Pesan Rahbar

Home » » Benarkah Puasa ‘Aasyuuraa’ Disunnahkan Dalam Mazhab Syi’ah? Berikut Penjelasannya

Benarkah Puasa ‘Aasyuuraa’ Disunnahkan Dalam Mazhab Syi’ah? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Monday, 16 November 2015 | 13:04:00

Tulisan ini dihadiahkan kepada pengikut Ahlus Sunnah yang menuduh saudaranya pengikut Syi’ah telah meninggalkan sunnah Puasa ‘Aasyuuraa’ dalam mazhab Syi’ah. Tulisan ini tidaklah mewakili mazhab Syi’ah tetapi mewakili pandangan kami sendiri setelah meneliti berbagai riwayat seputar puasa ‘Aasyuuraa’ dalam mazhab Syi’ah.

Pendapat yang kami nilai rajih dalam mazhab Syi’ah adalah puasa ‘Aasyuuraa’ bukanlah sunnah. Ulama-ulama Syi’ah berselisih dalam perkara Puasa ‘Aasyuuraa’ dimana mereka terbagi menjadi:

1. Melarang atau mengharamkan puasa ‘Aasyuuraa’ seperti Al Majlisiy, Syaikh Yuusuf Al Bahraaniy, Sayyid Ahmad Al Khuwansariy dan Syaikh Ahmad bin Muhammad Mahdiy An Naraqiy [Kitab Shaum ‘Aasyuuraa’ Syaikh Najm Ad Diin Ath Thabasiy hal 89-92].

2. Menyatakan puasa ‘Aasyuuraa’ makruh seperti Sayyid Muhammad Kaazim Al Yazdiy, Sayyid Muhsin Al Hakiim, Sayyid Abdul A’la As Sabzawariy [Kitab Shaum ‘Aasyuuraa’ Syaikh Najm Ad Diin Ath Thabasiy hal 110-111].

3. Menyatakan puasa ‘Aasyuuraa’ dianjurkan dengan niat berdukacita seperti Syaikh Al Mufiid, Syaikh Ath Thuusiy, Syaikh Ibnu Idriis Al Hilliy, Muhaqqiq Al Hilliy [Kitab Shaum ‘Aasyuuraa’ Syaikh Najm Ad Diin Ath Thabasiy hal 97-99].

Dan diantara ulama Syi’ah yang mengharamkan puasa ‘Aasyuuraa’ [Al Majlisiy] dan ulama yang memakruhkan puasa ‘Aasyuuraa’ [As Sabzawariy] menganjurkan agar menahan dari makan dan minum sampai waktu Ashar [jadi bukan puasa] dengan tujuan berduka cita atas kejadian yang menimpa Imam Husain [‘alaihis salaam].

Mengapa para ulama Syi’ah tersebut berselisih?. Perselisihan pendapat para ulama Syi’ah ini terjadi karena perselisihan riwayat-riwayat dari para imam ahlul bait mengenai puasa ‘Aasyuuraa’. Riwayat-riwayat tersebut terbagi menjadi:

1. Riwayat yang menganjurkan puasa ‘Aasyuuraa’
2. Riwayat yang melarang puasa ‘Aasyuuraa’ bahkan sebagian riwayat menyebutkan sebagai bid’ah Yazid dan Ibnu Ziyaad
3. Riwayat yang menganjurkan menahan dari makan dan minum hingga waktu Ashar.

Dalam tulisan ini kami hanya akan memfokuskan pada riwayat-riwayat yang menganjurkan puasa ‘Aasyuuraa’ karena riwayat-riwayat ini dijadikan hujjah oleh orang-orang “menyedihkan” untuk menyudutkan orang-orang Syi’ah. Dan seperti biasa sebagaimana layaknya tetangga yang baik, kami akan meluruskan para penuduh tersebut.

Riwayat Pertama:



علي بن الحسن بن فضال عن هارون بن مسلم عن مسعدة بن صدقة عن ابي عبد الله عن أبيه عليهما السلام ان عليا عليه السلام قال: صوموا العاشورا التاسع والعاشر فانه يكفر ذنوب سنة

‘Aliy bin Hasan bin Fadhl dari Haruun bin Muslim dari Mas’adah bin Shadaqah dari Abi ‘Abdullah dari Ayahnya [‘alaihimas salaam] bahwa ‘Aliy [‘alaihis salaam] yang berkata “berpuasalah ‘Aasyuuraa’ hari kesembilan dan kesepuluh karena itu dapat menghapuskan dosa setahun” [Tahdziib Al Ahkaam 4/299 no 905].

Riwayat ini juga disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam kitab Al Istibshaar 2/349 no 1 dengan sanad yang sama seperti di atas. Syaikh Ath Thuusiy baik dalam kitab Tahdziib Al Ahkam 10/55-56 dan Al Istibshaar 4/841 menyebutkan jalan sanadnya sampai ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl, Syaikh berkata:


وما ذكرته في هذا الكتاب عن علي بن الحسن بن فضال فقد أخبرني به أحمد بن عبدون المعروف بابن الحاشر سماعاً منه، وإجازة عن علي بن محمّد بن الزبير، عن علي بن الحسن بن فضال

Dan apa yang aku menyebutkannya dalam kitab ini dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl maka sungguh telah mengabarkan kepadaku dengannya Ahmad bin ‘Abduun yang dikenal Ibnu Haasyir [mendengar darinya dan ijazah] dari ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl.

Jadi sanad lengkap riwayat Syaikh Ath Thuusiy di atas adalah dari Ahmad bin ‘Abduun dari ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl dari Haaruun bin Muslim dari Mas’adah bin Shadaqah dari Abu ‘Abdullah dari Ayahnya [‘alaihimas salaam]. Sanad ini lemah karena ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair tidak tsabit tautsiq terhadapnya alias majhul Mas’adah bin Shadaqah tidak tsabit tautsiq terhadapnya alias majhul .

‘Aliy bin Muhammad bin Zubair disebutkan keterangannya oleh Syaikh Ath Thuusiy tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil [Rijal Ath Thuusiy hal 430 no 6179]. Syaikh An Najasyiy menyebutkan dalam biografi Ahmad bin ‘Abduun:


وكان قد لقى أبا الحسن علي بن محمد القرشي المعروف بابن الزبير، و كان علوا في الوقت

Dan ia [Ahmad bin ‘Abduun] sungguh telah menemui Abu Hasan ‘Aliy bin Muhammad Al Qurasyiy yang dikenal Ibnu Zubair, dan ia seorang yang tinggi pada masa itu [Rijal An Najasyiy hal 87 no 211].

Sayyid Ad Damaad mengatakan bahwa perkataan An Najasyiy di atas “ia seorang yang tinggi pada masa itu” merujuk pada ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair dan maknanya adalah pujian dalam hal keutamaan, ilmu dan tsiqat. [Qamuus Ar Rijal At Tusturiy 7/552 no 5289].

Pandangan Sayyid Ad Damaad keliru dengan dua alasan yaitu pertama diperselisihkan lafaz “ia seorang yang tinggi pada masa itu” merujuk kepada siapa. Apakah kepada ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair atau kembali kepada Ahmad bin ‘Abduun?. Sayyid Al Khu’iy misalnya memahami bahwa lafaz itu merujuk pada Ahmad bin ‘Abduun sebagaimana dibahas dalam kitab Mu’jam-nya biografi Ahmad bin ‘Abduun [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 2/153 no 655].

Kedua, walaupun lafaz itu dikatakan merujuk kepada ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair maka bukan berarti maknanya adalah pujian atas keutamaan dan keilmuan apalagi menjadi bukti tsiqat. At Tusturiy mengatakan bahwa makna tinggi disana adalah orang yang memiliki sanad tinggi. [Qamuus Ar Rijal At Tusturiy 7/552 no 5289]. Dan memiliki sanad yang tinggi itu bisa dimiliki oleh perawi tsiqat, majhul ataupun dhaif.

Bukti yang paling jelas bahwa lafaz tersebut bukan bermakna pujian adalah An Najasyiy pernah mengatakan hal yang hampir sama kepada perawi lain:


إسحاق بن الحسن بن بكران أبو الحسين العقرائي التمار كثير السماع، ضعيف في مذهبه، رأيته بالكوفة وهو مجاور، وكان يروي كتاب الكليني عنه، وكان في هذا الوقت علوا فلم أسمع منه شيئا

Ishaaq bin Hasan bin Bakraan Abul Husain Al ‘Aqraa’iy At Tammaar, banyak mendengar [hadis], dhaif dalam mazhabnya, aku melihatnya di Kufah ketika ia beri’tikaf, ia meriwayatkan kitab Al Kulainiy darinya, dan ia pada masa itu seorang yang tinggi, maka aku tidak mendengar darinya sedikitpun” [Rijal An Najasyiy hal 74 no 178]

Bagaimana bisa lafaz “tinggi” tersebut dimaknai pujian keutamaan, keilmuan dan tsiqat padahal An Najasyiy sendiri melemahkan perawi yang dimaksud dan tidak mendengar sedikitpun hadis darinya walaupun ia sendiri sempat menemui perawi tersebut?. Penafsiran “memiliki sanad yang tinggi” itu lebih sesuai karena bisa saja orang yang memiliki sanad tinggi adalah orang yang majhul atau dhaif. [terdapat penafsiran lain mengenai lafaz ini yang sengaja tidak kami bahas panjang lebar karena pada intinya lafaz itu tidak bermakna pujian atau ta’dil]

Tidak ternukil adanya pujian dari ulama mutaqaddimin terhadap ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair Al Qurasyiy maka kedudukannya majhul. Sayyid Al Khu’iy berkata tentangnya “tidak tsabit yang menyatakan ia tsiqat” [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 13/151 no 8431].

Adapun Mas’adah bin Shadaqah disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam sahabat Imam Baqir [’alaihis salaam] dan ia berkata “seorang bermazhab ahlus sunnah” [Rijal Ath Thuusiy hal 149 no 1609]. Syaikh Ath Thuusiy juga menyebutkannya dalam sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam] tanpa menyebutkan lafaz “seorang ahlus sunnah” [Rijal Ath Thuusiy hal 306 no 4521]. Al Kasyiy menyebutkan bahwa Mas’adah bin Shadaqah seorang Batriy [Rijal Al Kasyiy hal 327 no 733]. An Najasyiy menyebutkan keterangan tentangnya bahwa ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah dan Abu Hasan [‘alaihimas salaam] dan telah meriwayatkan darinya Haruun bin Muslim tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Rijal An Najasyiy hal 415 no 1108].

Sayyid Al Khu’iy membedakan Mas’adah bin Shadaqah yang disebutkan Ath Thuusiy sebagai sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] dengan Mas’adah bin Shadaqah yang disebutkan An Najasyiy sebagai sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam]. Sayyid Al Khu’iy berkata:


أن الشيخ ذكر في أصحاب الباقر عليه السلام أن مسعدة بن صدقة عامي، كما ذكر الكشي أنه بتري، ولم يذكر عند ذكره في أصحاب الصادق عليه السلام أنه عامي، كما لم يذكر ذلك في فهرسته، وكذلك النجاشي، ومن ذلك يظهر أن من هو من أصحاب الصادق عليه السلام مغاير لمن هو من أصحاب الباقر عليه السلام، والبتري العامي هو الأول، دون الثاني الثقة الذي يروي عنه هارون بن مسلم

Syaikh menyebutkan dalam sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam], Mas’adah bin Shadaqah seorang ahlus sunnah, sebagaimana Al Kasyiy menyebutkan bahwa ia seorang Batriy, tetapi ia tidak menyebutkan keterangan dalam sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam] bahwa ia seorang ahlus sunnah. Sebagaimana ia tidak menyebutkannya dalam kitab Fahrasat-nya, begitu pula An Najasyiy. Oleh karena itu jelas bahwa ia yang termasuk sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam] bukanlah ia yang sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] seorang batriy ahlus sunnah, ini adalah orang yang pertama bukan orang kedua yang tsiqat dan telah meriwayatkan darinya Haruun bin Muslim [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 19/152-153 no 12305].

Perkataan Sayyid Al Khu’iy tersebut perlu ditinjau kembali. Al Kasyiy selain menyebutkan Mas’adah bin Shadaqah seorang Batriy, ia juga pernah menyebutkan riwayat Mas’adah bin Shadaqah dalam kitab Rijal-nya yaitu riwayatnya dari Imam Shadiq [‘alaihis salaam] [Rijal Al Kasyiy hal 73 no 127].

Dapat diasumsikan bahwa di sisi Al Kasyiy orang yang ia sebutkan sebagai Batriy adalah Mas’adah bin Shadaqah yang merupakan sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam]. Maka lebih mungkin dipahami kalau Mas’adah bin Shadaqah yang dikatakan sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] yang ahlus sunnah itu sama dengan Mas’adah bin Shadaqah sahabat Imam Shadiq [‘alaihis salaam] yang batriy. Artinya pandangan Sayyid Al Khu’iy ada dua orang Mas’adah bin Shadaqah tidak memiliki bukti kuat.

Selain itu jikapun dianggap memang ada dua orang Mas’adah bin Shadaqah maka tetap tidak ada dasarnya Sayyid Al Khu’iy mengatakan Mas’adah bin Shadaqah yang disebutkan An Najasyiy [bahwa telah meriwayatkan darinya Haruun bin Muslim] adalah seorang yang tsiqat. Bukankah An Najasyiy menyebutkan keterangan tentang Mas’adah bin Shadaqah tanpa adanya ta’dil ataupun tautsiq. Bukankah tidak ternukil ulama mutaqaddimin lain yang menyatakan ia tsiqat.

Bahkan sebaliknya ternukil ulama yang melemahkan Mas’adah bin Shadaqah seperti
1. Al Majlisiy yang menyatakan ia dhaif dalam kitabnya Al Wajiizah [Al Wajiizah Al Majlisiy hal 320 no 1860].
2. Allamah Al Hilliy memasukkan namanya dalam bagian kitabnya yang kedua yang memuat para perawi dhaif atau yang ditolak atau yang ia bertawaqquf tentangnya [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 410 no 1661].

Kedua ulama Syi’ah di atas tergolong muta’akhirin dan memang kenyataannya tidak ternukil pula ulama mutaqaddimin yang melemahkan Mas’adah bin Shadaqah. Bisa dikatakan bahwa hal itu adalah ijtihad mereka sendiri terhadap Mas’adah bin Shadaqah. Pendapat yang kami nilai rajih adalah Mas’adah bin Shadaqah tidak ternukil pujian ataupun tautsiq terhadapnya maka kedudukannya majhul.


Al Majlisiy telah melemahkan hadis Mas’adah bin Shadaqah di atas tentang puasa ‘Aasyuuraa’ dimana ia berkata “dhaif” [Malaadz Al Akhyaar 7/115 no 11] kemungkinan hal ini karena Al Majlisiy menganggap Mas’adah bin Shadaqah sebagai perawi dhaif. Walaupun kami tidak menyetujui kalau Mas’adah bin Shadaqah dhaif tetapi kami menyepakati penilaian dhaif Al Majlisiy terhadap hadis ini karena dalam sanad riwayat tersebut terdapat dua orang perawi majhul.

Riwayat Kedua:


وعنه عن يعقوب بن يزيد عن ابي همام عن ابي الحسن عليه السلام قال: صام رسول الله صلى الله عليه وآله يوم عاشورا

Dan darinya [‘Aliy bin Hasan bin Fadhl] dari Ya’quub bin Yaziid dari Abi Hammaam dari Abi Hasan [‘alaihis salaam] yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi waalihi] berpuasa pada hari ‘Aasyuuraa’ [Tahdziib Al Ahkaam Syaikh Ath Thuusiy 4/299-300 no 906].

Riwayat ini juga disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam kitab Al Istibshaar 2/349 no 2 dengan sanad yang sama. Al Majlisiy berkata tentang riwayat ini “muwatstsaq” [Malaadz Al Akhyaar 7/116 no 12].

Syaikh Ath Thuusiy baik dalam kitab Tahdziib Al Ahkam 10/55-56 dan Al Istibshaar 4/841 menyebutkan jalan sanadnya sampai ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl, Syaikh berkata:
.

وما ذكرته في هذا الكتاب عن علي بن الحسن بن فضال فقد أخبرني به أحمد بن عبدون المعروف بابن الحاشر سماعاً منه، وإجازة عن علي بن محمّد بن الزبير، عن علي بن الحسن بن فضال

Dan apa yang aku menyebutkannya dalam kitab ini dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl maka sungguh telah mengabarkan kepadaku dengannya Ahmad bin ‘Abduun yang dikenal Ibnu Haasyir [mendengar darinya dan ijazah] dari ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl.

Jadi sanad lengkap riwayat Syaikh Ath Thuusiy di atas adalah dari Ahmad bin ‘Abduun dari ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair dari ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl dari Ya’quub bin Yaziid dari Abi Hammaam dari Abi Hasan [‘alaihis salaam].

Riwayat ini mengandung illat [cacat] sama seperti riwayat sebelumnya yaitu jalan sanad Ath Thuusiy sampai ke Aliy bin Hasan bin Fadhl lemah karena ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair majhul. Maka kedudukannya hadis ini juga dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi majhul.

Tidak ternukil adanya pujian dari ulama mutaqaddimin terhadap ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair Al Qurasyiy maka kedudukannya majhul. Sayyid Al Khu’iy berkata tentangnya “tidak tsabit yang menyatakan ia tsiqat” [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 13/151 no 8431].

Riwayat Ketiga:


سعد بن عبدالله عن ابي جعفر عن جعفر بن محمد بن عبيدالله عن عبدالله بن ميمون القداح عن ابي جعفر عن أبيه عليهما السلام قال: صيام يوم عاشورا كفارة سنة

Sa’d bin ‘Abdullah dari Abi Ja’far dari Ja’far bin Muhammad bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin Maimuun Al Qaddaah dari Abu Ja’far dari Ayahnya [‘alaihis salaam] yang berkata “Puasa ‘Aasyuuraa’ dapat menghapuskan dosa setahun” [Tahdziib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy 4/300 no 907].

Riwayat ini juga disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam kitab Al Istibshaar 2/349 no 3 dengan sanad yang sama. Riwayat diatas sanadnya dhaif karena Ja’far bin Muhammad bin ‘Ubaidillah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 113]. Al Majlisiy berkata tentang riwayat ini “majhul” [Malaadz Al Akhyaar 7/116 no 13].

Riwayat Keempat:


علي بن الحسن عن محمد بن عبدالله بن زرارة عن احمد بن محمد بن ابي نصر عن ابان بن عثمان الاحمر عن كثير النوا عن ابي جعفر عليه السلام: قال لزقت السفينة يوم عاشورا على الجودي فامر نوح عليه السلام من معه من الجن والانس ان يصوموا ذلك اليوم وقال ابوجعفر عليه السلام: اتدرون ما هذا اليوم، هذا اليوم الذي تاب الله عزوجل فيه على آدم وحوا عليهما السلام، وهذا اليوم الذى فلق الله فيه البحر لبني اسرائيل فاغرق فرعون ومن معه، وهذا اليوم الذى غلب فيه موسى عليه السلام فرعون، وهذا اليوم الذى ولد فيه إبراهيم عليه السلام، وهذا اليوم الذى تاب الله فيه على قوم يونس عليه السلام، وهذا اليوم الذى ولد فيه عيسى ابن مريم عليه السلام، وهذا اليوم الذى يقوم فيه القائم عليه السلام

‘Aliy bin Hasan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Zurarah dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr dari Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar dari Katsiir An Nawaa’ dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata “Kapal [Nabi Nuh] berlabuh pada hari ‘Aasyuuraa’ di atas Juudiy maka Nuh [‘alaihis salaam] memerintahkan agar yang bersamanya dari kalangan jin dan manusia untuk berpuasa pada hari itu. Apakah kalian tahu hari apakah ini?. Pada hari ini Allah ‘azza wajalla menerima taubatnya Adam dan Hawa [‘alaihimas salaam], pada hari ini Allah membelah lautan untuk bani isra’iil dan menenggelamkan Fir’aun dan yang bersamanya, pada hari ini Muusa [‘alaihis salaam] mengalahkan Fir’aun, pada hari ini Ibrahim [‘alaihis salaam] dilahirkan, pada hari ini Allah menerima taubatnya kaum Yuunus [‘alaihis salaam], pada hari ini dilahirkan Iisa bin Maryam [‘alaihis salaam] dan pada hari ini Al Qa’iim [‘alaihis salaam] akan muncul [Tahdziib Al Ahkaam Syaikh Ath Thuusiy 4/300 no 908].

Al Majlisiy menyatakan tentang hadis ini “dhaif“ [Malaadz Al Akhyaar Al Majlisiy 7/116 no 14]. Pernyataan Al Majlisiy tersebt benar. Riwayat di atas sanadnya dhaif karena:
1. Kelemahan jalan sanad Syaikh Ath Thusiy sampai ke ‘Aliy bin Hasan bin Fadhl sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu karena ‘Aliy bin Muhammad bin Zubair majhul.
2. Katsiir An Nawaa’ seorang yang dhaif. Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan bahwa ia seorang Batriy [Rijal Ath Thuusiy hal 144 no 1562]. Al Majlisiy menyatakan ia dhaif [Al Wajiizah Al Majlisiy hal 283 no 1479]. Allamah Al Hilliy memasukkannya dalam bagian kedua kitabnya yang memuat perawi dhaif dan perawi yang ia bertawaqquf atasnya [Khulashah Al Aqwaal hal 390 no 1570].

Riwayat Kelima:



سأل محمد بن مسلم، وزرارة بن أعين أبا جعفر الباقر عليه السلام ” عن صوم يوم عاشورا، فقال: كان صومه قبل شهر رمضان فلما نزل شهر رمضان ترك

Muhammad bin Muslim dan Zurarah bin A’yaan bertanya kepada Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam] tentang puasa pada hari ‘Aasyuuraa’ maka Beliau berkata “sesungguhnya itu adalah puasa sebelum puasa bulan Ramadhan, kemudian ketika turun [tentang syari’at] puasa bulan Ramadhan maka hal itu ditinggalkan” [Man Laa Yahdhuruhu Al Fakiih Syaikh Ash Shaduuq 2/57 no 1800].

Syaikh Ash Shaduuq dalam kitabnya tersebut telah menyebutkan jalan sanad lengkapnya sampai Muhammad bin Muslim dan jalan sanad lengkapnya sampai Zurarah bin A’yan.



وما كان فيه عن محمد بن مسلم الثقفى فقد رويته عن على بن أحمد بن عبد الله ابن أحمد بن أبى عبد الله، عن أبيه عن جده أحمد بن أبى عبد الله البرقى، عن أبيه محمد بن خالد، عن العلاء بن رزين، عن محمد بن مسلم

Dan apa yang ada di dalamnya dari Muhammad bin Muslim Ats Tsaqafiy maka sungguh telah meriwayatkannya dari ‘Aliy bin Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Abi ‘Abdullah dari Ayahnya dari kakeknya dari Ahmad bin ‘Abdullah Al Barqiy dari Muhammad bin Khaalid dari ‘Alaa’ bin Raziin dari Muhammad bin Musliim [Man Laa Yahdhuruhu Al Fakiih Syaikh Ash Shaduuq 4/316-317] .

Jalan sanad Syaikh Ash Shaduuq ini sampai ke Muhammad bin Muslim Ats Tsaqafiy adalah dhaif karena
‘Aliy bin Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy adalah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 383].

Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy adalah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 21] .


وما كان فيه عن زرارة بن أعين فقد رويته عن أبى رضي الله عنه عن عبد الله ابن جعفر الحميرى، عن محمد بن عيسى بن عبيد، والحسن بن ظريف، وعلي بن إسماعيل بن عيسى كلهم عن حماد بن عيسى عن حريز بن عبد الله عن زرارة بن أعين

Dan apa yang ada di dalamnya dari Zurarah bin A’yun maka sungguh telah meriwayatkannya dari Ayahku [radiallahu ‘anhu] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy dari Muhammad bin Iisa bin ‘Ubaid, Hasan bin Zhariif dari ‘Aliy bin Isma’iil bin ‘Iisa semuanya dari Hammaad bin Iisa dari Hariiz bin ‘Abdullah dari Zurarah bin A’yun [Man Laa Yahdhuruhu Al Fakiih Syaikh Ash Shaduuq 4/317].

Jalan sanad Syaikh Ash Shaduuq sampai Zurarah bin A’yun di atas adalah shahih. Berikut keterangan para perawinya:
1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400 no 5857].
3. Muhammad bin Iisa bin Ubaid seorang yang tsiqat, banyak riwayatnya dan baik tulisannya [Rijal An Najasyiy hal 333 no 896]. Ia lemah dalam riwayatnya dari Yunus tetapi disini bukan riwayatnya dari Yunus. Hasan bin Zhariif seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 61 no 140]. ‘Aliy bin Isma’iil bin Iisa seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 385]. Ketiganya saling menguatkan dalam riwayat dari Hammad bin Iisa.
4. Hammad bin Iisa Al Juhaniy seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370].
5. Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy seorang penduduk Kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 62-63 no 239].
6. Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337 no 5010].

Maka shahih bahwa puasa ‘Asyuuraa’ dilakukan sebelum adanya puasa Ramadhan kemudian setelah ada puasa Ramadhan maka puasa ‘Aasyuuraa’ ditinggalkan. Hal ini justru menguatkan bukti bahwa hal itu bukan sunnah karena perkara yang dikatakan ditinggalkan tidak dihukumi sunnah.

Sayyid Al Khu’iy setelah menyatakan shahih hadis ini, ia menafsirkan bahwa makna “ditinggalkan” disana maksudnya adalah dulu wajib kemudian ditinggalkan tidak lagi wajib tetapi berubah hukumnya menjadi sunnah [Kitab Ash Shaum Sayyid Al Khu’iy 2/304].

*****
 __________________
الثانية: رواية زرارة عن أبي جعفر وأبي عبد الله عليهما السلام قالا: لا تصم في يوم عاشوراء ولا عرفة بمكة ولا في المدينة، ولا في وطنك، ولا في مصر من الأمصار (1). وهي أيضا ضعيفة السند بنوح بن شعيب وياسين الضرير. على أن صوم عرفة غير محرم قطعا، وقد صامه الإمام عليه السلام كما في بعض الروايات نعم يكره لمن يضعفه عن الدعاء، فمن الجائز أن يكون صوم يوم عاشوراء أيضا مكروها لم يضعفه عن القيام بمراسيم العزاء الثالثة: رواية الحسين بن أبي غندر عن أبي عبد الله عليه السلام (2) وهي ضعيفة السند جدا لاشتماله على عدة من المجاهيل. فهذه الروايات بأجمعها ضعاف.
نعم أن هناك رواية واحدة صحيحة السند وهي صحيحة زرارة، ومحمد بن مسلم جميعا أنهما سألا أبا جعفر الباقر عليه السلام عن صوم يوم عاشوراء، فقال: كان صومه قبل شهر رمضان فلما نزل شهر رمضان ترك (3).
ولكنها كما ترى لا تتضمن نهيا، بل غايته أن صومه صار متروكا ومنسوخا بعد نزول شهر رمضان، ولعله كان واجبا سابقا، ثم أبدل بشهر رمضان كما قد تقتضيه طبيعة التبديل، فلا تدل على نفي الاستحباب عنه بوجه فضلا عن الجواز.
ولقد سها صاحب الجواهر (قده) فألحق سند هذه الرواية بمتن الرواية التي بعدها التي كانت هي الأولى من روايات الهاشمي الضعاف



(1) الوسائل باب 21 من أبواب الصوم المندوب ح 6 (2) الوسائل باب 21 من أبواب الصوم المندوب ح 7 (3) الوسائل باب 21 من أبواب الصوم المندوب ح 1.

(٣٠٤)
 
*****
Pendapat Sayyid Al Khu’iy ini sebenarnya ingin menggabungkan hadis di atas dengan hadis-hadis yang menganjurkan puasa ‘Aasyuura’ oleh karena itu ia memalingkan makna zhahir “ditinggalkan” sebagai berubah hukumnya menjadi sunnah. [Sayyid Al Khu’iy termasuk ulama yang menguatkan hadis-hadis yang menganjurkan puasa ‘Aasyuuraa’]

Sayangnya pendapat ini tidak kuat karena hadis-hadis yang menganjurkan puasa ‘Aasyuuraa’ itu tidak ada yang shahih [sebagaimana pembahasan di atas] maka tidak dibenarkan memalingkan makna hadis shahih secara zhahir demi menyesuaikan ke hadis-hadis dhaif. Apalagi terdapat hadis dhaif lain yang justru dengan jelas menyatakan sebaliknya [bahwa lafaz “ditinggalkan” itu bermakna bid’ah] dan hadis-hadis dhaif lain yang melarang puasa ‘Aasyuuraa’.


Kesimpulan:
Pembahasan ini menyimpulkan bahwa tidak ada satupun riwayat shahih yang menganjurkan puasa ‘Aasyuuraa’ dalam mazhab Syi’ah. Justru dalam mazhab Syi’ah terdapat riwayat shahih yang mengatakan kalau puasa ‘Aasyuuraa’ sudah ditinggalkan.

(Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI