak akan menerimanya, kecuali mereka mengakui imâmah (kepemimpinan) Ali bin Abi Thalib sesuai yang diperintahkan Allah. [Dengan begitu mereka akan] berada di bawah naungan wilâyah ‘Alawi (kepemimpinan Ali) dan memasuki pintu yang dibukakan Allah untuknya (Imam Ali bin Abi Thalib)”

“Hai Abu Muhammad! Allah mewajibkan kepada umat Muhammad saww lima perkara; shalat; zakat; puasa; haji; wilâyah dan kepemimpinan kami. Berkaitan dengan emat kewajiban pertama, Allah masih memberi izin (untuk tidak melaksanakan) sebagian perkara, tetapi demi Allah, Dia tak akan mengizinkan muslimin―dalam bentuk apapun untuk meninggalkan wilâyah (kepemimpinan) kami.”


Taktik Abu Thalib dan Ali dalam Melindungi Rasulullah saww

Pada awal masa kenabian Rasulullah saww, musyrikin Mekah senantiasa berusaha mengganggu dan menyakiti Rasullah saww. Bahkan mereka mengambil keputusan untuk membunuh Rasulullah saww. Berkat keberadaan Bani Hasyim (kabilah Rasulullah saww), mereka terhalang untuk membunuh beliau saww.
Misalnya saja keberadaan Abu Lahab, paman Nabi saww. Sekalipun musyrik, ia tak rela orang-orang musyrik Mekah membunuh kemenakannya, Rasulullah saww.

Isteri Abu Lahab bernama Ummu Jamil, berjanji kepada musyrikin bahwa pada hari anu (misalnya hari sabtu) dirinya akan menjaga suaminya agar tetap berada di rumah dan enggam keluar. Saat itulah, katanya, mereka mendapat peluang membunuh Muhammad.

Pada hari yang dijanjikan, Ummu Jamil menyiapkan suaminya berbagai makanan dan minuman. Ia menceritakan berbagai kisah. Sementara itu musyrikin di luar rumah tengah bersiap-siap membunuh Rasulullah saww.

Abu Thalib (yang secara lahiriah berada dalam kelompok musyrikin namun secara batiniah beriman kepada Rasulullah saww) mengetahui rencana musyrikin terhadap Rasulullah saw. Dengan segera ia memerintahkan anaknya, Ali (yang saat itu berusia 13 tahun), “Pergilah ke rumah pamanmu, Abu Lahab. Jika pintunya tertutup, ketuklah. Ketika mereka membuknya, segeralah masuk ke dalamnya. Jika mereka tidak membukanya, rusaklah pintunya dan masuklah, lalu temuilah Abu Lahab dan katakan padanya, ‘Seseorang yang pamannya adalah kepala sukuy, tak akan dihinakan.’”

Kemudian Ali bin Abi Thalib bergegas ke rumah Abu Lahab. Pintu rumahnya dalam keadaan tertutup. Beliau mengetuknya berkali-kali. Namun tak seorang pun yang membuknya. Beliau mendorongnya dengan sekuat tenaga. Daun pintu pun pecah. Beliau segera menyeruak masuk dan menghampiri Abu Lahab.

Tatkala melihat kedatangan Ali, ia bertanya, “Bagaimana kabarmu, wahai kemenakanku?”Ali bin Abi Thalib menjawab, “Seorang yang pamannya adalah kepala suku tak akan dihinakan.”

Abu Lahab berkata, “Ayahmu benar. Apa yang terjadi?”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Sekarang mereka hendak membunuh kemenakanmu, namuan engkau sibuk makan dan minum!”

Fanatisme Abu Lahab meluap-luap. Ia lalu bangkit, menghunus pendangnya, dan segera berhambur keluar rumah. Ummu Jamil berusaha menghalanginya. Abu Lahab yang amat gusar menampar mukanya dengan keras sampai matanya juling―sampai akhir hayatnya, matanya itu tetap dalam keadaan juling. Tatkala musyirikin melihat Abu Lahab menghunus pedang dan menyaksikan wajahnya dalam keadaan marah, mereka menghampirinya dan bertanya, “Mengapa engkau tampak marah?”Abu Lahab menjawab, “Saya mendengar kalian berencana membunuh kemenakanku.” “Demi Latta dan ‘Uzza, sungguh aku cenderung memeluk Islam, lalu kalian akan menyaksikan apa yang akan aku lakukan terhadap kalian,” lanjutnya.
Musyrikin (melihat bahwa jika Abu Lahab memeluk Islam amat merugikan mereka) bersimpuh di bawah kakinya dan meminta maaf kepadanya. Emosi Abu Lahab berangsur-angsur reda. Ia pun mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah.

Dengan demikian Abu Thalib dan Imam Ali berhasil memanfaatkan fanatisme Abu Lahab untuk melindungi Rasulullah saww dan menggagalkan niat jahat musyrikin.


Perempuan Berperilaku buruk

Semasa Rasulullah saww, hidup seorang perempuan muslimah yang setiap harinya berpuasa dan amat rajin menunaikan shalat. Bahkan malam harinya ia sibuk beribadah dan berdoa. Namun begitu, ia tekenal memiliki perilaku yang buruk. Para tetangganya tidak pernah selamat dari gangguan lisannya.

Seseorang menemui Rasulullah saww dan berkata, “Perempuan fulan senantiasa dan bangun malam tetapi perilakunya buruk. Dengan lisannya ia menyakiti tetanggnya.”

Rasul mulia saww bersabda, “Tak ada kebaikan padanya. Ia adalah penghuni neraka.”


Siksa Kubur

Imam Ja’far al-Shadih menceritakan tentang seseorang yang baik budi meninggal dunia. Orang-orang lalu menguburkannya. Di dalam kubur (para malaikat) mendudukkannya. Salah satu dari mereka berkata, “Akti hendak mencambukmu seratus kali.” Orang baik itu menjawab, “Aku tak sanggup bertahan.” Malaikat (karena melihat ia orang baik) mengurangi jumlah cambukan itu sedikit-sedikit. Namun orang itu selalu menjawab, “Aku tak sanggup bertahan.” Sampai akhirnya para malaikat itu berkata, “Kalau begitu, kami akan mencambukmu sekali saja. Tak ada keringanan dan ampunan lagi; engkau harus merasakan satu cambukan ini!” Ia bertanya kepada para malaikat, “Disebabkan dosa apakah sehingga kalian harus mencambukku satu kali.” Mereka menjawab, “Karena pernah di suatu hari engkau melakukan shalat tanpa berwudu, dan engkau melintas di depan seseorang yang lemah, namun engkau tidak menolongnya.” Lalu mereka mencambuknya dan kuburnya dipenuhi api.


Kutukan Ayah dan Kemurahan ali

Di penghujung malam, Imam Ali bin Abi Thalib beserta putera beliau, al-Hasan, berada di sekitar Kabah untuk beribadah dan berdoa. Tiba-tiba Imam Ali mendengar suara rintihan yang menyayat hati. Beliau mengetahui bahwa seseorang yang sedang kesakitan berdoa di sisi Kabah seraya menangis dan merintih. Ia memohon kepada Allah untuk memenuhi hajatnya.

Imam Ali berkata kepada al-Hasan, “Pergi dan tengoklah orang yang tengah berdoa itu. Siapapun dirinya, bawalah kemari.”

Imam Hasan menemui orang itu, yang ternyata seorang pemuda yang amat bersedih dan sibuk berdoa dan bermunajat dengan cara merintih. Beliau berkata, “Hai pemuda! Amirul Mukminin kemenakan Rasulullah ingin bertemu denganmu! Penuhilah panggilannya.”

Pemuda itu dengan penuh rasa gembira berjalan terseok-seok untuk menemui Imam Ali. Sesampainya di hadapan beliau. Imam Ali berkata, “Apa keperluanmu?”

Pemuda menjawab, “Sebenarnya, saya telah menyakiti ayahku, lalu ia mengutukku, dan sekarang separuh tubuhku lumpuh.”

Imam Ali berkata, “Apa yang telah engkau lakukan terhadap ayahmu?”

Pemuda menjawab, “Aku adalah pemuda yang senantiasa berbuat dosa, lalu ayahku mencegahku dari perbuatan dosa itu. Namun aku tidak menghiraukan ucapannya. Lebih-lebih, aku malah lebih banyak lagi berbuat dosa. Sampai suatu hari ia melihatku sedang berbuat dosa dan mencegahku. Aku marah dan mengambil sepotong kayu. Lalu aku memukulkannya ke tubuhnya sampai ia terjatuh ke tanah. Dengan hati hancur, ia bangkit seraya berkata, ‘Sekarang aku akan pergi ke Kabah dan mengutukmu.’ Ia lalu pergi ke Kabah dan mengutukku. Kutukannya itu menjadikan separuh tubuhku lumpuh―seraya ia menunjukkannya. Aku merasa amat menyesal. Kutemui ayahku serta meminta maaf dan kerelaannya. Aku berkata, ‘Maafkanlah dan doakanlah diriku.’”

“Ayahku telah memaafkanku. Bahkan ia bersedia pergi bersama-sama ke Kabah, ke tempat di mana ia mengutukku, dan mendoakan kesembuhanku.”

“Kemudian kami bertolak ke Mekah. Ayahku menunggang unta. Di tengah padang pasir, tiba-tiba seekor burung terbang dari balik batu. Akibatnya, unta tersebut menundukkan tubuhnya dan ayahku terjatuh. Ia pun meninggal dunia. Aku menguburkannya di situ. Sekarang―dengan hati hancur luluh―aku datang ke mari untuk berdoa.”

Imam Ali berkata, “Kesediaan ayahmu pergi bersamamu menuju Kabah untuk mendoakan kesembuhanmu, menunjukkan bahwa ia telah rela dan memaafkanmu. Sekarang aku akan berdoa bagi kesembuhanmu.”

Kemudian Imam Ali mendoakan kesembuhannya. Beliau mengusapkan kedua tangan beliau ke tubuh pemuda trsebut. Seketika itu, tubuh si pemuda pulih seperti sedia kala.
Kemudian Imam Ali menemui anak-anak dan berkata, “Hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.”


Referensi:

3. Muntakhab al-Tawârikh, hal. 304. Kâmil Bahâi, Bab XXVII, hal.16.
4. Nahj al-Balâghah, khutbah ke-191.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: