Foto : alifrafikkhan.blogspot.co.id
Kata fasis berasal dari bahasa Italia “fascio”, dan bahasa Latin “fasces” yang berarti seikat batang kayu. Pada zaman kekaisaran Romawi Kuno, lambang seikat kayu dan kampak dikenakan oleh petugas hukum sebagai simbol wewenang dan keadilan.
Fasisme adalah kata yang belum populer di Eropa sebelum tahun 1920-an. Adalah seorang revolusioner Italia bernama Benito Musolini yang mula-mula mempopulerkanya.
Sementara menurut mendiang Mansour Fakih, kata fasces yang berarti ‘ikatan’ ini melambangkan kekuatan dari berbagai unsur berbeda yang menyatu.
Menjelang Perang Dunia II di Hindia-Belanda terdapat suatu kondisi di mana stratifikasi rasialnya menyediakan bibit-bibit subur bagi fasisme. Sebagian kaum Indo memandang ide-ide fasisme merupakan suatu harapan untuk tetap menjaga kepentingan ekonomi mereka dalam arus perubahan politik dunia.
Dalam salah satu tulisannya “Pokok-pokok Diktatur Hitler di Jerman”, Moch. Hatta menguraikan beberapa unsur yang menyebabkan fasisme dapat mencapai puncak kekuasaan tanpa “pertumpahan darah”. Pertumpahan darah terjadi ketika Perang Dunia II mencapai puncaknya. Bagi Hatta, Nazi-isme merupakan suatu bentuk pemerintahan diktatur yang irasionil, yang kekuatannya tidak lain daripada semboyan dan demagogi.
Anton Adriaan Mussert dan Cornelis van Geelkerken mendirikan NSB (National-Socialistiche Beweging) pada tahun 1931. Partai ini terbentuk berdasarkan program yang mengacu pada fasisme Italia dan sosialisme nasional Jerman. Akan tetapi, tidak anti-Semit dan bahkan memiliki anggota Yahudi.
Awal tahun 1933, berdiri Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie (NIFO) di Batavia. Organisasi ini berkiblat pada organisasi fasis di Jerman dan mengklaim diri sebagai bagian dari Nationaal Socialistische Beweging (NSB) yang didirikan oleh Ir. Mussert dua tahun sebelumnya.
Pada tahun yang sama, di bulan Agustus, Dr. Notonindito mendirikan Partai Fascist Indonesia (PFI), Notonindito adalah Doktor Ekonomi lulusan Jerman. Menurut salah satu sumber ia pernah bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Hari ini, fasisme (sebagai gerakan politik) mungkin memang tinggal catatan sejarah. Kini sudah tidak ada lagi organisasi di tanah air yang secara terang-terangan menganut fasisme. Namun, sebagaimana kekhawatiran (Alm) Mansour Fakih beberapa tahun tahun silam, krisis akut yang terus melanda negeri ini tidak mustahil menjadi bibit-bibit persemaian fasisme. Hal ini bisa dibuktikan oleh fakta berbagai organisasi yang gemar mobilisasi massa, arak-arakan, dan gemar melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email