Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , » Bukti Kediaman Umm Kalthum dan Sekilas Penjelasannya

Bukti Kediaman Umm Kalthum dan Sekilas Penjelasannya

Written By Unknown on Saturday, 2 August 2014 | 11:20:00


Foto kiriman mas Faysal dari Madinah: Rumah Umm Kalthum di luar Masjid Quba. Diroboh wahabi dan ditindih dua batu gemok sebagai tanda.

****

Umar bin khattab tidak menikah dengan Ummu kultsum binti Ali as !! Disamping fitnahan atas imam Ali As yang menurut ‘sejarah miring’ bahwa beliau –difitnah- menikahi putri Abu jahal. Demi mendukung hujjah mereka tuk menyelamatkan nama baik dua syaikh saat terkena pasal ketidak ridhoan Az Zahra As.

Debat Sunni-Syi’ah Pada Hari Raya Ghadir Khum

Pernikahan Umar dengan putri Ali as ?


Tanya: Bukankah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib, dinikahkan dengan Umar bin Khattab? Bukankah hal itu menunjukkan keserasian hubungan mereka?

Jawab:
Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab adalah masalah yang masih kontroversial dalam sejarah kita. Penggalan dari peristiwa tersebut dalam sejarah ditukil secara berbeda-beda versi dan terkadang saling bertentangan pula. Oleh karena itu, untuk menetapkan sesuatu kita tidak bisa bersandar pada -hal-hal yang masih kontroversi dan tidak jelas seperti ini. Coba lihat versi-versi riwayat yang ada tentang pernikahan tersebut sebagaimana yang disebutkan di bawah ini:
1. Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya dengan Umar bin Khattab.
2. Pernikahan itu berlangsung dengan perantara Abbas paman Ali bin Abi Thalib.
3. Pernikahan itu berlangsung atas dasar ancaman.
4. Pernikahan akhirnya berhasil dan Umar memiliki seorang anak bernama Zaid.
5. Khalifah terbunuh sebelum perayaan pernikahan.
6. Zaid pun juga mempunyai seorang anak.
7. Ia terbunuh dan tidak memiliki warisan.
8. Ia dan ibunya terbunuh pada satu hari yang sama.
9. Ibunya masih hidup setelah kematiannya.
10. Maharnya empat puluh ribu Dirham.
11. Maharnya empat ribu Dirham.
12. Maharnya lima ratus Dirham.

Perbedaan versi riwayat sedemikian rupa membuat orang yang mendengarnya ragu akan benar atau tidaknya berlangsungnya pernikahan tersebut.[1]

Anggap saja memang pernikahan itu telah berlangsung, namun, kita tidak bisa menyebutnya sebagai pernikahan yang dilaksanakan secara wajar-wajar saja, yakni dengan kerelaan kedua belah pihak keluarga. Karena:
1. Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa pada saat itu hubungan keluarga Rasulullah Saw dan Khalifah sedang renggang sekali disebabkan oleh peristiwa penyerangan rumah putri Rasulullah Saw dan penghinaan terhadapnya. Banyak sekali bukti-bukti yang menjadi saksi terjadinya peristiwa menyakitkan itu.[2]
2. Umar adalah orang yang kasar dan keras, ketika khalifah pertama memilihnya sebagai khalifah, sekelompok sahabat ribut karena masalah itu dan berkata: “Engkau telah memilih orang yang keras dan kasar untuk menjadi penguasa kami!”
3. Thabari menulis: “Khalifah, mulanya melamar putri Abu Bakar yang bernama Ummu Kultsum, namun karena Umar adalah orang yang keras wataknya dan kasar perilakunya, putrinya menolak untuk dinikahi.”[3]

Oleh karena itu, kita tidak bisa menjadikan pernikahan tersebut sebagai bukti baiknya hubungan.
Jika kita setuju bahwa pernikahan merupakan bukti baiknya hubungan, berarti Rasulullah Saw memiliki hubungan yang baik dan sepemikiran dengan Abu Sufyan, karena beliau telah menikahi putrinya, Ummu Habibah? Padahal Abu Sufyan adalah orang yang telah menyalakan api perang-perang berdarah melawan Islam seperti perang Uhud dan Ahzab.

Begitu pula apakah berarti sepemikiran dan berhubungan baik dengan Huyaiy bin Akhtab karena beliau telah menikahi anaknya yang bernama Shafiyah?
Ulama Syiah telah membahas lebih jauh dan melontarkan kritikan-kritikannya terhadap peristiwa ini dalam buku-bukunya.

[1] Perbedaan versi riwayat yang seringkali bertentangan itu dijelaskan dalam Adz Dzari’ah Ath Thahirah, karya Abi Bashar Daulabi (224-310 H.) hlm. 157.
[2] Peristiwa penyerangan dan penghinaan terhadap rumah wahyu serta putri Rasulullah Saw (Fatimah Az Zahra) tercantum dalam buku-buku terpercaya Ahlu Sunah, misalnya Al-Musnaf, jld. 8, hlm. 490, nomor 4549, milik Abi Syaibah, guru Bukhari yang wafat pada tahun 235 H.; Ansab Al-Asyraf, milik Baladzari, jld. 1, hlm. 586, cetakan Darul Ma’arif, Kairo; Al-Imamah wa As Siyasah, Ibnu Qutaibah (213-276 H.), jld. 1, hlm. 13012, cetakan Maktabah Tijari Kubra, Mesir;Tarikh Thabari, Thabari (224-310 H.), jld. 2, hlm. 443; Istii’aab, Ibnu Abdul Badr (368-463 H.), jld. 3, hlm. 972; dan masih banyak lagi.
[3] Tarikh Thabari, jld. 5, hlm. 58.


Tanya: Kebanyakan pembesar dari kalangan sahabat telah mengikat hubungan kekeluargaan dengan Ahlul Bait Nabi; hubungan itu serasi dan Ahlul Bait pun mencintai mereka. Bukankah demikian?

Jawab:
semua orang tidak punya hak untuk berijtihad di hadapan firman Tuhan yang jelas.
“Apakah Aisyah pergi ke luar rumah untuk berperang melawan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal tidak menentang nash ?”

Kami perlu menjelaskan dua hal penting di sini:
Pertama: penanya berfikiran bahwa hubungan kekerabatan antar kabilah merupakan tanda keharmonisan dan keserasian mereka. Karena para sahabat menikah dengan anggota keluarga dari Ahlul Bait, maka hubungan mereka serasi. Sebagaimana yang dikenal dahulu kala bahwa adanya pernikahan antar kabilah menunjukkan keserasian hubungan antara mereka.

Padahal ikhtilaf dan perselisihan antara Ahlul Bait dan sahabat-sahabat Nabi bukanlah perselisihan yang bersifat kekabilahan, namun ikhtilaf akidah dan sikap; yang mana tidak dapat diselesaikan dengan jalinan hubungan pernikahan beberapa orang dari anak cucu mereka.

Dengan penjelasan lain, jika seandainya ikhtilaf dan perselisihan antara keluarga Nabi dengan kelompok lain merupakan ikhtilaf politik, ekonomi, atau semisalnya , kita dapat menanggapi adanya pernikahan antar kedua belah pihak sebagai tanda membaiknya hubungan mereka.

Titik ikhtilaf mereka ada bertumpu pada permasalahan yang sangat prinsip dan mendasar, yaitu kekhilafahan dan kepemimpinan umat Islam sepeninggal Nabi. Permasalahan ini tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan adanya pernikahan antar keluarga; hingga saat ini pun masih belum tuntas terselesaikan. Jadi, pernikahan Hasan atau Husain putra Ali bin Abi Thalib dengan wanita dari keluarga khulafa tidak akan pernah menjadi indikasi adanya kedekatan pemikiran antara mereka.

Di Iraq, banyak sekali terjadi pernikahan antara keluarga Suni dengan Syiah. Namun itu bukan berarti kedua belah pihak keluarga saling menerima akidah satu sama lain.

Khalifah ketiga memiliki seorang istri beragama Kristen; ia bernama Na’ilah. Apakah hal itu menjadi bukti bahwa Utsman bin Affan adalah orang Kristen dan berpemikiran sama?[1]
Kedua: bukankah Allah Swt telah berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain?[2] Jika seseorang merupakan pendosa besar, anak cucunya tidak akan menanggung dosanya. Jika kakek-nenek seseorang telah menzalimi keluarga Nabi, dosa itu tidak akan dipikul oleh cucunya. Karena setiap orang menanggung dosa dan kebajikan masing-masing.

Lebih dari itu, dalam jawaban pertanyaan ketiga kita telah jelaskan bahwa keputusan-keputusan sedemikian rupa diambil oleh para Imam Syiah demi kemaslahatan yang telah mereka pertimbangkan. Mereka tidak ingin pengikutnya terus tertekan keadaan dan penderitaan. Namun sikap itu tidak menjadi dalil adanya persamaan pemikiaran antara mereka dengan para khulafa.

Sebagian orang dengan tanpa lelah berusaha terus menerus merendahkan posisi dan kemuliaan Ahlulbayt dan Kesucian keluarga rasul Saww.

Bahkan sebagian lainnya tanpa ragu menjadi penerus kesalahan sejarah dengan bangga dan busung dada.
Disamping fitnahan atas imam Ali As yang menurut ‘sejarah miring’ bahwa beliau –difitnah- menikahi putri Abu jahal. Demi mendukung hujjah mereka tuk menyelamatkan nama baik dua syaikh saat terkena pasal ketidak ridhaan Az Zahro As.

Ar Rasul Saww : “Keridaan Fatimah adalah keridhaan ALLAH, kemurkaan Fatimah adalah kemurkaan ALLAH”

[1] Al-Bidayah wa Al-Nihayah, jld. 7, hlm. 153.
[2] An Najm:38.


Satu point yang akan dibahas kali ini adalah kesalahan fundamental berkali kali dari sejarah yang beredar di umum hasil ‘karya besar’ ulama Ummayah demi membuat bangga leluhur Ummayah yang mati di badar adalah :
TUDUHAN BAHWA PUTRI SUCI IMAM ALI AS, UMMU KULTHUM AS MENIKAH DENGAN UMAR BIN KHOTTOB.

Kitab sejarah Abul fida volume 1 halaman 171 dan Al Faruq Shibli Numani Vol II halaman 593 sama sama meredaksikan :
“Pernikahan Umar dengan ummu kulthum berlangsung pada tahun 17 hijriyah saat ummu kulthum berusia 5 atau 4 tahun. Dengan dasar ini diyakini bahwa tahun kelahiran ummu kulthum adalah 12 atau 13 hijriyah.”.

Sesungguhnya dalam riwayat yang dibawakan kedua sejarahwan diatas terdapat beberapa kejanggalan bila mengacu pada riwayat yang di redaksikan Bukhari :
“Sayyidah Fatimah As meninggal 6 bulan setelah wafatnya rasulullah Saww dan beliau As meninggal pada tahun yang sama dengan tahun meninggal Rasulillah Saww yaitu 11 hijriyah, sementara ummu kulthum putri imam Ali as lahir pada tahun 9 hijriyah.”

Analisa 1 :
Dengan dasar ini adalah tidak mungkin ia adalah ummu kulthum yang sama.
Sejarahwan sunni mencantumkan kelahiran ummu kulthum yang menikah dengan umar tahun 12 atau 13 hijriyah.

Sementara bukhari mencantumkan tahun kelahiran putri Imam Ali As tahun 9 hijriyah.
Tidak akan pernah mungkin pribadi yang belum lahir menikah dengan Pria Dewasa

Paparan :
Kesucian Ahlulbayt terus terjaga dengan pernikahan wanita wanita mereka dengan sesama bany hasyim
Umar bin khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun
Istri yang kedua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu salamah ra. Qariba bercerai dari umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah.

Istri ketiga bernama malaika anak dari jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi)

Istri yang ke empat bernama jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putrid dari zaid bin Amr bin nafil [Al Faruq - Volume II by Shibli Numani English Translation]

Analisa 2 :
Redaksi dalam kitab al faruq diatas mencantumkan nama ummu kulthum/malaika binta jarul yang juga merupakan istrinya yang ketiga namun telah diceraikan sesaat setelah perjanjian hudabiyah
Lalu siapa yang di nikahi umar kemudian yang juga di sebut ummu kulthum…?

Untuk ini kita akan tengok sebuah sejarah yang juga diawali dari Hadith Suci Al Musthofa Saww bahwa “Abu bakar dipersaudarakan dengan Umar dan Imam Ali As dipersaudarakan Dunia wal akhirat dengan Rasulillah Saww”

Abu bakar mempunyai beberapa Putri selain ummul mukminin Aisyah. Perincian nama namanya bisa di jumpai pada Tarikh Tabari vol 3 hal 50, Tarikh kamil vol 3 hal 121, al isaba ibn hajar al asqalani vol 3 hal 27, dinulikkan bahwa Abu bakar mempunyai seorang putri bernama Ummu kulthum.

Abu bakar meninggal pada tahun 13 hijriyah, dan usia pernikahan ummu kulthum binta abu bakar saat menikah adalah 4 tahun (17 h).

Aisyah adalah putri tertua Abu bakar, dengan meninggalnya Abu bakar, umar memberikan ummu kulthum kepada Aisyah sebagai penanggung jawabnya, seperti di redaksikan Tarikh khamis vol 3 hal 267, Tarikh kamil vol 3 hal 21 dan Al istab ibn bdul barr vol 2 hal 795.

Kesimpulan :
Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa umar bin khottob menikahi Ummu kulthum binta Abi Bakar melalui Aisyah dan bukan Ummu kulthum binta Ali as.

Pernikahan Umar dengan ummu kulthum binta Abu bakar terjadi pada tahun 17 Hijriyah.
Sesuai dengan Kitab sejarah Abul fida volume 1 halaman 171 dan Al Faruq Shibli Numani Vol II halaman 593 sama sama meredaksikan :
“Pernikahan Umar dengan ummu kulthum berlangsung pada tahun 17 hijriyah saat ummu kulthum berusia 5 atau 4 tahun. Dengan dasar ini diyakini bahwa tahun kelahiran ummu kulthum adalah 12 atau 13 hijriyah.”

Tambahan :
Dalam thabari vol 12 hal 15, Tarikh Khamis vol II hal 318 dan Al Istiab Ibn Abdu; Barr Vol 2 hal 795 diredaksikan :
“Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta umar tuk menyolatinya. Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah. Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”

Catatan kecil :
Hubungan Umar dengan ahlulbayt tidak lah mulus dengan diketahuinya penyerangan Rumah Ahlulbayt dan pendobrakan pintu rumah Imam Ali As sehingga menyebabkan keguguran janin Al Muhsin As. Serta Persaksian Sayyidah Fatimah As yang diredaksikan Muslim bahwa Beliau As tidak meridhoi keduanya akibat perbuatan zalim mereka kepada Ahlu Kisa As.

Kalian kum Salafi telah menginjak kehormatan-kehormatan Ilahi dengan cara mendidik teroris-teroris. Kalian tidak menghormati darah orang tua atau anak kecil, tidak menghormati harta benda kaum Muslimin dan wanita-wanita mereka. Menurut kalian semua umat Islam selain pengikut Muhammad bin ‘Abdul Wahab adalah musyrik dan murtad yang harus kalian tumpahkan darahnya dan rampas hartanya serta menawan wanita-wanitanya. Apakah anda yang seperti ini dengan nyaman membandingkan diri dengan Syiah?

Sunni Mengada-ngada Peristiwa Demi Politik Dan Mazhab Sebagaimana sebagian mereka juga mengada-ngada pristiwa sejarah demi tujuan kemazahaban dan ideologis dan kemudian sebagian lainnya terjebak dalam membesar-besarkannya serta terseret dalam penyimpulan-penyimpulan yang sengaja dimaukan para pembaca terjebak di dalamnya, seperti pristiwa NIKAHNYA UMAR DENGAN UMMU KULTSUM PUTRI IMAM ALI AS.

Penulisan sejarah Islam Sunni benar-benar telah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan ideologis. Banyak data-data sejarah dirahasiakan demi meloloskan sederetan agenda ideologis sebagaimana tidak sedikit kepalsuan dipasarkan dengan serius juga demi membangun kesimpulan-kesimpulan tertentu yang diharapkan mampu membangun ide-ide politik dan kemazhaban tertentu.

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan secara tuntas masalah ini. ia hanya akan menyajikan beberapa contoh yang diharap dapat menjadi pembuka wawasa baru yang sehat dan bertanggung jawab dalam mengkaji sejarah Islam jauh dari kepentingan dan tujuan apapun selain menemukan kebenaran sejarah sejati dan hakikan apa yang terjadi…

Tidak sedikit faktor yang memperkosa data-data sejarah untuk disesuaikan dengan pola pandang resmi tertentu dan kemudian diterima sbagai sebuah kepastian yang dijadikan pondasi di atasnya mereka akan membangun kesimpulan-kesimpulan seperti apa yang mereka maukan sesuai dengan ideologi yang mereka yakini sebelumnya.

Menyajikan sebuah kasus sejarah dengan sederetan rinciannya atau mengada-ngada sebuah kasus sejarah yang lalu memaksanya masuk dalam daftar peristiwa yang harus diterima tanpa boleh dipertanyakan tidak lain adalah upaya penulisan sejarah dan kemudian menggiring para pembaca untuk membacanya sesuai dengan kaca mata pemikiran dan kemazhaban siap saji yang dimaukan!

Upaya seperti diharap mampu menjadikan para pembaca sebagai pengekor yang menelan mentah-mentah sebuah pemikiran yang disajikan dan dikampanyekan oleh “polisi pemberangus kebebasan berfikir” yang berkhidmat untuk kekuasaan di masa penulisan sejarah itu berlangsung.

Jika metodologi penulisan sejarah telah ditundukkan kepada kepentingan kekuasaa maka ia pasti akan menundukkan data-data sejarah yang disajikan demi kekuasaan yang kecenderungan-kedenderungannya.
Dalam kasempatan ini saya akan angkat satu data sejarah yang selama disengaja disembunyikan dan dirahasiakan sedemikian rupa oleh kepentingan politik dan kemazhaban. Ia adalah:
Nabi saw. Telah Menceraikan Hafshah –Putri Umar-!

Ibnu al Jauzi membongkar dokumen sejarah berbahaya tersebut. Ia berkata:
Dari Qais ibn Zaid bahwa Nabi saw. telah menceraikan Hafshah binti Umar. Lalu saudara ibunya; Qudamah dan Utsman keduanya putra Madz’ûn, ia (Hafshah) menangis dan berkata, ‘Demi Allah, ia tidak menceraikanku dalam keadaan kenyang. Dan Nabi saw. datang dan ia pun berjilbab… “[1]

Peristiwa penceraian Hafshah dapat dibilang sebagai peristiwa yang tergenting dalam kehidupan rumah tangga Nabi saw. sebab ia akan membongkar tingkat kemesraan yang erjalin antara keduanya yang tentunya akan berpengaruh kepada hubungan antara Nabi dan Umar; ayah Hafshsh yang selama ini diandalkan oleh pola pandang sebagian mazhab Islam. Di mana mereka membangun sederetan kesimpulan dan keistimewaan atas dasar hubungan itu! Demikian pula dengan hubungan Nabi saw. dengan Aisyah.

Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah riwayat panjang dari Ibnu Abbas ra. tentang keretakan hubungan rumah tangga Nabi dengan Hafshah putrinya. Dalam riwayat itu Umar –ayah Hafshah- memperjelas kisah kegentingan dan keretakan hubungan rumah tangga itu:

قَالَ كُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ قَوْمًا نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَجَدْنَا قَوْمًا تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَطَفِقَ نِسَاؤُنَا يَتَعَلَّمْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ قَالَ وَكَانَ مَنْزِلِي فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ بِالْعَوَالِي فَتَغَضَّبْتُ يَوْمًا عَلَى امْرَأَتِي فَإِذَا هِيَ تُرَاجِعُنِي فَأَنْكَرْتُ أَنْ تُرَاجِعَنِي فَقَالَتْ مَا تُنْكِرُ أَنْ أُرَاجِعَكَ فَوَاللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُرَاجِعْنَهُ وَتَهْجُرُهُ إِحْدَاهُنَّ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ فَانْطَلَقْتُ فَدَخَلْتُ عَلَىحَفْصَةَ فَقُلْتُ أَتُرَاجِعِينَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ أَتَهْجُرُهُ إِحْدَاكُنَّ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ قَالَتْ نَعَمْ قُلْتُ قَدْ خَابَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْكُنَّ وَخَسِرَ أَفَتَأْمَنُ إِحْدَاكُنَّ أَنْ يَغْضَبَ اللَّهُ عَلَيْهَا لِغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هِيَ قَدْ هَلَكَتْ لَا تُرَاجِعِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَسْأَلِيهِ شَيْئًا وَسَلِينِي مَا بَدَا لَكِ وَلَا يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكِ هِيَ أَوْسَمَ وَأَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْكِ يُرِيدُ عَائِشَةَ

قَالَ وَكَانَ لِي جَارٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَيَأْتِينِي بِخَبَرِ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَآتِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَكُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ غَسَّانَ تُنْعِلُ الْخَيْلَ لِتَغْزُوَنَا فَنَزَلَ صَاحِبِي ثُمَّ أَتَانِي عِشَاءً فَضَرَبَ بَابِي ثُمَّ نَادَانِي فَخَرَجْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ حَدَثَ أَمْرٌ عَظِيمٌ قُلْتُ مَاذَا أَجَاءَتْ غَسَّانُ قَالَ لَا بَلْ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ وَأَطْوَلُ طَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ فَقُلْتُ قَدْ خَابَتْ حَفْصَةُ وَخَسِرَتْ قَدْ كُنْتُ أَظُنُّ هَذَا كَائِنًا حَتَّى إِذَا صَلَّيْتُ الصُّبْحَ شَدَدْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي ثُمَّ نَزَلْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ وَهِيَ تَبْكِي فَقُلْتُ أَطَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَا أَدْرِي هَا هُوَ ذَا مُعْتَزِلٌ فِي هَذِهِ الْمَشْرُبَةِ

“ … Umar berkata, “Kami kaum Quraisy adalah kaum yang mengalahkan istri-istri kami dan setelah kami berhijrah ke Madinah kami menemukan kaum yang dikalahkan oleh istri-istri mereka. Wanita-wanita kami mulai belajar dari wanita-wanita mereka. Umar berkata, “Rumah tempat tinggalku di daerah bani Umayyah ibn Zaid di perbukitan. Pada suatu hari aku marah kepada istriku, tiba-tiba ia berami membantahku, aku marah kepadanya karena ia berani membantahku, lalu ia berkata, ‘Mengaka kaum mengingkari karena aku membanthmu? Demi Allah sesungguhnya istri-istri Nabi saw. benar-benar telah membantahnya dan seorang dari mereka terkadang tidak mengajaknya berbicara sehari semalam! Aku pergi dan menemui Hafshah, aku bertanya, “Apakah engkau membantah Rasulullah saw.? Ia menjawab, “Ya. Aku berkata, “Akapah seorang dari kalian tidak mengajaknya berbicara sehari semalam? Ia menajwab, ‘Ya.’ Aku berkata, “Sungguh celaka dan merugilah seorang dari kalian yang melakukan perbuatan itu. Apakah seorang dari kalian merasa aman dari murka Allah karena murka Rasul-Nya. Pasti ia celaka! Jangan engkau membantah Rasulullah saw. dan jangan engkau meminta-minta sesuatu darinya. Mintalah kepadaku apapun yang engkau inginkan! Janganlah engkau tertipu oleh tetanggamu (Aisyah) maksudnya  ia itu lebih cantik dan lebih dicintai Rasulullah saw.’
Umar berkata, “Aku punya tetangga dari suku Anshar, kami bergantian mendatangi Rasulullah saw. sehari aku turun dan sehari ia yang turun. Ia dating dengan membawa kabar tentang wahyu dan selainnya.  Begitu juga aku seperti itu. Kami berbincang-bincang bahwa suku Ghassân telah bersiap-siap untuk menyerang kota Madinah. Temanku turun kemudian ia dating menemuiku dan mengetuk pintu rumahku dan memanggilku. Aku keluar menemuinya. Ia berkata, “Telah terjadi perkara besar!” Aku bertanya, “Apakah suku Ghassân dating?” Ia menjawab, “Lebih besar dan lebih panjang ceritanya dari itu. Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya!” Aku berkata, ‘Kecewa dan merugilah Hafshah. Aku telah memperkirakan ini pasti terjadi. Seusai aku shalat shubuh aku pakai bajuku aku turun ke kota menemui Hafshah, ia menangis. Aku kerkata kepadanya, ‘Apakah Rasulullah saw. menceraikan kalian? Hafshah menjawab, “Aku tidak tau. Sekarang ia menyendiri di tempat istirahatnya… “[2]

Imam Muslim juga meriwayatkan hadis lain dari Ibnu Abbas ra. bahwa Umar mengabarkan kepadanya seperti di bawah ini:

لَمَّا اعْتَزَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا النَّاسُ يَنْكُتُونَ بِالْحَصَى وَيَقُولُونَ طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُؤْمَرْنَ بِالْحِجَابِ فَقَالَ عُمَرُ فَقُلْتُ لَأَعْلَمَنَّ ذَلِكَ الْيَوْمَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَقَدْ بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا لِي وَمَا لَكَ - يَا ابْنَ الْخَطَّابِعَلَيْكَ بِعَيْبَتِكَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ فَقُلْتُ لَهَا يَا حَفْصَةُ أَقَدْ بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحِبُّكِ وَلَوْلَا أَنَا لَطَلَّقَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَكَتْ أَشَدَّ الْبُكَاءِ

Ibnu Abbas  berkata, “Umar berkata kepadaku, ‘Ketika Nabi saw. mengasingkan diri dari sitri-istrinya, aku masuk ke dalam masjid tiba-tiba aku menyaksikan orang-orang membulak-balikkan batu-batu kecil ke atas tanah (sebagai tanda kesedihan _pen), mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Ketika itu hijab belum diwajibkan.

Umar berkata, “Aku akan mencari tau hari ini. ia berkata, ‘Aku masuk menemui Aisyah lalu aku berkata, ‘Hai anak Abu Bakar, apakah sudah sampai seperti itu kamu mengganggu Rasulullah saw.? Aisyah berkata, “Apa urusanmu dan dan aku hai anak Khaththab? Uruslah anakmu sendiri!”

Umar berkata, “Aku masuk menemui Hafshah, aku berkata kepadanya, “Apakah sudah sampai seperti itu kamu mengganggu Rasulullah saw.? Demi Allah aku benar-benar mengatahui bahwa Rasulullah tidak mencintaimu. Jika buklan karena aku pastilah beliau sudah menceraikanmu.” Maka ia menangis dengan tangisan yang sangat… .”[3][4]

Demikianlah hubungan yang terjalin antara Rasulullah saw. dan kedua istri beliau; anak Abu Bakar dan anak Umar!

Peristiwa ini tidak mendapat perhatian yang sesuai di kalangan sekelompk Muslimin padahal ia sangat penting dalam pristiwa-pristiwa Sirah Nabi saw. Sepertinya mereka bersepakat untuk tidak mengangkat kasus ini agar tidak memimbulkan keingintauan kaum Muslimin terhadap apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangga Nabi saw. yang tentu akan memiliki ekor panjang dalam kehidupan sejarah umat Islam! Dan akan mempertanyakan kembali sederetan keistimewaan yang diberikan kepada kedua ayah merekaa atas dasar kedekatan dan kemesraan hubungan yang terjalin antara Nabi saw. dan kedua anak mereka! Karenanya pristiwa ini harus ditutup rapat demi kemapanan ideologis yang telah dibangun di atas kisah kemesraan dan kehangatan hubungan!
Semua kisah sejarah harus dirajut jauh dari bayanhg-bayang kasus/peristiwa yang tidak diinginkan.
 
Benarkan Aisyah Masih Gadis Ketika Menikah Dengan Nabi saw.?
Kasus lain yang juga diupayakan agar tetap dalam kerahasiannya adalah peristiwa pernikahan Aisyah dengan seorang pemuda bernama Jubair ibn Muth’im, tentunya sebelum kemudian Aisyah menikah dengan Rasulullah saw.! Artinya ketika dinikahi Nabi saw., Aisyah adalah janda setelah diceraikan oleh suaminya atas permiantaan Abu Bakar.

Perhatikan riwayat Ibnu Sa’ad di bawah ini yang ia nukil dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata, “Rasulullah saw. melamar Aisyah  binti Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, aku sudah berikah dia kepada Muth’im untuk dinikahkah kepada anaknya si Jubair. Jadi biarkan aku ambil dengan berlahan lagi dari mereka.’ Lalu Abu Bakar mengambilnya dengan cara halus kemudian menikahkannya dengan Rasulullah saw.”[5]

Data riwayat di atas tidak menjelaskan apakah suami Aisyah sudah melakukan hubungan suami istri dengannya atau belum sempat. Dan karena Rasulullah saw. melawar Aisyah maka Abu Bakar melihat bahwa adalah mashlahat apabila ia meminta kerelaan keluarga Muth’im untuk mengembalikan putrinya kepadanya. Kemudian keluarga Muth’im berbaik hati dengan menuruti permintaan Abu Bakar dan menceraikan Aisyah dan setelahnya Abu Bakar menikahkannya dengan Rasulullah saw.

Peristiwa yang mirip juga terjadi dengan Zainab dan Zaid ibn Hâritsah anak angkat Rasulullah saw. ketika Zaid mengetahui bahwa Rasulullah saw. tertarik kepada istrinya; Zainab, ia datang menemui Rassullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saw. telah sampai berita kepadaku bahwa Anda dating ke rumahku, mengapa Anda tidak sudi masuk? Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku sebagai tebusan begi Anda, apakah Anda tertarik kepada Zainab? Aku siap menceraikannnya untuk Anda.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Peganglah tali pernikahanmu dengan istrimu!”[6]

Di sini, dalam kasus ini, Zaid lebih mengutamakan keingininan Nabi saw. dan siap menceraikan istrinya demi beliau saw. mirip dengan apa yang dilakukan oleh Jubair ketika ia sudi menceraikan Aisyah demi keinginan Rasulullah saw.

Pristiwa pernikahan Aisyah dengan Jubair ibn Muth’im meruntuhkan khayalan yang selama dijadikan pondasi membangun sederetan kesimpulan dan penganugerahan berbagai keistimewaan untuk Siti Aisyah. Dia anartanya aadalah bahwa ia adalah satu-satunya istri Nabi saw. yang gadis saat dinikahi Rasulullah saw. yang di atasnya pengagungan dan pengutamaan dibangun!

Demikianlaah dua contoh kasus sejarah yang dirahasiakan dan/atau diabaikan sedemikian rupa demi mepertahankan bangunan keutamaan dan keistimewaan yang atas pula pondasi ideologi dan kemazhaban ditegakkan dan kemudian disakralkan!

Mengada-ngada Pristiwa Demi Politik Dan Mazhab.
Sebagaimana sebagian mereka juga mengada-ngada pristiwa sejarah demi tujuan kemazahaban dan ideologis dan kemudian sebagian lainnya terjebak dalam membesar-besarkannya serta terseret dalam penyimpulan-penyimpulan yang sengaja dimaukan para pembaca terjebak di dalamnya, seperti pristiwa NIKAHNYA UMAR DENGAN UMMU KULTSUM PUTRI IMAM ALI AS.

Di mana kita menyaksikan bagaimana sebagian mereka yang terjebak, baik dengan sadar atau tidak berlomba-lomba menyajikan kesimpulan-kesimpulan “lugu” dan terkadang terkesan ‘dungu” di atas pristiwa yang sulit mereka buktikan sendiri jika tidak mustahil untuk dibuktikan kebenarannya!

Dengan pristiwa yang paling baik status yang pantas kita berikan untuknya adalah pristiwa yang belum pasti kebenarannya, mereka membangun kesimpulan “lugu” dan mengabaikan semua bukti sejarah yang bertolak belakang dengannya… sungguh sukses para pemalsu itu ketika mampu menciptkan generasi pembaca sejarah sesuai dengan arah yang dimaukan oleh para pemalsu itu!

Mudah-mudahan dalam kesempatan lain kami dapat menyajikan tema tersebut!Insya Allah.

[1] Shafwah ash Shafwah,1/354, al Kunâ wa al Asmâ’; Imam an Nawawi,2/338 dan ath Thabaqât; Ibnu Sa’ad,6/62.
[2] Shahih Muslim, Kitâb ath Thalâq, Bab (5) al Îlâ’ wa I’tizâl an Nisâ’ wa takhyîruhunna,4/192-193. Dâr al Ma’rifah, Bairut.  Lihat juga di sini: http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&TOCID=663&BookID=25&PID=2779
[3] Ibid. 188. Lihat juga di sini: http://hadith.al-islam.com/ Page.aspx? pageid= 192& BookID =25& TOCID =663.
[4] Mungkin saat itu Sayyidina Umar, Siti Hafshah dan siti Aisyah belum mengetahui bahwa semua sahabat itu adalah ADIL, dan apapun yang mereka lakukan pasti diberi pahala sebab dilakukan berdasarkan ijtihad! Jadi semestinya Sayyidina Umar tidak perlu mengancam dan Siti Hafshah pun tidak perlu menangis! Mendapat pahala kok malah menangis?! Aneh bukan?!
[5] Ath Thabaqat al Kubrâ,6/42.
[6] Ibid.75

Diriwayatkan Imam Malik dan lainnya :: Aisyah memerintahkan Ummu Kultsum putri Abu Bakar ash-Shiddîq; suadarinya dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusui siapa yang Aisyah sukai untuk masuk menemuinya.. Sementara para istri Nabi saw, yang lain tidak mau memasukkan pria asing dengan cara Aisyah itu.

Selamanya, fatwa para masyâikh Salafi Wahhâbi selalu membawa keberkahan bagi para menyandang syahwat yang ingin mendapatkan jalan keluar yang islami.

Kali ini tentang menyusunya kaum pria dewasa -(yang boleh jadi sudah berjenggot menjulur seperti para masyâikh Salafi dan kaum muthowwe’ yang kerjanya “ngobrak” kaum muslimin agar bergegas shalat berjama’ah di masjid)- kepada wanita ajnabiyah (bukan muhrim) yang dimaukan untuk menjadi muhrim melalui persusuan/radhâ’ah.

Fatwa porno itu didasarkan kepada sebuah dongeng yang dinisbatkan kepada seorang istri Nabi saw. Seperti diriwayatkan Imam Malik dan lainnya.

Perhatikan Scan dibawah ini:

 al-muwaththo’_cover.

al-muwaththo’_235
(2) Bab Tentang Menyusunya Pria Setelah Dewasa.
…. Aisyah mengambil hukum ini untuk setiap pria yang ia maukan masuk menemuinya. Ia memerintah Ummu Kultsum putri Abu Bakar ash-Shiddîq; suadarinya dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusui siapa yang Aisyah sukai untuk masuk menemuinya. Sementara para istri Nabi saw. yang lain tidak mau memasukkan pria asing dengan cara Aisyah itu.
Fatwa porno itu dapat Anda baca dan dengar dalam fatwa Ibnu UItsaimin, Syeikh Albani dan al-Abikan. Kata para masyaikh itu, aksi menetek langsung dari payudara perempuan ajnabiyah -bukan muhrim- (ma’af) itu sama sekali tidak akan menimbulkan syahwat!!

Perhatikan scan di bawah ini:
Al-Abikan Menfatwakan Dibolehkannya Menyusui Pria Dewasa!

العبيكان يفتي بجواز رضاع الكبير

al-abikan_1


al_abikan_2


الألباني : رضاع الرجل الكبير من ثدي الإمرأة الأجنبية جــــــــــائز لأن ذلك لا يثير شهوة الرجل

.
Al-Albani menyusu langsung dari payudara perempuan ajnabiya/-bukan muhrim- (ma’af) itu JAIZ (boleh-boleh saja) karena itu sama sekali tidak akan menimbulkan syahwat!!
Untuk mendengar fatwa (ceramah) Syekh al-Abani soal ini silahkan mendownload DISINI

Baca disini: Sunni ijinkan memperkosa Budak/tawanan perang, Versi Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: