Pesan Rahbar

Home » » Di Bawah Bayang-bayang Labelisasi Syariah

Di Bawah Bayang-bayang Labelisasi Syariah

Written By Unknown on Monday, 2 May 2016 | 23:05:00

ilustrasi

Dewasa ini, “labelisasi syariah” pada berbagai produk semakin merebak di Indonesia. Entah, ini merupakan strategi pemasaran agar penjualan ‘laris-manis’ atau sebagai respon terhadap kebutuhan mayoritas masyarakat yang notabene Muslim. Tampaknya, fenomena ini patut dianalisa secara mendalam.

Pasalnya, labelisasi syariah disinyalir menjadi trend yang mengkooptasi konsumen. Bila kita tidak menggunakan produk yang berlabel syariah, maka dianggap “tidak syar’i/ islami”.

Hal ini menjadi problematis, ketika keyakinan agama dilabelkan pada sektor ekonomi. Apakah Islam ingin mengikuti jejak kapitalisme yang menguasai pasar?

Kita memang tidak bisa men’judge’ produsen atau pebisnis yang menggunakan “labelisasi syariah” semata-mata karena faktor keuntungan. Penawaran mereka bisa jadi dilatarbelakangi permintaan masyarakat.

Sebut saja yang teranyar, “Go-Jek Syar’i khusus perempuan. Jasa antar jemput ini diprakarsai oleh UPN Veteran Surabaya, Evilia Adriani (19). Go-Jek Syar’i ini resmi beroperasi pada Maret 2015 karena melihat berita pelecehan seksual terhadap perempuan di angkutan umum. Selain itu, Evi melihat peluang bahwa tidak semua perempuan bersedia menggunakan jasa ojek laki-laki. Sama halnya seperti “Go-Jek”, pengguna “Go-Jek Syar’i” dapat melakukan pemesanan melalui aplikasi di ponsel pintar.

Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa “labelisasi syariah” yang masif merupakan wujud kedigdayaan “kapitalisme berjubah syariah”. Jadi, tidak dinafikkan bahwa “labelisasi syariah” hanya kamuflase untuk memuluskan tujuan sebagian pebisnis.

Sehingga, tak syak lagi, penguasa pasar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menyentuh sensitivitas umat Islam.

Faktanya, Muslim Indonesia memang telah terjangkit euforia terhadap segala sesuatu yang berbalut “syariah”.

Riyanto, pendiri Hotel Sofyan yang telah bercabang di berbagai kota, pernah mengungkapkan bahwa pesatnya kemajuan hotel Islami yang dibangunnya mengindikasikan bahwa bisnis syariah telah mengakar di tanah air. Lebih lanjut, Riyanto mengakui adanya ikatan berkelindan yang mempengaruhi pendirian bisnis syariah, yakni dorongan produk (product driven) dan pasar (market driven).

Selain itu, berkembang pula bisnis properti syariah, terutama perumahan syariah. Para pengembang menciptakan konsep perumahan yang diklaim berbasis syariah, serta dengan sistem pembayaran tanpa riba. Bisnis ini ternyata sangat menguntungkan karena banyak masyarakat Indonesia yang tergiur tinggal di hunian “islami”. Terbukti dengan perkembangan “perumahan syariah” di berbagai kota, seperti Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan lainnya.

Kemudian, paling fenomenal adalah Wardah Effect. Penjualan Wardah Cosmetics meningkat rata-rata sebesar 75 persen per tahun. Padahal menurut survei AC Nielsen, rata-rata industri kosmetik hanya meningkat 15 persen per tahun. Wardah sebagai produk yang berlabel halal menggerogoti pasar kosmetik nasional, bahkan bisa bersaing dengan produk luar negeri. Pemain lama seperti Sari Ayu Martha Tillaar sempat kebakaran jenggot dengan masuknya Wardah dengan cepat ke pasar.

Bisnis syariah juga sudah merambah bisnis mode yang acap kali diidentikkan dengan dunia gemerlap. Kini, Indonesia telah mempersiapkan diri menjadi “pusat/ kiblat fashion muslim dunia” yang dicanangkan pada tahun 2020. Langkah untuk memuluskan ini tak hanya pada tataran nasional, tapi juga internasional. Pada 2012 diselenggarakan peragaan busana di Pullman Hotel yang melibatkan desainer Indonesia seperti Anne Rufaidah dan Tuti Adib. Mereka berkolabrorasi dengan Kim Laursen, perancang busana dan konsultan mode asal Paris. Selain itu, pasar Indonesia telah menggodok kontes Muslimah, seperti ‘Muslimah Beuaty Sejagad’, ‘Muslimah Beauty Contest’, ‘Indonesia Islamic Fashion Consortium’, dan event serupa lainnya.

Pelaku bisnis sadar bahwa “label syariah” sangat menguntungkan mengingat jumlah muslim yang tersebar di 148 negara mencapai 1,8 miliar. Berdasarkan data yang dirilis PEW Research Center’s Forum on Religion & Public Life, pasar halal global diperkirakan mencapai US$2,3 triliun hingga akhir 2010. Komposisinya terdiri atas 67 persen untuk produk makanan dan minuman, 22 persen untuk farmasi, serta 11 persen untuk perawatan tubuh dan kosmetika. Pada 2009, jumlah konsumsi makanan dan minuman halal di seluruh negara muslim di dunia mencapai US$1,54 triliun.

Trend seperti ini justru tidak akan ditemukan di negara-negara di Timur Tengah.

Pertanyaan menggelitik, apakah umat Islam kaffah ketika membeli produk-produk berlabel “islami”? Ataukah menggunakan barang yang berlabel “syariah” dan disertai sertifikat “halal” dari MUI?


Refleksi ‘Syariahisasi’.

Salah satu fitrah manusia adalah mencari “jati diri”; siapakah diri ini? Apa identitas diri yang sesungguhnya? Tak hanya pada sisi individual, tapi juga komunal-sosial. Begitu pun yang terjadi pada umat Islam. Muslim senantiasa melakukan pencarian mendasar “identitas keislaman” dirinya. Apakah Islam yang sesungguhnya? Bagaimana kita bisa disebut sebagai “Muslim yang beridentitas”?

Namun, apakah identitas Islam bisa dijawab dengan memfokuskan pada kulit luar, tapi menafikkan inti nilai-nilai Islam? Apakah dengan menabung di bank syariah? Ataukah berafiliasi dengan partai politik yang berlabel Islam? Apakah Muslim sesungguhnya tercermin pada laki-laki yang memelihara janggut dan menggulung celana di atas mata kaki? Ataukah perempuan yang mengenakan hijab terurai, bahkan cadar yang menutupi muka?

Apakah “islamisasi label” atau “labelisasi syariah” mengindikasikan semangat religiusitas Muslim di Indonesia?

Masih banyak pertanyaan yang menggelitik, tapi tak bisa dijawab dengan instan. Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya lebih Islami atau telah menjalankan syariah dengan ilmu yang dangkal. Terlebih lagi, bila itu didasarkan pada euforia terhadap segala sesuatu yang berlabel “syariah”. Faktanya, fenomena inilah yang mempengaruhi pola keberagamaan di Indonesia pada segala sektor, tak hanya pada sektor ekonomi.

Kita tak bisa memungkiri, pada sektor politik salah satunya. Sebagai contoh kasus, para politisi daerah berbondong-bondong memberlakukan “perda syariah”, bahkan telah berkoar-koar sebagai janji kampanye. Apakah mereka mengerti syariah, bagaimana menerapkan syariah? Apakah langkah politik ini hanya untuk mendongkrak suara? Bila itu yang terjadi, betapa rendahnya “Islam” hanya diposisikan sebagai tameng yang mengantarkan pada kekuasaan. Apakah ini juga tujuan yang ingin diraih elite partai-partai politik berbasis Islam?

Begitu pun pada tatanan sosial. Umat Islam cenderung melihat “identitas Islam” hanya terbatas pada “simbol-simbol” saja. Islam identik dengan janggut yang panjang, menggulung celana sampai mata kaki, penggunaan tasbih, jilbab yang panjang, penggunaan cadar, tak tahlilan, tak ziarah kubur, konsep pernikahan yang dipisah, hingga komunikasi menggunakan kata-kata Arab dalam pergaulan (akhi, ukhti, afwan, syukran dan sebagainya). Bahkan, menurut sebagian Muslim di Indonesia, identitas Islam yang sesungguhnya melekat pada orang-orang yang rajin ke mesjid, meninggalkan urusan dunia, berteriak takbir yang lantang, dan aksi-aksi lainnya yang mengibarkan bendera Islam.

“Apakah identitas Islam hanya mengejawantah pada label-label?”

“Apakah Islam hanya simbol-simbol?”

Tentunya, kita tidak bermaksud alergi terhadap “syariah” karena merupakan tangga pertama untuk mencapai “hakikat”. Namun, bagaimana mungkin syariah yang Ilahiah menjadi kendaraan bagi orang-orang yang cinta dunia?

Hendaknya kita belajar untuk berlaku proporsional dan menjunjung nilai-nilai substansial dalam keberagamaan kita.

(Islam-Indonesia/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: