Oleh: Andito (Mantan Anggota PB HMI, Aktivis LSM advokasi Buruh)
Jumat sore, 10 Muharram 61 Hijriyah, bertepatan dengan 10 Oktober 680 Masehi, Husain bin Ali terbunuh pada usia 57 tahun bersama 72 pengikutnya di padang Karbala, Irak. Semua kepala mereka dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah. Tubuh mereka dikubur oleh penduduk al-Ghadiriyah dari Bani Asad sehari setelah mereka terbunuh.
Siapakah Husain? Ia lahir di Madinah, Kamis 3 Syaban 4 H. Ayahnya Ali bin Abi Thalib, ibunya Fathimah binti Muhammad. Ia digelari Sayyid al-Syuhada (Penghulu para syuhada), sering dipanggil dengan nama Abu Abdillah. Ia dikenal sebagai cucu kinasih Nabi Muhammad saw. Salah satu hadis kondang mengenainya, “Husain dariku dan Aku dari Husain. Allah menjadikan teman orang yang menjadikan Husain sebagai temannya dan memusuhi orang yang menjadikan Husain sebagai musuhnya.”
Mengapa cucu Nabi harus dibunuh oleh umat kakeknya? Sejarah umat Islam sungguh berbeda dengan sejarah Islam. Sejarah Islam yang suci dimulai dari pengangkatan Muhammad bin Abdullah sebagai nabi dan rasul Tuhan yang terakhir hingga wafatnya pada 23 Hijrah di Madinah. Sedangkan sejarah umat Islam dimulai saat polemik suksesi pasca Nabi antara kubu Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Saidah (sekitar 200-an meter sisi barat daya Masjid Nabawi), hingga zaman sekarang.
Dalam “Martyrdom: Arise and Bear Witness” (Ali Syariati), “History of the Caliphs” (Rasul Ja’fariyan), dan “Al-Khilafah wa al-Mulk” (Abu al-Ala al-Mawdudi) dikatakan, pasca Nabi wafat, penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam mulai terjadi secara kecil-kecilan dan membesar bak bola salju, mengkristal sedemikian rupa sehingga masyarakat awam pun tidak bisa lagi membedakan mana ajaran Nabi yang asli dan mana yang buatan.
Untuk sekadar gerak sembahyang (shalat) pun orang-orang bingung mana gerakan sembahyang yang benar-benar diajarkan oleh Nabi sendiri. Semua orang berdasar hanya berlandaskan pada penglihatan orang-orang tertentu. Padahal dikatakan bahwa sembahyang itu tiang agama, demikian sentralnya. Kini umat Islam terbiasa mengamalkan agama berdasarkan interpretasinya sendiri. Perbedaan cara salat sudah menunjukkan betapa kacaunya sistem ajaran Islam.
Masyarakat egaliter yang dibangun oleh Nabi dengan susah payah, sebagaimana yang diungkap oleh Robert N Bellah, runtuh ketika faksi-faksi politik dan tribalisme menjadi mazhab agama baru. Awalnya, para senior Quraisy takluk telak saat Makkah jatuh dan kemudian memaksanya berislam agar jiwanya selamat.
Namun dendam kesumat tetap tersimpan dengan rapi. Secara perlahan, mereka mulai mendapuk posisi-posisi penting dalam struktur pemerintahan Islam. Kekuasaan mereka semakin solid setelah uang negara (baitul mal) dilebihkan atas mereka melalui keputusan khalifah saat itu.
Penganakemasan keluarga dekat dan menumpuk-numpuk harta yang dipraktikkan oleh penguasa membuat gesekan sosial yang tajam. Bahkan tak kurang Abu Dzar, berteriak lantang kepada rezim saat itu, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan disetrika dengan api neraka! Kening dan pinggang mereka akan disetrika di hari kiamat!” Tentang Abu Dzar, Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada di dunia ini orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar.”
Ketika singgasana kecongkakan dan kemarukan menggantikan sajadah ketawaduan dan kesederhanaan. Ketika kebenaran menjadi kabur, membuih, mengasing, dan akhirnya lenyap tiada bekas. Ketika kezaliman penguasa harus diterima sebagai bukti keadilan Tuhan di dunia…
Ketika agama Tuhan dinistakan, dijadikan mainan, dimanipulasi, dan didagangkan. Ketika kemunafikan dan kepalsuan iman merebak, bersolek rupa dalam topeng ‘kejujuran’ dan ‘kebenaran ilahi’. Ketika umat bingung, apa dan siapa mereka harus berpegang. Saat itulah Husain bin Ali bangkit menjadi saksi, menyentak sanubari kita, bahwa [sekadar] beragama itu tidak cukup. Apalagi bagi kita yang menjadi korban sejarah.
Husain ingin menunjukkan kepada umat, seandainya mereka sudah mengidolakan penguasa Bani Umayyah sebagai pemimpin Islam yang baik hati, jujur dan tidak sombong. Tapi lihatlah apa yang mereka perbuat kepada cucu pembawa risalah ilahi, Nabi Muhammad saw?
Bukan sekadar pesakitan, ayahnya Ali bin Abi Thalib difitnah dan dimaki di atas mimbar. (Mungkinkah karena hal itulah sengaja dibuat aturan agar jamaah shalat dilarang berbicara saat khatib di atas mimbar, karena dikhawatirkan muncul protes karena isi ceramah yang penuh fitnah?). Hasan kakaknya diracun. Pengikutnya sudah mulai diintimidasi secara terang-terangan.
Fans murjiah, sekte fatalis yang tidak mau bersikap atas pertunjukan maksiat penguasa, merapal selaksa alasan dalam wirid dan zikir di sudut-sudut masjid. Kini anak buyutnya, menjelma sebagai “murjiah gaul”, menganggap agama tidak butuh tangisan apalagi untuk sejarah yang sudah lewat seribuan tahun lebih. Buat apa?
Cukup dimengerti bagi yang berislam asal saja. Apalagi kita terpisah jarak 1370 tahun hijriyah dengan kejadian tersebut. Tapi akal sehat semua manusia cukup mengantarkan kepada kita bahwa konflik antara Yazid bin Muawiyah dan Husain bin Ali tidak sekadar lanjutan pertarungan politik antar ayah-kakeknya, Nabi Muhammad Versus Abu Sufyan dan Ali bin Abi Thalib Versus Muawiyah bin Abu Sufyan.
Memperingati tragedi pembantaian Karbala adalah meraup sari ajaran Tuhan, bahwa beragama itu tidak sekadar merayakan ritus an sich. Itu tidak cukup. Tapi beragama artinya memilih, di jalan mana kita menjalani kebertuhanan, apakah di jalan para Nabi yang penuh onak dan duri karena setiap saat adalah praktik amar maruf nahi munkar? Ataukah di jalan para penjual ayat-ayat Tuhan, kitab suci menyebutnya ‘keledai yang di atasnya menumpuk kitab-kitab’? Mereka bisa tetap asyik masyuk beragama tanpa perlu melawan penguasa tiran dan sistem yang zalim.
Karena itulah, ada dua bentuk keagamaan: yang borjuis dan proletar. Agama borjuis merayakan kemewahan dan kesenangan. Tradisi perayaannya adalah suka cita, pelampiasan dan maksimalitas hedonisme. Contohnya adalah kemeriahan Idul Fitri yang menjelma sebagai komiditas kapitalis.
Sedangkan penganut agama proletar, agama adalah ajang refleksi atas nilai-nilai kemanusiaan, yang direfleksikan dengan pengorbanan. Kiranya tidak heran agama-agama besar menyatakan tradisi pengorbanan adalah merayakan keagungan ajaran ilahi. Dalam Islam, hal itu terejawantah dalam Idul Qurban.
Kini sejarah ada di tangan kita, mau diapakan agama ini? Selalu menatap ke depan karena memang tidak peduli atas jejak masa lalu? Atau sekadar mengutuki masa lalu dan memandang sinis masa depan? Ataukah menimpa spirtiualitas sejarah masa lalu demi melanggengkan nilai-nilai suci untuk masa depan? Karenanya, tidak ada yang salah memperingati targedi Karbala.
Seorang ulama pernah berkata, rahasia majlis-majlis peringatan kematian (haul) adalah kemampuannya untuk menyatukan dan membangun persatuan di antara sesama Muslim. Sisi politik majlis-majlis tersebut lebih kuat daripada sisi-sisi lainnya.
Dengan demikian, menjaga Asyura (tragedi 10 Muharram) tetap hidup adalah tugas politik dan ibadah. Berkabung untuk orang yang telah berkorban demi Islam berperan besar dalam memajukan revolusi. Kita sangat berhutang budi pada majlis-majlis duka ini serta takbir-takbir yang diserukan di sana. Kita tidak berkumpul dalam majlis-majlis ini untuk sekadar menangis. Tangisan kita adalah tangisan politik.
Kaum mustakbirin, penindas, komparador, penjilat, takut terhadap setiap tindakan untuk menyatukan rakyat demi menentang kezaliman. Sekadar kita hadir untuk menangis tidak akan membuat mereka khawatir. Yang mereka khawatirkan ialah dampak politik majlis-majlis ini sebagai sistem pengingat memori umat. Karena sangat mungkin, dalam suatu masa, ada umat yang tidak tahu bahwa ‘penguasa yang saleh dan baik’ bisa jadi adalah musuh agama yang sesungguhnya. Yaitu ketika mereka menanggalkan kebenaran dan menyatakan kemungkaran. Umat harus dibangunkan, agar semua bisa menjadi saksi…
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email