Foto: berdikarionline.com
“Sports has something to do with politics! Indonesia proposes now to mix sports with politics”, (Soekarno)
Di era Presiden Sukarno, prestasi sepabola Indonesia cukup membanggakan dan sulit tertandingi sampai saat ini. Pada Asian Games 1958, Indonesia berhasil merebut medali perunggu setelah mengandaskan India di perebutan peringkat ketiga. Indonesia merajai grup B setelah menang atas India dan Myanmar. Di babak perempat final, Indonesia membantai Fillipina 5-2. Sayang, di semifinal mereka mesti menghadapi Tiongkok yang menjadi juara pada ajang tersebut. Indonesia pun kalah 0-1.
Masih di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia berhasil merebut medali perak pada ajang Asian Games 1966. Selain itu, Indonesia berhasil memenangi sejumlah kompetisi internasional seperti Turnamen Merdeka 1961, 1962, Piala Emas Agha Khan 1966. Indonesia juga menempatkan empat pemainnya di Asian All-Star pada 1967-1968.
Pada masa itu, Indonesia begitu disegani di Asia. Beda dengan saat ini, untuk menjuarai turnamen AFF pun sulitnya minta ampun. Dulu, kita bicara Uni Soviet atau Tiongkok. Kini, untuk menghadapi Malaysia saja kita kelimpungan.
Bahkan era 1960-an hingga era 1970-an, empat pemain Tim Asian All Star berasal dari Tim Indonesia. Mereka adalah Soetjipto Soentoro, Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir.
Di bawah komando sang Proklamator, Indonesia mengalungi medali perak Asian Games 1962. Waktu itu, Indonesia berhasil menekuk Jepang dan Korea Selatan hingga 4-0.
Motivasi yang diberikan Presiden Sukarno pada saat itu benar-benar membuat hati dan semangat pemain tergugah. Mereka hanya berbekal semangat ketika bermain, karena pada masa itu, belum jamak bonus besar maupun gaji yang cukup untuk seorang pesepakbola. Para pemain saat itu, dengan tulus mengabdikan dirinya ditambah dengan motivasi tinggi dari Presiden Sukarno membuat Indonesia disegani di Asia.
Sejumlah pemain sepakbola kita waktu itu adalah Ramang sang penyerang lincah, Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramelan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sin Liong, dan Djamiat. Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang.
PSSI bahkan pernah mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.
Olahraga sebagai Kebanggaan Bangsa dan Bentuk Perlawanan
Bagi Soekarno, sepakbola bukan sekedar permainan tapi juga alat perjuangan di awal kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, sepakbola bisa menjadi senjata untuk melawan kapitalisme.
“Sports has something to do with politics! Indonesia proposes now to mix sports with politics”, kalimat itu ditegaskan Soekarno dengan berani ketika memutuskan untuk menggelar pesta olahraga Games of the New Emerging Forces (Ganefo), November 1963. Ganefo, dengan semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus, Jangan Mundur), memang diboikot oleh sejumlah negara. Tetapi tetap berlangsung sukses dan diikuti 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa. Bukan sesuatu yang mudah bagi Soekarno untuk memutuskan Indonesia sebagai tuan rumah Ganefo.
Apalagi waktu itu negeri ini tidak memiliki sarana olahraga yang memadai. Soekarno berani membangun sebuah kompleks olahraga, di kawasan Senayan. Pada 8 Februari 1960, Soekarno menancapkan tiang pancang Stadion Utama Senayan menandai dimulainya pembangunan stadion sepakbola yang kelak akan menjadi yang terbesar di Asia.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email