Pesan Rahbar

Home » » Melacak Jejak Imperialisme Inggris di Nusantara

Melacak Jejak Imperialisme Inggris di Nusantara

Written By Unknown on Saturday 12 March 2016 | 17:41:00

Foto : http://www.portalsejarah.com

Ferdinand Magellan, seorang petualang dunia yang melegenda asal Portugis, orang pertama yang berlayar dari Eropa ke barat menuju Asia, melayari Samudra Pasifik dan memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia. Menurut catatan sejarah, Magelhaens tewas terbunuh oleh Datuk Lapu-Lapu di Filipina dalam persinggahannya di Hindia Timur sebelum menuju Eropa, delapan belas anggota kru dan armadanya berhasil kembali ke Spanyol pada tahun 1522.

Perjalanan bersejarah inilah yang menginspirasi banyak pihak di Eropa untuk berlayar ke Nusantara, ekspedisi Inggris pertama pada tahun 1957 yang dipimpin oleh Francis Drake juga mengikuti “rute Magellan”. Armadanya berhasil membawa rempah-rempah dari Ternate dan kembali ke Inggris lewat Samudera Hindia.

Perjalanan berikutnya dilakukan pada tahun 1586 oleh Thomas Cavendish melewati jalur yang sama. Pengalaman kedua tersebut mendorong Ratu Elizabeth I meningkatkan pelayaran internasioalnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menggalakkan ekspor wol, menyaingi perdagangan Spanyol, dan mencari rempah-rempah.

Di samping itu, Contingental Stelseel yang diterapkan oleh Napoleon di Eropa 1806 dengan memblokade perdagangan Inggris di Eropa daratan, sedangkan Inggris tengah tumbuh menjadi negara industri besar membutuhkan daerah pemasaran yang luas, oleh karena itu India dan Hindia akan menjadi target pasar produk industri mereka.

Pada akhir abad ke-16, Inggris terlihat lebih serius untuk berekspedisi ke Nusantara, ditugaskanlah East Indies Company (EIC) untuk misi hubungan dagang.

Pada tahun 1602, armada Inggris sampai di Banten dan berhasil mendirikan loji di ujung barat pulau Jawa tersebut. Pada tahun 1604, Inggris mengadakan perdagangan dengan Ambon dan Banda, tahun 1609 mendirikan pos di Sukadana Kalimantan, tahun 1613 berdagang dengan Makassar (kerajaan Gowa), dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia.

Inggris mendapat perlawanan sengit dari Belanda. Setelah terjadi tragedi Ambon Massacre 1963, EIC mengundurkan diri dari Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di Asia tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei.


Kehadiran Raffles

Letak geografis Belanda yang dekat dengan Inggris menyebabkan Napoleon Bonaparte merasa perlu menduduki Belanda. Pada tahun 1806, Perancis (Napoleon) membubarkan Republik Bataaf dan membentuk Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda). Napoleon kemudian mengangkat Louis Napoleon sebagai Raja Belanda.

Karena Indonesia berada di bawah ancaman Inggris yang berkuasa di India, Napoleon membutuhkan orang yang kuat dan berpengalaman militer untuk mempertahankan jajahannya di Hindia. Oleh karena itu, Louis Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal Hindia-Belanda. Daendels mulai menjalankan tugasnya pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.

Daendels dipanggil pulang ke Negeri Belanda. Louis Napoleon kemudian mengangkat Jansen sebagai gubernur jenderal yang baru menggantikan Daendels.

Pada tahun 1811 pimpinan Inggris di India yaitu Lord Muito memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Penang (Malaya) untuk menguasai Pulau Jawa. Dengan mengerahkan 60 kapal, Inggris berhasil menduduki Batavia pada tanggal 26 Agustus 1811 dan pada tanggal 18 September 1811 Belanda menyerah melalui perjanjian yang dikenal sebagai “Kapitulasi Tuntang”.

Isi perjanjian tersebut mencakup tigal hal. Pulau jawa dan sekitarnya di kuasai Inggris, semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris, dan poin ketiga orang Belanda dapat menjadi pegawai Inggris.

Raffles kemudian membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan, mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji, mempraktekan sistem juri dalam pengadilan seperti di Inggris, melarang adanya perbudakan, serta membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor.

Ia juga mencetuskan sistem sewa tanah (land rente), tindakan ini didasarkan pada pendapat bahwa pemerintah Inggris adalah yang berkuasa atas semua tanah. Sistem sewa tanah dalam pelaksanaannya telah menimbulkan perubahan-perubahan penting. Unsur paksaan diganti dengan unsur kebebasan dan suka rela. Ikatan yang bercorak primordial-tradisional dirubah menjadi hubungan perjanjian atau kontrak.

Selain berlatar belakang pengusaha, Raffles juga seorang sarjana yang sangat tertarik dengan sejarah dan keadaan alam Indonesia.

Curahan perhatiannya itu dapat kita lihat ketika ia membangun gedung Harmoni di Batavia untuk Lembaga Ilmu pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 bernama Bataviaasch Genootschap. Menyusun sejarah Jawa berjudul “Histori of Jawa“ yang terbit tahun 1817. Namanya diabadikan pada nama bunga Bangkai raksasa yang ditemukan seorang ahli Botani bernama Arnold di Bengkulu dan Raffles adalah Gubernur Jenderal di daerah tersebut, bunga itupun diberi nama “Rafflesia Arnoldi”.

Pemerintahaan Raffles di Jawa hanya bertahan sampai tahun 1816, peristiwa yang terjadi di Eropa saat itu juga berlaku simetris dengan situasi di tanah jajahan mereka. Pada tahun 1814 Napoleon Bonaparte kalah melawan raja–raja di Eropa dalam perang koalisi. Untuk memulihkan kembali keadaan Eropa maka diadakan konggres Wina 1815.

Kongres Wina pada tahun 1815 menyebutkan bahwa Inggris harus mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan berakhirnya perang Napoleon.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: