Pesan Rahbar

Home » » Para Imam Maksum dan ilmu ghaib

Para Imam Maksum dan ilmu ghaib

Written By Unknown on Sunday, 8 November 2015 | 14:07:00


Alam Gaib
Alam gaib berlawanan dengan alam nyata. Alam gaib tidak dapat dicapai oleh indra manusia. Misalnya, alam kiamat dan apa yang akan terjadi di dalam alam itu, masalah siksa dan pahala, malaikat, Zat Yang Maha Esa dan sifat-Nya yang suci masuk dalam ruang lingkup gaib yang manusia tidak tahu sedikit pun tentangnya.

Hal itu bukan karena kejelasan dimensi atau volumenya yang sangat kecil, tetapi ia berpulang pada ketinggian horizonnya yang tidak dapat dicapai oleh persepsi manusia yang terbatas dan keberadaannya di luar lingkaran waktu dan tempat.

Adapun yang dapat kita lihat melalui perantaraan indra kita dan yang bisa dicapai melalui pemahaman kita, maka ia termasuk alam nyata. Dengan demikian, maka materi dan efek­efeknya adalah bagian dari alam nyata, meskipun sebagian sulit untuk dilihat karena bentuknya yang sangat kecil, seperti kuman, virus, dan atom.

Maka, penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan, seperti gravitasi, sinar-X, dan sinar laser, semua ini tidak termasuk bagian dari alam gaib. Sebab, penemuan-penemuan ilmiah ini terjadi dengan sebab penggunaan alat-alat alami.

Gaib Nisbi
Kita dapat membagi gaib ke dalam dua bagian, yaitu: gaib mutlak dan gaib nisbi (relatif). Ada beberapa kegaiban yang mutlak yang tidak mungkin dicapai pada setiap masa dan tempat, dan tidak tunduk pada kekuatan atau kemampuan indra selamanya, sebagaimana kegaiban pada Zat Allah Yang Mahasuci.

Akan tetapi, kebanyakan hal yang gaib masuk dalam lingkup gaib nisbi, yakni ia gaib pada sebagian orang, tetapi nyata pada sebagian orang yang lain.

Misalnya, malaikat, surga, neraka, dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, semua hal ini tergolong nyata bagi para nabi, tetapi bagi selain mereka adalah gaib. Demikian pula dalam hal keberadaan malaikat, maka sesungguhnya perkara ini tetap gaib bagi kita hingga saat-saat kematian, tetapi perkara ini akan berubah menjadi nyata setelah kematian.

Segala sesuatu bagi Allah adalah nyata. Segala sesuatu yang ada, baik kecil maupun besar, materi maupun non materi; dan segala kejadian, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, semua hal itu hadir di hadapan Allah (tampak jelas). Tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, dan segala sesuatu itu nyata di sisi-Nya.

Sebagaimana ungkapan Imam Ali as dalam ucapannya, “Segala rahasia di sisi-Mu adalah terang, dan segala yang gaib di sisi-Mu adalah nyata.”[1]

Sehab, segala sesuatu adalah mahkluk (ciptaan) di antara makhluk-makhluk-Nya, segala sesuatu diakibatkan oleh sebab-­Nya yang berkorelasi dengan-Nya, maka segala sesuatu ada di hadapan-Nya. Inilah makna ilmu di hadapan-Nya karena ilmu­-Nya hudhuri, sebagaimana pengetahuan kita akan diri kita. Berdasarkan hal itu, seluruh hakikat ilmu ada di hadapan­-Nya, maka tidak ada lagi yang gaib di sisi Allah Swt.

Allah Ta’ala berfrrman: Dialah Allah Yang tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr [59]: 22).

Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; rang Mahabesar lagi Mahatinggi. (QS. ar-Ra’d [13]: 9).

Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungg­uhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS. al-Baqarah [2]: 33).

Imam Ali as berkata tentang hadirnya segala hakikat di hadapan Allah Ta’ala, “Ilmu Allah tentangnya (segala sesuatu) tidaklah dengan perantaraan alat, yang ilmu itu hanya diperoleh dengannya; dan antara-Nya dengan yang diketahui-Nya itu tidak ada ilmu selain-Nya!”[2]

Apakah selain Allah Itu Mustahil Mengetahui yang Gaib?
Sebagian orang berkeyakinan bahwa sesungguhnya ilmu gaib itu merupakan kekhususan Zat Yang Mah Esa, sedangkan selain Allah tidak ada yang mengetahui ilmu yang gaib, termasuk para nabi dan imam.

Mereka itu, dalam pandangan itu, berpegangan dengan beberapa ayat al-Quran al-Karim, di antaranya, “Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. al-An’am [6]: 59).

Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang­orang yang beriman.” (QS. al-A’raf [7]: 188).

Katakanlah, Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui bi/a mereka akan dibangkitkan. (QS. an-Naml [27]: 65).

Sebagai jawaban dari pandangan di atas adalah yang benar bahwasanya Allah lah satu-satunya yang mengetahui perkara-­perkara yang gaib, dan Dialah satu-satunya yang mengetahui secara mutlak atas perkara-perkara yang tersembunyi. Bahkan, para nabi sekalipun meskipun mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan mereka telah dipilih-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya, mereka juga tidak mengetahui perkara-perkara yang gaib. Sebab, eksistensi mereka terbatas dan mereka juga tidak mempunyai kemampuan untuk menge­tahui hal-hal yang gaib secara mutlak.

Akan tetapi, hal ini tidaklah berarti bahwa perkara-perkara yang gaib tertutup bagi mereka meskipun dengan kehendak Allah Yang memiliki perkara-perkara yang gaib dan nyata itu.

Maka, pengetahuan para nabi akan sebagian perkara yang gaib merupakan karunia Tuhan yang dicurahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikhususkan-Nya.

Ayat-ayat yang sebelum ini diturunkan untuk mematahkan anggapan dan pemahaman yang keliru, yaitu keyakinan yang berasal dari pemikiran jahiliah yang beranggapan bahwa seorang rasul itu mempunyai kemampuan dan penguasaan atas alam secara keseluruhan. Dan bahwasanya rasul dalam keadaan seperti ini akan dapat menolak kemudaratan darinya, dan tentulah dia akan membuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya karena pengetahuannya yang gaib akan kedua hal itu.

Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa Rasulullah saw membantah secara tegas pemikiran semacam itu. Beliau juga menegaskan akan kekuasaan Allah yang mutlak, bahwasanya beliau tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Swt, dan bahwasanya tidak ada yang mengetahui perkara-perkara yang gaib kecuali Allah. Hanya Allah sendirilah yang Mahatahu akan perkara-perkara yang gaib.

Allah Melnperlihatkan Beberapa Perkara yang Gaib kepada Sebagian Hamba-Nya
Banyak sekali ayat al-Quran al-Karim dan riwayat yang menguatkan hakikat ini. Allah Swt telah memperlihatkan kepada sebagian rasul-Nya hal-hal yang gaib untuk membuktikan kebenaran risalah mereka kepada manusia. Di antaranya, firman Allah Ta’ala, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Oleh karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 179).

Dan firman-Nya, Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib.(QS. at-Takwir [81]: 19-24).

Di hadapan logika al-Quran ini, kita katakan bahwa ilmu gaib adalah ilmu yang independen secara zatnya, ia termasuk di antara kekhususan-kekhususan Allah Swt. Akan tetapi, ini tidak menghalangi sebagian hamba Allah untuk mengetahui hal-hal yang gaib bila Allah menghendaki. Sudah sangat sewajarnya bahwasanya terdapat keterkaitan antara para rasul dengan alam gaib. Dan mengetahui hal-hal yang gaib adalah suatu perkara yang sesuai dengan tingkatan rohani dan spiritual bagi seorang rasul atau nabi.

Apakah Imam Dapat Mengetahui Perkara-Perkara yang Gaib?
Pembahasan kita sebelumnya adalah mungkinnya para nabi mengetahui perkara-perkara yang gaib, maka pertanyaannya di sini adalah, apakah mungkin juga bagi selain mereka untuk mengetahui hal-hal yang gaib?

Terdapat beberapa individu di antara manusia yang dibukakan pintu-pintu langit dengan diilhamkan ke dalam hati dan dilimpahkan cahaya ke dalam jiwa mereka. Sehingga, mereka pun dapat melihat sebagian hakikat yang tersembunyi. Yaitu, hakikat-hakikat yang jauh dan sarana-sarana pemikiran manusia melalui argumentasi nalar logis.

Fenomena seperti itu telah mendapat pengakuan ilmiah setelah dibuktikan oleh studi dan penelitian ilmiah secara mendalam. Fenomena ini digolongkan oleh penelitian ilmiah tersebut sebagai kejeniusan.[3]

Jika fenomena ini dapat terjadi pada orang-orang biasa, maka bagaimana mungkin kita menafikan hal itu dari manusia yang telah mencapai tingkatan puncak kesempumaan?

Sebelumnya telah kita bahas bahwa di antara sumber ilmu para imam Ahlul Bait as adalah ilham, yang merupakan pancaran Tuhan yang terealisasi melalui ikatan dengan alam gaib sehingga tampak secara jelas sebagian hakikat yang sebelumnya tersembunyi. Meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa hal ini tidak dapat terjadi kecuali dengan izin Allah dan kehendak-Nya serta dalam lingkup penampakan yang terbatas.

Dalam pengertian ini, terdapat beberapa riwayat dari para Imam Ahlul Bait as yang menafikan ilmu mereka tentang yang gaib secara mutlak, yakni yang mereka maksudkan adalah ilmu gaib yang independen dan mutlak. Mereka unggul diband­ingkan kebanyakan manusia pada umumnya adalah karena mereka telah mencapai tingkat kesempumaan. Sesungguhnya telah tersingkapkan bagi mereka Asma Allah dan sifat-sifat­Nya, dan mereka memang layak mengetahui hakikat-hakikat yang tersembunyi di balik tirai-tirai kegaiban.
Imam Muhammad Al-Baqir as berkata, “Dimudahkan ilmu bagi kami, maka kami pun mengetahuinya; dan disempitkan (ilmu) dari kami, maka kami pun tidak mengetahuinya.”

Imam Muhammad Al-Baqir as juga berkata, “Rahasia Allah Azza wa Jalla yang Dia sampaikan kepada Jibril secara rahasia dan Jibril menyampaikannya kepada Muhammad apa yang dikehendaki Allah.”[4]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata, “Demi Allah, kami telah diberi ilmu orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian.” Maka, ada salah seorang muridnya yang bertanya, “Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu, apakah kalian (para imam Ahlul Bait as) mempunyai ilmu gaib?”
Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Celaka kamu, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui apa yang ada di tulang sulbi kaum lelaki dan rahim kaum wanita. Lapangkanlah dana kalian, bukalah pandangan kalian, dan luaskanlah hati kalian. Sesungguhnya karni (para imam Ahlul Bait as) hujah Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya, dan tidaklah akan dapat menampung hal itu kecuali hati setiap Mukmin yang kuat, yang kekuatannya seperti Gunung Tihamah, kecuali dengan izin Allah.

Demi Allah, sekiranya aku mau menghitung krikil (diatas bumi ini), niscaya akan aku beritahukan kepada kalian. Setiap hari dan malam, kerikil ini benar-benar melahirkan, sebagai­mana makhluk ini (manusia) melahirkan.”[5]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as bahwasanya dia berkata, “Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku kecuali Nabi saw, yaitu: telah dibukakan bagiku jalan-jalan, aku mengetahui kematian, bencana, nasab keturunan, dan perkataan yang membedakan antara yang hak dan yang batil. Sungguh, aku telah memandang kerajaan (langit) dengan izin Tuhanku. Maka, tidak ada yang luput dariku apa yang telah terjadi sebelumku dan apa yang akan terjadi sesudahku.

Sesungguhnya dengan wilayahku (kepemimpinanku) Allah telah menyempurnakan bagi urnat ini agama mereka, mencuk­upkan kepada mereka nikmat-Nya, dan meridhai Islam itu sebagai agama mereka.

Sebab, pada hari wilayah (pengangkatan Ali sebagai pemimpin) Allah berfirman kepada Muhammad saw, ‘Wahai Muhammad, beritahukanlah kepada mereka bahwasanya telah Kusempumakan bagi mereka pada hari ini agama mereka, telah Kucukupkan kepada mereka nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama mereka.’

Semua itu adalah anugerah yang dianugerahkan Allah kepadaku, maka bagi-Nya segala puji.”[6]

Ilmu Gaib Tidak Berpengaruh pada Kehidupan Sebari­hari
Perlu ditekankan poin penting di sini, sesungguhnya penget­ahuan para imam Ahlul Bait as akan ilmu gaib tidaklah menjadikan mereka menggantungkan diri padanya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebab, kaidah dan dasar utama dalam sunnatullah bahwa para nabi dan imam adalah manusia yang menjalani kehidupan mereka sehari-hari seperti manusia lain pada umumnya.

Oleh karena itu, para nabi dan imam menjalankan aktivitas mereka scsuai realitas kehidupan. Dari sini, mereka biasa bermusyarah dengan sahabat-sahabat dan para penolong mereka. Mereka menjalani kehidupan mereka sesuai kadar ilmu mereka dan kelayakan mereka secara personalitas. Mereka hidup sesuai dengan hal itu semuanya dalam kehidupan biasa mereka.

Mereka menjalankan syariat, menunaikan kewajiban-kewajiban, memberikan petunjuk dan pengarahan kepada manusia, dan memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran.

Singkat kata, sesungguhnya pengetahuan para imam Ahlul Bait as akan perkara-perkara yang gaib sama sekali tidak secara otomatis menjadikan kewajiban mereka bertambah pula.

Ilmu Gaib Tidak Berpengaruh pada Perjalanan Takdir
Perlu juga ditekankan bahwa pengetahuan akan hal-hal gaib adalah sekadar mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang tanpa ada kemampuan untuk menguasainya atau mengontrolnya, dan tidak pula dapat mengarahkan kejadian itu ataupun mengubahnya.

Ilmu tentang perkara-perkara yang gaib ini adalah mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu kejadian tanpa menjadi salah satu sebab-sebab terjadinya kejadian itu.

Telah kita singgung bahwa kewajiban itu diperoleh melalui jalan yang biasa, sedangkan mengetahui hal-hal yang gaib ini sama sekali tidak menambah suatu kewajiban.

Contoh-Contoh Pemberitaan Gaib
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah memberikan kabar gembira kepada salah seorang sahabat Nabi saw yang mulia, yaitu Amr bin Al-Humuq Al-Khuza’i, tentang kesyah­idannya dan kepalanya akan menjadi kepala yang dikelilingkan di beberapa kota. Pemberitaan ini kemudian terbukti dalam masa pemerintahan Mu’awiyah. Amr bin Al-Humuq Al-Khuza’i dikejar-kejar dan dia selama beberapa lama hidup secara gelandangan. Akhirnya, dia ketangkap dan dibunuh oleh kaki tangan Bani Umayyah, lalu kepalanya pun dibawa dan dikelilingkan di beberapa kota, sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as Maka, dia merupakan orang Islam pertama yang diperlakukan seperti itu dalam sejarah Islam.[7]

2. Imam Al-Hasan as telah mengabarkan bahwa dia akan mengalami pembunuhan dengan cara diracun oleh istrinya, Ja’dah. Lalu dia menoleh kepada saudaranya (Imam Al-Husain as) seraya berkata, “Akan tetapi, tidak ada hari seperti harimu wahai Abu Abdillah. Tiga puluh ribu orang akan mengepungmu, yang mereka ini mengaku sebagai umat kakek kita, Muhammad saw, dan menganut agama Islam. Mereka berkumpul untuk membunuhmu, mengalirkan darahmu, melanggar kesucianmu, menawan kaum wanitamu, dan merampas harta bendamu.”[8]

3. Imam Al-Husain as pernah berkata, “Demi Allah, orang­orang Bani Umayyah akan berkumpul dalam pembunuhanku, yang mereka ini dipimpin oleh Umar bin Sa’d, hal ini dikatakannya dalam masa Nabi saw” Maka, ditanyakan kepadanya, “Apakah Rasulullah saw telah memberitahukanmu akan hal ini?” Imam Al-Husain as menjawab, “Tidak.” Lalu hal ini dikab­arkan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, “llmuku adalah ilmunya, dan ilmunya adalah ilmuku.”[9]

Imam Al-Husain as juga telah mengabarkan kepada Umar bin Sa’d pada tahun 61 Hijriah di Karbala sebelum meletusnya perang (baca: pembantaian) di Karbala itu tentang akibat buruk yang menantinya. Maka, tidak lama setelah peristiwa Karbala itu, Umar bin Sa’d terbunuh di tangan Al-Mukhtar Ats-Tsaqafi.[10]

4. Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, seorang algojo yang terkenal, menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan, dia mengatakan, “Jika engkau ingin kerajaanmu kukuh, maka bunuhlah Ali bin Al-Husain.”
Maka, Abdul Malik membalas surat Al-Hajjaj itu, “Amma ba’du. Jauhkanlah dariku darah Bani Hasyim dan jagalah keselamatan jiwa mereka. Sebab, sesungguhnya aku melihat keluarga Abu Sufyan ketika menyalakan api peperangan terhadap mereka, maka Allah menghilangkan kerajaan dari mereka.”

Lalu dia mengirimkan surat itu secara rahasia kepada Al-­Hajjaj. Persis ketika surat itu dikirimkan kepada Al-Hajjaj, Ali bin Al-Husain as menuliskan surat kepada Abdul Malik, yang isinya mengatakan, “Aku telah mengetahui apa yang telah kamu tuliskan dalam pencegahan penumpahan darah Bani Hasyim, dan karenanya Allah telah mensyukuri perbuatanmu dan mengukuhkan kerajaanmu serta menambah umurmu.”

Ali bin Al-Husain mengirimkan suratnya itu melalui seorang budaknya dari Makkah bertepatan dengan tanggal Abdul Malik mengirimkan suratnya itu kepada Al-Hajjaj.

Ketika Abdul Malik melihat tanggal surat itu, ternyata dia mendapatkannya sama dengan tanggal suratnya yang dia kirimkan kepada Al-Hajjaj itu. Maka, Abdul Malik sedikit pun tidak meragukan kebenaran Ali Zainal Abidin as dan berbahagia karenanya. Lalu dia mengirimkan kepada Ali Zainal Abidin uang dinar dalam jumlah yang banyak serta meminta untuk menuliskan segala kebutuhan beliau dan kebutuhan keluarga dan para pembantunya.[11]

5. Imam Muhammad Al-Baqir as telah mengabarkan kepada saudaranya, Zaid, tentang kesyahidan saudaranya itu. Imam Al­-Baqir as berkata kepadanya, “Maka, janganlah sekali-kali orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. Sesungguhnya mereka itu tidak dapat menolongmu sedikit pun. Oleh karena itu, janganlah kamu tergesa-gesa karena sesungguhnya Allah tidak akan tergesa-gesa dengan tergesa-gesanya hamba-hamba-Nya. Janga­nlah kamu mendahului (ketetapan) Allah sehingga kamu akan tertimpa bencana dan kamu akan binasa. Aku memohon perlindungan untukmu wahai saudaraku bahwasanya kamu akan disalib besok di tempat sampah.”[12]

Akhirnya, terbuktilah ucapan Imam Muhammad Al-Baqir as itu. Zaid bin Ali as terbunuh sebagai syahid di Kufah, kemudian jenazahnya disalib di tempat pembuangan sampah, dan jasadnya yang suci itu tetap tersalib hingga empat tahun.

6. Ketika orang-orang dari Bani Hasyim membaiat Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan, Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata kepada mereka, “Kalian tidak akan beruntung. Sebab, sesung­guhnya urusan ini (kekuasaan) belum tiba saatnya (jatuh ke tangan kalian).” Lalu Imam Ja’far Ash-Shadiq as menepuk punggung Abul Abbas As-Saffah, kemudian dia menepuk pundak Abdullah bin Al-Hasan seraya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya urusan ini (kekuasaan) bukanlah untukmu, dan bukan pula untuk kedua anakmu, tetapi ia untuk mereka (Abul Abbas As-Saffah dan keturunannya) dan sesungguhnya kedua anakmu pasti akan terbunuh.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam Ja’far Ash­Shadiq as berkata kepada Abdullah bin Al-Hasan dalam sebuah majelis yang terdapat di dalamnya As-Saffah dan Al-Manshur, “Sesungguhnya perkara ini (kekuasaan), demi Allah, tidak akan jatuh ke tanganmu dan tidak pula ke kedua anakmu. Sesung­guhnya ia (kekuasaan itu) untuk orang ini, sambil menunjuk kepada As-Saffah dan Al-Manshur, kemudian kepada anaknya sepeninggalnya. Urusan (kekuasaan) ini akan senantiasa berada di tangan mereka sehingga mereka mempercayakan urusan ini kepada anak-anak dan mengajak musyawarah kaum wanita.”[13]

Kemudian Imam Ash-Shadiq as meneruskan pembicara­annya, “Dan sesungguhnya orang ini-sambil menunjuk kepada AI-Manshur- akan membunuhnya di Ahjar Zait (nama tempat di luar Madinah).”
Lalu terbuktilah ucapan Imam Ash-Shadiq as dengan terbunuhnya Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan gelar “An-Nafsu Az-Zakiyyah” pada tahun 145 H.22

7. Imam Musa Al-Kazhim as pernah mengabarkan kepada Al-Husain bin Ali, pemimpin pemberontakan di Faw, bahwa­sanya dia akan terbunuh dan pemberontakannya akan menemui kegagalan. Lalu pemberitaan Imam Musa Al-Kazhim ini terbukti kebenarannya pada tahun 169 H dengan terbunuhnya AI-Husain bin Ali, pemimpin pemberontak itu, dan gagalnya pemberontakan yang dilakukannya.[14]

8. Imam Ali Ar-Ridha as pemah mengatakan tentang akan terbunuhnya Al-Amin di tangan saudaranya sendiri, yaitu Al-­Ma’mun. Imam Ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya Abdullah akan membunuh Muhammad.” Maka, sebagian orang yang mendengar ucapan Imam Ali Ar-Ridha as itu mengutarakan keherannya seraya bertanya, “Apakah Abdullah bin Harun akan membunuh Muhammad bin Harun?”
Imam Ali Ar-Ridha as menjawab, “Ya. Abdullah yang tinggal di Khurasan akan membunuh Muhammad bin Zubaidah yang tinggal di Baghdad. “[15]

9. Imran Al-Asy’ari berkata, “Aku pernah mengunjungi Abu Ja’far (Muhammad Al-Jawad). Setelah aku menyelesaikan semua keperluanku, aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Ibunya Al-Hasan menyampaikan salam kepadamu dan dia meminta kepadamu salah satu pakaianmu yang hendak dijadikannya sebagai kain kafannya.’ Abu Ja’far berkata, ‘Dia sekarang tidak memerlukan lagi (pakaian itu). Imran berkata, ‘Lalu aku keluar dari rnmahnya, sedangkan aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perkataannya itu. Kemudian sampailah kabar kepadaku bahwa ibunya Al­-Hasan telah meninggal tiga belas hari yang lalu.”[16]

Ini adalah sekelumit contoh dalam topik ini, sebenarnya masih banyak lagi contoh yang berkaitan dengan pembahasan kita ini yang akan panjang lebar jika disebutkan dalam buku ini.

Referensi:
[1] Nahjul Balaghah, khutbah ke-105.
[2] Tauhid Ash-Shaduq, 73
[3] Al-Insan Dzalikal Majhul
[4] AI-Kafi, 1/256
[5] Biharul Anwar, 26/27
[6] Biharul Anwar, 26/141
[7] Syarh lbn Abil Hadid, 2/290.
[8] Amali Ash-Shaduq
[9] ltsbatul Huda, 5/210.
[10] Ibid., 5/270.
[11] Ibid., 5/235, 315.
[12] Ibid., 5/266.
[13] Maqatil Ath-Thalibiyyin, hal. 172.
[14] Ibid
[15] Ibid., hal. 298.
[16] ltsbatul Huda, 6/186.

Disadur dari Imamah – Mujtaba Musawi Lari.

(Hauzah-Maya/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: