Tidak banyak yang mengenal perancang lambang negara Indonesia, yakni Burung Garuda. Ternyata, perancang lambang negara Indonesia adalah seorang Sultan di Kesultanan Pontianak-Kalimantan Barat. Dialah Sultan Hamid II. Banyak yang tak tahu akan hal ini. Kiprahnya dilupakan, bahkan beliau dituding sebagai pengkhianat bangsa. Ia dituduh sebagai dalang pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Westerling). Begitulah sejarah, siapa yang berkuasa, maka dialah yang bisa menulis sejarah sesuai dengan versinya (versi penguasa).
Sultan Hamid II memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah Sultan Pontianak yang telah meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah. Beliau merupakan tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini, dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan. Karena itulah, eksistensi Sultan Hamid II tak pelak lagi menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Selama sejarah berkembangnya negara ini, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini. Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.
Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, merupakan putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia-Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri Sultan Hamid II seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak keduanya sekarang di Negeri Belanda. Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA (sejenis Akademi Militer) di Breda-Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda (KNIL = Koninklijk Nederland Indische Leger).
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945, dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II (sebelumnya telah didahului oleh Sultan Thaha sebagai pengganti sementara pada tahun 1944-1945).
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Dia juga pernah memperoleh jabatan sebagai Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Aktivitasnya di bidang politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota panitia mengusulkan tentang lambang negara. Dalam kedudukannya sebagai Menteri ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.
Pada tanggal 10 Februari 1950, Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini. Rancangan lambang negara tersebut diresmikan dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat. Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah. Lantas kemudian beliau memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag-Belanda. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.
Beliau adalah seorang federalis, namun bukan berarti dirinya juga seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal inilah yang dihilangkan dari sejarah. Padahal, dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang beliau menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.
Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan terbentuknya negara federal, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud hingga kini. Tapi karena federalisnya inilah, Sultan Hamid II menjadi korban perjuangan politiknya. Bahkan seumur hidupnya difitnah sebagai “pemberontak”.
Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi negara federal. Selaku Ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Indonesia dan Belanda.
Secara singkat, perjuangan tersebut tidak sia-sia. Kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Hal ini sesuai dengan perjanjian KMB tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.
Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB yang tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat ternyata tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Inilah bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana-Belanda.
Hal lain yang juga dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi desainer dari Lambang Negara Indonesia yang masih terpakai hingga saat ini, yaitu Burung Garuda (biasa juga disebut Garuda Pancasila). Meski sejarah menutup-nutupi, namun sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini. Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri. Ada Tan Malaka yang merupakan tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri. Ada juga Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap, hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya. Dan ada juga Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email