A. Manusia dan Dimensi Wujudnya
Mukadimah
Manusia memiliki seluruh kesempurnaan di alam penciptaan. Lingkup gerak menyempurnanya meliputi tingkatan terendah in-organik hingga tingkatan tertinggi malakut. Jadi, kelayakan luar biasa dari mutiara alam semesta yang bernama manusia ini, bukanlah berada pada posisi terendah dari wujudnya, melainkan terletak pada sisi akal dan malakutinya. Manusia dengan derajat yang dimiliknya, tak selayaknya ia berpaling dari posisi tertinggi dan menjerumuskan diri pada tingkatan terendah dan mengikuti instink yang tidak lebih dari tingkatan yang dimiliki oleh seekor hewan. Manusia terkadang hanyut menikmati syahwatnya dan terkagum-kagum dengan kemenangannya melawan sifat antagonisnya, dan dengan segenap kemampuannya berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan instinknya. Kecenderungan manusia ini tidak melebihi setengah wujudnya dan kehidupan seperti ini diungkapkan al-Quran sebagai kehidupan neraka, "Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup."[1] Ayat ini merupakan deskripsi kehidupan orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kehidupan hewan dan mengesampingkan kehidupan insani yang merupakan kedudukan tertinggi dan termulia. Yang diperhitungkan oleh orang semacam ini bukan kehidupan insaninya dan bukan pula koreksi dan kontemplasi atas dirinya, pada dasarnya apapun yang dipilih orang ini tidak akan pernah berharga dan dia akan mengalami kerugian dalam seluruh prilakunya.
Dari sini Allah swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, "Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan orang-orang kafir yang bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, maka jahannamlah tempat tinggal mereka."[2]
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat, mencoba menyibak tabir kelalaian yang merugikan manusia ini dan menjawab pertanyaan berikut, mengapa manusia yang secara esensial mencari kesempurnaan diri, malah sama sekali tidak memperhatikan kedudukan tertinggi yang dimilikinya?
Ia berkata, "Sekarang setelah seluruh hakikat dan jiwamu dibelenggu dan berada di bawah kekuasaan mekanisme tubuh, dan berbagai penghalang serta rintangan pun telah menyibukkanmu, hal ini telah membuatmu lalai terhadap kesempurnaan yang sesuai untuk dirimu dan engkau sama sekali tidak bersedih dengan adanya kelalaian ini. Ketahuilah, kelalaian ini berasal dari dirimu sendiri, karena sebenarnya tidak ada satupun tirai yang membatasi kesempurnaan tertinggi dan termulia tersebut dari dirimu, dan aku telah memperingatkan kepadamu akan sebagian dari rintangan-mu yang tak lain adalah berbagai aktifitas yang mengelilingimu dan telah membuatmu sibuk. Jadi, ketaksempurnaan dan kecerobohan muncul karena dirimu sendiri, dan hal ini yang menyebabkanmu tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya, dan sebagaimana orang-orang yang buta, engkau sama sekali tidak menyadarinya."[3]
Perhatikan ayat ini dimana Allah berfirman, "Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)."[4] dan pada ayat lain Allah berfirman, "engkau akan mati sebagaimana engkau hidup", ini merupakan sebuah poin penting bagi kita supaya tidak salah menanggapi bahwa di akhirat kelak akan mendapatkan sesuatu yang tidak dilakukan di dunia.
Catatan Penting
Mereka yang di dunia ini senantiasa menyibukkan diri dengan harta benda materi dan syahwat serta tidak pernah memikirkan dimensi lain selain kenikmatan dan kelezatan dunia yang berlangsung sangat singkat ini, sebenarnya salah menyangka bahwa mereka bisa meraup seluruh kelezatan dunia ini dan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi khayalan dan sangkaan mereka adalah salah, karena struktur tubuh manusia bergantung pada aturan-aturan tertentu yang senantiasa membutuhkan keseimbangan dalam memanfaatkan kelezatan dan kesenangan-kesenangan alami.
Sistem tubuh manusia memiliki daya serap terhadap berbagai bahan makanan pada batasan yang logis. Lemak, gula, garam, protein, vitamin-vitamin dan mineral, keseluruhannya akan bisa dicerna dan diserap oleh badan hanya pada ukuran tertentu saja, dan kelebihan serta kekurangan, sekecil apapun, akan ditolak dari sistem pencernaan.
Manusia terkaya dunia yang memiliki seluruh fasilitas untuk berpesta-pora dan berfoya-foya, tetap tak akan pernah bisa melewati batas kemampuannya sendiri, dia tetap tidak mampu menikmati dan memanfaatkan seluruh khayalannya secara riil, karena sistem pencernaan dan seksualnya sangatlah terbatas. Kemampuan dan kekuatan wujudnya sama sekali tidak akan pernah seimbang dengan seluruh keinginan dan khayalannya. Jadi, sebenarnya para penyembah dunia dan materialis pun merasa berada dalam kesulitan dengan adanya batasan-batasan tersebut. Dunia ini memiliki keterbatasan dan tak seorangpun bisa mewujudkan seluruh keinginan dan khayalannya. Allah tidak saja telah meletakkan manusia di bawah bimbingan dan pengarahan para pembawa risalah-Nya dimana salah satu nasehatnya adalah "bukan aku yang indah dan cantik, melainkan aku berasal dan tumbuh dari tangan yang memeliharaku", dan dengan pandangan gnosis ini, seluruh eksistensi merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi, dimana selama jiwa manusia belum bersih dan suci, maka dia tidak akan pernah merasakan keindahan tersebut. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan"[5], ayat-ayat suci al-Quran hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang telah disucikan.
Tubuh dan Jiwa
Manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi (tubuh) dan non-materi (jiwa). Selain memiliki tubuh yang berasal dari tanah yaitu tubuh materi yang bergerak, manusia juga memiliki dimensi non-materi yang konstan dan permanen bernama ruh. Meskipun dimensi ini tidak bisa disentuh dengan indera lahiriah, akan tetapi dengan argumentasi bisa dibuktikan keberadaannya. Sebagaimana Allah, meskipun Dia merupakan sebuah realitas yang mustahil dicapai oleh indera lahiriah, akan tetapi dengan dalil bisa dibuktikan keberadaan-Nya. Terkadang apa yang kita peroleh dan kita ketahui tidak selalu sinkron dengan inderawi dan empirik, akan tetapi pada beberapa hal, akal menghukumi adanya realitas itu.
Al-Quran juga menyiratkan tentang dua dimensi yang dimiliki oleh manusia dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah", dan, "Dan Kami tiupkan di dalamnya ruh", ayat pertama menyiratkan dimensi materi manusia sedangkan ayat kedua menunjukkan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia yaitu ruh.
1. Hubungan Jiwa dan Tubuh
Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki ruh dan tubuh. Ruh manusia ini bersifat tunggal, tak berkomposisi, dan memiliki ilmu, yaitu realitas tunggal dengan aktifitas yang berbeda dan beragam. Dimensi dari ruh bertugas untuk mencerna makanan, lainnya menciptakan suhu badan, juga mengatur resistensi tubuh terhadap berbagai penyakit, melihat, mendengar, merasakan, mencerna, membuang bahan-bahan aditif, mengkhayal, berpikir, dan lain-lain, seluruh hal-hal di atas diciptakan oleh ruh. Pada dasarnya, ruh memiliki dua tingkatan dan aktifitas:
1. Mengatur dan menjaga badan,
2. Kecerdasan, pemahaman, dan pengetahuan.
Ruh dalam setiap tingkatan memiliki nama yang berbeda. Ketika dia tengah berperan untuk melengkapi tubuh, dia bernama jiwa, dan ketika tengah menelaah dan memahami sesuatu, dia akan disebut sebagai akal.
2. Sebuah Pemisalan
Ruh bisa diumpamakan dengan beragam jabatan yang dipegang oleh seorang rektor perguruan tinggi. Pada salah satu sisi dia adalah dosen, sisi lain dia adalah seorang kepala rumah tangga, selain itu dia juga memiliki jabatan yang bermacam-macam. Jadi, dia adalah seorang yang memiliki beberapa prestise dan jabatan. Dan ruh bisa pula diumpamakan dengan seorang ahli matematik yang selain ahli matematik, ia merupakan ayah dari anak-anaknya, juga anak dari kedua orang tuanya. Dia adalah sosok yang memiliki beragam dimensi. Dalam contoh yang lebih jelas, bisa dikatakan bahwa ruh seperti pembangkit tenaga listrik yang pada saluran-saluran tertentu dia melakukan aktifitas yang tertentu pula. Dia akan memunculkan suhu panas pada pemanas ruangan, akan menciptakan udara dingin pada kipas angin dan AC, akan membuat udara dingin pada lemari es, sementara pada lampu, dia akan melakukan aktifitas yang lain lagi yaitu menciptakan terang dan cahaya, dan dia akan membuat pengaruh yang bermacam-macam pada persoalan-persoalan yang berbeda. Demikian juga dengan ruh. Ruh adalah sebuah hakikat tungga yang mempunyai beragam sifat dan aktifitas.
3. Tubuh sebagai Perangkat Ruh
Ketika ruh tengah sibuk melakukan aktifitas rasionalnya, maka tubuh tidak akan menyertainya, melainkan tubuh akan berperan sebagai alat, yaitu akal sibuk melakukan perjalanan spitirualnya, tetapi tubuh tidak melakukan perjalanan bersamanya. Ketika manusia sedang bertafakkur dan melakukan kontemplasi, sel-sel otak akan melakukan aktifitasnya, tetapi sel-sel tersebut tidak akan ikut berfikir, mereka hanya merupakan sebuah alat untuk berfikir, sedangkan aktifitas berfikir dan kontemplasi bersumber dari ruh itu sendiri. Tubuh dan badan sebagaimana pensil yang berada di tangan penulisnya. Pensil ini tidak menulis dan juga tidak berfikir, penulisnyalah yang memanfaatkannya sebagai alat untuk menulis dan menuangkan pikiran. Tulisan merupakan hasil perbuatan penulis, meskipun jika tak ada pensil, penulis tidak akan mampu menuliskan apapun.
4. Peran Tubuh
Allamah Thabathabai ra pada jilid pertama kitab Al-Mizan menuliskan sebuah pembahasan yang menarik tentang peran tubuh dalam aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Beliau sepakat bahwa seluruh subyek yang dikatakan oleh para fisiolog tentang kewajiban organ-organ tubuh adalah benar, yaitu bahwa di dalam otak dan sel-sel saraf serta bagian-bagian lain tubuh seperti mata, telinga, hidung, dan … terjadi berbagai aksi, reaksi, serta aktifitas-aktifitas rumit dan menarik lainnya supaya sistem tubuh manusia melakukan aktifitasnya dengan keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan untuk menimbulkan kegiatan-kegiatan lain pada diri manusia seperti melihat, mendengar, berfikir, tertawa, menangis, marah, dan lain sebagainya. Tentunya poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa seluruh aksi dan reaksi yang terjadi pada seluruh organ dan sel-sel tubuh, semuanya hanya bertindak sebagai perangkat dan alat bantu bagi jiwa. Pada dasarnya, mata, telinga, hidung, lidah, otak, dan lain-lain, semuanya tidak memiliki peran lain kecuali hanya merupakan bagian dari alat yang diletakkan dalam kewenangan jiwa manusia. Jiwa inilah yang mampu melihat dengan bantuan sistem mata, jiwalah yang mampu berfikir karena bantuan dari sistem otak.
Yang penting untuk diperhatikan adalah point berikut bahwa tidak seharusnya kita salah meletakkan alat pembantu pada tempat pelaku asli, dengan ibarat lain tidak salah mengatakan bahwa otaklah yang berfikir, tanganlah yang menulis, melainkan yang benar adalah otak merupakan alat untuk berfikir dan tangan merupakan alat untuk menulis, sedangkan pelaku aslinya adalah ruh dan jiwa.
5. Jiwa
Telah dikatakan bahwa ruh disebut juga dengan nama nafs atau jiwa. Dan jiwa akan melakukan begitu banyak perbuatan dan aktifitas dengan bantuan perangkat-perangkat yang ada di dalam tubuh.
Seseorang yang hanya memperhatikan kematerian manusia dan menganggap bahwa seluruh perbuatan, aktifitas, dan geraknya merupakan akibat dari aksi dan reaksi materi, adalah sebagaimana seseorang yang tengah menyaksikan lukisan yang sangat indah akan tetapi dia hanya memandangnya sebagai sebuah lukisan yang dihasilkan oleh kuas dan cat warna tanpa memandang peran pelukisnya sedikitpun, padahal kuas, cat warna, dan kertas hanya merupakan alat yang dimanfaatkan oleh pelukisnya, demikian juga dengan mata, telinga, jantung, otak, dan indera lainnya hanyalah merupakan alat bantu yang diletakkan dalam kewenangan jiwa.
6. Dimensi Gaib
Telah dikatakan bahwa ruh dan jiwa merupakan dimensi yang dimiliki oleh manusia dalam bentuk invisibel dan tak terlihat, sebuah dimensi yang tak bisa disentuh dengan indera lahiriah. Akan tetapi dengan argumentasi, hal ini menjadi sebuah persoalan yang bisa dibuktikan dan dipahami. Ada yang mengatakan, selama aku tidak melihat sesuatu dengan kedua mata kepalaku, aku tidak akan bisa mempercayai keberadaannya, dan karena aku menyaksikan listrik dengan kedua mataku, maka aku sepakat bahwa Edison adalah seorang ilmuwan yang besar dan jenius. Sangat jelas bahwa perkataan semacam ini sama sekali tidak benar, karena apabila dengan melihat lampu listrik serta cahayanya, seseorang baru akan mengakui kebesaran dan kejeniusan penemunya, maka setiap makhluk-makhluk materi yang mempunyai kemampuan untuk melihat, akan mengambil kesimpulan yang sama ketika menyaksikan listrik, sementara hal yang terjadi tidaklah demikian. Seekor kambing sama sekali tidak akan mengetahui kecerdasan penemu listrik dengan melihat lampu listrik tersebut, atau kebesaran penyair tidak mungkin diketahui oleh semua orang, hanya dengan melihat tulisan-tulisan syair yang ditulis oleh sang penyair pada sebuah kertas. Oleh karena itu, yang penting adalah kekuatan dan daya menakjubkan yang terdapat di dalamnya-lah yang dengan melihat listrik dan melihat syair, dia mampu memahami dan mengerti kebesaran posisi penemunya dan mampu mengenali kodrat dan keahlian penyair yang menuliskan syairnya di atas kertas. Jadi, melihat listrik atau melihat syair yang tertulis di atas kertas, semuanya hanya merupakan premis untuk berfikir bahwa "penemu listrik dan penyair tersebut adalah para ilmuwan yang cerdas dan ahli".
7. Rasionalitas dan Jiwa Manusia
Para filosof membuktikan adanya beragam dimensi pada diri manusia. Pada tahapan pertama, mereka membuktikan adanya "dwi dimensi" yang dimiliki oleh manusia dan menjabarkan argumentasi untuk dimensi non-materi-nya, dengan mengatakan bahwa materi memiliki tiga karakteristik, pertama mengalami perubahan, kedua bisa dibagi, dan ketiga memiliki dimensi ruang dan waktu. Jika ketiga sifat ini diperoleh pada suatu realitas, berarti realitas tersebut adalah materi, dan apabila ketiga karakteristik materi ini tidak ditemukan pada sebuah realitas, maka realitas tersebut adalah non-materi atau metafisika. Dan karena jiwa manusia sama sekali tidak memiliki ketiga karakteristik tersebut, jadi jiwa manusia merupakan sebuah realitas non-materi dan metafisik.
Jadi, karena apa yang dipelajari oleh jiwa pada masa kanak-kanak secara permanen diketahuinya hingga usia lanjut, berarti apa yang diketahuinya tersebut konstan dan tidak berubah. Demikian juga dengan jiwa manusia yang merupakan esensi tak berkomposisi (basith), invisible, dan tak bisa dibagi, dengan arti bahwa tidak bisa digambarkan bahwa kesempurnaan ruhani sebagaimana keberanian dan ilmu manusia, bisa dibagi menjadi dua bagian. Tentu saja masing-masing kesempurnaan ini memiliki tingkatan dan antara tingkatan lemah dan tingkatan kuat terdapat perbedaan yang sangat jelas, tingkatan ilmu dan keberanian yang lemah bukan merupakan setengah dari ilmu dan keberanian. Jadi, apabila segala kesempurnaan jiwa tidak bisa dibagi, maka dikatakan bahwa jiwa pun mustahil terbagi.
Demikian juga jiwa manusia tidak terikat oleh ruang dan waktu, ketuaan dan perubahan hanya berkaitan dengan tubuh. Jiwa manusia tidak akan mengalami ketuaan, dengan demikian terbukti bahwa jiwa manusia adalah non-materi. Jadi, karena jiwa manusia tidak menerima salah satupun dari tiga karakteristik materi di atas (yaitu mengalami perubahan, bisa dibagi, dan memiliki dimensi waktu), maka harus dikatakan bahwa jiwa merupakan sebuah realitas non-materi.[6] Lalu para filosof Islam menganggap bahwa kesatuan yang merupakan dimensi non-materi manusia tak lain adalah ruh atau jiwa manusia yang mencipta seluruh daya dan kekuatan manusia. Demikian pula prinsip "An-nafs fi wahdatiha kull al-quwa (jiwa dalam kesatuannya meliputi seluruh potensi dan daya)" menjelaskan tentang poin berikut bahwa jiwa dengan kesatuan dan ke-basith-annya telah menjadikannya memiliki seluruh potensi dan kekuatan bagi manusia. Tingkatan tertinggi jiwa manusia terletak pada akal dan rasionalitasnya, dimana dengan adanya akal dan rasionalitas ini bisa mengantarkannya pada kedudukan insani yang mulia dan memahami persoalan-persoalan tertinggi ilmiah dan makrifat.
8. Pembagian Akal
Para filosof Islam membagi akal menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis.
a. Akal Teoritis
AlFarabi mendefinisikan akal teoritis dengan mengatakan bahwa akal yang dengannya manusia mencapai hakikat-hakikat ilmiah yang tidak terkait dengan perbuatan manusia dan ruang lingkupnya hanya berada dalam mekanisme ilmiah serta tidak berhubungan dengan masalah baik-buruk, contohnya kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif dan beragam persoalan matematika.
Para filosof Peripatetik (Masyain) menyepakati empat tingkatan akal, sebagai berikut:
1. Akal Primer (primary material intellect), yang hanya merupakan tingkatan potensi belaka dan sama sekali belum bisa menangkap realitas universal;
2. Akal potensial (potential intellect), pada tingkatan ini, akal dan pikiran manusia bisa memahami masalah-masalah universal yang gamblang dan aksioma, seperti pengenalan masalah-masalah yang bisa dipahami dengan penyaksian misalnya (universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu yang ada lebih baik dari yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini;
3. Akal aktual (actualized intellect), dalam tingkatan ini, masalah-masalah ilmiah yang mendetail dicapai dari hal-hal yang aksioma untuk kemudian melahirkan bentuk argumentasi, sebagaimana ketika kita mengatakan, Zaid adalah manusia dan setiap manusia memiliki kemampuan untuk memahami. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk memahami;
4. Akal capaian (acquired intellect), manusia yang mencapai tingkatan ini bisa jadi dalam seratus tahun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada tingkatan ini, manusia telah menjadi "malaikat" non-materi, tak satupun realitas yang tidak jelas baginya, dia mengetahui semuanya, dan tak sesuatupun yang bisa memalingkan perhatiannya dari mengingat-Nya, dan ia sebagai manifestasi nama Ilahi "Ya man lâ yasyghuluhu sya'i 'an sya'i".[7]
b. Akal Praktis
AlFarabi dalam definisi tentang akal ini mengatakan, "Akal praktis adalah akal yang dengannya seseorang mampu mengetahui tentang hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang harus dilakukan dan yang dijauhi, dan mampu menentukan rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya.[8]
Para filosof menyepakati adanya tingkatan akal praktis, sebagai berikut:
1. Pensucian (takhliyah) adalah mensucikan batin dari segala perbuatan dan akhlak yang tak terpuji, seperti riba, bakhil, hasad, dan akhlak-akhlak tercela lainnya serta mengikuti hawa nafsu yang membawa manusia mendekati sifat-sifat binatang.
2. Penghiasan (tahliyah) adalah batin seseorang yang telah suci dari akhlak-akhlak tercela, kemudian ia menghiasi batinnya dengan akhlak-akhlak yang mulia, semacam keadilan, ibadah, sabar, tawadhu', dan lain-lain;
3. Fana, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Fana dalam perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak, diam, dan perbuatannya terwarnai oleh perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan merupakan manifestasi kodrat dan perbuatan Tuhan, hal ini identik dengan makna "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam."[9]
b. Fana dalam sifat, bermakna bahwa seluruh sifat terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang indah, cantik, mulia, dan berilmu merupakan manifestasi dari kesempurnaan Tuhan. Dalam makna "Alhamdulillah" (Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa segala rasa syukur dan pujian hanya milik dan untuk Tuhan.
c. Fana dalam Tuhan, bermakna bahwa seluruh alam merupakan murni hubungan dan korelasi dari Tuhan, maka dari itu tak ada wujud yang bersifat mandiri selain-Nya. Tingkatan ini identik dengan makna, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui"[10].[11]
Hakikat Jiwa dalam Al-Quran
Al-Quran menganggap bahwa jiwa manusia merupakan sebuah hakikat yang berada di luar badan dan di luar mekanisme organ-organ tubuh. Setelah nutfah berkembang menjadi janin dan memiliki tulang-tulang dan urat-urat bersusunan rumit, maka jiwa akan terwujud darinya. Dengan kehadiran jiwa ini, tubuh tersebut memiliki kehidupan awal manusia dan akan menghasilkan potensi-potensi yang tak berkesudahan, tubuh ini kemudian akan menjadi media bagi tumbuhnya bakat dan kemampuan istimewa yang kelak bisa dimanfaatkan pada aktifitas manusia masa mendatang. "Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik."[12]
Poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa "makhluk lain" pada ayat di atas bukan berasal dari proses darah, daging, dan tulang seperti yang terjadi pada penciptaan tubuh manusia. Oleh karena itu, al-Quran mencoba memahamkan bahwa "makhluk baru" (baca: jiwa manusia) memiliki hakikat yang lain, akan tetapi tentunya hakikat tersebut tidak lepas dari proses tubuh, dan bisa juga bermakna bahwa jiwa tersebut terwujud bersamaan dengan proses penciptaan tubuh, jiwa tidak menyatu dengan tubuh dan juga tidak lepas dari tubuh. Namun ketika ruh dan jiwa "keluar" dari tubuh, maka tubuh akan berubah menjadi jasad tak hidup dan tidak lagi disebut tubuh manusia. Jadi, penyerapan, pertumbuhan, gerak, aksi, reaksi, dan aktifitas yang dilakukan oleh tubuh terjadi dengan perantara dimensi non-materi manusia, yaitu jiwa. Demikian juga, kesempurnaan manusia dalam ilmu, perbuatan, dan keimanan seluruhnya berada di bawah pengaruh mekanisme ruh sedemikian sehingga secara bertahap ruh akan membentuk seluruh hakikat manusia dan mengantarkannya pada puncak tahapan eksistensi.
Pada dasarnya kedirian yang tetap pada manusia karena faktor ruh dan jiwa, misalnya seorang anak tujuh tahun setelah melewati tujuh puluh tahun walaupun secara umur berbeda, tapi kediriannya tetap sama, yakni Muhammad diumur 7 tahun tetap Muhammad pada umur 70 tahun.
Yang menarik di sini, al-Quran menganggap kematian manusia sebagai terangkatnya ruh ke alam malakut, Allah berfirman, "Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan."[13] yaitu malaikat akan membawamu bersamanya, dan pada ayat yang lain berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; …" [14], yaitu ketika engkau mati Tuhan akan mengembalikan jiwamu kepada-Nya.
Pada ayat pertama, jiwa manusia tak lain adalah "kum" yang merupakan kata ganti subyek yang bermakna kamu, maksud dari "kamu" di sini tak lain adalah "jiwa non-materi".
Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh jiwa, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran adalah bahwa melupakan jiwa dan melalaikannya akan menyebabkan Tuhan pun melalaikannya, "Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun akan dilupakan"[15]. Ayat-ayat Tuhan adalah jiwa manusia itu sendiri.
Dimensi yang belum Diketahui
Manusia memiliki dimensi-dimensi lain selain apa yang tersebut di atas. Sebagaimana al-Quran menyebutkan adanya dua mata lahiriah, dua telinga lahiriah, dan sebuah jantung lahiriah untuk manusia, dengan nada yang sama al-Quran juga mengatakan adanya dua mata batin, dua telinga batin, dan satu kalbu batin di dalam diri manusia. Melihat Tuhan dengan mata lahiriah merupakan sebuah persoalan yang mustahil terjadi, akan tetapi manusia bisa menyaksikan Tuhannya dengan mata batin. Mata hati merupakan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya. Oleh karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Imam Ali as, "Apakah engkau melihat Tuhan?", beliau menjawab, "Lam a'bud rabban lam arahu (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat)", dan selanjutnya bersabda, "Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala yang merupakan organ tubuh manusia, tetapi Dia bisa dilihat dengan mata yang berhubungan dengan hakikat keimanan". Al-Quran memberikan perumpamaan untuk sebagian orang, "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada"[16]. Pada ayat yang lain berfirman, "Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat (kebenaran itu) maka (manfaatnya) ada bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya akan kembali kepada dirinya sendiri."[17]
Jelaslah bahwa mata dan telinga yang disebutkan di dalam al-Quran ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisikal manusia. Tema ini mirip dengan seseorang yang menemui Einstein lalu menceritakannya kepada orang lain dengan mengatakan, "Aku melihat Einstein sebagai seorang yang sangat pandai dan cerdas". Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang tersebut menyaksikan ilmu dan kecerdasan Einstein dengan kedua mata kepalanya, yaitu dia memperoleh informasi ini dengan proses fisikal, ataukah dia memahami hal tersebut melalui metode yang lain? Apabila penyaksiannya adalah penyaksian fisik, maka setiap orang yang bertemu dengan Einstein harusnya juga mengetahui tingkat kepandaian dan kecerdasan ilmunya, padahal yang terjadi tidaklah demikian, hanya orang yang mengenalnya bisa memastikan kejeniusan dan ketinggian ilmunya, dan hanya penyaksian batin yang setelah melakukan sekian waktu penelitian, mampu mengenal ketinggian ilmu Einstein. Menjadi jelas bahwa penyaksian orang ini, bukan penyaksian yang berbentuk lahiriah.
Sayangnya, dunia saat ini lebih sering mengesampingkan satu dimensi yang sangat agung ini, melainkan mereka malah hidup dalam keadaan jahil dan tak memiliki informasi tentangnya. Kebanyakan dari mereka lebih menginginkan melihat segala sesuatunya dengan visi dan pandangan material, sehingga mereka mengobservasi seluruh hakikat-hakikat makrifat yang sangat tinggi di dalam laboratorium-laboratorium empirik, lalu menegaskan bahwa setiap eksistensi yang bisa diindera secara lahiriah yang memiliki keberadaan, dengan pernyatan ini sebenarnya mereka secara tak sengaja mengakui dimensi rasionalitas yang notabene adalah realitas non-inderawi dan non-materi. Sebagai contoh, apabila mereka mempelajari kitab yang ditulis oleh seorang ilmuwan besar, mereka akan mengatakan bahwa aku telah menemukan seorang ilmuwan besar, sementara apa yang dia temukan adalah merupakan hasil dari dimensi non-materi (yakni pengetahuan dan informasi dari kitab yang dibacanya). Dengan demikian, secara yakin bisa dikatakan bahwa manusia telah dilengkapi dengan dimensi yang sangat agung dan paling berharga, dan manusia harus berusaha dan berupaya untuk menganalisanya secara lebih mendetail lagi.
Ilmu bersifat Non-Materi
Filsafat telah membuktikan bahwa pemahaman dan rasionalitas bersifat non-materi dan berada di luar mekanisme materi. Begitu pula ilmu dan pengetahuan bersifat non-materi, karena ilmu dan pemahaman manusia tidak memiliki satupun dari karakteristik-karakteristik alam materi. Oleh karena itu, ilmu tidak bisa dibagi dan tidak pula mengalami perubahan.
Realitas yang ada di dalam pikiran sama sekali tidak bisa dibagi menjadi dua bagian. Apabila kita membayangkan satu meter, maka bayangan ini sama sekali tidak akan bisa kita bagi, apabila kita mampu membaginya, maka yang akan muncul adalah dua buah setengah meteran, dan itu tak lain adalah satu meter yang awal yang tetap berada di tempatnya.
Ketika kanak-kanak, kita mempelajari dan mengalami begitu banyak persoalan. Ketika usia kita bertambah sekian puluh tahun dan mengalami begitu banyak perubahan pada tubuh dan otak, gambaran dan kenangan kanak-kanak yang ada dalam benak kita tetap konstan dan tak berubah.
Ringkasnya, meskipun apa yang dikatakan oleh para fisiolog mengenai otak dan ilmu manusia adalah benar, tapi haruslah dipahami bahwa otak sebenarnya alat untuk memahami, bukan merupakan pemahaman dan ilmu itu sendiri. Sel-sel yang ada di dalam otak praktis bertindak sebagai alat untuk memahami, sedangkan pemahaman itu sendiri merupakan dimensi non-materi yang tak bisa dilihat.
Ibnu Sina sepakat bahwa di dunia ini, manusia kadangkala bisa sampai pada suatu tingkatan sehingga mampu memisahkan ruh dari tubuhnya, hal ini muncul karena adanya bimbingan, riyadhah dan latihan, yaitu meskipun dia masih mengenakan pakaian, pada hakikatnya dia telah berubah menjadi sebuah realitas non-materi, misalnya dia bisa berhubungan dan bercakap dengan orang-orang yang telah mati.
Ibarat yang dikatakan oleh Ibnu Sina adalah sebagai berikut, "Di kehidupan dunia ini terdapat tingkatan khusus yang dimiliki oleh para arif yang tidak diketahui oleh selainnya. Dia tetap memiliki tubuh, namun telah keluar dari efek tubuh dan berubah menjadi realitas non-materi yang kemudian berkelana di alam yang lebih tinggi. Kaum arif memiliki rahasia-rahasia yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang lain".[18]
Khayalan dan Kelezatan Tinggi
Potensi lain yang dimiliki oleh manusia adalah daya khayal. Khayal[19] merupakan perantara antara mekanisme tubuh dan akal. Apabila potensi ini tidak dibimbing ke arah yang benar dan tidak berada di bawah pengawasan akal, hal ini akan mengantarkan manusia pada kebebasan mutlak yang akan muncul dalam bentuk kekuatan yang merusak. Akan tetapi apabila berada dalam pengawasan akal dan bergerak pada jalan yang benar, maka dia akan berubah menjadi kekuatan yang bisa diandalkan dalam membantu aktifitas akal. Dan apabila berada tidak terarah dan liar, maka dia akan berjalan ke arah manapun yang ia kehendaki dan bertindak di luar control akal, ia akan senantiasa dipenuhi oleh beragam bentuk khayalan sehingga seluruh waktu luang yang ada akan terbuang sia-sia dan dadanya dipenuhi dengan khayalan kotor dan merusak, yang hal ini akan menghilangkan ketenangan pikiran pemiliknya, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa kalbu seorang mukmin merupakan tempat suci Tuhan, maka janganlah kalian menempatkan selain Tuhan di tempat suci Tuhan.
Kelezatan hakiki dunia ini akan menjadi milik seseorang yang telah sampai secara aktual pada tingkatan akal dan telah terlepas dari belenggu khayal, dengan itu dia mampu mendominasi dan mengatur seluruh dimensi dan kecenderungan wujudnya sedemikian sehingga ia tak menginginkan sesuatu selain yang benar dan suci, tidak melihat sesuatu selain kebaikan, dan tidak berfikir selain yang bermanfaat, dia menutup saluran benak dan kalbunya dari segala yang batil dan menjerumuskan, karena itulah sehingga dia akan mampu memahami dan memanfaatkan potensi batinnya dengan semakin baik.
Oleh karena itu, selama kita tidak berusaha mengembangkan potensi-potensi akhlak, dan selama kita belum menjauhkan dan membersihkan kotoran-kotoran dan khayalan-khayalan merusak dari kejernihan benak kita, maka benak tersebut tidak akan pernah merefleksikan hakikat sebagaimana cermin yang memantulkan cahaya, dan kita tidak akan pernah menemukan kecintaan abadi. Jadi, manusia harus merasakan kelezatan khayal dalam jiwa suci, dengan akal menguasai khayalan tersebut dan mengontrolnya dari setiap kecenderungan liar dan sia-sia.
B. Karakter Alami Manusia
Kehendak Tak Terbatas
Manusia memiliki kapasitas yang tak terbatas. Potensi, keinginan, dan bakatnya tidak berhenti pada batas yang tertentu. Seberapapun yang diberikan padanya, ia masih akan mengatakan, "apakah masih ada yang lain?" Untuk memperoleh keinginannya, kadangkala ia rela berjalan hingga pada batas yang membahayakan jiwa, akan tetapi ketika keinginannya tersebut telah berada dalam genggamannya, ia akan menemukan bahwa ternyata keinginannya lebih besar dan lebih tinggi dari apa yang telah diperolehnya saat ini, dan apa yang berada dalam genggamannya tersebut tidak seperti apa yang ia inginkan sebelumnya.
Manusia memiliki keinginan tak terbatas dalam mencari segala kesempurnaan. Sebagai contoh, seorang pemilik harta, betapapun banyaknya ia memiliki harta simpanan tetap saja tidak merasa cukup. Demikian juga, orang yang memiliki kekuasaan, ia masih tetap akan mencari jalan untuk memperoleh kekuasaan yang lebih. Bahkan misalnya, meskipun telah ditambahkan planet bumi ke dalam kekuasaannya, ia masih akan mencari planet Mars supaya jatuh ke tangannya dan ketamakannya terhadap kekuasaan tidak akan berhenti sampai di sini, keinginan berkuasa yang dimilikinya akan membawanya untuk menguasai planet-planet lainnya. Sama halnya dengan orang yang mencari ilmu, keinginannya untuk memperoleh ilmu yang lebih banyak tidak akan pernah ada habisnya. Dikatakan, pada suatu zaman terdapat seorang ilmuwan besar yang sedang sakit keras dan telah tiba pada batas hidupnya, ketika sahabatnya yang juga seorang alim datang menjenguknya, ia menghadapkan mukanya pada sang alim tersebut lalu bertanya tentang sebuah persoalan geometri yang hingga saat itu belum bisa ia temukan jawabannya. Sang alim mengatakan, "Ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya", dan sang ilmuwan besar berkata, "Menurutmu, aku mengetahui persoalan ini lalu mati, adalah lebih baik, ataukah aku meninggalkan dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui jawabannya?"
Walhasil, manusia memiliki potensi dan keinginan yang tiada batas. Maksudnya bukanlah bahwa ia tidak mungkin sampai pada keinginan tak terbatasnya tersebut, karena sampai pada yang tak terbatas, pada dasarnya sama sekali tidak bermakna dan tidak akan pernah berkesudahan, akan tetapi bisa dikatakan dengan istilah lain yaitu melangkah dan bergerak ke arah tak terbatas.
Poin penting yang terletak pada pembahasan ini adalah, bahwa memenuhi segala keinginan tak terbatas ini, hanya bisa dilakukan ketika sampai pada hal yang sesuai dengan yang tak terbatas, lalu jiwanya dipenuhi dengan Sumber Tak Terbatas.
Manusia di antara Tak Terbatas
Allah swt dalam salah satu ayat al-Quran berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"[20], yaitu tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki bentuk dan struktur lebih baik dari yang dimiliki oleh manusia, dan pada kelanjutan ayat berfirman, "Kemudian Kami akan kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)"[21], yaitu manusia yang memiliki sebaik-baik bentuk ini akan Kami kirim ke tempat yang serendah-rendahnya. Kata "ahsan" dan "asfal" keduanya bermakna "paling baik atau sebaik-baiknya" dan "paling rendah atau serendah-rendahnya". Realitas ini merupakan dalil bahwa kedudukan manusia yang berada di antara ketakterbatasan, dengan makna bahwa dia mampu menjangkau tingkatan yang bahkan lebih tinggi dari tingkatan para malaikat dan manusia juga bisa jatuh terjerumus ke tingkatan paling rendah dan paling buruknya tempat yang dimiliki oleh binatang dan setan.
Al-Quran juga memberikan isyaratnya tentang dua perjalanan tak terbatas ini pada ayat-ayat yang berlainan. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun"[22]. Dan pada ayat yang lain tentang perjalanan lain, Allah berfirman, "Tahukah kamu Apakah 'Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)"[23].
Kecintaan Diri
Salah satu hal paling prinsipil yang bisa ditemukan dalam karakter manusia adalah kecintaannya kepada dirinya sendiri. Kecintaan ini merupakan faktor penggerak yang sangat penting dalam keseluruhan perbuatannya, dengan makna bahwa seluruh kesenangan yang diraihnya berpijak pada kecintaan pada zatnya. Kecintaannya kepada anak, kehidupan, dan lain sebagainya bersumber dari motivasi ini. Kecintaan kepada diri akan membuat manusia menjelajahi setiap jalan dan mengambil segala hal yang ia anggap akan membawanya menuju kesempurnaan, dan untuk memperoleh hal tersebut, dia akan memaksa dirinya untuk bersusah payah.
Dan sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, untuk memuaskan instink ini, manusia tidak akan pernah merasa puas dengan seluruh tingkatan yang telah diperolehnya, dan dia tidak akan pernah menghalangi keinginan-keinginannya, melainkan akan senantiasa mencari keuntungan untuk dirinya. Tabiat dan karakternya, keinginannya, egonya, dan seluruh kemampuannya, akan ia gunakan untuk membawa dirinya kepada tujuan yang hendak diperolehnya, dan semangat mencari keuntungan dirinya tidak akan pernah padam, demikian juga ia akan terikat dengan keinginan esensinya.
Bermasyarakat
Salah satu dimensi wujud manusia yang lain adalah membentuk suatu peradaban. Peradaban memiliki makna kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Kehidupan manusia pada awal penciptaannya, hampir bisa dikatakan mempunyai kehidupan yang bersifat individual dan perorangan, dengan makna bahwa ia sendiri yang membuat bibit tanaman, menanamnya, memanen, memasak lalu memakannya, dan ia sendiri pula yang menyediakan pakaian, ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaannya, dan ia sendiri yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Lalu secara bertahap mereka memahami bahwa apabila ingin mengarungi kehidupan ini dengan lebih mudah dan santai, mereka harus meninggalkan kehidupan individu dan berjalan menuju kehidupan sosial dan bermasyarakat yang sebagaimana makhluk-makhluk hidup lainnya.
Sebagai contoh, merpati yang senantiasa muncul dengan pakaian alaminya yang bersih, dengannya badan mereka telah cukup terjaga dari udara panas maupun dingin. Mereka juga tidak perlu terlalu bersusah payah untuk menyediakan makanan, karena mereka tidak perlu menanam, memanen, ataupun memasak makanannya, melainkan dimanapun mereka menemukan biji-bijian, maka biji-bijian tersebut telah menjadi makanan instant yang siap disantap. Setiap kali merasakan haus, mereka bisa memanfaatkan setiap air yang mereka dapatkan. Perkawinan, berumah tangga, dan regenerasi pun tidak juga memerlukan terlalu banyak pendahuluan, mereka dengan gampang akan memilih pasangannya, bertelur lalu mengeraminya.
Hewan-hewan lainnya pun memiliki jalan kehidupan yang serupa, akan tetapi manusia untuk memenuhi setiap kebutuhannya ia tidak akan pernah bisa menemukan cara yang semudah ini. Untuk menyediakan bahan makanan saja, mereka harus menanam, memanen, dan memasaknya dengan rasa yang sesuai selera, demikian juga untuk memasak bahan tersebut, mereka masih harus menyiapkan peralatan-peralatan dapur sebagai alat memasak. Untuk mempersiapkan baju dan pakaian, mereka harus menanam kapas terlebih dahulu atau memelihara domba supaya bisa memanfaatkan bulunya. Lalu kapas dan bulu domba inipun harus diubah terlebih dahulu menjadi benang, kemudian ditenun menjadi kain, setelah itu masih harus dipotong, baru kemudian dijahit, dan banyak lagi pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Seandainya manusia hendak hidup sendirian, maka ia juga harus menjadi tukang batu untuk membangun rumahnya, menjadi tukang kayu untuk membuat perabot rumah tangga, menjadi petani untuk memenuhi kebutuhan dapur, menjadi pande besi, dokter, guru, penjahit, koki, dan profesi lainnya. Oleh karena itu, manusia lalu paham bahwa mereka harus memulai kehidupan mereka dengan saling bermasyarakat, bersosial, dan bergotong royong dengan sesamanya. Dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Salah satu dari mereka akan menjadi dokter, satunya lagi menjadi koki, yang lainnya menjadi tukang batu, ada lagi yang menjadi tukang kayu, tukang sampah, penjahit, dan demikian seterusnya sehingga dengan hal seperti ini tidak ada lagi pekerjaan di muka bumi yang tertinggal. Mereka bekerja secara bersama-sama dan setiap orang mengangkat beban sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan demikian semuanya mempunyai peran dalam mengatur kehidupan. Sebagai contoh, guru mengajar anak tukang roti, dan tukang roti membuat roti untuk kebutuhan makanan sang guru. Para ilmuwan pun menyerahkan hasil dari jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun ke telapak tangan masyarakat untuk bisa dimanfaatkan. Dalam kehidupan gotong royong semacam ini masing-masing pihak akan menikmati hasil jerih payah dari pihak yang lain, dan setiap orang dalam batas kemampuannya akan memberikan jasa dan penghidmatannya kepada masyarakat. Gaji yang diperoleh oleh setiap orang sebagai hasil keringat dalam melakukan pekerjaan, merupakan contoh dari adanya hubungan keterkaitan dan timbal balik dari penghidmatan dalam kehidupan bermasyarakat ini. Kehidupan semacam ini dinamakan kehidupan yang berperadaban, dan hal ini sesuai dengan tabiat dan karakter manusia.
Kebutuhan Manusia atas Hukum
Dengan memperhatikan dua karakter yang dimiliki oleh manusia yaitu berperadaban dan kecintaan kepada dirinya, menjadikan kebutuhan manusia akan aturan dan hukum menjadi semakin jelas, hal ini dikarenakan keuntungan individual di dalam masyarakat senantiasa saling berbenturan dan akhirnya akan menimbulkan sengketa. Dan dengan adanya hukum, sengketa dan perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat bisa dihindari. Hukum dibuat sebagai menjadi penentu dan batasan-batasan hak setiap individu yang ada di masyarakat, hal ini untuk keuntungan manusia sendiri. Oleh karena itu, hanya mekanisme yang berpijak pada hukum dan aturan yang bisa berlanjut secara terus menerus demi menjaga keseimbangan masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki hukum dan aturan akan menjadi lemah dan senantiasa berada di bawah kekuasaan "hukum rimba", yang hal ini berarti berada dalam ambang kemusnahan.
Referensi:
[1] . Qs. Al-A'la: 13.
[2] . Qs. Muhammad: 12.
[3] . Syarh al-Isyaraat, jilid 3, hal. 349.
[4] . Qs. Al-Isyra': 72.
[5] . Qs. Al-Waqi'ah: 79.
[6] . Untuk informasi lebih lanjut, rujuk kitab: Syarh Manzumah Sabzewari, hal. 282 dan hal. 311.
[7] . Rujuklah: Syarh Manzumah Sabzewari, hal. 307.
[8] . Rujuklah: Ibid, hal. 305.
[9] . Qs. At-Takwir: 29.
[10] . Qs. Al-Baqarah: 115.
[11] . Rujuk pula: Syarh Manzumah, Sabzewari, hal. 309.
[12] . Qs. Al-Mukminun: 12-14.
[13] . Qs. As-Sajdah: 11.
[14] . Qs. Az-Zumar: 42.
[15] . Qs. Thahaa: 126.
[16] . Qs. Al-Hajj: 46.
[17] . Qs. Al-An'am:104.
[18] . Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3.
[19] . Khayal di sini bukan sesuatu yang tidak memiliki realitas yang sebagaimana secara umum dipahami masyarakat. Khayal dalam pembahasan filsafat disebut juga alam barzakh atau alam mitsal yang berada di antara alam akal dan alam materi. Jadi khayal sebagaimana akal dan materi terdapat di dalam diri manusia.
[20] . Qs. At-Tiin: 4.
[21] . Qs. At-Tiin:5.
[22] . Qs. Al-Anfal: 22.
[23] . Qs. Al-Mutaffifin: 19-21.
(Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email