Pesan Rahbar

Home » » Pendidikan Agama Lebih Moderat

Pendidikan Agama Lebih Moderat

Written By Unknown on Wednesday, 21 October 2015 | 14:22:00

Ujian Nasional (UN) tingkat Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah

Untuk mengantisipasi masuknya benih-benih radikalisme di sekolah atau madrasah, Kementerian Agama menyiapkan perubahan metode dan materi pembelajaran. Dari hasil uji coba di empat daerah, sebanyak 200.000 guru agama Islam bakal mendapat pelatihan pembelajaran pendidikan agama yang lebih moderat.

Ini dikemukakan Muljani A Nurhadi, konsultan di Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia dan ahli manajemen pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Senin (12/10), saat berkunjung ke Kompas. Dia didampingi Muhtadin, anggota staf Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, dan Sari Soegondo dari Humas ACDP Indonesia, seperti yang dialncir Kompas
“Metode pembelajarannya harus diubah dan diperkaya dengan nilai-nilai seperti toleransi yang banyak disinggung di ayat-ayat Al Quran,” kata Muljani.

Ada tiga modul pembelajaran pendidikan agama Islam yang sudah dipraktikkan di Manado, Medan, Surakarta, dan Bogor. Modul itu merupakan hasil perbandingan metode pembelajaran agama di Maroko, Inggris, dan Malaysia. Inggris kemudian dipilih karena metodologinya dianggap paling pas untuk Indonesia.

Modul bimbingan teknis metode pembelajaran pendidikan agama Islam itu berbasis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (membawa rahmat untuk semesta). Ini menekankan hubungan baik di antara sesama manusia.

Guru jadi kunci utama dari perubahan itu karena selama ini, lanjut Muljani, guru agama dianggap lemah. Ini bukan sepenuhnya salah guru, melainkan juga akibat pendidikan agama di sekolah yang cenderung seperti doktrin. Karena doktrin, metodologinya pun lebih menghafal. Akibatnya, pendidikan agama menjadi tidak menarik. “Padahal, di ajaran agama Islam sebenarnya ditekankan hubungan antarmanusia. Sayang, sisi yang itu tidak dieksplorasi,” kata Muljani.

Dalam laporan akhir Overview Pendidikan Islam di Indonesia dari Education Sector ACDP Indonesia tanggal 5 Mei 2015 disebutkan, pada tahun 2011/2012 terdapat 142.996 guru agama Islam yang tersedia mengajar di 408.389 sekolah dari taman kanak-kanak, dasar, dan menengah baik swasta maupun negeri. Angka perbandingan jumlah guru dan institusi lebih rendah di jenjang SMA/SMK.

Laporan itu memaparkan, penting bagi tiap sekolah memiliki guru agama Islam yang bagus agar bisa mengurangi daya tarik ajaran dan kegiatan bermuatan ajaran radikal, khususnya dalam kegiatan ekstrakurikuler. Langkah itu diharapkan dapat meredam fakta tumbuhnya pemahaman ajaran radikal yang lebih sering muncul di jenjang pendidikan menengah atas.

Guru yang mengajar pelajaran Agama Islam harus memiliki kualifikasi akademis. Sampai dengan tahun 2012/2013, terdapat 25 persen guru yang tidak memiliki gelar akademik S-1/D-4. Hanya 2 persen guru yang berpendidikan lebih tinggi dari S-1/D-4.

Ubah ideologi guru
Secara terpisah, peneliti perilaku ekstrem pada pelajar Farha Abdul Kadir Assegaf berpendapat, perubahan kurikulum Pendidikan Agama Islam penting, tetapi lebih penting lagi mengubah cara berpikir serta ideologi para pengajar. “Guru-guru sudah turun-temurun mengajar agama secara doktrin. Mereka harus diperkenalkan kepada teknik mengajar yang baru,” tuturnya.

Majelis Guru Mata Pelajaran Agama Islam dan Persatuan Guru Republik Indonesia perlu didorong untuk menggelar diskusi bulanan. Tidak hanya membahas materi pelajaran, diskusi juga menanamkan idealisme agama tentang tenggang rasa dan welas asih kepada guru-guru. Meski kurikulum belum ideal, jika guru memiliki pemahaman yang luas, pemikiran radikal bisa ditekan.

Menurut Farha, pemahaman radikal masuk ke pelajar melalui cara-cara yang kreatif dan perlahan, seperti diskusi mengenai musik atau hobi. Kegiatan ekstrakurikuler islami sering menggunakan cara tutor sebaya atau mengundang alumni sekolah yang dinilai memiliki ilmu agama lebih tinggi untuk mengisi ceramah. Namun, pelajar belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk berdiskusi secara mendalam dan terbuka.

Tanpa ada diskusi, sebagian siswa akan rentan terpengaruh ideologi redikal. Perkembangan itu sulit ditangkap oleh radar guru, kecuali oleh mereka yang mengenal “kurikulum bawah tanah” ini. “Percuma mengubah materi kurikulum jika cara mengajar guru tetap itu-itu saja, yaitu menghafal ayat dan pendekatan keagamaan yang hitam dan putih,” tutur Farha.

Pendidikan agama di sekolah dinilai kurang menyentuh pembentukan karakter atau menciptakan atmosfer diskusi keagamaan yang kritis.

(DNE/LUK/Mahdi-News/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI