Pesan Rahbar

Home » » Tahun Terkelam Pelanggaran HAM di Saudi

Tahun Terkelam Pelanggaran HAM di Saudi

Written By Unknown on Wednesday 20 April 2016 | 21:31:00


Dalam pembahasan singkat ini akan diulas mengenai laporan Amnesty Internasional terkait memburuknya kondisi Hak Asasi Manusia di Arab Saudi sehingga dikenal sebagai tahun yang paling kelam di negara ini. Pada tanggal 23 Januari 2016, yaitu setahun setelah berlalunya pemerintahan Raja Salman bin Abdulaziz yang terhitung dari tanggal 23 Januari 2015, Amnesty Internasional merilis sebuah laporan terkait situasi HAM di Arab Saudi.

Amnesty Internasional menyebut tahun pertama pemerintahan Raja Salman sebagai tahun terburuk dalam pelanggaran HAM, di mana selama setahun kekuasaannya itu, nilai-nilai HAM di Arab Saudi semakin diabaikan. Di antara cacatan kelam dalam setahun kekuasan Raja Salman adalah eksekusi mati terhadap para oposan dan aktivis HAM setelah proses peradilan yang tidak adil, bantuan finansial kepada kelompok-kelompok teroris dan kelanjutan serangan militer terhadap rakyat tak berdaya Yaman.

Dalam pernyataan Amnesty Internasional disebutkan bahwa rezim Al Saud menggunakan segala bentuk cara untuk menumpas oposisi dan aktivis pembela HAM. Penangkapan, proses persidangan yang tidak adil di pengadilan-pengadilan pidana khusus dan dakwaan palsu seperti tuduhan terlibat dalam kegiatan terorisme serta eksekusi mati terhadap mereka, merupakan tindakan-tindakan represif pemerintahan Raja Salman.

Ratusan aktivis pembela HAM dan oposan rezim Al Saud selama bertahun-tahun mendekam di berbagai penjara rezim ini. Di antara mereka adalah Raif Badawi, seorang blogger dan pengacaranya, Waleed Abulkhair. Badawi dipenjara sejak tahun 2012, sementara Abulkhair ditahan dari bulan Februari 2014. Abulkhair divonis penjara selama belasan tahun di bawah undang-undang anti-terorisme setelah menjalani proses pengadilan yang berat sebelah.

Pada tahun 2015, puluhan aktivis pembela HAM juga ditangkap dan dipenjara atas dasar undang-undang anti-terorisme yang mulai berlaku pada bulan Februari tahun 2014. Dr. Abdulkareem al-Khoder dan Dr. Abdulrahman al-Hamid adalah anggota-anggota Asosiasi Hak-hak Sipil dan Politik Arab Saudi (ACPRA) yang dipenjara tanpa melalui proses persidangan yang adil.

Pejabat-pejabat Arab Saudi –selain mengancam dan menganiaya para aktivis sipil dan memanggil mereka untuk diinterogasi serta mengancam akan mengajukan tuntutan hukum terhadap mereka– juga melarang para aktivis itu untuk beraktivitas bebas. Samar Badawi adalah aktivis terkemuka HAM lainnya yang ditangkap dengan cara tersebut pada Januari 2016. Ia adalah saudara perempuan Raif Badawi dan mantan istri Waleed Abulkhair. Samar Badawi ditangkap karena membuat sebuah akun Twitter untuk kampanye mendukung Abulkhair.

Pada tahun pertama pemerintahan Raja Salman, Arab Saudi telah melakukan eksekusi mati terbesar, termasuk hukuman mati terhadap 47 orang dalam sehari pada tanggal 2 Januari 2016. Lebih dari 151 orang juga dipancung pada rentang waktu antara bulan Januari dan November 2015. Sekitar setengah dari mereka divonis mati atas tuduhan terlibat dalam tindak kejahatan, padahal berdasarkan hukum internasional, mereka tidak seharusnya dihukum mati.

Kasus terbaru eksekusi mati ilegal di Arab Saudi adalah hukuman mati terhadap Sheikh Nimr Baqir al-Nimr, ulama besar Syiah dan cendekiawan terkenal Arab Saudi. Ia divonis mati setelah menjalani proses pengadilan yang tidak adil. Selain itu, pengadilan yang menangani kasusnya juga bukan pengadilan pidana khusus.

Menurut laporan Amnesty Internasional, pengadilan pidana khusus Arab Saudi telah mengeluarkan vonis mati terhadap beberapa remaja berdasarkan pengakuan yang diperoleh dari hasil penyiksaan dan tekanan. Ali Mohammed Baqir al-Nimr, Abdullah Hasan al-Zaher dan Dawood Hussein al-Marhoon adalah para aktivis yang ditangkap ketika usia mereka masih di bawah 18 tahun.

Ketiga remaja tersebut divonis hukuman mati dalam sebuah proses pengadilan yang sangat tidak adil. Menurut mereka, pengakuan atas dakwaan dilakukan akibat tekanan dan penyiksaan. Namun pengadilan melarang penyelidikan atas kasus penyiksaan tersebut. Kini mereka mendekam di balik jeruji besi dan menunggu pelaksanaan hukuman pancung yang belum jelas kapan pelaksanaannya.

Warga Arab Saudi, terutama monoritas Muslim Syiah di negara ini menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan pembantasan, khususnya akses ke layanan publik dan lapangan kerja. Para pemimpin dan aktivis HAM Syiah ditangkap, dipenjara dan bahkan divonis hukuman mati dengan tuduhan-tuduhan palsu. Contoh terbaru adalah vonis mati terhadap Sheikh Nimr pada awal Januari 2016.

Sheikh Tawfiq Jaber Ibrahim al-'Amr, seorang ulama terkemuka Syiah Arab Saudi juga menjadi salah satu korban dari ketidakadilan di kerajaan ini. Pada bulan Agustus 2014, ia divonis hukuman penjara selama delapan tahun dan dilarang ke luar negeri dalam jangka waktu 10 tahun ini. Pengadilan pidana khusus Arab Saudi juga kembali menegaskan vonis tersebut pada bulan Januari 2015 setelah tuntutan pengajuan banding dari Sheikh Tawfiq. Sheikh Tawfiq dipenjara atas tuduhan menyampaikan ceramah yang dianggap telah memprovokasi sektaranisme, melecehkan pemerintah serta membangkang terhadap raja.

Amnesty Internasional dalam laporannya juga menyinggung berbagai pelanggaran Arab Saudi terhadap hukum-hukum perang selama agresinya ke Yaman. Sejak dimulainya serangan militer koalisi Arab pimpinan Arab Saudi ke Yaman pada tanggal 26 Maret 2015 hingga sekarang, lebih dari 8.000 warga negara ini tewas dan belasan ribu lainnya terluka. Dana Anak-anak PBB (UNICEF) menyampaikan laporan mengenai tewasnya ratusan anak Yaman akibat serangan militer tersebut. Menurut badan dunia ini, 932 anak Yaman tewas pada tahun 2015.

Julien Harneis, Wakil UNICEF untuk Yaman dalam wawancara dengan jaringan CNN mengatakan, "Situasi di Yaman sangat sulit dan anak-anak di negara ini tewas. Tahun lalu, kita menyaksikan 932 anak tewas dan terluka." Ia lebih lanjut menyinggung agresi militer Arab Saudi ke Yaman dan blokade menyeluruh terhadap negara ini oleh pasukan agresor serta dampak buruknya.

Harneis menambahkan, "Bentrokan dan pemboman telah menewaskan anak-anak di berbagai wilayah Yaman, dan yang lebih buruk dari itu adalah keruntuhan ekonomi negara ini, di mana kondisi tersebut menyulitkan untuk mengimpor obat-obatan dan bahan makanan. Semua situasi ini berdampak negatif terhadap Yaman."

Di bagian lain laporannya, Amnesty Internasional menyebutkan, meski terdapat sedikit kemajuan terkait hak-hak perempuan di Arab Saudi seperti adanya hak suara dalam pemilu perwakilan tingkat kota, namun karena dominasi sistem patriarki di negara ini, maka wanita di Arab Saudi masih menghadapi berbagai diskriminasi, baik dalam hukum, maupun diskriminasi di tingkat sosial masyarakat.

Perempuan Arab Saudi juga tidak memiliki perlindungan yang cukup dari kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Meski sebuah undang-undang untuk mempidanakan kekerasan dalam rumah tangga telah disahkan pada tahun 2013, namun pada prakteknya, undang-undang ini belum dijalankan.

Pada bulan November 2015, para pejabat Arab Saudi mengadopsi undang-undang terkait organisasi termasuk pembatasan-pembatasan lebih dibandingan dengan draf undang-undang sebelumnya. Namun undang-undang sebelumnya juga belum diimplementasikan. Tidak seperti draf undang-undang sebelumnya, undang-undang ini tidak menyinggung sama sekali tentang HAM, bahkan undang-undang itu memberikan kewenangan luas kepada Kementerian Sosial termasuk kewenangan untuk mencabut izin organisasi atau asosiasi dan membubarkannya dengan dalih "merugikan persatuan nasional".

Atas dasar undang-undang tersebut, sejumlah organisasi dan asosiasi telah dibubarkan dan izinnya dicabut pada tahun lalu. Anggota-anggota organisasi itu juga ditangkap dan divonis penjara dalam jangka waktu yang lama. Pada tahun 2011, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi juga melarang segala bentuk unjuk rasa anti-pemerintah.

Amnesty Internasional telah menulis sebuah surat kepada Raja Salman pada tanggal 5 Februari 2015 untuk mengungkapkan kekhawatiran atas situasi HAM di Arab Saudi. Lembaga yang mempromisikan HAM tersebut juga memberikan rekomendasi khususnya terkait penanganan HAM di kerajaan itu. Namun hingga hari ini, Amnesty Internasional belum memperoleh balasan surat tersebut.

Pemerintah Arab Saudi melarang penyelidikan terkait konsidi HAM di negara ini. Para aktivis HAM yang menjalin hubungan dan komunikasi dengan lembaga-lembaga HAM akan dihukum. Di akhir laporannya, Amnesty Internasional mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi HAM di Arab Saudi dan menyebut tahun pertama pemerintahan Raja Salman sebagai tahun paling kelam dalam pelanggaran HAM.

(IRIB-Indonesia/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: