Orang Arab tiba di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. (Foto: KITLV).
KARENA tanah airnya dilanda kelaparan, seorang Hadrami muda meninggalkan rumah dan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di pelabuhan, ketika orang-orang bertanya tujuannya, dia menjawab: “Aku ingin pergi di mana ada timbunan emas dan perak, kuda bercap, dan lahan subur yang bisa digarap.” Dia naik kapal, memulai perjalanannya dan tiba di Surat, India.
Suatu hari, di bawah sinar bulan, dia terpesona oleh kecantikan perempuan India. Dia bertanya namanya, dan perempuan itu menjawab: Dunya. Dia ingin menikahinya, tapi maharnya terlalu berat: rasa malu, kejantanan, pikiran, leluhur, dan agamanya. Perempuan itu mengejeknya: “Apa yang orang-orang seperti Anda lakukan di sini? Negerimu dikunjungi para peziarah, nenek moyangmu tak peduli dunia atau ornamennya. Mengapa kamu tak mengikuti mereka dan pulang?”
Tapi dia tak mau melepaskannya begitu saja. Namun, setiap kali dia menyerahkan salah satu mahar itu, perempuan itu pergi. Di Jawa, perempuan itu membimbingnya melalui kota-kota perdagangan di utara Jawa –Batavia, Semarang, Tegal, Cirebon, Surabaya– yang begitu dikenal orang-orang Hadrami. Hingga akhirnya dia mengikuti sampai Kairo dan Istanbul, di mana dia berhasil meraih kembali kunci kekayaannya, selamat dari kehilangan miliknya paling berharga: agamanya.
Kisah Hadrami muda ini hanyalah fiksi. Ahmad bin Muhammad al-Mihdar, sarjana terpelajar Hadramaut yang meninggal 1887, menulis prosa bersajak berjudul Maqama Dham al-Dunya sebagai kritik atas migrasi orang-orang Hadrami ke berbagai tempat di Samudra Hindia. Hidup di Hadramaut yang sulit dan berat masih dianggap lebih ideal. Mereka menganggap mahjar, dunia di luar Hadramaut, sebagai tempat orang terlibat dalam kegiatan materialistik dan menjadi rusak sepanjang perjalananan.
“Istilah dunya serupa dengan beberapa hal: ia berarti dunia di luar Hadramaut, dunia material yang jahat dan merusak dunia akhirat, dan sinonim dari uang dalam bahasa Hadrami,” tulis Engseng Ho dalam The Graves of Tarim.
Namun kritik itu tak menghentikan hasrat orang-orang Hadrami bermigrasi. Untuk mengubah nasib, demikianlah alasan ribuan Hadrami meninggalkan kampung halaman yang tandus di Arab Selatan. “Mereka tertarik dengan dongeng keberuntungan yang mereka percayai dapat diwujudkan,” tulis Natalie Mobini Kesheh dalam Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia. Atau seperti kata pepatah Arab: untuk “mencari cincin Nabi Sulaiman.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email